Cari Blog Ini

Minggu, 14 September 2014

Tentang MENJUAL BARANG CACAT

Pertanyaan: Saya membeli sebuah mobil dan mendapati adanya kerusakan yang parah. Saya lalu menjualnya tanpa memberitahukan cacat tersebut kepada pembeli. Apakah hal ini termasuk al-ghisy (penipuan) atau tidak?

Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab:

Ya. Ini tergolong al-ghisy (penipuan). Dan telah diketahui bahwa al-ghisy adalah perbuatan haram, berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam:
ﻣَﻦْ ﻏَﺸَّﻨَﺎ ﻓَﻠَﻴْﺲَ ﻣِﻨَّﺎ
“Barangsiapa yang menipu kami, maka dia tidak termasuk golongan kami.”

Anda wajib meminta ampun kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan bertaubat kepada-Nya. Hendaknya Anda segera menyampaikan dan memberitahukan kepada pembeli tentang cacat yang ada pada mobil itu, untuk melepaskan beban Anda. Apabila pembeli mengalah terhadap haknya (yakni menerima mobil itu apa adanya, ed.) maka alhamdulillah. Bila tidak, hendaknya Anda membuat kesepakatan dengan pembeli, baik dengan cara memberikan uang yang setara dengan cacat itu, atau mobil itu diambil kembali dan uangnya dikembalikan. Dan bila tidak terjadi kesepakatan, maka ini merupakan perselisihan yang harus diselesaikan hakim. Bila Anda sulit mengetahui (keberadaan) si pembeli, maka bersedekahlah atas namanya sesuai nilai cacat itu.

Hanya Allah subhanahu wa ta’ala-lah yang memberikan taufik. Shalawat dan salam Allah subhanahu wa ta’ala semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabat beliau.

Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Wakil: Abdur Razzaq ‘Afifi
Anggota: ‘Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Qu’ud

(Fatawa Al-Lajnah, 13/204, pertanyaan ke-7 dari fatwa no. 1843)

###

Pertanyaan: Apa hukumnya menjual barang, yang seseorang membelinya dari pabrik dalam keadaan maghsyusyah (ada cacat tapi tidak diberitahukan)?

Al-Lajnah menjawab:

Bila dia ingin menjualnya dalam keadaan tahu bahwa barang itu cacat, dia wajib untuk menjelaskannya kepada pembeli bahwa barang itu ada cacatnya. Bila dia tidak menjelaskannya, maka dia berdosa, berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam:
ﻣَﻦْ ﻏَﺸَّﻨَﺎ ﻓَﻠَﻴْﺲَ ﻣِﻨَّﺎ
“Barangsiapa yang menipu kami, maka dia tidak termasuk golongan kami.”
Hanya Allah subhanahu wa ta’ala-lah yang memberikan taufik. Shalawat dan salam Allah subhanahu wa ta’ala semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabat beliau.

Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Wakil: Abdur Razzaq ‘Afifi
Anggota: ‘Abdullah bin Ghudayyan,
Abdullah bin Qu’ud

(Fatawa Al-Lajnah, 13/205, pertanyaan ke-8 dari fatwa no. 4494)

###

Tanya:
Samahatusy Syaikh, apa nasehat anda kepada para pedagang secara umum? Alangkah baiknya andaikata anda menjelaskan perbedaaan antara memakan dari penghasilan yang halal dan dari penghasilan yang haram. Semoga Allah membalaskan kebaikan bagi anda dan menjadikan ilmu anda bermanfaat.

