Cari Blog Ini

Minggu, 30 November 2014

Tentang BERBAKTI KEPADA ORANG TUA SETELAH MENIKAH

Kurang Berbakti Kepada Orang Tua Setelah Menikah

Di antara kesalahan yang dilakukan oleh sebagian orang apabila telah menikah (adalah) lupa kepada orang tuanya, berubah sikapnya, lalai terhadap hak-hak orang tuanya dan tidak menempatkan/menghormati keduanya sebagaimana semestinya.
Bahkan dia lebih mendahulukan ketaatan kepada istrinya dari pada kepada orangtuanya, atau bahkan menyakiti keduanya agar bisa menyenangkan istrinya.
Tidak diragukan bahwasanya hal ini termasuk bentuk dari durhaka kepada orang tua.
Rasulullah shallallaahu ‘alahi wa sallam bersabda:
أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ثَلاَثًا قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ الإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ
”Maukah aku kabarkan kepada kalian dosa besar yang paling besar (diucapkan 3 kali), para shahabat berkata: ‘Tentu wahai Rasulullah’, Rasulullah shallallaahu ‘alahi wa sallam bersabda: ‘ Menyekutukan Allah (berbuat syirik) dan durhaka kepada orang tua… ”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Agama kita memerintahkan kita untuk berbakti kepada orang tua, bahkan hal tersebut termasuk amalan yang utama.
Allah Subhaanahu wata’aala berfirman:
وَاعْبُدُوا اللهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (An-Nisa:36)
Dalam sebuah hadits suatu ketika Ibnu Mas’ud bertanya kepada Rasulullah,
أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ قَالَ الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيُّ قَالَ ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ أَيُّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ
Amalan apakah yang paling dicintai Allah? Beliau menjawab: “Shalat tepat pada waktunya” Aku bertanya lagi: Kemudian apalagi? Beliau menjawab: "Berbuat baik kepada kedua orang tua." Aku bertanya lagi: Kemudian apa lagi? Beliau menjawab: "Jihad di jalan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Wahai para suami berikut ini beberapa hal yang dapat membantu seseorang untuk senantiasa berbakti setelah menikah.
Berdoa kepada Allah, memohon kepada Nya agar diberikan taufiq dan pertolongan untuk senantiasa berbakti kepada orang tua.
Berhati-hati dari perilaku yang dapat mengesankan bahwa dirinya berubah sikapnya kepada orang tuanya setelah menikah.
Semakin menambah perbuatan baik kepada orang tuanya.
Berusaha untuk mengharmoniskan hubungan istri dengan orangtua.
Semoga Allah senantiasa memberikan taufiq dan pertolongan Nya kepada kita, untuk selalu berbakti kepada orang tua.

WA Perkumpulan Suami Sayang Istri
Admin Ust Abdullah Al Jakarty

Salafy .or .id

Sabtu, 29 November 2014

Tentang MAKMUM MEMBACA SURAT LAIN PADA RAKAAT KETIGA DAN KEEMPAT

Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin -Rahimahullohu-

Pertanyaan: Fadhilatusy Syaikh. Apabila dalam sholat 4 raka’at imam memanjangkan (berdirinya) pada raka’at ketiga dalam keadaan saya telah selesai dari membaca Al Fatihah, apakah saya membaca suratan (yang lain) setelahnya? Ataukah diam saja sampai imam ruku’?

Jawaban :

Tidak. Yang lebih utama engkau membaca suratan setelahnya.

Sebagaimana telah datang dari hadits Abu Sa’id yang menunjukan bahwa Nabi -Shollallohu ‘alaihi wasallam- terkadang menambahkan (membaca suratan) setelah Al Fatihah pada dua raka’at yang akhir.

Dan dikarenakan dalam sholat tidak diam, kecuali ketika mendengarkan bacaan imam. Namun ketika imam membaca dengan siriyyah (lirih) maka saya katakan: “Bacalah suratan setelah Al Fatihah.”

Jika ada yang bertanya:
Engkau menganjurkan bagi kami untuk mengulang-ulang Al Fatihah?

Jawab: Tidak. Dikarenakan itu (mengulang-ulang Al Fatihah) tidak datang periwayatannya dari Nabi -Shollallohu ‘alaihi wasallam-.

Adapun membaca suratan setelah Al Fatihah pada dua raka’at akhir maka ada periwayatannya.

Sumber: Silsilah Liqo Syahri (Liqo 71)

Alih bahasa: Ibrohim Abu Kaysa

2014-10-25
forumsalafy

Jumat, 28 November 2014

Tentang TAKUT KEPADA SELAIN ALLAH

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman

Salah satu sifat yang harus dimiliki oleh seorang muslim adalah takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Sifat ini akan menjaga pemiliknya untuk tidak berbuat maksiat kepada-Nya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Amalan hati seperti tawakal, takut, berharap, dan sejenisnya serta sabar adalah wajib, menurut kesepakatan para ulama.” (al-Ikhtiyarat, hlm. 85)

Kedudukan Takut dalam Agama
Takut merupakan bentuk ibadah hati yang memiliki kedudukan agung dan mulia di dalam agama, bahkan mencakup seluruh jenis ibadah. Takut adalah salah satu dari rukun ibadah dan merupakan syarat iman.
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab beliau Ighatsatul Lahafan (1/30) berkata, “Termasuk tipu daya musuh Allah subhanahu wa ta’ala adalah menakut-nakuti orang beriman dengan balatentara dan wali-wali mereka (wali setan) agar orang-orang beriman tidak memerangi mereka, menyeru mereka (orang-orang yang beriman) kepada kemungkaran dan mencegah mereka dari kebajikan. Allah subhanahu wa ta’ala memberitahukan kepada kita bahwa hal ini adalah tipu daya setan dan merupakan ketakutan yang mereka tanamkan.
Allah subhanahu wa ta’ala telah melarang kita untuk takut kepada setan tersebut, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Sesungguhnya mereka itu tidak lain adalah setan dengan kawan-kawannya yang menakut-nakuti kamu, karena itu janganlah kamu takut kepada mereka tetapi takutlah kepada-Ku jika kamu benar-benar beriman.” (Ali ‘Imran: 175)
Tatkala iman seorang hamba kuat, maka akan hilang rasa takut terhadap wali-wali setan. Tatkala imannya melemah, akan menjadi kuat ketakutan tersebut. Maka dari itu, ayat ini (Ali Imran: 175) menunjukkan bahwa keikhlasan untuk memiliki rasa takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala termasuk syarat iman.”

Takut Kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah Ibadah
Di samping memiliki kedudukan yang sangat tinggi di dalam agama, ‘takut’ juga merupakan salah satu perintah Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana di dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya mereka itu tidak lain adalah setan dengan kawan-kawannya yang menakut-nakuti (kamu), karena itu janganlah kalian takut kepada mereka tetapi takutlah kepada-Ku jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (Ali ‘Imran: 175)
“Maka janganlah kalian takut kepada manusia dan takutlah kalian kepada-Ku.” (al-Ma’idah: 44)
Dari kedua ayat di atas dan ayat-ayat yang lain, sungguh sangat jelas bahwa takut (kepada Allah subhanahu wa ta’ala) itu termasuk dari ibadah, bahkan ibadah yang paling mulia, dan Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan memerintahkan melainkan untuk suatu kemuliaan.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam kitab beliau al-Ushuluts Tsalatsah mengatakan, “Macam-macam ibadah yang telah diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala seperti islam, iman, dan ihsan, juga termasuk berdoa, takut, berharap, tawakal, cinta, rahbah (salah satu jenis takut), khasyah (juga salah satu jenis takut), khusyuk, bertaubat, meminta pertolongan, meminta perlindungan, menyembelih, bernadzar, dan selainnya dari jenis-jenis ibadah yang telah diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, semuanya milik Allah subhanahu wa ta’ala semata berdasarkan firman-Nya,
“Dan bahwasanya masjid-masjid ini adalah milik Allah maka janganlah kamu berdoa kepada selain-Nya di samping berdoa kepada Allah.” (al-Jin: 18)
Barang siapa memalingkannya sedikit saja kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala maka dia seorang musyrik dan kafir."
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam kitab beliau Fathul Majid mengatakan, “Takut berkedudukan tinggi dan mulia di dalam agama serta termasuk jenis ibadah yang banyak cakupannya, yang wajib hanya diberikan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.”

Dalil Takut adalah Ibadah
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Mereka (malaikat) takut kepada Rabb mereka dan melakukan apa yang diperintahkan kepada mereka.” (an-Nahl: 50)
“Orang-orang yang menyampaikan risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tidak merasa takut kepada seorang pun selain kepada Allah; dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan.” (al-Ahzab: 39)
“Maka janganlah kalian takut kepada mereka dan takutlah kalian kepada-Ku.” (al-Baqarah: 150)
Masih banyak lagi ayat lain yang menjelaskan tentang takut.

Adapun dari Sunnah Rasulullah, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya),
“Tujuh golongan orang yang akan mendapatkan perlindungan pada hari yang tidak ada perlindungan kecuali perlindungan dari Allah, di antaranya seorang hamba (laki-laki) yang ‘diajak’ oleh seorang wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan, namun dia mengatakan, ‘Aku takut kepada Allah’.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 629 dan Muslim no. 1031 dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berkata bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya),
“Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, Aku tidak akan menghimpun pada diri hamba-hamba-Ku dua rasa aman dan dua rasa takut. Jika dia merasa aman dari-Ku di dunia, maka Aku akan beri rasa takut pada hari Aku menghimpun hamba-hamba-Ku. Dan jika dia takut kepada-Ku di dunia maka Aku akan berikan rasa aman pada hari Aku menghimpun hamba-hamba-Ku.” (HR. Abu Nu’aim dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah di dalam ash-Shahihah no. 742)

Macam-Macam Takut
Para ulama telah membagi jenis takut menjadi beberapa bagian, di antara mereka ada yang membagi lima, empat, dan ada yang membagi menjadi tiga, yaitu,
Pertama, takut ibadah.
Yaitu takut yang diiringi dengan penghinaan diri, pengagungan, dan ketundukan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Kedua, takut syirik.
Takut syirik yaitu memberikan takut ibadah tersebut kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala.
Barang siapa memberikannya kepada selain Allah  subhanahu wa ta’ala, dia telah melakukan kesyirikan yang besar, seperti memberikannya kepada orang mati, dukun-dukun, atau wali-wali yang dianggap bisa memberikan manfaat dan mudarat, dsb.
Perbuatan ini akan mengekalkan pelakunya di dalam neraka, mengeluarkannya dari Islam, dan menghalalkan darah serta hartanya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Janganlah kalian takut kepada manusia dan takutlah kalian kepada-Ku.” (al-Ma’idah: 44)
Ketiga, takut tabiat.
Yaitu takut kepada hal-hal yang bisa membahayakan jiwa seseorang, seperti takut kepada musuh, binatang buas, api, dan sebagainya. Takut jenis ini dibolehkan selama tidak melampaui batas.
Allah  subhanahu wa ta’ala berfirman menceritakan kisah Nabi Musa ‘alaihis salam,
“Dia keluar dari negerinya dalam keadaan takut yang sangat.” (al-Qashash: 21)

Pertanyaannya, bagaimana hukumnya takut kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala?
Jawabannya harus dirinci.
Jika takut kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala menyebabkan seseorang menghinakan diri di hadapannya (selain Allah subhanahu wa ta’ala tersebut) dan mengagungkannya, ini termasuk syirik.
Jika ketakutannya itu menyebabkan ia melakukan yang diharamkan dan meninggalkan kewajiban, takut ini termasuk maksiat dan berdosa.
Jika takutnya adalah takut tabiat, seperti takut pada air deras yang bisa menghanyutkan diri, harta, atau anaknya, takut yang demikian itu adalah boleh.
Wallahu a’lam.

Sumber Bacaan:
1.    al-Qur’an
2.    al-Qaulul Mufid Syarah Kitabut Tauhid, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin
3.    Fathul Majid Syarah Kitabut Tauhid, asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan
4.    al-Qaulul Mufid, asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Yamani
5.    al-Ushuluts Tsalatsah, asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.

Sumber: Asy Syariah Edisi 001

Tentang KEMUNAFIKAN

Nifaq atau kemunafikan berasal dari bahasa Arab (نَافِقَاءُ) yang berarti salah satu liang binatang yarbu’, yaitu semacam tikus yang memiliki lebih dari satu liang, sehingga tatkala dia dikejar melalui satu liang akan lari menuju liang yang lain.

Dalam istilah syariat berarti perbuatan menampakkan keislaman dan kebaikan namun menyembunyikan kekafiran serta kejelekan. Diistilahkan demikian karena pelakunya masuk ke dalam agama Islam dari sebuah pintu dan keluar darinya melalui pintu lain. Dalam istilah bahasa Indonesia, nifaq sering disebut kemunafikan.

Macam-Macam Nifaq
1.    Nifaq i’tiqadi yakni kemunafikan yang bersifat keyakinan.
Ini merupakan nifaq besar, yaitu seseorang yang menyembunyikan keyakinan kafir lalu menampakkan keislaman, seolah-olah ia beriman padahal dalam hatinya menyimpan keyakinan kafir.
Nifaq i’tiqadi ada enam macam:
•    tidak memercayai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
•    tidak memercayai sebagian yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
•    membenci Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
•    membenci sebagian yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
•    merasa senang saat direndahkannya agama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
•    benci ketika menangnya agama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﺳَﺮَّﺗْﻪُ ﺣَﺴَﻨَﺘُﻪُ ﻭَﺳَﺎﺋَﺘْﻪ ُﺳَﻴِّﺌَﺘُﻪُ ﻓَﻬُﻮَ ﻣُﺆْﻣِﻦٌ
“Barangsiapa yang kebaikannya menyenangkannya dan kejelekannya menyusahkannya maka dia seorang mukmin.” (Shahih, HR Ath-Thabarani dari sahabat Abu Musa radhiyallahu ‘anhu dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir)
2.    Nifaq ‘amali yakni kemunafikan yang bersifat amalan.
Bentuknya bisa berupa perbuatan yang biasa dilakukan orang munafik atau salah satu sifat mereka, yang dilakukan orang yang masih beriman dan tidak memiliki keyakinan-keyakinan kekafiran seperti di atas.
Misalnya, berkata dusta, ingkar janji, khianat terhadap yang memberi amanah kepadanya, atau berbuat curang tatkala bertikai. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيْهِ خِصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا: إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
“Empat hal yang barang siapa keempatnya ada pada dirinya maka dia seorang munafik yang murni dan barang siapa yang terdapat pada dirinya salah satunya berarti ada pada dirinya sebuah kemunafikan: jika dipercaya berkhianat, jika berbicara berdusta, jika berjanji tidak menepati, dan jika bertikai ia berbuat curang.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 34 dan Muslim no. 207)

Sebagian orang memahami bahwa kemunafikan hanya ada satu macam yaitu nifaq i’tiqadi saja, sehingga dari sini timbul kesalahan dalam menetapkan sebuah hukum. Misalnya dalam menafsirkan surat an-Nisa’ ayat 145,
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari an-naar (neraka). Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapatkan seorang penolong pun bagi mereka.”
Mereka tetapkan hukum ini juga pada orang yang ‘sekadar’ punya sifat kemunafikan padahal dia masih beriman.

Sumber Bacaan:
1. Kitabut Tauhid, asy-Syaikh Shalih al-Fauzan, hlm. 17—19
2. al-Haqiqatusy Syar’iyah, Muhammad ‘Umar Bazmul, hlm. 165
3. Tafsir as-Sa’di, edisi revisi cet. ar-Risalah, hlm. 944

Sumber: Asy Syariah Edisi 001

###

Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah berkata:
أَدْرَكْتُ ثَلَاثِينَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ كُلَّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ
“Aku mendapati 30 sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam, seluruhnya merasa takut terhadap nifak yang bakal menimpa dirinya.” (Shahih Al-Bukhari, Kitabul Iman, Bab Khaufil Mu’min min an Yahbatha ‘Amaluhu wa Huwa La Yasy’uru)

Begitu pula dengan seorang sahabat mulia, Umar bin Al-Khaththab radhiallahu anhu. Dirinya takut sikap nifak itu melekat padanya. Saat Nabi shallallahu alaihi wasallam menyebutkan secara rahasia nama-nama orang munafik kepada Hudzaifah ibnul Yaman radhiallahu anhu, timbul pada diri Umar kegalauan. Jiwanya merasa tidak tenang. Khawatir namanya termasuk dalam deretan orang-orang munafik yang disebutkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Maka, untuk mengusir rasa galau di hati, menepis kekhawatiran yang bersemi, dan menambah ketenangan hati, Umar radhiallahu anhu menanyakan langsung kepada Hudzaifah ibnul Yaman radhiallahu anhu. Kata Umar radhiallahu anhu: “Wahai Hudzaifah, semoga Allah memuliakanmu. Apakah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyebutkan namaku kepadamu bersama nama-nama orang munafik?” Jawab Hudzaifah: “Tidak. Tidak ada (nama) seorang pun yang terbersihkan setelah (nama)mu.” Apa yang diperbuat Umar radhiallahu anhu adalah guna menambah ketenangan dirinya. Padahal sungguh Nabi shallallahu alaihi wasallam telah mempersaksikan bahwa dia termasuk sahabat yang mendapatkan jannah (surga). (Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, hal. 76, Thariqul Hijratain, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah, hal. 504)

###

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin -rahimahullah-

PERTANYAAN:
كثيرون هم من يتهمــون غيرهم بالنفــاق في هذا الزمـــان ويستدل بالآية:ـ وإذا قامــوا إلى الصلاة قامـــوا كسالى، وغيرهــا فما هو ضابط النفــــاق
Banyak orang yang menuduh orang lain dengan kemunafikan pada zaman sekarang ini, berdalil dengan ayat Al-Qur`an:
وإذا قامــوا إلى الصلاة قامـــوا كسالى
"Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas." (Q.S. An-Nisa ayat 142)
Dan ayat yang selainnya.
Apa parameter kemunafikan itu?

JAWABAN:
النفـــاق -بارك الله فيك- نوعــان: نفاق اعتقادي ونفاق عملي. فالنفاق الاعتقـــادي محلــه القلب ولا يعلم به إلا الله ولهذا بعض الصحــابة الذين حصل منهم المخالفة فقال عمر: [إنه نــافق] فعارضه الرسول
Kemunafikan itu -semoga Allah memberkahimu- ada dua jenis, yakni:
- Nifaq I'tiqadi (kemunafikan yang bersifat keyakinan), dan
- Nifaq 'Amali (kemunafikan yang bersifat perbuatan yang nampak).
Adapun NIFAQ I'TIQODIY TEMPATNYA ADALAH DI DALAM HATI dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah. Oleh karena itu sebagian para Shahabat yang ketika terjadi pada mereka suatu penyelisihan syariat maka Umar Radhiyallahu 'anhu berkata: "Sesungguhnya ia telah melakukan kemunafiqan." Maka Rasul shallallahu alaihi wasallam pun meluruskan Beliau Radhiyallahu 'anhu.
فالنفاق الاعتقادي محله القلب ولا يجوز أن يرمي الإنسان به أحدا من المسلمين وأهل الولاء لله ورسوله إلا ببينة واضحـــة
Sehingga Nifaq I'tiqadi tempatnya adalah di dalam hati (keyakinan hati) dan TIDAK BOLEH SESEORANG melemparkan VONIS KEMUNAFIKAN kepada seorang muslim dan orang-orang yang berloyalitas kepada Allah dan Rasulnya KECUALI dengan bukti-bukti yang jelas.
والنفــاق العملي: أن يأتي الإنسان خصلة من خصــال المنافقين فلا بأس أن تقــول: هذا منــافق لهذا الفعل فإذا رأينا الرجل يحدث ويكذب قلنا: هذا منافق نفاقا عمليا في هذه المسألة وإذا رأيناه قام إلى الصلاة وهو كسلان نقول: هذا فيه خصلة من خصال المنافقين لأنه أشبه بالمنافقين في قيامه إلى الصلاة على وجه الكسل
Sedangkan NIFAQ 'AMALI adalah seseorang melakukan suatu perilaku dari perilaku-perilaku orang-orang munafik. Sehingga tidak mengapa Anda mengatakan:
"Orang ini munafik karena melakukan perbuatan ini."
Apabila kita melihat seseorang berbicara lalu berdusta, maka kita mengatakan: "Orang ini munafiq dengan Nifaq amali dalam masalah ini." Dan apabila kita melihatnya berdiri untuk shalat dalam keadaan ia bermalas-malasan, maka kita katakan: Orang ini pada dirinya terdapat salah satu ciri-ciri orang munafik. KARENA ia menyerupai orang-orang munafiq yang menegakkan shalat dalam keadaan bermalas-malasan.
فالنفــاق العملي واسع فكـــل من وافــق المنافقين في خصلة من خصالهم فإنه منافــق في هذا العمل خاصـــة
Maka Nifaq Amali itu luas (pembahasannya). Sehingga setiap orang yang mencocoki orang-orang munafiq dalam salah satu perbuatan mereka maka sesungguhnya ia adalah munafik dalam amalan ini secara khusus.
وكمــا قال الــرسول: آية المنافق ثلاث: إذا حدث كذب وإذا وعد أخلف وإذا اؤتمن خان، هذه علامـــة المنـــافق لكن هذه العلامــات قد يقوم بها أناس من المسلمين فنقول: هو منافق في هــذه المسألــة
Dan sebagaimana Sabda Rasul shallallahu alaihi wasallam:
"Tanda-tanda orang munafiq itu ada tiga:
- Apabila berbicara ia berdusta,
- Apabila berjanji maka ia menyelisihi janjinya, dan
- Apabila ia diberikan amanah, ia berkhianat."
Inilah tanda-tanda orang munafik NAMUN tanda-tanda ini terkadang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin, maka kita mengatakan: Dia munafik dalam masalah itu.

Sumber:
Rangkaian Pertemuan Terbuka (open house), pertemuan yang ke-32

Sumber:
zadgroup .net/bnothemen/upload/ftawamp3/od_032_14 .mp3

Alih Bahasa:
Ayyub Wijaya (Balikpapan) Al Jawiy -hafidzahullah- [FBF-4 ]

Muroja'ah:
Al Ustadz Abu Yahya (Solo) Al Maidaniy -hafidzahullah- [FBF-5]

__________
Catatan:
1. NIFAQ I'TIQODIY, pelakunya keluar dari Islam sedang NIFAQ AMALIY TIDAK, hanya disebut muslim pelaku maksiat.
2. NIFAQ I'TIQODIY jika mati dalam keadaan demikian pelakunya kekal di Neraka adapun pelaku Nifaq Amaliy tidak.
Jika mereka - pelaku Nifaq Amaliy - masuk Neraka maka hanya sebatas menjalani hukuman atas kemaksiatan yang mereka lakukan di dunia dan kemudian akan masuk surga karena mereka masih muslim.

WA Forum Berbagi Faidah [FBF] | www .alfawaaid .net

Tentang MENYIKAPI BERITA YANG DATANG DARI ORANG FASIK

Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal dengan perbuatannya itu.” (Al-Hujurat: 6)

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa di dalam ayat ini Allah ‘azza wa jalla tidak memerintahkan untuk menolak berita orang yang fasik dan mendustakan info dan persaksiannya secara mutlak. Hanyalah yang diperintahkan oleh Allah ‘azza wa jalla adalah mengecek kebenarannya.
Jadi, apabila ada indikasi dan bukti-bukti dari luar yang menunjukkan kebenaran berita tersebut, maka ia dipercaya karena ada bukti pembenarannya, seperti apa pun orang yang memberitakan. (at-Tafsir al-Qayyim, 441)

Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata:
“(Ayat ini) termasuk adab yang sepantasnya diamalkan bagi  orang yang  berakal. Yakni apabila ada seorang yang fasiq mengabarkan suatu berita agar mengecek (kebenaran) beritanya (terlebih dahulu), jangan begitu saja mengambilnya. Sebab yang demikian ini bisa menyebabkan bahaya besar dan menjatuhkan ke dalam dosa. Karena apabila beritanya disejajarkan dengan kedudukan berita seorang yang adil dan jujur, lalu menghukuminya berdasarkan konsekuensi (riwayat seorang adil), maka akan terjadi kerugian jiwa dan harta tanpa hak dengan sebab berita tersebut sehingga menyebabkan penyesalan. Yang wajib dalam menyikapi berita seorang yang fasiq adalah meneliti dan mencari kejelasan. Apabila ada penguat yang menunjukkan kebenarannya, maka diamalkan dan dibenarkan. Dan apabila (ada penguat) yang menunjukkan kedustaan, maka didustakan dan tidak diamalkan. Maka di dalamnya terdapat dalil tentang diterimanya berita seorang yang jujur dan berita pendusta adalah tertolak, sedangkan berita seorang yang fasiq disikapi tawaqquf (abstain) sebagaimana yang telah kita jelaskan. Oleh karenanya, para ulama salaf menerima banyak riwayat dari Khawarij yang dikenal kejujurannya, walaupun mereka termasuk orang-orang yang fasiq.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman hal. 800)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“Allah Azza wa Jalla memerintahkan untuk tatsabbut (mengecek) atas berita seorang yang fasiq agar berhati-hati, sehingga dia tidak memberi hukum berdasarkan perkataannya. Sehingga di saat itu dia (si fasiq) berdusta ataukah keliru, maka seorang hakim pun berpegang dengan ucapannya dan mengikuti jejaknya. Sungguh Allah Azza wa Jalla melarang dari mengikuti jalan orang-orang yang merusak.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/209)

Demikian pula yang dijelaskan oleh Al-Imam Muslim rahimahullah:
“Ketahuilah, semoga Allah memberi taufik kepadamu, bahwa sesungguhnya wajib bagi setiap orang untuk mengetahui (perbedaan) antara riwayat-riwayat yang shahih dan yang berpenyakit, antara perawi yang dipercaya penukilannya dengan perawi yang tertuduh (berdusta). Jangan pula dia meriwayatkan kecuali yang dia ketahui keshahihan makhraj (tempat keluar haditsnya) dan terjaga penukilannya. Dan dia berhati-hati terhadap (riwayat) yang dinukil dari orang yang tertuduh dan penentang dari kalangan ahli bid’ah.”
Lalu beliau menyebutkan dalil atas apa yang beliau sebutkan, di antaranya ayat yang menjadi pembahasan kita, dan di antaranya pula firman-Nya:
“Dari saksi-saksi yang kamu ridhai.” (Al-Baqarah: 282)
Dan firman-Nya:
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.” (At-Thalaq: 2)
Lalu beliau berkata:
“Maka ayat-ayat ini menunjukkan apa yang kami sebutkan bahwa kabar seorang yang fasiq gugur dan tidak diterima, dan tertolaknya persaksian orang yang tidak adil.”
Lalu beliau pun berdalil dengan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
“Barangsiapa memberitakan dariku satu hadits, dan dia menyangka bahwa itu dusta, maka dia termasuk salah satu dari para pendusta.” (Lihat Muqaddimah Shahih Muslim, 1/8-9)

Tentang MEMBERI SESAMA MUSLIM NASIHAT BILA DIA MEMINTA NASIHAT

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
ﺣَﻖُّ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢِ ﺳِﺖٌّ. ﻗِﻴﻞَ: ﻣَﺎ ﻫُﻦَّ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ؟ ﻗَﺎﻝَ: ﺇِﺫَﺍ ﻟَﻘِﻴﺘَﻪُ ﻓَﺴَﻠِّﻢْ ﻋَﻠَﻴْﻪِ، ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺩَﻋَﺎﻙَ ﻓَﺄَﺟِﺒْﻪُ، ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺍﺳْﺘَﻨْﺼَﺤَﻚَ ﻓَﺎﻧْﺼَﺢْ ﻟَﻪُ، ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻋَﻄَﺲ ﻓَﺤَﻤِﺪَ ﺍﻟﻠﻪَ ﻓَﺴَﻤِّﺘْﻪُ، ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻣَﺮِﺽَ ﻓَﻌُﺪْﻩُ، ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻣَﺎﺕَ ﻓَﺎﺗَّﺒِﻌْﻪُ
“Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada enam." Ditanyakan, “Apa saja wahai Rasulullah?” Beliau berkata, “Bila engkau bertemu dengannya maka ucapkanlah salam kepadanya, bila dia mengundangmu maka penuhilah undangannya, bila dia meminta nasihat maka berilah dia nasihat, bila dia bersin lalu memuji Allah maka jawablah, bila dia sakit maka jenguklah, dan bila dia mati maka ikutilah (jenazahnya‏).” (HR. Muslim)

Kamis, 27 November 2014

Tentang SIFAT HASAD DAN DENGKI

Saya ingin bertaubat kepada Allah Azza wa JalIa dari sifat hasad [1], iri/dengki, dan saya telah berupaya sekuat tenaga untuk lepas dari sifat tersebut. Namun di banyak kesempatan, setan menghias-hiasi sifat tersebut kepada saya dengan jalan rasa cemburu. Jika saya cemburu kepada teman-teman saya sesama wanita atau cemburu melihat keberadaan wanita lain, tumbuhlah hasad saya. Saya pernah mendengar ucapan seorang teman: “Simpanlah rasa cemburu dan hasadmu di dalam hati, jangan engkau ucapkan dengan lisanmu. Jika demikian, engkau tidak akan berdosa.” Apakah benar ucapannya ini?

Samahatus Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah menjawab:

“Iya, bila anda merasa ada hasad yang timbul maka paksa jiwa anda untuk melawannya. Sembunyikan hasad tersebut, jangan melakukan suatu perbuatan yang menyelisihi syariat. Jangan anda sakiti orang yang anda hasadi, baik dengan ucapan ataupun perbuatan. Mohonlah kepada Allah Azza wa Jalla, agar menghilangkan perasaan itu dari hati anda niscaya hal itu tidaklah memudaratkan anda. Karena jika (dalam hati) seseorang tumbuh hasad namun ia tidak melakukan apapun sebagai pelampiasan hasadnya itu maka hasad itu tidaklah memudaratkannya. Selama ia tidak melakukan tindakan, tidak menyakiti orang yang didengkinya, tidak berupaya menghilangkan nikmat dari orang yang didengkinya, dan tidak mengucapkan kata-kata yang menjatuhkan kehormatannya. Hasad/rasa dengki itu hanya disimpan dalam dadanya. Namun tentu saja orang seperti ini harus berhati-hati, jangan sampai ia mengucapkan kata-kata atau melakukan perbuatan/tindakan yang memudaratkan orang yang didengkinya.
Berkaitan dengan hasad ini, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda:
“Hati-hati kalian dari sifat hasad, karena hasad itu memakan kebaikan sebagaimana api melalap kayu bakar.” [2]
Sifat hasad itu adalah sifat yang jelek dan sebenarnya menyakiti dan menyiksa pemiliknya sebelum ia menyakiti orang lain. Maka sepantasnya seorang mukmin dan mukminah berhati-hati dari hasad, dengan memohon pertolongan dan pemaafan dari Allah Azza wa Jalla. Seorang mukmin harus tunduk berserah diri kepada Allah Azza wa Jalla -demikian pula seorang mukminah- dengan memohon dan berharap kepada-Nya agar menghilangkan hasad tersebut dari dalam hatinya, sehingga tidak tersisa dan tidak tertinggal sedikitpun. Karena itu, kapanpun anda merasa ada hasad menjalar di hati anda, hendaklah anda paksa jiwa anda untuk menyembunyikannya dalam hati tanpa menyakiti orang yang didengki, baik dengan ucapan ataupun perbuatan. Wallahul musta’an.”
(Kitab Fatawa Nur ‘Alad Darb, hal. 131-132)

Catatan Kaki:

[1] Hasad adalah mengangan-angankan hilangnya nikmat yang diperoleh orang lain, baik berupa nikmat agama ataupun dunia.

[2] HR. Abu Dawud. Namun  hadits ini didhaifkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Silsilah Al-Ahadits Adl-Dha’ifah no. 1902, karena dalam sanadnya ada kakek Ibrahim bin Abi Usaid yang majhul. Tentang keharaman hasad ini telah ditunjukkan dalam hadits shahih dari Anas bin Malik radhiallahu anhu, ia berkata: Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Janganlah kalian saling benci, jangan saling hasad, jangan saling membelakangi (membuang muka saat bertemu) dan jangan saling memutus hubungan, jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara, dan tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan (tidak bertegur sapa dengan) saudaranya lebih dari tiga hari.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Sumber: Asy Syariah Edisi 028

Selasa, 25 November 2014

Tentang SELEKTIF DALAM MEMBACA BUKU DAN MENGAMBIL ILMU

Shahabat yang mulia bernama Jabir bin Abdillah menuturkan:
“Umar ibnul Khaththab radhiallahu anhu datang kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam dengan membawa sebuah kitab yang diperolehnya dari sebagian ahlul kitab. Nabi shallallahu alaihi wasallam pun membacanya lalu beliau marah seraya bersabda: “Apakah engkau termasuk orang yang bingung, wahai Ibnul Khaththab? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku telah datang kepada kalian dengan membawa agama yang putih bersih. Janganlah kalian menanyakan sesuatu kepada mereka (ahlul kitab), sehingga mereka mengabarkan al-haq (kebenaran) kepada kalian namun kalian mendustakan al-haq tersebut. Atau mereka mengabarkan satu kebatilan lalu kalian membenarkan kebatilan tersebut. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa alaihis salam masih hidup niscaya tidaklah melapangkannya kecuali dengan mengikuti aku.”

Hadits ini diriwayatkan Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya 3/387 dan Ad-Darimi dalam muqaddimah kitab Sunan-nya no. 436. Demikian pula Ibnu Abi ‘Ashim Asy-Syaibani dalam kitabnya As-Sunnah no. 50. Hadits ini dihasankan oleh imam ahlul hadits di zaman ini Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah dalam Zhilalul Jannah fi Takhrij As-Sunnah dan Irwa`ul Ghalil no. 1589.

Dalam riwayat Ad-Darimi hadits di atas datang dengan lafadz:
‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu anhu datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan membawa salinan dari kitab Taurat. Ia berkata: “Ya Rasulullah, ini salinan dari kitab Taurat." Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diam, lalu mulailah ‘Umar membacanya dalam keadaan wajah beliau shallallahu alaihi wasallam berubah. Melihat hal itu Abu Bakar berkata kepada ‘Umar: “Betapa ibumu kehilangan kamu, tidakkah engkau melihat perubahan pada wajah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam?” Umar melihat wajah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (dan ia menangkap perubahan tersebut), maka ia berkata: “Aku berlindung kepada Allah dari kemurkaan Allah dan Rasul-Nya. Kami ridha Allah sebagai Rabb kami, Islam sebagai agama kami dan Muhammad sebagai Nabi kami.” Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seandainya Musa alaihis salam muncul kepada kalian kemudian kalian mengikutinya dan meninggalkan aku, sungguh kalian telah sesat dari jalan yang lurus. Seandainya Musa masih hidup dan ia menemui masa kenabianku, niscaya ia akan mengikutiku.”

Diriwayatkan bahwa Ka‘b Al-Ahbar pernah datang menemui Umar ibnul Khaththab radhiallahu anhu, yang ketika itu menjabat sebagai Amirul Mukminin, dengan membawa sebuah mushaf, ia berkata: “Wahai Amirul Mukminin, dalam mushaf ini tertulis Taurat, apakah aku boleh membacanya?”
Umar menjawab: “Jika memang engkau yakin itu adalah Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa alaihis salam pada hari Thursina maka silakan membacanya. Dan jika tidak, maka jangan membacanya.” (Syarhus Sunnah 1/271)

Asy-Syaikh Prof. Dr. Rabi‘ bin Hadi Al-Madkhali berkata:
Melihat ‘Umar radhiallahu anhu memegang lembaran yang tertulis Taurat di dalamnya sudah membuat wajah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berubah karena marah. Padahal kitab Taurat merupakan salah satu kitab samawi, Kalamullah yang diturunkan Allah Azza wa Jalla dari langit, meski kemudian diubah-ubah dan diganti Yahudi. Lalu bagaimana kiranya jika beliau shallallahu alaihi wasallam melihat buku-buku yang jelas tidak diturunkan dari langit, malah isinya bertentangan dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah? Bagaimana kira-kira kemarahan beliau bila melihat kita membolak-balik buku tersebut dan membacanya? Apalagi ingin menyelami kebenaran yang katanya ada atau mungkin ada di dalamnya? Tentunya kemurkaan beliau jauh lebih besar lagi. Wallahul mustaan.
Bisa jadi buku-buku yang ditulis ahlul bidah dan pengekor hawa nafsu itu ada setitik atau beberapa titik nilai kebenaran, tapi kebenaran apa yang bisa diharapkan bila ia dibalut dan diselimuti sekian banyak kebatilan? Dan bukankah buku-buku yang selamat dari kebatilan masih banyak, buku-buku yang ditulis ulama Ahlus Sunnah masih menggunung? Kenapa harus mempersulit diri dengan menyelami samudera kebatilan nan pekat karena ingin mendapatkan sebutir kecil mutiara kebenaran?
Ketika Abu Zurah Ar-Razi rahimahullah memperingatkan seseorang dari bukunya Al-Harits Al-Muhasibi dengan menyatakan: “Hati-hati engkau dari buku-buku ini, karena ini merupakan buku-buku bidah dan kesesatan. Wajib bagimu berpegang dengan atsar (hadits atau Sunnah Nabi) karena di dalamnya engkau akan merasa cukup.” Ternyata orang itu berkelit dengan mengatakan: “Dalam buku-buku ini ada ibrah/pelajaran." Apa jawaban Abu Zur’ah rahimahullah? Beliau menegaskan: “Siapa yang tidak mendapatkan ibrah dalam Kitabullah, niscaya tidak ada baginya ibrah dalam buku-buku ini.” (Al-Mizan 2/165)
Memberi peringatan (tahdzir) dari kitab-kitab yang di dalamnya terdapat kebidahan dan kesesatan, memang termasuk manhaj as-salafus shalih dengan mencontoh Rasul yang mulia shallallahu alaihi wasallam ketika mengingkari perbuatan ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu anhu. Tahdzir ini dimaksudkan sebagai penjagaan terhadap manhaj kaum muslimin dari kemudharatan dan bahaya yang dikandung dalam buku-buku tersebut. Dan tidak termasuk perbuatan zhalim bila seorang muslim menasehati saudaranya untuk menjauhi buku-buku yang demikian karena ingin menghindarkan kemudharatan yang akan didapatkannya, dengan semata ia menyebutkan kejelekan buku tersebut tanpa menyinggung kebaikannya.
(Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi Naqdir Rijal, wal Kutub wath Thawa`if, hal. 128)

Asy-Syaikh Prof. Dr. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali berkata menukilkan ucapan Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah: “Setiap buku yang berisi penyelisihan terhadap As-Sunnah tidak boleh dilihat dan dibaca. Bahkan yang diizinkan dalam syariat adalah menghapus dan memusnahkannya.”
Kemudian Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan: “Para shahabat telah membakar seluruh mushaf yang menyelisihi mushaf Utsman karena kekhawatiran mereka akan timbulnya perselisihan di tengah umat. Maka bagaimana bila mereka melihat buku-buku ini yang menciptakan perselisihan dan perpecahan di kalangan umat?"
Ibnul Qayyim berkata lagi: “Maksud dari semua ini adalah buku-buku yang mengandung kedustaan dan bidah wajib untuk dimusnahkan dan dipunahkan. Bahkan memusnahkannya lebih utama daripada menghancurkan alat-alat laghwi dan musik serta bejana-bejana yang berisi khamr. Karena bahaya buku-buku ini lebih besar daripada bahaya alat-alat musik. Dengan demikian tidak ada ganti rugi terhadap buku-buku tersebut sebagai-mana tidak ada ganti rugi dari penghancuran bejana-bejana khamr.” (Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fi Naqdir Rijal, wal Kutub wath Thawa`if, hal. 134)

Berkata Imam Ibnu Abdil Barr di dalam Jami Bayanil Ilmi 2/117:
قال مالك: لا تجوز الإجارات في شيء من كتب الأهواء، والبدع والتنجيم وذكر كتبا ثم قال: كتب أهل الأهواء والبدع عند أصحابنا هي كتب أصحاب الكلام من المعتزلة وغيرهم، وتفسخ الإجارة في ذلك
Imam Malik berkata: Tidak boleh sewa-menyewa (menghadiahkan/jual-beli) sedikit saja dari buku-buku ahlil ahwa wal bida maupun astrologi. Lalu beliau menyebutkan beberapa contoh buku-buku itu. Kemudian kata beliau: Yang dimaksud buku-buku ahlil ahwa wal bida menurut para sahabat kami adalah buku-buku ahli kalam dari kalangan mutazilah dan yang lain. Dan batal (tidak sah) sewa-menyewa dalam hal ini.

Berkata Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisy di dalam Lumatul Itiqad:
ومن السنة: هجران أهل البدع ومباينتهم، وترك الجدال والخصومات في الدين، وترك النظر في كتب المبتدعة والإصغاء إلى كلامهم
Termasuk tuntunan As Sunnah adalah menghajr ahli bidah dan menjauhinya, tidak berdebat dan berbantahan dengan mereka dalam perkara agama, tidak melihat kitab-kitab ahli bidah dan mendengarkan perkataan mereka.

Al-Imam Ibnu Muflih rahimahullah berkata: “Asy-Syaikh Muwaffaquddin rahimahullah menyebutkan larangan dari melihat buku-buku ahlul bidah. Beliau mengatakan:
وكان السلف ينهون عن مجالسة أهل البدع والنطر في كتبهم والاستماع لكلامهم
“Adalah generasi salaf melarang dari bermajelis dengan ahlul bidah, melarang melihat buku-buku mereka, dan mendengar ucapan mereka.” (Al-Adabus Syar’iyyah, 1/251)

Berkata Imam Ibnul Qoyyim di dalam Ath Thuruqul Hukmiyyah Fis Siyaasatisy Syariyyah hal 282: Demikian pula tidak ada tanggungan (ganti rugi) dari membakar dan memusnahkan buku-buku yang menyesatkan. Al Marwazy berkata, Aku bertanya kepada Imam Ahmad: Saya meminjam buku-buku yang mengandung beberapa perkara yang jelek. Apakah anda memandang untuk saya robek-robek atau saya bakar? Beliau menjawab: Naam. Nabi صلى الله عليه وسلم melihat Umar membawa suatu kitab yang dia salin dari Taurat dan dia terkagum oleh kesesuaiannya dengan Al Quran, maka memerahlah wajah Nabi صلى الله عليه وسلم. Akhirnya Umar membawanya ke cerobong api lalu ia lemparkan kitab itu ke sana. Lalu bagaimana seandainya Nabi صلى الله عليه وسلم melihat kitab-kitab yang ditulis sepeninggal beliau yang sebagiannya menentang apa yang ada di dalam Al Quran dan As Sunnah? Wallahul mustaan.
Kemudian kata Imam Ibnul Qoyyim:
وَالْمَقْصُودُ: أَنَّ هَذِهِ الْكُتُبَ الْمُشْتَمِلَةَ عَلَى الْكَذِبِ وَالْبِدْعَةِ يَجِبُ إتْلَافُهَا وَإِعْدَامُهَا، وَهِيَ أَوْلَى بِذَلِكَ مِنْ إتْلَافِ آلَاتِ اللَّهْوِ وَالْمَعَازِفِ، وَإِتْلَافِ آنِيَةِ الْخَمْرِ، فَإِنَّ ضَرَرَهَا أَعْظَمُ مِنْ ضَرَرِ هَذِهِ، وَلَا ضَمَانَ فِيهَا، كَمَا لَا ضَمَانَ فِي كَسْرِ أَوَانِي الْخَمْرِ وَشَقِّ زِقَاقِهَا
Maksudnya bahwa buku-buku yang mengandung kedustaan dan bidah itu wajib dimusnahkan dan dilenyapkan. Dan buku-buku itu lebih layak dimusnahkan dari pada memusnahkan alat-alat musik dan nyanyian atau memusnahkan gelas-gelas khamr. Karena bahaya buku-buku itu lebih besar dari pada bahaya alat musik dan khamr. Dan tidak ada tanggungan (ganti rugi) dari memusnahkan buku-buku itu sebagaimana tidak ada tanggungan (ganti rugi) dari memecah gelas-gelas khamr dan membelah botol-botolnya.

Syaikh Muhammad Al Utsaimin berkata dalam Syarah Lumatul Itiqad:
ومن هجر أهل البدع: ترك النظر في كتبهم خوفاً من الفتنة بها، أو ترويجها بين الناس فالابتعاد عن مواطن الضلال واجب
Termasuk dari menghajr ahli bidah adalah tidak melihat kepada buku-buku mereka karena khawatir terfitnah olehnya, atau menyebarkannya di tengah-tengah manusia. Maka menjauhi tempat-tempat kesesatan adalah wajib.
لكن إن كان الغرض من النظر في كتبهم معرفة بدعتهم للرد عليها فلا بأس بذلك لمن كان عنده من العقيدة الصحيحة ما يتحصن به وكان قادراً على الرد عليهم، بل ربما كان واجباً، لأن رد البدعة واجب وما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
Akan tetapi jika tujuan dari melihat kepada buku-buku mereka itu adalah untuk mengenali bidah mereka dalam rangka untuk dibantah, maka tidak mengapa hal itu bagi orang yang memiliki aqidah yang shahih yang bisa membentengi diri (dari terpengaruh kesesatannya) dan ia mampu untuk membantah mereka. Bahkan acapkali hukumnya wajib. Karena membantah bidah adalah wajib. Dan perkara yang kewajiban itu tidak bisa sempurna kecuali dengannya, maka perkara tersebut hukumnya wajib.

Syaikh Shalih Al Fauzan ditanya di dalam Al Ajwibah Al Mufidah:
س: ما هو القول الحق في قراءة كتب المبتدعة، وسماع أشرطتهم؟
Pertanyaan: Bagaimana pendapat yang haq dalam hal membaca kitab-kitab ahli bidah dan mendengarkan rekaman-rekaman mereka?
ج: لا يجوز قراءة كتب المبتدعة، ولا سماع أشرطتهم؛ إلا لمن يريد أن يَرُدَّ عليهم ويُبيِّن ضلالهم. أما الإنسان المبتدئ، وطالب العلم، أو العامي، أو الذي لا يقرأ إلا لأجل الاطلاع فقط، لا لأجل الرَّد وبيان حالها؛ فهذا لا يجوز له قراءتها؛ لأنها قد تؤثر في قلبه
Beliau menjawab: Tidak boleh membaca kitab-kitab ahli bidah, tidak boleh pula mendengar rekaman-rekaman mereka, kecuali bagi orang yang bermaksud untuk membantah mereka dan menjelaskan kesesatannya. Adapun seorang yang masih pemula atau thalibul ilmi atau orang awam atau orang yang tidak membaca kecuali dalam rangka mentelaah saja bukan tujuan membantah dan menjelaskan keadaannya, maka yang demikian tidak boleh baginya membaca kitab-kitab itu karena kadang berpengaruh dalam hatinya.

###

Ibrahim an Nakha'i berkata, "Kami dahulu jika ingin mendatangi seseorang yang akan kami ambil ilmunya, pertama yang kami lihat adalah akhlak, perilaku dan shalatnya. Kemudian baru kami ambil ilmunya." (At Tamhid-Ibnu Abdilbar 1/47)

Abdurrahman ibn Mahdi menyatakan bahwa ada tiga orang yang tidak boleh diambil ilmunya, salah satunya, "Shahibu Bid'ah yang menyeru kepada bid'ahnya." (Syarah 'Ilal at Tirmidzi 1/110)

Imam Malik juga menyatakan ada empat orang yang tidak boleh diambil ilmunya, di antaranya, "Jangan mengambil dari shahibu ahwa yang mendakwahkan manusia kepada hawa nafsunya." (At Tamhid-Ibnu Abdilbar 1/66)

Sufyan ats Tsauri berkata, "Barang siapa yang mendengar (sesuatu ilmu) dari mubtadi' niscaya Allah tidak memberikan manfaat terhadap apa yang dia dengar." (Al Jamiul Akhlaq ar Rawi-Khatib al Baghdadi 1/138)

###

Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan hafidzahullah

Beliau berkata:
ليست العبرة بالإنتساب أو فيما يظهر، بل العبرة بالحقائق وبعواقب الأمور، والأشخاص الذين ينتسبون إلى الدعوة يجب أن ينظر فيهم: أيـــــن درســـــوا؟ ومَن أيـــن أخــذوا العــــــلم؟ وأيــن نشــأوا؟ ومــــا هي عقيدتـــهم؟ وتنظر أعمالهم وآثارهم في الناس وماذا أنتجوا من الخير؟ ومــاذا ترتب على أعمالهم من الإصلاح؟ يجب أن تدرس أحوالهم قبل أن يغتر بأقوالهم ومظاهرهم
Yang menjadi tolak ukur bukanlah nisbat (penyadaran) bukan pula apa yang terlihat saja. Namun yang menjadi tolak ukur ialah realita dan akibat.
Dan orang-orang yang pantas untuk disandarkan kepadanya dakwah harus dilihat darinya perkara-perkara berikut:
- Di mana dia belajar?
- Dari siapa dia mengambil ilmu?
- Di mana dia tumbuh?
- Apa aqidahnya?
- Anda lihat tingkah laku dan pengaruhnya terhadap manusia serta apa yang ia hasilkan berupa kebajikan?
- Apa hasil dari perbaikan yang dilakukannya?
Wajib bagi Anda untuk mengetahui keadaan mereka sebelum Anda terlena dengan ucapan mereka dan amalan mereka yang tampak.
هذا أمر لابد منه خصوصاً في هذا الزمــــــــان الذي كَــثـُــرَ فيــه دعـــــــاة الفتنـــــة، وقد وصف الرسول صلى الله عليه وسلم دعــاةالفتنــة بأنهـــم: من جــــلدتنا ويتكلمـــــون بألسنتنــــــا
Hal seperti ini harus dilakukan, terlebih khusus pada zaman ini di mana banyak dai-dai pegusung fitnah. Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah mensifati dai-dai pegusung fitnah tersebut, bahwa mereka, ˝Berasal dari kulit kita dan mereka berbicara dengan bahasa kita.˝

Sumber: Al Ijabaatul Muhimmah hal 47-48.

MAJMU'AH ITTIBA'US SALAF 1436/2015

###

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah

Sesungguhnya tidak boleh mengambil ilmu dari ahli bid’ah sama sekali, walaupun dalam bidang yang tidak berkaitan dengan bid’ahnya. Misalnya kita menjumpai seorang mubtadi’ yang bagus dalam bidang ilmu Bahasa Arab, balaghah, nahwu dan sharaf.
Jika ada yang bertanya apakah kita akan duduk bermajelis dengannya dan belajar kepadanya pada bidang ilmu yang dia menguasainya dengan baik itu atau yang dia sebarkan itu?! Yang nampak dari perkataan Syaikh (wallahu a’lam siapa yang beliau maksud –pent) kita tidak boleh bermajelis dengannya, karena hal itu akan menyebabkan dua kerusakan:
Kerusakan pertama adalah tertipunya orang itu sendiri dengan keadaan dirinya karena dia akan menyangka bahwa dia di atas kebenaran.
Sedangkan kerusakan kedua adalah tertipunya manusia dengan orang itu, karena melihat para penuntut ilmu berdatangan kepadanya dan belajar kepadanya. Padahal orang awam itu tidak bisa membedakan antara ilmu nahwu dan akidah.
Oleh karena inilah maka kami memandang bahwa seseorang tidak boleh duduk bermajelis mengambil ilmu kepada ahli bid’ah secara mutlak, walaupun keadaannya hingga seseorang misalnya tidak menjumpai ilmu Bahasa Arab, balaghah dan sharaf, kecuali pada ahli bid’ah itu, maka Allah akan memberikan kebaikan untuknya. Karena dengan kita mendatangi mereka dan bolak-balik ke tempat mereka tidak diragukan lagi hal itu akan menyebabkan mereka tertipu dengan diri mereka sendiri dan manusia pun akan ikut tertipu dengan mereka.

Alih bahasa: Abu Almass
Selasa, 18 Jumaadal Ula 1435 H

###

Asy Syaikh Shalih Fauzan bin Abdillah al Fauzan حفظه الله

Pertanyaan:
هل يجوز طلب العلم من أهل البدعة وقراءة كتبهم لعدم وجود كتب أهل السنة في بلدي؟
Apakah diperbolehkan menuntut ilmu dari ahlul bidah dan membaca kitab-kitab mereka dikarenakan di negeri saya tidak didapati kitab-kitab ahlu sunnah?

Jawaban:
الحمد لله أهل السنة موجودون وكتبهم موجودة ولكن يحتاج منك إلى طلب وإلى حرص ولا تعتمد على أهل البدع وكتب المبتدعة، لا تعتمد عليها لأنها كالغذاء المسموم القاتل
Alhamdulillah ahlu sunnah senantiasa ada, demikian juga kitab-kitab ahlu sunnah senantiasa ada, hanya saja butuh kesungguhan dari anda untuk mencarinya, maka jangan engkau bersandar pada ahlul bidah dan kitab-kitab mereka, karena itu bagaikan racun yang mematikan.

Sumber:
alfawzan .af .org .sa/node/14440

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

###

asy-Syaikh Al-Allamah Ubaid al-Jabiri hafizhahullah

Penanya berkata:
Fadhilatus Syaikh, saya persaksikan kepada Allah bahwa saya mencintai Anda karena Allah. Saya ingin mendengar jawaban dari anda atas pertanyaan berikut:
Bagaimana sikap yang benar terhadap kitab-kitab yang ditulis oleh orang-orang yang telah menyimpang dari kebenaran, setelah dahulu mereka berada di atasnya dan di atas manhaj salafush shalih. Perlu diketahui bahwa kitab-kitab ini bermanfaat dalam pembahasannya. Apakah boleh bagi seorang peneliti untuk mengambil faedah darinya dengan disertai menjelaskan keadaan penulis kitab-kitab tersebut?

Jawab:
Hal ini akan berbeda tergantung siapa yang melihat (membaca). Jika yang meneliti (membacanya) itu adalah seorang yang memiliki ilmu dan fiqh, serta kemampuan yang mencukupi baginya untuk membedakan mana shahih dan mana yang berpenyakit (batil), maka TIDAK MENGAPA.
Adapun jika seorang pemula, masih baru mulai menuntut ilmu, maka kitab-kitab seperti itu TIDAK BOLEH tersebar di tengah mereka. Tidak boleh pula dinukilkan dari para penulis kitab-kitab itu kepada mereka (para penuntut ilmu yang masih pemula). Sesungguhnya pada orang-orang yang berada di atas sunnah dari generasi terdahulu dan sekarang, dalam kitab-kitab mereka sudah sangat mencukupi. Wa lillaahil hamd.

Sumber:
ar .miraath .net/fatwah/10984

Alih bahasa:
Abu Said Abdurrahman

Majmuah Manhajul Anbiya

###

Syaikh Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul حفظه الله

Pertanyaan:
أحسن الله إليكم شيخنا إذا كان عندي بعض الكتب و الرسائل و الأشرطة لأشخاص كانوا على الجادة ثم ضلوا الطريق وقد حذر منهم العلماء مثل الشيخ ربيع و الشيخ الفوزان و الشيخ عبيـد وغيرهم حفظهم الله ؛ فهل لي الإستفادة منها ؟ علماً بأني اقتـنيت هذه الأشياء قبل مخالفتهم للمنهج السوي ! وجزاكم الله خيرا لعلي أضرب لك مثالا : إبراهيم الرحيلي و يحيى الحجوري ؟
Semoga Allah berbuat baik kepada Anda, jika saya memiliki kitab-kitab, artikel dan kaset orang-orang yang dulunya di atas kebenaran kemudian menyimpang, sedangkan para ulama telah mentahdzir mereka seperti Syaikh Rabi', Syaikh al-Fauzan, Syaikh 'Ubaid dan ulama yang lainnya جفظهم الله, bolehkah saya mengambil faedah darinya? Sekedar informasi, semuanya ini saya miliki sebelum penyelisihan mereka terhadap manhaj yang lurus. Semoga Allah تعالى membalas Anda dengan kebaikan! Barangkali saya contohkan: Ibrahim Ruhaili, Yahya al-Hajuri?

Jawaban:
السلامة غنيمة، القضية بعد التحذير منهم تقتضي البعد عنهم ومجانبتهم حتى لا يعود الإنسان إلى الإعجاب بهم وبطريقتهم فيورثه ذلك مجانبة طريق السنة. وتذكر أن من ترك شيئاً لله عوضه الله خيراً منه، اتركها جانباً وعلم عليها بقلمك أنها لأصحاب بدع، حتى لا يغتر بها من يجدها في مكتبتك بين كتبك، وتذكر أن سبب اتباع أبي ذر الهروي للأشعرية أنه شاهد شيخه الدارقطني يسلم على الباقلاني ويعظمه
Keselamatan itu sebuah (ghanimah) keuntungan, perkara
setelah tahdzir terhadap mereka itu berkonsekuensi menjauhi mereka sampai seorang tidak kagum dengan mereka dan jalan mereka, karena rasa kagum tersebut akan menyebabkan menjauh dari jalan sunnah. Disebutkan bahwa barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah تعالى, akan Allah نعالى ganti dengan yang lebih baik darinya. Tinggalkanlah dia sejauh-jauhnya dan berilah tanda atasnya dengan penamu bahwa dia ahli bid'ah, sehingga dengannya tidak tertipu orang yang mendapatinya diantara kitab-kitabmu di perpustakaanmu. Dan disebutkan bahwasannya sebab Abu Dzar al-Harawi menjadi pengikut Asy'ari karena melihat gurunya ad-Daruquthni memberi salam kepada al-Baqilani dan mengagungkannya.

http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=143439

Abu Zulfa Anas

WHATSAPP AL-UKHUWWAH

WA Al Istiqomah
WALIS

###

Asy-Syaikh Dr. Muhammad bin Hady Al-Madkholy -حفظه الله-

PERTANYAAN:
هذا يسأل يقول: هو في فرنسا في المسجد الذي هو فيه - في حيه- كتب لبعض المخالفين ويسأل هل يجوز إتلافها
Ada pertanyaan. Dia berkata, dia dari Prancis yang mana ia tinggal di Masjid yang di dalamnya terdapat buku-buku karya sebagian orang-orang yang menyimpang, dan bertanya: Apakah boleh memusnahkannya?

JAWAB:
إذا كانت هذه الكتب على غير مذهب أهل السنة كالمعتزلة وكالجهميةوعموم المعطلة والمشبهة والممثلة أو الروافض والصوفية ونحو هؤلاء من الفرق القديمة أو التحزبات الجديدة من إخوان وتبليغ وقطبيين وخوارج سمهم بما شئت مثل هذه لا يجوز أن تبقى في المكتبة يطلع عليها عامة المطلعين
Apabila buku-buku tersebut bukan buku yang berada di atas (Manhaj) Ahlus Sunnah seperti: Mu'tazilah, Jahmiyyah, mayoritas Mu'athilah, Musyabbihah, Mumatsilah, Rafidhah, Shufiyyah dan yang semisalnya dari kelompok-kelompok sesat lampau, atau kelompok-kelompok fanatikus baru seperti Ikhwanul Muslimin (IM), Jama'ah Tabligh (JT), Quthbiyyin dan Khawarij, terserah kalian mau menamakan (kelompok) mereka itu dengan nama apa..., (maka) yang seperti ini:
TIDAK DIPERBOLEHKAN kamu membiarkannya berada tersimpan di Perpustakaan (sehingga dikhawatirkan) buku-buku tersebut akan dibaca oleh seluruh orang (awam) yang melihatnya.
وإنما تؤخذ ويقفل عليها للباحثين المختصين إذا أرادوا التوثيق والرجوع إليها والنقل عن هذه الكتب
Akan tetapi buku-buku tersebut diambil dan dikunci (terpisah) untuk (dibaca hanya oleh) orang-orang yang memiliki kemampuan untuk meneliti --jika mereka ingin mendokumentasi, merujuk atau menukil dari buku-buku tersebut-- (dalam rangka membantah penyimpangannya).

Sumber:
ar .miraath .net/fatwah/10608

Abu Kuraib bin Ahmad Bandung حفظه الله [FBF-1]

WA Forum Berbagi Faidah [FBF]

###

Fatwa Al-Lajnah ad-Daimah

Tanya:
ما هي أحسن الكتب الدينية لمن يريد أن يكون دينه سليما، ويلقى الله وهو عنه راض؟ فقد كثرت الكتب وكنت أحيانا أشعر بحيرة كما قال الشاعر: تكاثرت الضباء على خراش فما يدري خراش ما يصيد
Apakah kitab diniyyah yang terbaik untuk dipelajari bagi yang menginginkan agamanya selamat dan berjumpa dengan Allah dalam keadaan Dia ridha kepadanya? Karena banyak kitab-kitab yang beredar dan terkadang aku merasa bingung.

Jawab:
عليك بكتاب الله عز وجل، ففيه الهدى والنور، وسنة رسوله صلى الله عليه وسلم، وما يبينهما من كتب التفسير وشرح الأحاديث، وتعلم ذلك على أهل العلم، كل في اختصاصه، واحرص على العمل بما علمت، فإن من عمل بما علم أورثه الله علم ما لم يعلم، ونوصيك أيضا بالصحيحين، وبلوغ المرام، وعمدة الحديث للشيخ عبد الغني بن عبد الواحد المقدسي، ومنتقى الأخبار، وزاد المعاد لابن القيم، والعقيدة الواسطية لشيخ الإسلام ابن تيمية رحمهما الله وجميع علماء المسلمين، وكتاب التوحيد وفتح المجيد وكشف الشبهات
Wajib atasmu mempelajari Kitabullah ‘Azza wa Jalla (al-Qur’an), padanya terdapat hidayah dan cahaya. 
Wajib juga atasmu mempelajari Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. 
Kemudian (pelajarilah) kitab-kitab yang menjelaskan al-Qur’an dan as-Sunnah tersebut, yaitu Kitab-kitab Tafsir dan Kitab-kitab Syarh hadits. Mempelajari kitab-kitab tersebut adalah kepada PARA ‘ULAMA, masing-masing sesuai bidangnya. Bersemangatlah kamu untuk mengamalkan ilmumu. Karena sesungguhnya barangsiapa yang mengamalkan ilmunya, maka Allah akan wariskan padanya ilmu yang belum dia ketahui. 
Kami juga wasiatkan kepadamu untuk mempelajari:
- ash-Shahihain (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim),
- Bulughul Maram,
- Umdatul Ahkam karya asy-Syaikh ‘Abdul Ghani bin ‘Abdil Wahid al-Maqdisi,
- Muntaqa al-Akhbar,
- Zadul Ma’ad karya Ibnul Qayyim,
- al-‘Aqidah al-Wasithiyyah karya Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah,
- Kitab Tauhid,
- Fathul Majid,
- Kasyf Syubhat.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Al-Lajnah ad-Daimah li al-Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta
Fatwa no. 3534
Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz

Manhaj al-Anbiyaa`

###

Apa kitab-kitab yang Anda sarankan untuk dibaca para penuntut ilmu dan kitab apa yang menjelaskan manhaj salaf?

Jawab:

Saya nasihatkan untuk diri saya dan saudara-saudara saya, yang pertama untuk mempelajari Kitabullah, karena di dalamnya ada petunjuk dan cahaya; itulah pokok ajaran Islam.

Berikutnya, mempelajari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena itu merupakan penjelasan bagi al-Qur’an.

Selanjutnya, mempelajari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan dua kitab shahih (Shahih Bukhari dan Muslim), kitab sunan yang empat (Sunan Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah), kitab-kitab Musnad, dan kitab-kitab Jami’ dalam bab hadits.

Saya wasiatkan kepada para penuntut ilmu agar mempelajari tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sahih dari beliau; mempelajari sebagian kitab-kitab induk, dan lebih memfokuskan lagi kitab induk tersebut dalam mempelajarinya. Sebab, kitab induk tersebut mengandung pengajaran terhadap pokok agama, seperti kitab Shahih Bukhari pada Kitabul Ilmi dan Kitabul Iman.

Dalam Kitabul Iman yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya, beliau menyebutkan sekumpulan hadits untuk menerangkan manhaj Ahlus Sunnah dalam hal iman dan amal. Beliau rahimahullah menyebutkan bantahan terhadap golongan Murji’ah, kelompok sesat yang menyelisihi Ahlus Sunnah dalam pokok ajaran ini.

Demikian pula, seseorang hendaknya memfokuskan dalam Kitab al-I’thisam, Kitab Akhbarul Ahad, dan Kitabut Tauhid dari Shahih al-Bukhari. Sebab, pembahasan-pembahasan di dalamnya sangat terkait dengan pokok-pokok agama penting yang wajib kita pelajari setelah kitabullah ‘azza wa jalla.

Hendaknya dia berkonsentrasi pula dalam mempelajari bab sunnah, yakni Aqidah dari kitab Sunan Abi Dawud yang terletak pada akhir kitab. Ini juga merupakan pokok agama yang sangat penting. Yang disebutkan dalam Sunan Abi Dawud dalam bab-bab ini sesuai dengan yang disebutkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam kitabnya. Abu Dawud mengisyaratkan dalam kitab tersebut adanya bid’ah, seperti bid’ah Jahmiyah, Khawarij, dan lainnya. Beliau juga memilah dan menjelaskan perbedaan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah dengan manhaj atau keyakinan yang menyimpang.

Oleh karena itu, pokok agama dalam bab ini hendaknya dipelajari. Kitab al-Ittiba’ dalam Sunan Ibnu Majah dan kitab Khalqu Af’al al-‘Ibad karya al-Imam al-Bukhari hendaknya dipelajari.

Dengan demikian, seseorang akan mengetahui prinsip-prinsip agung yang menjadi keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah dan akidah kelompok yang menyimpang dari akidah salafus shalih, semacam akidah Jahmiyah dan lainnya.

Pelajari pula kitab Syarhus Sunnah karya al-Baghawi juz pertama. Juz pertama kitab tersebut lebih ditekankan, karena isinya menekankan masalah akidah dan keyakinan. Demikian pula kitab as-Sunnah karya al-Khallal dan kitab as-Sunnah karya al-Lalika’i rahimahumullah, yakni Syarhu I’tiqad Ahli Sunnah, kitab al-Hujjah karya al-Ashfahani, al-Ibanah karya Ibnu Baththah, dan yang semacamnya.

Setelah itu, buku-buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim, karena di dalam kitab mereka ada keterangan yang memuaskan terhadap pokok agama dan cabangnya. Ini adalah perkara ilmu.

Ini adalah perkara ilmiah yang menghidupkan ilmu tersebut. Pelajari al-Qur’an, akidah, manhaj, dan pokok agama, serta cabangnya seolah-olah dipelajari langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan mempelajari buku-buku akidah yang kami sebutkan, seseorang seakanakan mempelajari langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Demikian pula mempelajari seluruh kitab yang kami sebutkan, seolah-olah Anda mempelajarinya langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, dan orang-orang yang berjalan di atas manhaj mereka.

Tidaklah Ibnu Taimiyah menonjol, luas ilmunya, dan mapan dalam menerangkan kebenaran kecuali setelah mempelajari kitab-kitab itu. Kita pun harus mempelajari kitab dan bab dari kitab yang disebutkan di atas.

Berikutnya, kita pelajari tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita melihat dan mempelajari kitab fikih, tafsir, dan hadits. Semua adalah kitab penting. Akan tetapi, bab akidah perlu difokuskan lebih khusus; terlebih pada zaman sekarang, yang banyak penyimpangan dalam pokok agama yang dilakukan oleh ahli bid’ah, baik dalam hal pemikiran, politik, tasawuf, atau ahli bid’ah Syiah Rafidhah maupun yang lain. Mereka memiliki banyak kegiatan dan gerakan di masa ini yang sangat mengherankan. Terlebih lagi, mereka memiliki dan menggunakan banyak sarana untuk menyebarkan pemikiran mereka yang rusak.

Bid’ah, khurafat, dan berbagai kekacauan ini dapat kita hancurkan dengan ilmu yang diambil dari kitabullah, sunnah Rasul-Nya, pemahaman salaf, serta dari kitab-kitab yang telah kita sebutkan, yang mengandung ajaran al-Qur’an, hadits, dan pemahaman as-salafus shalih.

Kita memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar memberi kami dan kalian semua pemahaman yang benar terhadap agama Allah subhanahu wa ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
“Barang siapa yang Allah inginkan baginya kebaikan, Allah pahamkan baginya urusan agama.”

(diterjemahkan dari Majmu’ Kutub wa Rasail asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah [15/79—81], oleh al-Ustadz Qomar Suaidi)

http://asysyariah.com/kitab-yang-menjelaskan-manhaj-salaf/

###

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah

TANYA:
Bolehkah bagiku -dan aku adalah seorang muslim- melihat Injil dan membacanya, hanya sekedar melihatnya tidak ada tujuan lain?
Apakah keimanan terhadap kitab-kitab samawi itu maknanya adalah beriman bahwa kitab-kitab tersebut datang dari sisi Allah, ataukah beriman dengan apa yang ada di dalamnya? Berilah faidah kepada kami semoga Allah memberi faidah kepada anda.

Jawab:
Wajib bagi setiap muslim beriman dengan kitab-kitab tersebut bahwa kitab-kitab tersebut datang dari sisi Allah: Taurat, Injil, dan Zabur. Mengimani bahwa Allah menurunkan kitab-kitab kepada para nabi, dan juga menurunkan kepada mereka shuhuf-shuhuf yang di dalamnya terdapat perintah dan larangan, nasehat dan peringatan, berita tentang sebagian perkara-perkara yang terjadi pada masa lampau, surga dan neraka, dan yang semisalnya.
Akan tetapi TIDAK BOLEH MENGAMALKANNYA, karena kitab-kitab tersebut telah disusupi penyelewengan, pergantian, dan perubahan.
Tidak boleh mengambil/memiliki atau membaca dari Taurat, Injil, atau Zabur.
Karena perbuatan ini BERBAHAYA. Dia bisa mendustakan yang haq atau membenarkan kebatilan. Sesungguhnya kitab-kitab tersebut telah diselewengkan dan dirubah, dilakukan padanya penggantian, penyelewengan, diawalkan, dan diakhirkan oleh orang-orang Yahudi, Nasrani dan selainnya. Allah telah mencukupi kita dari kitab-kitab tersebut dengan kitab kita yang agung: yaitu Al-Quran Al-Karim.
Telah diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau melihat di tangan Umar ada lembaran Taurat, maka beliau pun marah, seraya berkata: “Apakah kamu berada pada keraguan wahai Ibnul Khaththab?!
Sungguh aku telah membawa untuk kalian sesuatu yang putih bersih, seandainya Musa hidup maka tidak ada pilihan baginya kecuali dia harus mengikuti aku.”
Jadi, kami menasehatkan kepada Anda dan yang lainnya agar tidak mengambil sedikitpun darinya, baik dari Taurat, Zabur, maupun Injil.
Janganlah kalian mengambil darinya dan jangan pula membacanya sedikitpun. Bahkan jika kalian mendapatinya, maka hendaklah kalian menguburnya atau membakarnya. Sesungguhnya al-Haq yang ada padanya, maka telah ada syariat yang mencukupkan darinya di dalam kitabullah Al-Quran. Adapun pengubahan dan penyelewengan yang ada pada kitab-kitab tersebut, maka itu mungkar dan batil.
Wajib bagi setiap muslim menjaga diri darinya. Hendaknya menjauh dari menelaahnya, karena dia bisa terjatuh pada membenarkan kebatilan atau mendustakan yang haq.
Maka jalan yang selamat adalah menguburnya atau membakarnya.
Boleh bagi seorang yang berilmu dan memiliki bashirah untuk menelitinya dalam rangka membantah musuh-musuh Islam dari kalangan Yahudi dan Nashrani.
Sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam minta didatangkan Kitab Taurat ketika Yahudi mengingkari syariat rajam, agar beliau alaihish shalatu was salam melihatnya. Merekapun mengakuinya setelah itu (yakni mereka mengakui bahwa mereka telah berdusta).
Maksudnya adalah bahwa para ulama yang mengerti tentang syariat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam terkadang butuh mentelaah Taurat, Injil, atau Zabur untuk tujuan yang Islami, seperti untuk membantah musuh-musuh Allah, dan menjelaskan keutamaan Al-Quran dan al-haq serta petunjuk yang ada di dalamnya.
Adapun orang awam atau yang semisalnya maka tidak boleh melakukannya sama sekali.
Bahkan ketika mereka memiliki sebagian dari Taurat, Injil, atau Zabur maka yang wajib dilakukannya adalah menguburnya di tempat yang baik atau membakarnya sehingga tidak seorang pun tersesat karenanya.

Sumber:
Fatawa Nur ala ad-Darb, hal. 10-11

Majmuah Manhajul Anbiya

Senin, 24 November 2014

Tentang AKHLAK YANG BAIK

Rasulullah bersabda:
“Tidak ada sesuatu yang lebih berat yang diletakkan pada timbangan (pada hari kiamat) daripada akhlak yang baik. Dan sesungguhnya pemilik akhlak yang baik dengan akhlaknya tersebut akan mencapai derajat orang yang rajin berpuasa (sunnah) dan shalat (malam).” (HR. at-Tirmidzi no. 1926, lihat ash-Shahihah no. 876 dan al-‘Irwa no. 941)

Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَكْمَلُ اْلمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya.” (H.R Ahmad, Abu Dawud, AtTirmidzi, al-Hakim dan dishahihkan oleh adz-Dzahaby)

Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَكْثَر مَا يُدْخِلُ اْلجَنَّةَ تَقْوَى اللهِ وَحُسْنُ اْلخُلُقِ
“(Hal) yang paling banyak memasukkan orang ke dalam surga adalah taqwa kepada Allah dan akhlaq yang baik.” (H.R Ahmad, AtTirmidzi, Ibnu Majah, dihasankan oleh Syaikh al-Albany)

Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَنَا زَعِيْمُ بَيْتٍ فِي أَعْلَى اْلجَنَّةِ لِمَنْ حَسُنَ خُلُقُهُ
“Aku menjamin rumah di bagian surga yang tertinggi bagi orang yang baik akhlaqnya.” (H.R Abu Dawud dan AtThobrooni dan dihasankan oleh Syaikh al-Albany)

Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam menyebutkan sabdanya:
ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺑُﻌِﺜْﺖُ ﻟِﺄُﺗَﻤِّﻢَ ﺻَﺎﻟِﺢَ ﺍﻟْﺄَﺧْﻠَﺎﻕِ
“Sesungguhnya aku diutus (oleh Allah Subhanahu wata’ala) untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah menshahihkannya dalam Shahih Al-Adab)

Dari Abu Dzar radhiallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepadaku:
اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah kepada Allah di mana pun kamu berada. Ikutilah perbuatan jelek dengan perbuatan baik niscaya kebaikan akan menghapusnya dan pergaulilah manusia dengan budi pekerti yang mulia.” (HR. At-Tirmidzi dalam Sunannya, Kitabul Birri Washshilah, hadits no. 1987. At-Tirmidzi mengatakan: Hadits ini hasan shahih. Asy-Syaikh Al-Albani menghasankan dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

Al-Hasan al-Bashri mengatakan: “Akhlaq yang baik adalah dermawan, banyak memberi bantuan, dan bersikap ihtimaal (memaafkan).”

Asy-Sya’bi menjelaskan: “Akhlaq yang baik adalah suka memberi pertolongan dan bermuka manis.”

Ibnul Mubaarok mengatakan: “Akhlaq yang baik adalah bermuka manis, suka memberi bantuan (ma’ruf), dan menahan diri untuk tidak mengganggu/menyakiti orang lain.”
(Jaami’ul ‘Uluum wal Hikaam karya Ibnu Rajab juz 1 hal 454-457)

Berkata Al Imam Ibnul Qoyyim Rahimahullah:
“Akhlak yang baik akan tegak dengan 4 penopang, yang tidak akan terbentuk tonggaknya kecuali ada padanya:
1. kesabaran,
2. iffah (menjaga kehormatan diri),
3. keberanian, dan
4. keadilan.”
(Madarijus Salikin 2/228)