Cari Blog Ini

Kamis, 02 Oktober 2014

Tentang UANG RIBA UNTUK BELI RUMAH ATAU UNTUK BEROBAT

Asy-Syaikh Muqbil bin Hady rahimahullah

Pertanyaan: Apakah hukum riba dalam keadaan darurat, seperti orang yang berdalih dengan keadaan darurat untuk membangun tempat tinggal atau untuk biaya pengobatan orang yang sakit?

Jawaban:
Tidak ada darurat di sini, riba hukumnya tetap haram. Allah Ta’ala berfirman:
ﻳَﻤْﺤَﻖُ ﺍﻟﻠﻪُ ﺍﻟﺮِّﺑَﺎ ﻭَﻳُﺮْﺑِﻲْ ﺍﻟﺼَّﺪَﻗَﺎﺕِ ﻭَﺍﻟﻠﻪُ ﻟَﺎ ﻳُﺤِﺐُّ ﻛُﻞَّ ﻛَﻔَّﺎﺭٍ ﺃَﺛِﻴْﻢٍ
“Allah melenyapkan riba dan mengembangkan sedekah, dan Allah tidak menyukai setiap orang yang kafir dan banyak berbuat dosa.” (QS. Al-Baqarah: 276)
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda sebagaimana disebutkan dalam Ash-Shahihain dari Abu Hurairah:
ﺍﺟْﺘَﻨِﺒُﻮْﺍ ﺍﻟﺴَّﺒْﻊَ ﺍﻟﻤُﻮﺑِﻘَﺎﺕ
"Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan.” [HR. Al-Bukhary no. 2766 dan 6857 serta Muslim no. 89]
Diantara yang beliau sebutkan adalah riba.
Jadi riba tidak boleh digunakan. Orang yang sakit akan disembuhkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan rumah juga akan dimudahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hanya kepada Allah saja kita memohon pertolongan.
Al-Bukhary telah meriwayatkan di dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ﻳَﺄْﺗِﻲْ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺯَﻣَﺎﻥٌ، ﻻَ ﻳُﺒَﺎﻟِﻲْ ﺍﻟﻤَﺮْﺀُ ﻣِﻦْ ﺃَﻳْﻦَ ﺩَﺧَﻞَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟْﻤَﺎﻝُ، ﺃَﻣِﻦْ ﺣَﻼَﻝٍ ﺃَﻡْ ﻣِﻦَ ﺣَﺮَﺍﻡٍ
“Akan datang kepada manusia suatu zaman di mana seseorang tidak lagi mempedulikan dari manakah dia mendapatkan harta, apakah dari sesuatu yang halal ataukah dari sesuatu yang haram.” [Lihat: Shahih Al-Bukhary no. 2059 dan 2083]
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga bersabda sebagaimana disebutkan dalam Ash-Shahih Al-Musnad Mimma Laisa Fish Shahihain:
ﻣَﻦْ ﺗَﺮَﻙَ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻟِﻠَّﻪِ ﻋَﻮَّﺿَﻪُ ﺍﻟﻠﻪُ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻣِﻨْﻪُ
“Barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah, pasti Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik darinya.”

Sumber artikel: muqbel[dot]net

Alih bahasa: Abu Almass

###

Asy Syaikh Muhammad Ali Firkous Al Jazairy - hafizhahullah

Saya telah meminjam sejumlah uang dari bank – karena terpaksa – untuk membeli rumah yang dapat menaungi saya beserta keluarga, dan sekarang – alhamdulillah – saya telah mengetahui hukum syar’i, dan saya ingin bertaubat, maka apa kiranya yang bisa saya lakukan? Sebagai catatan saya belum menyelesaikan pengembalian pinjaman tersebut secara sempurna. Jazakumullah khairan.

Jawab:

Hukum asal dalam dari pinjaman ribawi adalah haram dan batal (akadnya- pent), berdasarkan firman Allah – ta’ala:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنتُم مُؤْمِنِينَ. فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ﴾ [البقرة: ٢٧٨ ـ ٢٧٩]

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” [Al Baqarah: 278 – 279].

Sebagaimana pada asalnya tidak boleh bagi seorang muslim untuk tidak mengetahui hal yang sangat penting dari permasalahan-permasalahan agama ataupun duniawi, dikarenakan wajibnya menuntut ilmu syar’i berdasarkan sabda Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam:

«طَلَبُ العِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ»(١)،

“menuntut ilmu sesuatu yang wajib bagi setiap muslim”(1)

Dan tidak boleh bagi seseorang untuk tidak mengetahui sesuatu yang secara otomatis telah dimaklumi merupakan bagian dari agama (معلومم من الدين بالضرورة)atau sesuatu yang telah masyhur (bahwa ia termasuk bagian dari agama – pent), oleh karenanya para ulama qawa’id meletakkan suatu kaidah yang kandungannya sebagai berikut:

«لاَ يُقْبَلُ فِي دَارِ الإِسْلَامِ عُذْرُ الجَهْلِ بِالحُكْمِ الشَّرْعِيِّ»؛

Tidaklah diterima uzur ketidak-tahuan terhadap hukum syar’i di negara Islam

Maka ketika tidak ada kekuasaan syar’i dalam mengatur hukum-hukum yang berhubungan dengan akad-akad, dari segi pembatalan akad dan mengembalikan kedua pihak yang menjalankan akad sebagaimana keadaan seperti sebelum terjadinya akad, dan dikarenakan tindakan riba yang dilakukannya – yang merupakan pelanggaran terhadap hukum Allah subhanahu  wa ta’ala – tidak dapat dikembalikan sebagaimana sebelum terjadinya akad, ketika tidak dapat terjadi semua hal tersebut maka akad disahkan karena darurat, bukan karena diakui dalam agama, dan dia menyempurnakan pengembalian sejumlah yang diwajibkan bank atasnya tanpa berbuat aniaya.

Adapun (alasan) menjadikan pinjaman sebagai jalan keluar dari keadaan darurat, maka harus diperhatikan bahwa keadaan darurat (secara syari’at-pent) yaitu: seseorang sampai kepada tingkatan yang hampir dia binasa padanya atau mendekati kebinasaan, maknanya apabila dia mengerjakan suatu maksiat (untuk menghidari kebinasaan - pent), maka itu lebih ringan daripada meninggalkannya (karena dia akan terhindar dari kebinasaan-pent). Dan dalam permasalahan seperti ini maka untuk mengetahuinya (apakah telah sampai kepada derajat darurat atau belum – pent) dikembalikan kepada agama seseorang dalam penentuan kadarnya dan seberapa besar permasalahan tersebut.

Maka apabila hakikat yang disebutkan oleh penanya bahwa dia berada dalam keadaan darurat yang memaksa, hampir-hampir dia binasa dalam hal agamanya, hartanya atau harga dirinya, maka hal itu boleh dilakukan (yaitu meminjam uang dari bank – pent) akan tetapi hanya sekadarnya.

Oleh karena itu ulama meletakkan suatu kaidah yang kandungannya:

«إِذَا ضَاقَ الأَمْرُ اتَّسَعَ، وَإِذَا اتَّسَعَ ضَاقَ»

“apabila keadaan sulit maka dilapangkan, dan apabila keadaan lapang /mudah maka diperketat”

«الضَّرُورَاتُ تُبِيحُ المَحْظُورَاتِ وَلَكِنْ تُقَدَّرُ بِقَدْرِهَا»

“Keadaan-keadaan darurat dapat menjadikan halal perkara-perkara terlarang akan tetapi hanya sekadarnya”.(1)

Kemudian ketahuilah bahwa suatu taubat haruslah berupa taubat yang murni dan tulus (taubat nasuha), yaitu dengan meninggalkan kemaksiatan tersebut dan seluruh kemaksiatan yang lainnya, dia bertekad kuat untuk tidak kembali melakukannya, dan mengiringi taubat tersebut dengan amal solih, berdasarkan firman Allah – subhanahu wa ta’ala:

﴿إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَحِيمًا﴾ [الفرقان: ٧٠]

“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh, maka mereka itulah orang yang Allah ganti kejelek”an yang mereka lakukan dengan kebaikan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Al Furqan: 70]

Dan barangsiapa yang jujur dalam bertaubat dari kemaksiatan maka akan Allah berikan petunjuk baginya kepada hal-hal yang mendatangkan kemenangan dan keselamatan di dunia dan akhirat, Allah – ta’ala – berfirman:

﴿وَتُوبُوا إِلَى اللهِ جَمِيعًا أَيُّهَا المُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ﴾ [النور: ٣١].

“dan bertaubatlah kalian semua kepada Allah wahai oreng-orang yang beriman agar kalian beruntung”

والعلم عند الله، وآخِرُ دعوانا أنِ الحمدُ لله ربِّ العالمين، وصلَّى الله على محمَّدٍ وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، وسلَّم تسليمًا.

Al Jazair: 29 Jumadal Ula 1426 H

Bertepatan dengan 6 Juli 2005 M

(1)HR Ibnu Majah di dalam “Al Muqaddimah” bab “Keutamaan Ulama dan Hasungan untuk Menuntut Ilmu” (224) dari hadits Anas I dishohihkan Al Albani dalam “Shohihul Jami’” (3914).

(2)Dan dalam perkara ini hendaknya masing-masing mengkonsultasikan keadaannya kepada ahlul ilmi dan asatidzah untuk mengetahui apakah keadaanya secara syar’i telah dikategorikan sebagai keadaan darurat ataukah belum (pent).

Alih bahasa: Al-Ustadz Abu Ahmad Purwokerto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar