Cari Blog Ini

Minggu, 19 Oktober 2014

Tentang TATA CARA MEMANDIKAN JENAZAH

Tata Cara Memandikan Jenazah

Hadits 1. Hadits Aisyah radhiallahu anha

“Ketika hendak memandikan Nabi shallallahu alaihi wasallam, mereka berkata, "Demi Allah, kami tidak tahu, apakah kami harus melepaskan pakaian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagaimana yang biasa kami lakukan terhadap orang yang meninggal di kalangan kami, atau kami harus memandikan beliau dalam keadaan beliau tetap mengenakan pakaiannya?" Maka ketika mereka berbeda pendapat dalam masalah ini, Allah memberikan rasa kantuk pada mereka hingga mereka pun tertidur. Sampai-sampai tidak ada seorang pun dari mereka kecuali dagunya menempel pada dadanya. Kemudian ada seseorang yang tidak mereka ketahui mengajak bicara mereka dari sisi rumah. Orang itu berkata, “Mandikanlah Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam keadaan tetap mengenakan pakaiannya.” Setelahnya mereka pun bangkit menuju Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk memandikannya sementara gamis beliau tetap menempel pada tubuh beliau. Mereka menuangkan air di atas gamis beliau dan menggosok tubuh beliau dengan gamis tersebut, tidak langsung dengan tangan-tangan mereka.” (HR. Abu Dawud no. 3141, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Hadits 2. Hadits Ummu ‘Athiyyah Al-Anshariyyah radhiallahu anha

“Nabi shallallahu alaihi wasallam masuk menemui kami ketika kami akan memandikan jenazah putri beliau Zainab. Beliau berkata, "Mandikanlah dia tiga kali, lima kali atau lebih bila kalian pandang perlu, dengan air dan daun sidr. Jadikanlah akhir basuhannya bercampur dengan kapur barus atau sedikit dari kapur barus. Bila kalian telah selesai memandikannya, panggillah aku.” Maka ketika kami telah selesai, kami pun memanggil beliau. Beliau memberikan sarungnya pada kami seraya berkata: “Selimutilah tubuhnya dengan kain ini.” [1] (HR. Al-Bukhari no. 1253 dan Muslim no. 939)
"Mereka menjadikan rambut putri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tiga pintalan, (sebelumnya) mereka menguraikannya (melepas ikatannya) kemudian mencucinya, lalu menjadikannya tiga pintalan.” (HR. Al-Bukhari no. 1260 dan Muslim no. 939)
“Kami menyisirnya menjadi tiga jalinan.” (HR. Al-Bukhari no. 1254 dan Muslim no. 939)
“Kami menjalin rambutnya menjadi
tiga pintalan dan meletakkannya di
belakangnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1263)
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda ketika putri beliau sedang dimandikan, “Mulailah dari bagian kanannya dan tempat-tempat (anggota-anggota) wudhunya.” (HR. Al-Bukhari no. 1255 dan Muslim no. 939)

Dari dua hadits di atas dapat diketahui bahwa cara memandikan jenazah adalah sebagai berikut:

1. Melepas seluruh pakaian yang masih menutupi tubuh mayat

Sebagaimana hal ini biasa dilakukan di masa Nabi shallallahu alaihi wasallam yang ditunjukkan dalam hadits Aisyah radhiallahu anha di atas, "Demi Allah, kami tidak tahu, apakah kami harus melepaskan pakaian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagaimana yang biasa kami lakukan terhadap orang yang meninggal di kalangan kami."

FAEDAH: Jenazah yang akan dimandikan jangan diletakkan di atas tanah karena akan mempercepat kerusakan jasadnya, tapi diletakkan di atas tempat tidur atau papan yang lurus. Papan tersebut pada bagian kaki mayit agak dimiringkan sehingga air basuhan dapat mengalir ke bawah kaki, tidak mengalir ke kepala mayat atau menggenang di bawah tubuhnya. (Al-Mughni 2/164, Al-Majmu’ 5/131, Asy-Syarhul Mumti’ 2/479)

2. Menutup bagian aurat dengan kain

Rasulullah bersabda, “Seorang lelaki tidak boleh melihat aurat laki-laki yang lain dan seorang wanita tidak boleh melihat aurat wanita lain.” (HR. Muslim no. 338)

FAEDAH: Ketika mayat telah dibaringkan di tempat yang disiapkan untuk memandikannya, mayat didudukkan sedikit (hampir mendekati posisi duduk) dengan mengangkat kepalanya. Lalu orang yang memandikan menjalankan tangannya di atas perut mayat berulang kali (diusap dengan tekanan/diurut) dengan lembut agar keluar kotoran yang mungkin masih ada dalam perutnya, kemudian dibersihkan (dicebok) dengan cara orang yang memandikan membalutkan tangannya dengan kain atau dengan memakai kaos tangan, kemudian ia membersihkan kemaluan si mayat dari kotoran yang keluar. Hal ini dilakukan untuk mencegah jangan sampai kotoran itu keluar setelah mayat selesai dimandikan sehingga mengotori kafannya. (Al-Umm 3/404, Al-Majmu’ 5/130, Asy-Syarhul Mumti’ 2/493-494)

FAEDAH: Disenangi bila di dekat tempat tersebut diletakkan wangi-wangian seperti bukhur (dupa yang dibakar sehingga asapnya menyebarkan aroma yang wangi) agar bau tidak sedap yang mungkin tercium dari kotoran si mayat bisa tersamarkan. (Al- Majmu’ 5/135, Al-Mughni 2/165).

3. Mencuci anggota-anggota wudhu si mayit

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam hadits Ummu 'Athiyyah di atas, “Mulailah dari bagian kanannya dan tempat-tempat (anggota-anggota) wudhunya.”

FAEDAH: Setelah dihilangkan najis dari si mayat, ia diwudhukan oleh orang yang memandikannya seperti wudhu untuk shalat. Dicuci kedua telapak tangannya. Lalu diambil kain yang kasar, dibasahi dan diletakkan pada jari orang yang memandikan si mayat. Kemudian dengan jari yang dibalut kain tersebut gigi geligi mayat diusap. Demikian pula bagian dalam hidungnya hingga bersih. Hal ini dilakukan dengan lemah lembut. Kemudian wajah mayat dicuci dan disempurnakan wudhunya.” (Al-Mughni 2/165)

4. Mengurai rambut si mayit dan mencucinya sampai bersih

Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Ummu 'Athiyyah di atas, "Mereka menguraikannya (melepas ikatan rambut si mayit) kemudian mencucinya."

5. Bila mayat itu seorang wanita, maka menyisir rambutnya dan mengepangnya menjadi tiga kepangan dan meletakannya di belakang [2]

Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Ummu 'Athiyyah di atas, “Kami menyisirnya menjadi tiga jalinan.”
Dan juga, "Mereka menjadikan rambut putri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tiga pintalan."
Dan juga, “Kami menjalin rambutnya menjadi tiga pintalan dan meletakkannya di belakangnya.”

6. Memandikan mayit dengan air dan daun sidr (bidara) [3], dengan tiga kali siraman atau lebih bila dipandang perlu (namun tetap dalam hitungan ganjil), kemudian membasuh bagian tubuh si mayit, dimulai dari bagian tubuh sebelah kanan

Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Ummu 'Athiyyah di atas,
"Mandikanlah dia tiga kali, lima kali atau lebih bila kalian pandang perlu, dengan air dan daun sidr."
Dan juga, “Mulailah dari bagian kanannya."

FAEDAH: Air yang digunakan untuk memandikan mayat sebaiknya air dingin, namun bila ada kebutuhan dan melihat kemanfaatan bagi kebersihan tubuh si mayat, bisa digunakan air hangat. (Al-Hawil Kabir 3/9, Asy Syarhul Mumti’ 2/497)

7. Saat memandikan mayit, menggosok bagian-bagian tubuh mayit dengan kain (orang yang memandikan membungkus tangannya dengan kain tersebut atau dengan menggunakan kaos tangan atau washlap) agar orang yang memandikan tidak menyentuh aurat si mayit (menggosoknya perlahan dari bawah kain penutup tubuh si mayit)

Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits 'Aisyah di atas, "Dan menggosok tubuh beliau dengan gamis tersebut, tidak langsung dengan tangan-tangan mereka.”