Jawab:
Nasehat saya kepada para pedagang umumnya agar mereka bertakwa kepada Allah سبحانه و تعالى dan menjalankan transaksi secara jujur dan jelas terhadap apa yang mereka katakan terkait dengan kriteria-kriteria barang yang mereka promosikan dan menjelaskan bilamana terdapat aib (cacat) pada barang-barang mereka tersebut sehingga mudah-mudahan Allah akan memberkahi jual-beli yang mereka lakukan.
Terdapat hadits shahih dari Nabi صلی الله عليه وسلم bahwasanya beliau bersabda:
من أحب أن يزحزح عن النار ويدخل الجنة فلتأته منيته وهو يؤمن بالله واليوم الآخر وليأت إلى الناس الذي يحب أن يؤتى إليه
"Barangsiapa yang ingin dijauhkan dari api neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka hendaklah ketika datang ajalnya, dia dalam kondisi beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Dan, hendaklah pula dia datang kepada manusia (dengan membawa) hal yang dia sendiri suka bila didatangkan (dibawa) kepadanya." (Shahih Muslim, kitab Al-Imarah 1844)
Demikian pula terdapat hadits shahih lainnya bahwasanya beliau صلی الله عليه وسلم bersabda (artinya):
"Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu hingga dia mencintai bagi saudaranya apa-apa yang dia mencintainya bagi dirinya sendiri." (Shahih Al-Bukhari, kitab Al-Iman 13; Shahih Muslim kitab Al-Imarah 1844, kitab Al-Iman 45)
Bilamana seseorang tidak suka diperlakukan oleh orang lain (dalam suatu transaksi) dengan tanpa menjelaskan terlebih dahulu kepadanya, bagaimana mungkin dia sendiri tidak suka hal itu terjadi pada dirinya sementara dia tega hal itu terjadi pada orang selain dirinya?
Kita memohon kepada Allah dan semua saudara kita, kaum Muslimin agar diberi hidayah dan saling menasehati terhadap para hamba Allah, sesungguhnya Dia Maha Kaya lagi Mahamulia, wallahu a'lam. Wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad.

(As'ilatun Min Ba'dhi Ba'i-is Sayyarat, Hal.22-23 dari fatwa Syaikh Ibn Baaz رحمه الله تعالى )

Alih bahasa: Al Ustadz Abu 'Abdillah Muhammad Rifa'i Bontang

Sumber: TIS (Thalab Ilmu Syar'i)
Forum Ikhwan Salafiyyin Belajar Ilmu Syar'i
(Dibimbing Oleh: Ustadz Abu Muawiyah Askari hafizhahulloh)
Friday, November 28, 2014

Tentang MENJADI PEMBANTU ORANG NON-MUSLIM

Pertanyaan: Apakah dibolehkan bagi seorang muslim untuk menjadi pembantu orang non-muslim? Dan bila dibolehkan, bolehkah menyajikan makanan untuk mereka pada siang hari bulan Ramadhan?

Al-Lajnah menjawab:

Islam adalah agama yang toleran dan mudah. Bersamaan dengan itu, Islam adalah agama yang adil. Hukum seorang muslim menjadi pembantu bagi orang kafir, berbeda sesuai dengan tujuannya. Bila tujuannya adalah syar’i, dengan mewujudkan hubungan baik antara dia dengan orang kafir itu sehingga dia bisa mendakwahinya kepada Islam dan menyelamatkannya dari kekafiran dan kesesatan, ini adalah tujuan yang mulia. Dan di antara kaidah yang telah tetap dalam syariat ini: “Sarana-sarana hukumnya seperti hukum tujuannya.” Bila tujuannya adalah perkara yang wajib, maka sarana itu menjadi wajib pula. Dan bila tujuannya adalah perkara haram, maka sarana itu menjadi haram. Bila dia tidak memiliki tujuan yang syar’i, maka dia tidak boleh menjadi pembantu mereka. Ini terkait dengan perkara-perkara yang sifatnya mubah.

Adapun menjadi pembantu dalam menyajikan makanan dan minuman yang haram, seperti daging babi dan khamr, tidak diperbolehkan secara mutlak. Karena memuliakan mereka dengan menyajikan hal-hal itu merupakan suatu bentuk maksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan taat kepada mereka dalam hal kemaksiatan. Juga merupakan bentuk mendahulukan hak mereka daripada hak Allah subhanahu wa ta’ala. Seorang muslim wajib berpegang teguh dengan agamanya.

Adapun menyajikan makanan untuk mereka pada siang hari bulan Ramadhan, juga tidak diperbolehkan secara mutlak. Karena ini merupakan perbuatan menolong mereka dalam hal yang Allah subhanahu wa ta’ala haramkan. Dan sudah maklum dari syariat yang suci ini, bahwa orang-orang kafir juga terkena seruan (untuk melaksanakan) syariat ini, baik ushul (pokok) maupun furu’ (cabang) -nya. Tidak diragukan bahwa puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam, dan orang-orang kafir juga terkena kewajiban untuk melaksanakannya dengan (terlebih dahulu) merealisasikan syaratnya, yaitu masuk Islam. Sehingga, seorang muslim tidak boleh membantu mereka untuk tidak melaksanakan hal yang Allah subhanahu wa ta’ala wajibkan atas mereka. Sebagaimana tidak boleh membantu mereka pada perkara yang mengandung penistaan dan penghinaan terhadap si muslim tersebut, seperti menyajikan makanan untuk mereka, dan semacamnya. Hanya Allah -lah yang memberikan taufik. Shalawat dan salam Allah subhanahu wa ta’ala semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan para sahabat beliau.

Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Wakil: Abdurrazzaq ‘Afifi
Anggota:
Abdullah bin Ghudayyan,
Abdullah bin Qu’ud.

(Fatawa Al-Lajnah, 14/474-475, fatwa no. 1850)

Sumber: Majalah Asy Syariah Online

Tentang WANITA PERGI KE LUAR NEGERI ATAU LUAR DAERAH DAN TINGGAL DI SANA TANPA DISERTAI MAHRAMNYA

Fadhilatusy Syaikh Shalih ibnu Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah

Pertanyaan:
Seorang wanita muslimah menikah dengan seorang lelaki yang sebelumnya tidak dikenalnya. Lelaki itu bekerja di Jerman. Ia meminta kepada ayah si wanita agar memperkenankan dirinya menikahi si wanita. Si wanita itu pun menyetujui pinangan tersebut. Usai pernikahan, si wanita ikut ke Jerman bersama lelaki yang kini telah menjadi suaminya. Setelah hidup berdampingan dengan suaminya, tersingkaplah bagi si istri bahwa suaminya ini tidak mengerjakan shalat dan tidak puasa. Bahkan pernah suaminya memaksanya agar memasakkan makanan untuknya di siang hari Ramadhan. Selain itu si suami terbiasa mengerjakan perbuatan mungkar lainnya. Si istri telah berupaya untuk memperbaiki keadaan suaminya akan tetapi tidak ada pengaruhnya. Itu semua mendorong si istri menuntut cerai dari suaminya dan pada akhirnya terjadilah perceraian. Apakah si wanita itu memang pantas menuntut cerai dari suami yang berperilaku demikian?
Kemudian, setelah perceraian si wanita pergi ke Belgia bersama beberapa tetangganya dahulu. Ia bekerja di Belgia untuk menghidupi dirinya dan ayahnya yang fakir. Ia tinggal sendirian bersama satu keluarga di sana. Ia cuma tinggal serumah dengan mereka. Adapun makan dan tidurnya sendirian, tidak bergabung dengan mereka. Keluarga tersebut memberikan kebebasan kepadanya untuk mengamalkan perintah agama berupa shalat, puasa, dan selainnya. Apakah tinggalnya si wanita seorang diri di negeri asing bersama satu keluarga di sana teranggap menyelisihi agama?

Jawab:

“Pertama kali, kami bersyukur wahai penanya, dengan berpegangnya engkau terhadap agama ini serta semangatmu untuk melaksanakan syiar-syiar agama ini.
Adapun pertanyaanmu tentang perceraianmu dengan suami ketika engkau melihat ia tidak berpegang dengan agama, ia tidak mengerjakan shalat dan tidak puasa, maka itu memang wajib engkau lakukan. Engkau tidak boleh terus hidup bersama suami tersebut bila ia tetap demikian keadaannya. Karena, orang yang meninggalkan shalat secara sengaja, ia kafir. [1]
Tidak boleh seorang muslimah tetap dalam ikatan pernikahan dengannya. Engkau telah berbuat kebaikan dengan berpisah dari suami yang jelek tersebut dan engkau meninggalkannya karena ingin menyelamatkan agamamu.
Pertanyaanmu tentang kepergianmu ke Belgia seorang diri dan tinggalmu di sana bersama keluarga yang bukan mahrammu, maka ini tidak boleh.
Pertama: Safar seorang wanita tanpa mahram adalah tidak boleh. [2]
Kedua: Si wanita tinggal bersama keluarga yang bukan mahramnya dan bersama orang-orang yang bukan mahramnya, ini haram bagi seorang muslimah.
Yang aku nasihatkan kepadamu, kembalilah ke negeri asalmu, atau ayahmu pergi menyertaimu bila memang engkau ingin safar ke Belgia atau ke negeri lain. Adapun bila engkau safar sendirian, tinggal sendirian atau bersama satu keluarga yang bukan mahrammu, maka ini perkara yang tidak diakui oleh Islam. Allah tidak ridha karena wanita itu aurat, dan ia tidak boleh safar tanpa mahram, atau tinggal bersama satu keluarga yang di situ ada laki-laki yang bukan mahramnya, karena hal itu akan menyeret dirinya kepada fitnah, dan orang lain pun akan terfitnah dengannya. Wallahu a’lam.

[Majmu’ Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih Al-Fauzan, 1/337-338]

Footnote:

[1] Ulama sepakat tentang kafirnya orang yang menentang kewajiban shalat. Namun, dalam hal hukum orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, karena malas atau menggampang-gampangkannya, tanpa bermaksud menentang kewajibannya, maka ada perbedaan pendapat di kalangan mereka antara yang mengafirkan dan tidak mengafirkan.

[2] Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
ﻟَﺎ ﻳَﺨْﻠُﻮَﻥَّ ﺭَﺟُﻞٌ ﺑِﺎﻣْﺮَﺃَﺓٍ ﺇِﻟَّﺎ ﻭَﻣَﻌَﻬَﺎ ﺫُﻭ ﻣَﺤْﺮَﻡٍ، ﻭَﻟَﺎ ﺗُﺴَﺎﻓِﺮِ ﺍﻟْﻤَﺮْﺃَﺓُ ﺇِﻟَّﺎ ﻣَﻊَ ﺫِﻱ ﻣَﺤْﺮَﻡٍ؛ ﻓَﻘَﺎﻡَ ﺭَﺟُﻞٌ، ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ، ﺇِﻥَّ ﺍﻣْﺮَﺃَﺗِﻲ ﺧَﺮَﺟَﺖْ ﺣَﺎﺟَّﺔً، ﻭَﺇِﻧِّﻲ ﺍﻛْﺘُﺘِﺒْﺖُ ﻓِﻲ ﻏَﺰْﻭَﺓِ ﻛَﺬَﺍ ﻭَﻛَﺬَﺍ، ﻗَﺎﻝَ: ﺍﻧْﻄَﻠِﻖْ ﻓَﺤُﺞَّ ﻣَﻊَ ﺍﻣْﺮَﺃَﺗِﻚَ
Janganlah sekali-kali seorang lelaki berkhalwat (berduaan) dengan seorang wanita melainkan harus disertai mahramnya dan janganlah seorang wanita bersafar (pergi keluar daerah) melainkan bersama mahramnya pula. Ada seorang lelaki berdiri bertanya, wahai Rasulullah! Istriku hendak berhaji, sementara aku ditugaskan untuk berjihad. Maka beliau menjawab, kembalilah dan berhajilah bersama istrimu. (HR. al-Bukhari no. 3006 dan Muslim no. 1341, dari sahabat Ibnu Abbas)

Tentang LAKI-LAKI BERDUAAN DENGAN WANITA YANG BUKAN MAHRAM

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
ﻟَﺎ ﻳَﺨْﻠُﻮَﻥَّ ﺭَﺟُﻞٌ ﺑِﺎﻣْﺮَﺃَﺓٍ ﺇِﻟَّﺎ ﻭَﻣَﻌَﻬَﺎ ﺫُﻭ ﻣَﺤْﺮَﻡٍ، ﻭَﻟَﺎ ﺗُﺴَﺎﻓِﺮِ ﺍﻟْﻤَﺮْﺃَﺓُ ﺇِﻟَّﺎ ﻣَﻊَ ﺫِﻱ ﻣَﺤْﺮَﻡٍ، ﻓَﻘَﺎﻡَ ﺭَﺟُﻞٌ، ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ، ﺇِﻥَّ ﺍﻣْﺮَﺃَﺗِﻲ ﺧَﺮَﺟَﺖْ ﺣَﺎﺟَّﺔً، ﻭَﺇِﻧِّﻲ ﺍﻛْﺘُﺘِﺒْﺖُ ﻓِﻲ ﻏَﺰْﻭَﺓِ ﻛَﺬَﺍ ﻭَﻛَﺬَﺍ، ﻗَﺎﻝَ: ﺍﻧْﻄَﻠِﻖْ ﻓَﺤُﺞَّ ﻣَﻊَ ﺍﻣْﺮَﺃَﺗِﻚَ
"Janganlah sekali-kali seorang lelaki berkhalwat (berduaan) dengan seorang wanita melainkan harus disertai mahramnya dan janganlah seorang wanita bersafar (pergi keluar daerah) melainkan bersama mahramnya pula." Ada seorang lelaki berdiri bertanya, "Wahai Rasulullah! Istriku hendak berhaji, sementara aku ditugaskan untuk berjihad." Maka beliau menjawab, "Kembalilah dan berhajilah bersama istrimu." (HR. al-Bukhari no. 3006 dan Muslim no. 1341, dari sahabat Ibnu Abbas)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
ﻭَﻟَﺎ ﻳَﺨْﻠُﻮَﻥَّ ﺭَﺟُﻞٌ ﺑِﺎﻣْﺮَﺃَﺓٍ، ﻓَﺈِﻥَّ ﺛَﺎﻟِﺜَﻬُﻤَﺎ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥُ
“Janganlah seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita (yang bukan mahram) karena sesungguhnya yang menjadi pihak ketiga adalah setan.” (HR. Ahmad, dari sahabat Jabir bin Samurah)

Al-Munawi dan al-Mubarakfuri rahimahumallah menjelaskan, “Sebab, setan akan menggoda dengan membisikkan waswas, membangkitkan gairah hingga akhirnya menjerumuskan mereka berdua dalam perbuatan zina atau perbuatan lainnya yang mengantarkan kepada zina.” (at-Taisir dan Tuhfatul Ahwadzi‏)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memalingkan wajah al-Fadhl ibnu Abbas ketika ia memperhatikan seorang gadis dari suku Khats’am yang bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam. Beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda,
ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺷَﺎﺑًّﺎ ﻭَﺷَﺎﺑَّﺔً ﻓَﻠَﻢْ ﺁﻣَﻦْ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥَ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻤَﺎ
“Aku melihat seorang pemuda dan seorang gadis, maka aku tidak merasa aman dari setan atas keduanya.” (HR. at-Tirmidzi no. 885 dari sahabat Ali bin Abi Thalib)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Berhati-hatilah kalian. Jangan menemui (berduaan) dengan wanita!” Seorang sahabat dari Anshar bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat Anda tentang al-hamwu?” Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Al-Hamwu adalah kematian.” (HR. al-Bukhari no. 4934 dan Muslim no. 2172 ‏dari sahabat Uqbah bin ‘Amr)
An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, al-hamwu adalah kerabat laki-laki suami, seperti kakak, adik, paman, sepupu, dan keponakan.

###

Apakah yang disebut khalwat hanyalah ketika seorang lelaki berdua-duaan dengan seorang wanita dalam sebuah rumah, jauh dari pandangan manusia? Ataukah khalwat adalah di mana saja seorang lelaki berdua-duaan dengan seorang wanita, walaupun di hadapan pandangan manusia (yakni orang-orang bisa melihat mereka dan apa yang mereka lakukan)? 

Jawab:

Al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyyah wa al-Ifta’ *) memfatwakan, “Khalwat yang diharamkan secara syar’itidak hanya sebatas seorang lelaki bersendiri dengan seorang wanitaajnabiyah (bukan mahram) di dalam rumah, jauh dari pandangan mata manusia. Khalwat mencakup bersendirinya lelaki dengan wanita di suatu tempat, dalam keadaan si wanita berbicara perlahan dengan si lelaki dan si lelaki pun berbicara dengan berbisik-bisik, dan di antara keduanya berlangsung percakapan. Walaupun orang-orang bisa melihat keduanya, namun mereka tidak mendengar percakapan yang tengah berlangsung, sama saja apakah hal itu terjadi di tempat yang terbuka, di dalam mobil, di teras rumah, atau di tempat lainnya. Khalwat dilarang karena menjadi sarana dan perantara yang mengantarkan kepada zina.
Wa billahi at-taufiq. Wa shallallahu ‘ala Nabiyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam.” (Fatwa no. 7584, Fatawa al-Lajnah ad-Daimah lilBuhuts al-Ilmiyyah wa al-Ifta’, 17/57)

*) Saat itu diketuai oleh Samahatusy Syaikh Abdul Aziz ibnu Abdillah ibnu Baz, semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati beliau.

Sumber: Majalah Asysyariah Edisi 97