Cari Blog Ini

Minggu, 21 Desember 2014

Tentang MUDAH MEMBERI MAAF

Allah Subhanahu wata'ala berfirman:
ﻭَﺳَﺎﺭِﻋُﻮﺍ ﺇِﻟَﻰ ﻣَﻐْﻔِﺮَﺓٍ ﻣِﻦْ ﺭَﺑِّﻜُﻢْ ﻭَﺟَﻨَّﺔٍ ﻋَﺮْﺿُﻬَﺎ ﺍﻟﺴَّﻤَﻮَﺍﺕُ ﻭَﺍﻟْﺄَﺭْﺽُ ﺃُﻋِﺪَّﺕْ ﻟِﻠْﻤُﺘَّﻘِﻴﻦَ. ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﻨْﻔِﻘُﻮﻥَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴَّﺮَّﺍﺀِ ﻭَﺍﻟﻀَّﺮَّﺍﺀِ ﻭَﺍﻟْﻜَﺎﻇِﻤِﻴﻦَ ﺍﻟْﻐَﻴْﻆَ ﻭَﺍﻟْﻌَﺎﻓِﻴﻦَ ﻋَﻦِ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻭَﺍﻟﻠَّﻪُ ﻳُﺤِﺐُّ ﺍﻟْﻤُﺤْﺴِﻨِﻴﻦَ
“Dan bersegeralah menuju ampunan dari Rabb kalian dan surga yang lebarnya (seluas) langit dan bumi yang disediakan bagi orang yang bertakwa, yaitu orang yang menginfakkan (hartanya) di waktu lapang atau susah, dan orang-orang yang menahan amarah, dan bersikap pemaaf kepada manusia, dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Ali Imran: 133-134)

Allah Tabaraka wata'ala berfirman:
“Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (At-Taghabun: 14)

Allah berfirman:
“Maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik.” (Al-Hijr: 85)
Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu berkata: “Yakni ridha, tanpa mencercanya.”

Adalah Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu dahulu biasa memberikan nafkah kepada orang-orang yang tidak mampu, di antaranya Mistah bin Usasah. Dia termasuk famili Abu Bakar dan muhajirin. Di saat tersebar berita dusta seputar Aisyah binti Abi Bakar istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, Mistah termasuk salah seorang yang menyebarkannya. Kemudian Allah Tabaraka wata'ala menurunkan ayat menjelaskan kesucian Aisyah dari tuduhan kekejian. Mistah pun dihukum dera dan Allah Tabaraka wata'ala memberi taubat kepadanya. Setelah peristiwa itu, Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu bersumpah untuk memutuskan nafkah dan pemberian kepadanya. Maka Allah Tabaraka wata'ala menurunkan firman-Nya:
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (An-Nur: 22)
Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu mengatakan: “Betul, demi Allah. Aku ingin agar Allah Tabaraka wata'ala mengampuniku.” Lantas Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu kembali memberikan nafkah kepada Mistah Radhiyallahu 'anhu. (Lihat Sahih Al-Bukhari no. 4750 dan Tafsir Ibnu Katsir 3/286-287)

Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
“Sayangilah –makhluk– maka kamu akan disayangi Allah Tabaraka wata'ala, dan berilah ampunan niscaya Allah Tabaraka wata'ala mengampunimu.” (Sahih Adabil Mufrad no. 293)

Berkata Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah:
Wahai anak Adam, sesungguhnya antara dirimu dan Allah ada dosa-dosa, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah. Maka jika kamu ingin agar Allah mengampuni dosa-dosa untukmu, hendaklah ampunilah dari hamba-hamba-Nya. Jika engkau ingin agar Allah memaafkan dosa-dosa untukmu, maka maafkanlah dari kalangan hamba-hamba-Nya. Karena balasan sesuai dengan perbuatan. (Badaiul Fawaid: 2/468)

Al-Munawi Rahimahullah berkata: “Allah Tabaraka wata'ala mencintai nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya yang di antaranya adalah (sifat) rahmah dan pemaaf. Allah Tabaraka wata'ala juga mencintai makhluk-Nya yang memiliki sifat tersebut.” (Faidhul Qadir 1/607)

Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللهُ
“Sedekah –hakikatnya– tidaklah mengurangi harta, dan tidaklah Allah Tabaraka wata'ala menambah seorang hamba karena memaafkan kecuali kemuliaan, dan tiada seorang yang rendah hati (tawadhu') karena Allah Tabaraka wata'ala melainkan diangkat oleh Allah Tabaraka wata'ala.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu)

Allah Tabaraka wata'ala berfirman:
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Asy-Syura: 40)

Ayat ini menyebutkan bahwa tingkat pembalasan ada tiga:
Pertama:
Adil, yaitu membalas kejelekan dengan kejelekan serupa, tanpa menambahi atau mengurangi. Misalnya jiwa dibalas dengan jiwa, anggota tubuh dengan anggota tubuh yang sepadan, dan harta diganti dengan yang sebanding.
Kedua:
Kemuliaan, yaitu memaafkan orang yang berbuat jelek kepadanya bila dirasa ada perbaikan bagi orang yang berbuat jelek. Ditekankan dalam pemaafan, adanya perbaikan dan membuahkan maslahat yang besar. Bila seorang tidak pantas untuk dimaafkan dan maslahat yang sesuai syariat menuntut untuk dihukum, maka dalam kondisi seperti ini tidak dianjurkan untuk dimaafkan.
Ketiga:
Zalim yaitu berbuat jahat kepada orang dan membalas orang yang berbuat jahat dengan pembalasan yang melebihi kejahatannya.
(Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman hal. 760, cet. Ar-Risalah)

Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata: “Tidaklah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam membalas atau menghukum karena dirinya (disakiti) sedikit pun, kecuali bila kehormatan Allah Subhanahu wata'ala dilukai. Maka beliau Shallallahu 'alaihi wasallam menghukum dengan sebab itu karena Allah Subhanahu wata'ala.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, tidaklah beliau Shallallahu 'alaihi wasallam disakiti pribadinya oleh orang-orang Badui yang kaku perangainya, atau orang-orang yang lemah imannya, atau bahkan dari musuhnya, kecuali beliau Shallallahu 'alaihi wasallam memaafkan. Ada orang yang menarik baju Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dengan keras hingga membekas pada pundaknya. Ada yang menuduh Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam tidak adil dalam pembagian harta rampasan perang. Ada pula yang hendak membunuh Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam namun gagal karena pedang terjatuh dari tangannya. Mereka dan yang berbuat serupa dimaafkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Ini semua selama bentuk menyakitinya bukan melukai kehormatan Allah Subhanahu wata'ala dan permusuhan terhadap syariat-Nya. Namun bila menyentuh hak Allah Subhanahu wata'ala dan agamanya, beliau Shallallahu 'alaihi wasallam pun marah dan menghukum karena Allah Subhanahu wata'ala serta menjalankan kewajiban amar maruf nahi mungkar. Oleh karena itu, beliau Shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan cambuk terhadap orang yang menuduh istri beliau Shallallahu 'alaihi wasallam yang suci berbuat zina. Ketika menaklukkan kota Makkah, beliau Shallallahu 'alaihi wasallam memvonis mati terhadap sekelompok orang musyrik yang dahulu sangat menyakiti Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam karena mereka banyak melukai kehormatan Allah Subhanahu wata'ala. (Disarikan dari Adabul Nabawi hal. 193 karya Muhammad Al-Khauli)

Dalam hadits yang sohih Rasulullah mengajarkan kepada kita sebuah doa,
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺇِﻧِّﻰ ﺃَﺳْﺄَﻟُﻚَ ﺍﻟْﻬُﺪَﻯ ﻭَﺍﻟﺘُّﻘَﻰ ﻭَﺍﻟْﻌَﻔَﺎﻑَ ﻭَﺍﻟْﻐِﻨَﻰ
Allahumma inni as`alukal huda wat tuqo wal ‘afafa wal ghina
(Ya Allah, aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf dan ghina). (HR. Muslim no. 2721)

Berkata Syaikh Abdurrahman bin Nasir As Sa'di rahimahullah:
Makna الهدى (al huda) adalah: Ilmu yang bermanfaat.
Makna التقى (at tuqo) adalah: Amal yang sholih serta meninggalkan segala bentuk keharaman.
Dan ini adalah perkara yang menunjuk baiknya agama. Dan bisa bertambah sempurna dengan baiknya hati seseorang, tenangnya dia dengan adanya:
- sifat al 'afaf (memaafkan) dari makhluk, dan
- sifat al ghina (merasa cukup) kepada Allah.
Siapa saja yang dia merasa cukup dengan Allah, maka dialah orang yang kaya sesungguhnya meskipun sedikit penghasilannya.
Bukanlah kaya itu dengan banyaknya perbendaharaan, sesungguhnya kaya yang sesunhuhnya adalah kaya hatinya.
Dengan sifat 'afaf dan ghina, akan menyempurnakan kehidupan yang baik, kenikmatan dunia, bagi seorang hamba, serta dia juga merasa cukup (qona'ah) dengan apa yang Allah berikan padanya.
[Bahjah Qulubul Abror: 88]

Kemudian, pemaafan dikatakan terpuji bila muncul darinya akibat yang baik, karena ada pemaafan yang tidak menghasilkan perbaikan. Misalnya, ada seorang yang terkenal jahat dan suka membuat kerusakan di mana dia berbuat jahat kepada anda. Bila anda maafkan, dia akan terus berada di atas kejahatannya. Dalam keadaan seperti ini, yang utama tidak memaafkan dan menghukumnya sesuai kejahatannya sehingga dengan ini muncul kebaikan, yaitu efek jera. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah menegaskan: “Melakukan perbaikan adalah wajib, sedangkan memaafkan adalah sunnah. Bila pemaafan mengakibatkan hilangnya perbaikan berarti mendahulukan yang sunnah atas yang wajib. Tentunya syariat ini tidak datang membawa hal yang seperti ini.” (Lihat Makarimul Akhlaq karya Syeikh Ibnu Usaimin hal. 20)

Tentang MEMBALAS KEJELEKAN DENGAN KEBAIKAN

Allah Subhanahu wata'ala berfirman:
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
“Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah kejahatan itu dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan, seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (Fushshilat: 34)

Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan:
إذا أحسنت إلى من أساء إليك قادته تلك الحسنة إليه إلى مصافاتك ومحبتك، والحنو عليك، حتى يصير كأنه ولي لك حميم
“Bila kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat jelek kepadamu maka kebaikan ini akan menggiring orang yang berlaku jahat tadi merapat denganmu, mencintaimu, dan condong kepadamu sehingga dia (akhirnya) menjadi temanmu yang dekat.”
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma mengatakan:
أمر الله المؤمنين بالصبر عند الغضب، والحلم عند الجهل، والعفو عند الإساءة، فإذا فعلوا ذلك عصمهم الله من الشيطان، وخضع لهم عدوهم كأنه ولي حميم
“Allah Tabaraka wata'ala memerintahkan orang beriman untuk bersabar di kala marah, bermurah hati ketika diremehkan, dan memaafkan di saat diperlakukan jelek. Bila mereka melakukan ini maka Allah Tabaraka wata'ala menjaga mereka dari (tipu daya) setan dan musuh pun tunduk kepadanya sehingga menjadi teman yang dekat.”
(Tafsir Al-Qur`an Al-'Azhim 4/109)

Al-Imam Muslim Rahimahullah meriwayatkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa ada seorang laki-laki berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku punya kerabat. Aku berusaha menyambungnya namun mereka memutuskan hubungan denganku. Aku berbuat kebaikan kepada mereka namun mereka berbuat jelek. Aku bersabar dari mereka namun mereka berbuat kebodohan terhadapku.” Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمُ الْمَلَّ وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ
“Jika benar yang kamu ucapkan maka seolah-olah kamu menebarkan abu panas kepada mereka. Dan kamu senantiasa mendapat penolong dari Allah Tabaraka wata'ala atas mereka selama kamu di atas hal itu.” (HR. Muslim)

Allah Tabaraka wata'ala berfirman:
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Asy-Syura: 40)

Ayat ini menyebutkan bahwa tingkat pembalasan ada tiga:
Pertama:
Adil, yaitu membalas kejelekan dengan kejelekan serupa, tanpa menambahi atau mengurangi. Misalnya jiwa dibalas dengan jiwa, anggota tubuh dengan anggota tubuh yang sepadan, dan harta diganti dengan yang sebanding.
Kedua:
Kemuliaan, yaitu memaafkan orang yang berbuat jelek kepadanya bila dirasa ada perbaikan bagi orang yang berbuat jelek. Ditekankan dalam pemaafan, adanya perbaikan dan membuahkan maslahat yang besar. Bila seorang tidak pantas untuk dimaafkan dan maslahat yang sesuai syariat menuntut untuk dihukum, maka dalam kondisi seperti ini tidak dianjurkan untuk dimaafkan.
Ketiga:
Zalim yaitu berbuat jahat kepada orang dan membalas orang yang berbuat jahat dengan pembalasan yang melebihi kejahatannya.
(Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman hal. 760, cet. Ar-Risalah)

Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata: “Tidaklah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam membalas atau menghukum karena dirinya (disakiti) sedikit pun, kecuali bila kehormatan Allah Subhanahu wata'ala dilukai. Maka beliau Shallallahu 'alaihi wasallam menghukum dengan sebab itu karena Allah Subhanahu wata'ala.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, tidaklah beliau Shallallahu 'alaihi wasallam disakiti pribadinya oleh orang-orang Badui yang kaku perangainya, atau orang-orang yang lemah imannya, atau bahkan dari musuhnya, kecuali beliau Shallallahu 'alaihi wasallam memaafkan. Ada orang yang menarik baju Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dengan keras hingga membekas pada pundaknya. Ada yang menuduh Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam tidak adil dalam pembagian harta rampasan perang. Ada pula yang hendak membunuh Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam namun gagal karena pedang terjatuh dari tangannya. Mereka dan yang berbuat serupa dimaafkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Ini semua selama bentuk menyakitinya bukan melukai kehormatan Allah Subhanahu wata'ala dan permusuhan terhadap syariat-Nya. Namun bila menyentuh hak Allah Subhanahu wata'ala dan agamanya, beliau Shallallahu 'alaihi wasallam pun marah dan menghukum karena Allah Subhanahu wata'ala serta menjalankan kewajiban amar maruf nahi mungkar. Oleh karena itu, beliau Shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan cambuk terhadap orang yang menuduh istri beliau Shallallahu 'alaihi wasallam yang suci berbuat zina. Ketika menaklukkan kota Makkah, beliau Shallallahu 'alaihi wasallam memvonis mati terhadap sekelompok orang musyrik yang dahulu sangat menyakiti Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam karena mereka banyak melukai kehormatan Allah Subhanahu wata'ala. (Disarikan dari Adabul Nabawi hal. 193 karya Muhammad Al-Khauli)

Kemudian, pemaafan dikatakan terpuji bila muncul darinya akibat yang baik, karena ada pemaafan yang tidak menghasilkan perbaikan. Misalnya, ada seorang yang terkenal jahat dan suka membuat kerusakan di mana dia berbuat jahat kepada anda. Bila anda maafkan, dia akan terus berada di atas kejahatannya. Dalam keadaan seperti ini, yang utama tidak memaafkan dan menghukumnya sesuai kejahatannya sehingga dengan ini muncul kebaikan, yaitu efek jera. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah menegaskan: “Melakukan perbaikan adalah wajib, sedangkan memaafkan adalah sunnah. Bila pemaafan mengakibatkan hilangnya perbaikan berarti mendahulukan yang sunnah atas yang wajib. Tentunya syariat ini tidak datang membawa hal yang seperti ini.” (lihat Makarimul Akhlaq karya Syeikh Ibnu Usaimin hal. 20)