FAEDAH: Sebaiknya disiapkan lebih dari satu kain, sehingga setelah kain yang satu dipakai untuk menggosok bagian pembuangan si mayat, kain tersebut diganti dengan yang lain. (Al-Umm 1/302, Al-Hawil Kabir 3/9, Al-Majmu’ 5/130, Asy Syarhul Mumti’ 2/494)

FAEDAH: Mayat dimandikan mulai dari sisi kanan lehernya, belahan kanan dadanya, rusuknya, paha dan betis kanannya. Kemudian kembali ke bagian kiri tubuhnya dan diperbuat semisal bagian kanan tubuhnya. Setelahnya mayat dimiringkan ke rusuk kirinya, lalu dicuci punggungnya, tengkuk, paha dan betis kanannya. Kemudian dimiringkan ke rusuk kanannya dan dilakukan hal yang sama dengan sebelumnya. Setelah itu dicuci bagian bawah kedua telapak kakinya, antara dua pahanya (kemaluannya) dan belahan pantatnya dengan kain. (Al-Hawil Kabir 3/10, Al Majmu’ 5/133)

FAEDAH: Setiap kali basuhan, tangan orang yang memandikan tidak lepas dari mengurut-urut perut mayat agar sisa kotoran yang mungkin tertinggal dapat keluar. (Asy Syarhul Mumti’ 2/496)

8. Mengakhiri basuhan dengan menambahkan kapur barus pada air yang akan digunakan untuk membasuh

Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Ummu 'Athiyyah di atas, "Jadikanlah akhir basuhannya bercampur dengan kapur barus atau sedikit dari kapur barus."

FAEDAH: Usai basuhan terakhir, kedua tangan mayat dirapatkan pada rusuknya dan kedua kakinya dirapatkan hingga kedua mata kakinya saling menempel, kedua pahanya pun saling dirapatkan. Bila keluar sesuatu dari tubuh mayat setelah selesai dimandikan maka dibersihkan dan tubuhnya dibasuh sekali lagi. Terakhir, tubuh mayat dikeringkan dengan kain. Setelah kering, diletakkan di atas kafan yang telah disiapkan. (Al-Umm 1/303, Al-Hawil Kabir 5/12)

Footnote:

[1] Al-Imam Al-Baghawi rahimahullah menyatakan, “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyuruh mereka untuk menjadikan kain beliau sebagai syi’ar bagi putrinya. Makna syi’ar adalah pakaian/kain yang langsung bersentuhan dengan tubuh, tanpa ada penghalang. Sedangkan ditsar adalah pakaian/kain yang diletakkan di atas syi’ar.” (Syarhus Sunnah 5/306)

[2] Dua kepangan pada dua sisi kepala dan satunya lagi di bagian rambut depan (jambul), sebagaimana dinyatakan Sufyan Ats-Tsauri. (HR. Al-Bukhari no. 1262)

[3] Bila tidak didapatkan daun bidara, bisa digantikan dengan pembersih lainnya seperti sabun atau yang lainnya. (Ahkamul Jana`iz, hal. 64)

Tentang WANITA MEMAKAI KAOS TANGAN

Bagaimana hukum memakai quffaz (kaos tangan)?
08xxxxxxxxxx

Dijawab oleh al-Ustadz Muhammad as-Sarbini

Hukum memakai kaos tangan, seperti kata Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Majmu’ah As’ilah Tuhimmu al-Usrah al-Muslimah (hlm. 44), “Memakai sesuatu yang menutup kedua tangan di hadapan ajnabi (lelaki selain mahram), yang dikenal dengan kaos tangan, adalah hal yang baik. Sepantasnya seorang wanita mengenakannya agar tidak tampak kedua telapak tangannya. Bisa jadi, sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,
ﻭَﻻَ ﺗَﻨْﺘَﻘِﺐِ ﺍﻟْﻤَﺮْﺃَﺓُ ﺍﻟْﻤُﺤْﺮِﻣَﺔُ ﻭَﻻَ ﺗَﻠْﺒَﺲِ ﺍﻟْﻘُﻔَّﺎﺯَﻳْﻦِ
“Jangan pula seorang muhrimah (wanita berihram) memakai cadar dan kaos tangan.”
menunjukkan adanya kebiasaan kaum muslimah mengenakan kaos tangan di masa itu. Lagi pula, mengenakan kaos tangan lebih menutup kedua tangannya dan lebih menjauhkannya dari godaan. Akan tetapi, tidak boleh menggunakan kaos tangan yang indah/cantik yang dapat menarik perhatian lelaki.”
Wallahu a’lam.

Sumber: Asy Syariah Edisi 079

Tentang BEKERJA DENGAN ORANG KAFIR

Bolehkah bekerja dengan orang kafir dan apakah bekerja dengan orang kafir berarti berloyal dengan mereka?

Jawab:
(Dijawab oleh al-Ustadz Qomar
Suaidi)

Untuk menjawabnya, perlu dirinci perihal pekerjaan tersebut, yang terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Berserikat dengan orang nonmuslim (kafir) dalam suatu usaha.
2. Orang kafir menyewa tenaga muslim.
Untuk yang kedua ini bisa dalam bentuk:
a. Seorang muslim menjadi pembantu rumah tangga, yang bertugas menyiapkan makan, mencuci, menyapu, membersihkan kotoran, membukakan pintu, dsb.
b. Seorang muslim menjadi tukang dalam suatu pekerjaan, seperti mengecat rumahnya, membuat pagar, dsb.
c. Seorang muslim mendapat pesanan barang atau proyek tertentu, seperti membuat kursi, menjahit pakaian anak-anak, dsb.

Masing-masing gambaran di atas ada hukumnya. Namun, sebelum diterangkan, ada beberapa garis besar perihal bekerjanya seorang muslim untuk orang kafir.
• Tidak diperbolehkan membantu orang kafir, baik secara sukarela (tanpa memungut bayaran) maupun dengan bayaran, dalam hal yang haram menurut agama. Misalnya, memelihara babi dan memasarkannya, memproduksi minuman keras (khamr) dan segala yang memabukkan, transaksi yang mengandung riba, pembangunan gereja, memata-matai muslimin, membantu penyerangan terhadap muslimin, serta yang sejenisnya. Allah telah berfirman:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (al-Maidah: 2)
• Tidak boleh memudaratkan muslim itu sendiri atau merugikannya, seperti dilarang melakukan shalat. (Umdatul Qari, syarh Shahih al-Bukhari)
• Tidak diperbolehkan melakukan pekerjaan yang mengandung kehinaan seorang muslim di hadapan orang kafir.

Selanjutnya mari kita simak ulasan hukum pada masalah-masalah di atas.

1. Berserikat dalam Usaha

Masalah ini diperbolehkan menurut pendapat yang rajih (kuat). Dalilnya, Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah melakukan perjanjian dengan Yahudi Khaibar, agar mereka mengelola tanah Khaibar dengan ketentuan separuh hasilnya untuk mereka. Dari Abdullah ibnu Umar, ia berkata:
ﺃَﻋْﻄَﻰ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺧَﻴْﺒَﺮَ ﺍﻟْﻴَﻬُﻮﺩَ ﺃَﻥْ ﻳَﻌْﻤَﻠُﻮﻫَﺎ ﻭَﻳَﺰْﺭَﻋُﻮﻫَﺎ ﻭَﻟَﻬُﻢْ ﺷَﻄْﺮُ ﻣَﺎ ﻳَﺨْﺮُﺝُ ﻣِﻨْﻬَﺎ
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberikan Khaibar kepada Yahudi agar mereka mengelola dan menanaminya, serta mereka mendapat setengah dari hasilnya.” (Sahih, HR. al-Bukhari, dan beliau memberikan judul yang artinya “Berserikat dengan Orang Kafir Dzimmi dan Musyrik”)
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan mengatakan, “Seorang muslim diperbolehkan berserikat dengan orang kafir, dengan syarat orang kafir tersebut tidak berkuasa penuh mengaturnya. Bahkan, orang kafir tersebut harus berada di bawah pengawasan muslim agar tidak melakukan transaksi riba atau keharaman yang lain jika ia berkuasa penuh.” (al-Mulakhkhash al-Fiqhi)
Ishaq bin Mansur al-Marwazi bertanya kepada Sufyan, “Apa pandanganmu tentang berserikat dengan seorang Nasrani?” Beliau menjawab, “Adapun pada sesuatu yang kamu (muslim) tidak lihat, saya tidak menyukainya.”
Al-Imam Ahmad berkomentar, “Pendapatnya bagus.” (Masail al-Imam Ahmad dan Ibnu Rahuyah)

2. Orang Kafir Menyewa Tenaga Muslim

Ada beberapa gambaran tentang hal ini.

Gambaran (a) Seorang muslim menjadi pembantu rumah tangga yang menyiapkan makan, mencuci, menyapu, membersihkan kotoran, membukakan pintu, dsb.

Menurut pendapat yang lebih kuat (rajih), tidak boleh karena mengandung kehinaan bagi seorang muslim, padahal Allah berfirman:
“Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (an-Nisa: 141)
Ini adalah pendapat pengikut mazhab Maliki, Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal (Hanbali) pada salah satu riwayat dari beliau. Namun, riwayat yang lain dari al-Imam Ahmad membolehkan. Adapun pendapat pengikut mazhab Hanafi mengatakan makruh karena mengandung penghinaan.
Al-Muhallab mengatakan, “Allah telah memerintahkan hamba-Nya yang beriman agar berada di atas orang-orang musyrik. Allah berfirman:
‘Janganlah kamu lemah dan meminta damai padahal kamulah yang di atas.’ (Muhammad: 35)
Oleh karena itu, tidak sah bagi seorang muslim untuk menghinakan dirinya dengan menjadi pelayan orang kafir kecuali dalam keadaan terpaksa, maka sah.” (Syarh al-Bukhari karya Ibnu Baththal)

Gambaran (b) Seorang muslim menjadi tukang dalam suatu pekerjaan, seperti mengecat rumahnya, membuat pagar, dsb.

Pekerjaan semacam ini diperbolehkan.
Khabbab radhiallahu anhu mengatakan: Aku dahulu bekerja sebagai pandai besi pada al-Ash bin Wail. Hingga terkumpullah gajiku dan tertahan pada dirinya. Aku pun mendatanginya untuk menagihnya. Dia justru menjawab, "Tidak, demi Allah. Aku tidak akan memberikan upahmu sampai kamu kafir terhadap Muhammad." Aku katakan, "Demi Allah, sampai kamu mati lalu kamu dibangkitkan, aku tidak akan kafir." "Aku akan mati lalu aku akan dibangkitkan lagi?" tukasnya. Aku pun menjawab. "Ya." Dia pun berujar, "Kalau begitu nanti aku akan punya harta di sana dan punya anak. Aku akan memberi upahmu di sana." Allah lalu menurunkan ayat, "Kabarkan kepadaku tentang seorang yang kafir terhadap ayat-ayat Kami, lalu ia mengatakan, ‘Pasti aku akan diberi harta dan anak’." (Maryam: 77)
Dalam hadits yang lain dari Ka’b bin Ujrah radhiallahu anhu:
ﺃَﺗَﻴْﺖُ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﻓَﺮَﺃَﻳْﺘُﻪُ ﻣُﺘَﻐَﻴِّﺮﺍً ﻓَﻘُﻠْﺖُ: ﺑِﺄَﺑِﻲ ﺃَﻧْﺖَ، ﻣَﺎ ﻟِﻲ ﺃَﺭَﺍﻙَ ﻣُﺘَﻐﻴِّﺮﺍً؟ ﻗَﺎﻝَ: ﻣَﺎ ﺩَﺧَﻞَ ﺟَﻮْﻓِﻲ ﻣَﺎ ﻳَﺪْﺧُﻞُ ﺟَﻮْﻑَ ﺫَﺍﺕِ ﻛَﺒِﺪٍ ﻣُﻨْﺬُ ﺛَﻼَﺙٍ. ﻗَﺎﻝَ: ﻓَﺬَﻫَﺒْﺖُ ﻓَﺈِﺫَﺍ ﻳَﻬُﻮْﺩِﻱٌّ ﻳَﺴْﻘِﻲ ﺇِﺑِﻼً ﻟَﻪُ ﻓَﺴَﻘَﻴْﺖُ ﻟَﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﺩَﻟْﻮٍ ﺑِﺘَﻤْﺮَﺓٍ ﻓَﺠَﻤَﻌْﺖُ ﺗَﻤْﺮﺍً ﻓَﺄَﺗَﻴْﺖُ ﺑِﻪِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﻓَﻘَﺎﻝَ : ﻣِﻦْ ﺃَﻳْﻦَ ﻟَﻚَ، ﻳَﺎ ﻛَﻌْﺐُ؟ ﻓَﺄَﺧْﺒَﺮْﺗُﻪُ، ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ : ﺃَﺗُﺤِﺒُّﻨِﻲْ ﻳَﺎ ﻛَﻌْﺐُ؟ ﻗُﻠْﺖُ : ﺑِﺄَﺑِﻲْ ﺃَﻧْﺖَ، ﻧَﻌَﻢْ
Aku menghadap Nabi shallallahu alaihi wasallam, aku pun melihat beliau sudah berubah (tubuhnya). “Kutebus engkau dengan ayahku, mengapa kulihat Anda berubah?” Beliau menjawab, “Tidak masuk dalam perutku sesuatu yang masuk ke perut makhluk yang memiliki hati (makhluk hidup) sejak tiga hari.” Aku pun pergi. Ternyata ada seorang Yahudi yang sedang memberi minum seekor unta miliknya. Aku pun membantunya memberi minum dengan upah satu butir kurma setiap satu timba, hingga aku berhasil mengumpulkan beberapa butir kurma. Lantas aku datang kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam. Beliau pun mengatakan, “Dari mana kurma ini, wahai Ka’b?” Aku pun memberitahukan asalnya kepada beliau. Kemudian beliau mengatakan, “Apakah kamu mencintai aku, wahai Ka’b?” “Iya, kutebus engkau dengan ayahku.” (Hasan, HR. ath-Thabarani. Dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam kitab Shahih at-Targhib 3/150 no. 3271)
Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak mengingkari pekerjaan Ka’b.
Demikian pula ayat:
Yusuf berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” (Yusuf: 55)
Al-Qurthubi mengatakan, “Dengan ayat ini, para ulama berdalil diperbolehkan bagi orang yang punya keutamaan untuk bekerja pada seorang yang tidak baik serta pada seorang kafir. Dengan syarat, dia mengetahui bahwa akan diserahkan kepadanya pekerjaan yang ia tidak ditentang sehingga ia bisa berbuat baik sekehendaknya. Namun, apabila pekerjaannya itu harus menuruti kemauan orang yang tidak baik tersebut dan seleranya, maka tidak boleh.” (Tafsir al-Qurthubi)
Nabi shallallahu alaihi wasallam juga penah menggembalakan kambing milik orang-orang musyrik. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, ia berkata: Dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda,
ﻣَﺎ ﺑَﻌَﺚَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻧَﺒِﻴًّﺎ ﺇِﻻَّ ﺭَﻋَﻰ ﺍﻟْﻐَﻨَﻢَ. ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺃَﺻْﺤَﺎﺑُﻪُ : ﻭَﺃَﻧْﺖَ؟ ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﻧَﻌَﻢْ، ﻛُﻨْﺖُ ﺃَﺭْﻋَﺎﻫَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﻗَﺮَﺍﺭِﻳﻂَ ﻟِﺄَﻫْﻞِ ﻣَﻜَّﺔَ
“Tidaklah Allah mengutus seorang nabi melainkan ia pernah menggembala kambing.” Para sahabat beliau bertanya, “Anda juga?” Beliau menjawab, “Ya. Aku dahulu menggembala kambing milik orang Makkah dengan upah beberapa karat emas (dinar).” (Sahih, HR. al-Bukhari)

Gambaran (c) Seorang muslim mendapat pesanan barang atau proyek tertentu, seperti membuat kursi, menjahit pakaian anak-anak, dsb.

Yang seperti ini lebih diperbolehkan oleh para ulama, karena ini pekerjaan yang lepas (tidak terikat) dan tidak mengandung kerendahan sama sekali dari seorang muslim terhadap orang kafir.
Ibnul Munayyir mengatakan, “Mazhab-mazhab menetapkan, para produsen di toko-toko boleh memproduksi sesuatu untuk ahlu dzimmah (orang kafir) yang tinggal bersama muslimin di negeri muslimin. Ini tidak termasuk kerendahan. Berbeda halnya bilamana dia melayaninya di rumahnya dan bergantung kepadanya.” (Umdatul Qari syarh Shahih al-Bukhari)
Ibnu Qudamah mengatakan, “Adapun jika ia menyewakan dirinya pada seorang kafir dalam sebuah pekerjaan tertentu dalam tanggungannya, semacam menjahitkan baju dan memotongnya, hal itu diperbolehkan tanpa adanya perbedaan pendapat yang kami ketahui.” (al-Mughni)

Dari keterangan di atas, tampak bahwa pekerjaan-pekerjaan yang diperbolehkan tersebut tidak termasuk berloyal kepada orang kafir.

Sumber: Asy Syariah Edisi 072