Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Hindari duduk-duduk di jalan. Apabila kalian tidak mau kecuali duduk (di situ), maka berikanlah haknya jalan, (yaitu): menundukkan pandangan, mencegah gangguan, menjawab salam, memerintahkan kepada yang baik, dan mencegah dari yang mungkar.” (HR. Ahmad, al-Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud dari sahabat Abu Sa’id radhiyallahu anhu)
Cari Blog Ini
Sabtu, 15 November 2014
Tentang DUDUK-DUDUK DI JALAN
Tentang MENYINGKIRKAN GANGGUAN DARI JALAN
Dari Abu Barzah al-Aslami radhiyallahu anhu, ia berkata:
"Wahai Rasulullah, tunjuki aku kepada suatu amalan yang akan memasukkan aku ke dalam surga."
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أمَِطِ الْأَذَى عَنْ طَرِيْقِ النَّاسِ
"Singkirkan gangguan dari jalan manusia.” (Shahih al-Adabul-Mufrad no. 168)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ﻟَﻘَﺪْ ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺭَﺟُﻠًﺎ ﻳَﺘَﻘَﻠَّﺐُ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ، ﻓِﻲ ﺷَﺠَﺮَﺓٍ ﻗَﻄَﻌَﻬَﺎ ﻣِﻦْ ﻇَﻬْﺮِ ﺍﻟﻄَّﺮِﻳﻖِ، ﻛَﺎﻧَﺖْ ﺗُﺆْﺫِﻱ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ
“Sungguh aku melihat ada seseorang sedang bersenang-senang dan berlezat-lezat di dalam surga disebabkan ada sebatang pohon yang ia potong (ia singkirkan) dari jalan, yang mana pohon tersebut mengganggu orang-orang (yang lewat jalan tersebut).” (HR. Muslim no. 1914)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Seorang lelaki melewati duri di jalan lalu dia berkata: Aku akan singkirkan duri ini agar tidak membahayakan seorang muslim. Dia pun diampuni (oleh Allah).” (Shahihal-Adabal-Mufrad no. 169 dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu)
Dalam riwayat lain:
مَرَّ رَجُلٌ بِغُصْنِ شَجَرَةٍ عَلَى ظَهْرِ طَرِيقٍ فَقَالَ: وَاللهِ لَأُنْحِيَنَّ هَذَا عَنِ الْمُسْلِمِينَ لاَ يُؤْذِيْهِمْ. فَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ
“Ada seorang lelaki melewati suatu dahan pohon di tengah jalan, lalu dia mengatakan: Demi Allah, aku akan menyingkirkan dahan ini dari kaum muslimin sehingga tidak mengganggu mereka. Maka orang tersebut dimasukkan (oleh Allah) ke dalam jannah (surga).” (HR. Muslim, Riyadhus Shalihin Bab Fi Bayani Katsrati Thuruqil Khair)
Tentang SUNNAH SEPUTAR BUANG HAJAT
1. Berdoa Sebelum Buang Hajat
Ketika seseorang akan masuk ke tempat buang hajat (WC, toilet, dan semisalnya) hendaknya ia mengucapkan doa,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan perempuan.” (HR. al-Bukhari no. 142 dan Muslim no. 375)
Membaca doa ini merupakan adab yang disepakati istihbab (sunnah)-nya, dan tidak ada perbedaan dalam hal ini antara buang hajat di tempat yang berupa bangunan ataupun di padang pasir. (Syarah Shahih Muslim, 4/71)
Sementara itu, apabila di padang pasir (tempat yang terbuka), doa ini dibaca tatkala hendak ditunaikannya hajat, seperti ketika seseorang menyingkap pakaiannya. Ini merupakan pendapat jumhur ulama. Mereka juga mengatakan, kalau seseorang lupa membaca doa ini maka ia membacanya dalam hati. (Fathul Bari, 1/307)
2. Kaki kanan lebih dulu Ketika Masuk dan kaki kiri lebih dulu ketika Keluar WC
Telah diketahui bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyenangi mendahulukan bagian yang kanan dalam seluruh keadaan beliau. (HR. al-Bukhari no. 168 dan Muslim no. 268)
Hadits di atas menunjukkan keumuman. Namun, khusus pada keadaan-keadaan tertentu dimulai dengan yang kiri, seperti apabila beliau masuk WC, keluar dari masjid, dan yang semisalnya. Demikian dinyatakan oleh Ibnu Daqiqil ‘Ied. (Syarah ‘Umdatil Ahkam, 1/44)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Merupakan kaidah yang berkesinambungan dalam syariat di mana tangan/kaki kanan didahulukan dalam melakukan perkara yang mulia, seperti memakai pakaian, celana, dan sandal; masuk masjid, bersiwak, bercelak, menggunting kuku, mencukur kumis, menyisir rambut, mencabut bulu ketiak, mencukur rambut, salam ketika selesai shalat, mencuci anggota wudhu, keluar dari WC, makan, minum, berjabat tangan, menyentuh hajar aswad, serta selainnya dari perkara yang semisal di atas. Semua itu disenangi untuk memulai dengan bagian kanan. Adapun lawan dari perkara di atas, seperti masuk WC, keluar dari masjid, istinja’, melepas pakaian, celana, sandal, dan yang semisalnya, disenangi untuk memulai dengan tangan/kaki kiri.” (Syarah Shahih Muslim, 3/160; al-Majmu’, 2/95)
3. Menutup Diri
Abdullah bin Ja‘far radhiyallahu ‘anhu berkata, “Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memboncengkan aku di belakangnya. Lalu beliau membisikkan kepadaku satu pembicaraan yang aku tidak akan memberitahukannya kepada seorang pun selama-lamanya. Adalah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyenangi menjadikan tempat yang tinggi (berupa bangunan atau selainnya) dan kebun kurma sebagai tempat berlindung (menutup diri) ketika buang hajat.” (HR. Muslim no. 342)
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan disenanginya menutup diri ketika seseorang sedang buang hajat dengan apa saja yang dapat mencegah/menghalangi pandangan orang terhadapnya ketika itu. Dimungkinkan buang hajat beliau di kebun kurma bukan pada saat kurma itu berbuah.” (Nailul Authar, 1/117)
Apabila hendak buang hajat, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengangkat pakaiannya sampai beliau turun untuk jongkok di atas tanah. Hal ini beliau lakukan untuk menjaga aurat. (Zadul Ma’ad, 1/44; ad-Dararil Mudhiyyah hlm. 23)
4. Menjauh dari Pandangan Manusia
Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Kabar yang pasti dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya bila ingin buang hajat beliau pergi ke tempat yang jauh dari penglihatan manusia. Namun, bila sekadar buang air kecil beliau tidak menjauh dari mereka.” (al-Ausath, 1/321)
Hal ini sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi untuk membuang hajat hingga tersembunyi dari para sahabatnya. (HR. al-Bukhari no. 203 dan Muslim no. 274 dari al-Mughirah ibnu Syu’bah radhiyallahu ‘anhu)
Abdurrahman bin Abi Qurad radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke tempat buang hajat. Kebiasaan beliau ketika buang hajat adalah pergi menjauh dari manusia.” (HR. an-Nasa’i no. 16 dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Muqbil dalam al-Jami’ush Shahih, 1/495)
Saking menjauhnya beliau dari manusia sampai-sampai beliau pergi ke Mughammas (sebuah tempat yang jauhnya sekitar dua mil dari kota Makkah) untuk keperluan buang hajat ini. (HR. Abu Ya’la, 9/476 dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Muqbil dalam al-Jami’ush Shahih, 1/495)
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila ingin buang hajat dalam safarnya pergi hingga tersembunyi dari pandangan para sahabatnya. Terkadang beliau menjauh sampai dua mil. Beliau menutup dirinya ketika buang hajat, terkadang dengan berlindung di balik tempat tinggi, terkadang di balik kebun kurma, dan terkadang dengan pepohonan yang tumbuh di lembah.” (Zadul Ma’ad, 1/43)
Berbeda halnya ketika buang air kecil, sebagaimana dikatakan Ibnul Mundzir di atas, beliau tidak menjauh dari manusia. Bahkan, Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Aku pernah berjalan-jalan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau lalu mendatangi tempat pembuangan sampah yang terletak di belakang tembok. Beliau berdiri di situ sebagaimana salah seorang dari kalian berdiri lalu beliau buang air kecil. Aku pun menyingkir dari beliau, namun beliau memberi isyarat kepadaku maka aku pun mendatanginya. Aku berdiri di belakang beliau hingga beliau selesai dari hajatnya.” (HR. al-Bukhari no. 225 dan Muslim no. 273)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Ini menunjukkan beliau tidak menjauh dari Hudzaifah ketika buang air kecil.”
Adapun sebab tidak menjauhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika buang air kecil dijelaskan oleh al-Hafizh, “Buang air kecil lebih ringan daripada buang air besar, karena buang air besar butuh untuk lebih membuka aurat dan bau yang ditimbulkan lebih menyengat. Sementara itu, tujuan menjauh dari manusia adalah untuk menutup diri dari penglihatan mereka, dan ini terpenuhi dengan membentangkan pakaian serta mendekat kepada sesuatu yang dapat menutupi.” (Fathul Bari, 1/411)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta Hudzaifah untuk mendekat kepada beliau agar Hudzaifah menutupi beliau dari pandangan manusia, karena buang air kecil merupakan keadaan yang memalukan bila terlihat oleh orang lain. (Syarah Shahih Muslim, 3/167)
Dengan demikian, dituntunkan kepada kita untuk menjauh dari manusia ketika buang air besar. Sementara itu, ketika buang air kecil boleh dilakukan di dekat orang lain, namun harus tetap memerhatikan tertutupnya aurat agar tidak terlihat orang lain. (al-Jami’ush Sahih, 1/496)
5. Tidak Memasukkan Sesuatu yang Mengandung Dzikrullah ke WC
Seseorang yang buang hajat lebih utama baginya untuk tidak membawa sesuatu yang padanya tertera zikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala seperti Al-Qur’an dan lainnya, yang di dalamnya ada penyebutan nama Allah subhanahu wa ta’ala.
Dalam permasalahan ini, dalil yang sering dibawakan adalah hadits peletakan cincin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika akan masuk WC. Namun, hadits ini lemah, ma’lul (berpenyakit) sebagaimana diterangkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Tahdzibus Sunan serta ulama ahli hadits yang lainnya.
Ketika membawakan hadits ini, al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah mengatakan dalam Subulus Salam (1/113), “Sesuatu yang di dalamnya tertera nama Allah ‘azza wa jalla harus dijaga dari tempat-tempat yang jelek/kotor. Ini tidak khusus berupa cincin saja, namun meliputi seluruh benda yang dipakai yang padanya ada dzikrullah.”
Meski demikian, sebagian ulama yang lain menganggap makruh (dibencinya) perkara ini, bahkan haram apabila yang dimasukkan itu berupa al-Qur’an, karena termasuk penghinaan.
Penulis kitab al-Furu’ mengatakan, “Dibenci untuk membawa sesuatu yang mengandung dzikrullah tanpa ada keperluan.” (al-Furu’, 1/83)
6. Larangan Menghadap dan Membelakangi Kiblat
Salman al-Farisi radhiallahu 'anhu mengatakan:
”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami agar tidak menghadap kiblat atau membelakanginya ketika buang air besar, dan agar kami jangan beristinja` (cebok) dengan tangan kanan, serta agar kami tidak beristinja’ kurang dari tiga buah batu dan agar tidak menggunakan tulang dan kotoran hewan yang kering.” (HR. Muslim)
Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا أَتَيْتُمُ الْغَائِطَ فَلاَ تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَلاَ تَسْتَدْبِرُوْهَا وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا
“Apabila kalian mendatangi tempat buang air maka janganlah kalian menghadap ke arah kiblat ketika buang air besar ataupun kencing, serta jangan pula membelakangi kiblat. Akan tetapi menghadaplah ke arah timur atau ke arah barat [1].” (HR. al-Bukhari no. 394 dan Muslim no. 264)
Dari hadits di atas dipahami adanya larangan menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang hajat. Namun, dalam permasalahan ini ada perselisihan pendapat di kalangan ulama.
Ada yang berpendapat perbuatan ini haram secara mutlak, baik di WC (tempat yang tertutup/berbentuk bangunan) maupun di tempat terbuka.
Ada yang membolehkan secara mutlak dan ada pula yang merinci.
Perselisihan ini terjadi karena selain hadits larangan sebagaimana tercantum di atas, didapatkan pula hadits lain yang menunjukkan kebolehannya seperti hadits Abdullah ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku pernah menaiki rumah (Ummul mu'minin) Hafshah karena suatu keperluan. Ketika itu aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam buang hajat menghadap ke arah Syam dan membelakangi Ka’bah.” (HR. al-Bukhari no. 148 dan Muslim no. 266)
Demikian pula hadits Jabir bin Abdillah al-Anshari radhiyallahu ‘anhuma, “Sungguh, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk membelakangi dan menghadap kiblat dengan kemaluan-kemaluan kami apabila kami buang air. Kemudian aku melihat beliau kencing menghadap kiblat setahun sebelum meninggalnya.” (HR. Ahmad 3/365 dan dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh Muqbil dalam al-Jami’ush Shahih, 1/493)
Dari perselisihan yang ada, yang rajih (kuat) adalah pendapat yang merinci. Bila di luar bangunan seperti di padang pasir, haram untuk menghadap atau membelakangi kiblat. Sementara itu, di dalam bangunan tidaklah diharamkan.
Ini adalah pendapat al-Imam Malik, asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan asy-Sya’bi, dan ini merupakan pendapat jumhur ahli ilmu. (Syarah Shahih Muslim 3/154, Syarah Sunan an-Nasa’i lis Suyuthi 1/26)
Namun, sepantasnya seseorang menghindari arah kiblat ketika buang hajat di dalam bangunan (WC dan semisalnya), dalam rangka berhati-hati dari hadits-hadits yang menunjukkan larangan akan hal ini. Selain itu, karena adanya perselisihan yang kuat dalam permasalahan ini yang didukung oleh para ulama ahli tahqiq (peneliti). (Taisirul ‘Allam, 1/55)
7. Boleh Kencing Berdiri
Al-Imam al-Bukhari rahimahullah ketika membawakan hadits Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu yang menerangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kencing berdiri sebagaimana telah lewat di atas, beliau mengatakan dengan judul bab (Bolehnya) Kencing Berdiri dan Jongkok.
Jadi, dipahami di sini bolehnya kencing dalam keadaan berdiri dan duduk, walaupun dalam hal ini terdapat perselisihan pendapat di kalangan ahli ilmu.
Didapatkan pula dari perbuatan sahabat seperti Ali bin Abi Thalib, ‘Umar ibnul Khaththab, Zaid bin Tsabit, dan selainnya radhiyallahu ‘anhum, mereka kencing dengan berdiri. Ini menunjukkan perbuatan ini dibolehkan dan tidak makruh apabila memang aman dari percikan air kencing. (‘Aunul Ma’bud, 1/29)
Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Sebagian ahlul ilmi menyenangi bagi orang yang kencing dalam keadaan duduk untuk menjauh dari manusia. Mereka juga memandang tidak apa-apa kencing di dekat orang lain bila dilakukan dengan berdiri karena kencing dalam keadaan berdiri lebih menjaga dubur dan lebih selamat dari percikan najis. Pendapat seperti ini diriwayatkan dari ‘Umar.” (al-Ausath, 1/322)
8. Berhati-Hati dari Percikan Najis
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati dua kuburan dan mengabarkan,
إِنَّهُمَا يُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيْرٍ. ثُمَّ قَالَ: بَلَى، كَانَ أَحَدُهُمَا لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ
“Dua penghuni kuburan ini sedang diazab. Tidaklah mereka diazab karena perkara yang besar.” Kemudian Rasulullah mengatakan, “Bahkan ya. Adapun salah satunya, ia diazab karena tidak berhati-hati/tidak menjaga dirinya dari kencing.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 216 dan Muslim no. 292, dengan lafadz al-Bukhari)
Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah mengatakan, “Kedua penghuni kuburan itu tidaklah diazab karena perkara yang sulit untuk menghilangkannya atau mencegahnya, serta berhati-hati darinya. Maksudnya, perkara itu sebenarnya mudah, gampang bagi orang yang (mau) menjaga diri darinya.”
Beliau juga berkata, “Dua perkara ini termasuk dosa besar.” (Syarah ‘Umdatil Ahkam, 1/62)
Tidak berhati-hati dari kencing sehingga menajisi tubuh merupakan penyebab azab kubur sebagaimana diberitakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas, padahal mungkin perkara ini dianggap sepele oleh kebanyakan orang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan dengan merenggangkan/menjauhkan kedua kaki ketika duduk untuk buang hajat guna menghindari percikan air kencing.
Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu berkata, “Telah menceritakan kepadaku orang yang melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau kencing dalam keadaan jongkok dengan merenggangkan kedua kaki beliau selebar-lebarnya, sehingga kami mengira pangkal paha beliau akan terlepas.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, 1/121 dan dinyatkaan sahih oleh asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam al-Jami’ush Shahih, 1/500)
9. Tidak Berbicara
Tidak sepantasnya seseorang berbicara dengan jenis pembicaraan apa pun ketika sedang buang hajat kecuali bila memang terpaksa, sebagaimana dikatakan oleh para fuqaha.
Keadaan terpaksa itu seperti ia melihat seorang buta berjalan menuju sumur dan dikhawatirkan akan terperosok ke dalamnya, ada orang yang mengajaknya bicara dan mau tidak mau harus menjawabnya, ia punya keperluan kepada seseorang dan khawatir orang itu akan berlalu, ia meminta air, atau ada binatang berbisa yang hendak menggigit seseorang sementara orang itu tidak melihatnya dan semisalnya. Dalam keadaan seperti ini dibolehkan berbicara. (al-Majmu’, 2/107, asy-Syarhul Mumti’, 1/95)
Termasuk pembicaraan yang dilarang adalah menjawab salam dan ucapan zikir lainnya.
Al-Baghawi rahimahullah berkata dalam Syarhus Sunnah, “Bila seseorang bersin dalam keadaan ia sedang buang hajat maka ia mengucapkan tahmid (alhamdulillah) di dalam hati.”
Demikian pula yang dikatakan oleh al-Hasan, asy-Sya’bi, an-Nakha’i, dan Ibnul Mubarak.
Larangan berzikir di sini merupakan larangan makruh menurut kesepakatan yang ada. Ibnul Mundzir menghikayatkan makruhnya hal ini dari Ibnu Abbas, ‘Atha, Ikrimah, an-Nakha’i, dan Ibnu Sirin. Ibnul Mundzir juga mengatakan, “Meninggalkan zikir ketika buang hajat lebih aku sukai, namun aku tidak menganggap berdosa orang yang melakukannya.” (al-Majmu’, 2/108, al-Furu’, 1/84)
10. Larangan Istinja’ dengan Tangan Kanan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita untuk menyentuh kemaluan dengan tangan kanan ketika kencing dan ketika istinja’ (cebok), sebagaimana sabdanya,
لاَ يُمْسِكَنَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ وَهُوَ يَبُولُ، وَلاَ يَتَمَسَّحْ مِنَ الْخَلاَءِ بِيَمِينِهِ
“Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian memegang kemaluannya dengan tangan kanannya ketika sedang kencing dan jangan pula cebok dengannya setelah buang hajat.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 154 dan Muslim no. 267)
Salman al-Farisi radhiallahu 'anhu mengatakan:
”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami agar tidak menghadap kiblat atau membelakanginya ketika buang air besar, dan agar kami jangan beristinja` (cebok) dengan tangan kanan, serta agar kami tidak beristinja’ kurang dari tiga buah batu dan agar tidak menggunakan tulang dan kotoran hewan yang kering.” (HR. Muslim)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Larangan istinja’ dengan tangan kanan termasuk salah satu adab dalam istinja’. Ulama sepakat tentang dilarangnya perkara ini. Jumhur ulama berpendapat larangan di sini menunjukkan makruhnya bukan haram.”
Kemudian beliau berkata, “Memegang kemaluan dengan tangan kanan hukumnya makruh.” (Syarah Shahih Muslim, 3/156, 159)
11. Larangan Bersuci dengan Tulang dan Kotoran Hewan yang Telah Mengering/Membatu (Rautsah)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminta kepada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu untuk mencari batu guna keperluan bersuci beliau. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَلاَ تَأْتِنِي بِعَظْمٍ وَلاَ بِرَوْثَةٍ
“Jangan engkau datangkan untukku tulang dan jangan pula rautsah.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 155)
Di waktu yang lain, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah diminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencari tiga batu untuk bersuci. Namun, ia hanya mendapatkan dua batu, sehingga ia mengambil rautsah lalu diserahkannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau lalu mengambil dua batu tersebut dan membuang rautsah, seraya berkata, “Ini adalah kotoran.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 156)
Salman al-Farisi radhiallahu 'anhu mengatakan:
”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami agar tidak menghadap kiblat atau membelakanginya ketika buang air besar, dan agar kami jangan beristinja` (cebok) dengan tangan kanan, serta agar kami tidak beristinja’ kurang dari tiga buah batu dan agar tidak menggunakan tulang dan kotoran hewan yang kering.” (HR. Muslim)
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Tidak boleh bersuci dengan menggunakan rauts ataupun tulang. Bersuci dengan keduanya tidaklah mencukupi, demikian pendapat mayoritas ahli ilmu. Ini juga pendapat ats-Tsauri, asy-Syafi’i, dan Ishaq.” (al-Mughni, 1/104)
12. Berdoa Keluar dari Tempat Buang Hajat
Berdoa mengucapkan:
غُفْرَانَكَ
“Aku memohon pengampunan-Mu.” (HR. at-Tirmidzi no. 8, Abu Dawud no. 28, Ibnu Majah no. 296, dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Irwa’ul Ghalil no. 52)
Doa di atas diucapkan ketika seseorang keluar dari tempat buang hajat. Kesesuaian doa ini dengan keadaan tersebut adalah setelah seseorang diringankan dan dilindungi dari gangguan fisik, dia akan teringat gangguan berupa dosa. Maka dari itu, dia meminta kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar meringankan dosanya dan mengampuninya, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala telah menganugerahkan perlindungan kepadanya dari gangguan fisik. (asy-Syarhul Mumti’, 1/84)
Di samping itu, kekuatan manusia itu amatlah terbatas untuk mensyukuri nikmat yang dicurahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala berupa makanan, minuman, dan pengaturan zat makanan di dalam tubuh sesuai dengan kebutuhan sampai akhirnya dikeluarkan sisanya dari tubuh. Oleh karena itu, sepantasnya seorang hamba memohon ampun kepada Allah subhanahu wa ta’ala sebagai pengakuan akan kekurangan tersebut dari apa yang sepatutnya. (Tuhfatul Ahwadzi, 1/42)
13. Tidak buang hajat di Tempat Terlarang
- Air yang tidak mengalir
لاَ يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ الَّذِي لاَ يَجْرِي
“Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian kencing di air yang diam yang tidak mengalir.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 239 dan Muslim no. 282)
Yang rajih (kuat) dari larangan di sini adalah menunjukkan keharamannya. Baik air yang tidak mengalir itu banyak maupun sedikit, kencing maupun buang air besar, terlebih buang air besar ini lebih jelek daripada kencing. Perkara yang juga terlarang dalam permasalahan ini adalah jika seseorang kencing di dalam bejana kemudian dia buang air kencing tersebut ke air yang tidak mengalir tersebut. Sementara itu, tidaklah terlarang membuang hajat pada air yang mengalir, namun lebih baik dijauhi. Terlebih lagi bila air yang mengalir itu sedikit. (Syarah Shahih Muslim, 3/187—188, Subulus Salam, 1/34—35)
- Lubang
لاَ يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْجُحْرِ
“Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian kencing di lubang (yang biasa digali oleh binatang sebagai tempat persembunyiannya).” (HR. Ahmad no. 19847 dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam al-Jami’ush Shahih, 1/499)
Qatadah rahimahullah, salah seorang perawi hadits ini, ditanya oleh murid-muridnya tentang alasan pelarangan di atas. Qatadah pun menjawab, “Lubang-lubang itu adalah tempat tinggal jin.” (al-Jami’ush Shahih, 1/499)
Dengan demikian, dikhawatirkan orang yang kencing tersebut akan ditimpa oleh kemudaratan, atau perbuatan tersebut dilarang karena mengganggu/menyakiti hewan-hewan yang ada dalam lubang tersebut. (Nailul Authar, 1/129; Sunan an-Nasa’i Hasyiyah as-Sindi, 1/34)
- Jalan yang dilewati manusia dan tempat mereka bernaung
اتَّقُوا اللَّعَّانَيْنِ. قَالُوا: وَمَا اللَّعَّانَانِ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِي يَتَخَلَّى فِي طَرِيقِ النَّاسِ أَوْ فِي ظِلِّهِمْ
“Berhati-hatilah kalian dari dua hal yang dilaknat (oleh manusia).”
Para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud dengan dua penyebab orang dilaknat?”
Beliau menjawab, “Orang yang buang hajat di jalan yang biasa dilalui manusia atau di tempat yang biasa mereka bernaung.” (Sahih, HR. Muslim no. 269)
Al-Khaththabi rahimahullah dan ulama selainnya berkata, “Yang dimaukan dengan tempat naungan adalah tempat yang dijadikan oleh manusia untuk bernaung, mereka singgah dan duduk di situ.” (Syarah Shahih Muslim, 3/163)
Buang hajat di tempat demikian dilarang karena mengganggu kaum muslimin dengan menajisi dan mengotori tempat lalu-lalang mereka. (Syarah Shahih Muslim, 3/163)
Sementara itu, memberikan gangguan kepada kaum muslimin itu diharamkan. (ad-Darari, 24, asy-Syarhul Mumti’, 1/102)
- Sumber air
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Hindarkanlah tiga perbuatan yang akan mendatangkan kutukan: buang air di sumber air, di tempat berteduh, dan di tengah-tengah jalan.” (Dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no. 266)
- Ada lagi tempat-tempat terlarang lainnya untuk buang hajat, seperti di mata air atau sungai yang digunakan manusia untuk minum dan wudhu, di bawah pohon yang sedang berbuah walaupun tidak digunakan untuk bernaung, dan di tepi sungai yang mengalir, serta di pintu-pintu masjid.
Namun, hadits yang menyebutkan tempat-tempat tersebut semuanya lemah. Hanya saja yang menjadi patokan kita adalah tidak boleh memberikan gangguan kepada manusia, sehingga kita harus menghindari buang hajat di tempat-tempat mana saja yang biasa dimanfaatkan oleh mereka. (Bulughul Maram, 41, Subulus Salam, 1/117, al-Furu’, 1/86)
Footnote:
[1] Akan tetapi, kita yang berada di Indonesia, seharusnya tidak menghadap ke arah barat yang merupakan arah kiblat dan merupakan arah Baitul Maqdis, menyelisihi penduduk Madinah yang telah disebutkan di atas. (Pembahasan ini bisa dilihat dalam asy-Syarhul Mumti’, 1/99; Syarah ‘Umdatil Ahkam, Ibnu Daqiqil ‘Ied, 1/54; Sunan an-Nasa’i Hasyiyah as-Sindi, 1/23)