Cari Blog Ini

Jumat, 28 November 2014

Tentang MENYIKAPI BERITA YANG DATANG DARI ORANG FASIK

Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal dengan perbuatannya itu.” (Al-Hujurat: 6)

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa di dalam ayat ini Allah ‘azza wa jalla tidak memerintahkan untuk menolak berita orang yang fasik dan mendustakan info dan persaksiannya secara mutlak. Hanyalah yang diperintahkan oleh Allah ‘azza wa jalla adalah mengecek kebenarannya.
Jadi, apabila ada indikasi dan bukti-bukti dari luar yang menunjukkan kebenaran berita tersebut, maka ia dipercaya karena ada bukti pembenarannya, seperti apa pun orang yang memberitakan. (at-Tafsir al-Qayyim, 441)

Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata:
“(Ayat ini) termasuk adab yang sepantasnya diamalkan bagi  orang yang  berakal. Yakni apabila ada seorang yang fasiq mengabarkan suatu berita agar mengecek (kebenaran) beritanya (terlebih dahulu), jangan begitu saja mengambilnya. Sebab yang demikian ini bisa menyebabkan bahaya besar dan menjatuhkan ke dalam dosa. Karena apabila beritanya disejajarkan dengan kedudukan berita seorang yang adil dan jujur, lalu menghukuminya berdasarkan konsekuensi (riwayat seorang adil), maka akan terjadi kerugian jiwa dan harta tanpa hak dengan sebab berita tersebut sehingga menyebabkan penyesalan. Yang wajib dalam menyikapi berita seorang yang fasiq adalah meneliti dan mencari kejelasan. Apabila ada penguat yang menunjukkan kebenarannya, maka diamalkan dan dibenarkan. Dan apabila (ada penguat) yang menunjukkan kedustaan, maka didustakan dan tidak diamalkan. Maka di dalamnya terdapat dalil tentang diterimanya berita seorang yang jujur dan berita pendusta adalah tertolak, sedangkan berita seorang yang fasiq disikapi tawaqquf (abstain) sebagaimana yang telah kita jelaskan. Oleh karenanya, para ulama salaf menerima banyak riwayat dari Khawarij yang dikenal kejujurannya, walaupun mereka termasuk orang-orang yang fasiq.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman hal. 800)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“Allah Azza wa Jalla memerintahkan untuk tatsabbut (mengecek) atas berita seorang yang fasiq agar berhati-hati, sehingga dia tidak memberi hukum berdasarkan perkataannya. Sehingga di saat itu dia (si fasiq) berdusta ataukah keliru, maka seorang hakim pun berpegang dengan ucapannya dan mengikuti jejaknya. Sungguh Allah Azza wa Jalla melarang dari mengikuti jalan orang-orang yang merusak.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/209)

Demikian pula yang dijelaskan oleh Al-Imam Muslim rahimahullah:
“Ketahuilah, semoga Allah memberi taufik kepadamu, bahwa sesungguhnya wajib bagi setiap orang untuk mengetahui (perbedaan) antara riwayat-riwayat yang shahih dan yang berpenyakit, antara perawi yang dipercaya penukilannya dengan perawi yang tertuduh (berdusta). Jangan pula dia meriwayatkan kecuali yang dia ketahui keshahihan makhraj (tempat keluar haditsnya) dan terjaga penukilannya. Dan dia berhati-hati terhadap (riwayat) yang dinukil dari orang yang tertuduh dan penentang dari kalangan ahli bid’ah.”
Lalu beliau menyebutkan dalil atas apa yang beliau sebutkan, di antaranya ayat yang menjadi pembahasan kita, dan di antaranya pula firman-Nya:
“Dari saksi-saksi yang kamu ridhai.” (Al-Baqarah: 282)
Dan firman-Nya:
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.” (At-Thalaq: 2)
Lalu beliau berkata:
“Maka ayat-ayat ini menunjukkan apa yang kami sebutkan bahwa kabar seorang yang fasiq gugur dan tidak diterima, dan tertolaknya persaksian orang yang tidak adil.”
Lalu beliau pun berdalil dengan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
“Barangsiapa memberitakan dariku satu hadits, dan dia menyangka bahwa itu dusta, maka dia termasuk salah satu dari para pendusta.” (Lihat Muqaddimah Shahih Muslim, 1/8-9)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar