Cari Blog Ini

Sabtu, 01 November 2014

Tentang CARA MENCUCI BEJANA YANG TERKENA AIR LIUR ANJING

Terdapat riwayat dalam Ash-Shahihain dan kitab-kitab hadits selain keduanya, menyebutkan hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Apabila anjing minum dari bejana salah seorang dari kalian, hendaklah ia mencuci bejana tadi sebanyak tujuh kali.” (HR. Al-Bukhari no. 172 dan Muslim no. 279)
Dalam riwayat Muslim ada tambahan:
“Cucian yang pertama dicampur dengan tanah.”

Pencucian yang disebutkan dalam hadits di atas menunjukkan najisnya air liur anjing dan pendapat inilah yang rajih (kuat) sebagaimana dipegangi Abu Hanifah, Ats-Tsauri, satu riwayat dari Ahmad, Ibnu Hazm, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan yang lainnya. Pendapat ini dikuatkan pula oleh Asy-Syaukani di dalam kitab-kitabnya.

Di sana ada pula pendapat yang lain. Sebagian ahlul ilmi berpendapat bahwa seluruh tubuh anjing itu najis. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dengan berdalil hadits yang telah disebutkan di atas. Mereka mengatakan: “Karena air liur itu keluar dari mulut anjing (yang dia itu najis) maka seluruh tubuhnya lebih utama lagi untuk dihukumi kenajisannya.”

Dan yang lainnya mengatakan air liur anjing bukan najis. Adapun perintah mencucinya adalah sekedar perkara ta‘abbudiyah (ibadah) bukan karena kenajisannya. Ini merupakan pendapat yang dipegangi Al-Imam Malik dan yang lainnya.
ِ
Dalam riwayat lain dari Abu Hurairah secara marfu’ disebutkan:
“Sucinya bejana kalian kalau anjing meminum darinya adalah dengan mencucinya sebanyak tujuh kali. Cucian pertamanya dengan tanah.” (HR. Muslim)
Sabda Nabi ’sucinya’ menunjukkan sebelumnya dia adalah najis.

Sedangkan dalam riwayat dari Abdullah bin Mughaffal disebutkan:
“Kalau anjing meminum dari bejana kalian maka cucilah bejananya sebanyak tujuh kali (dengan air) dan pada cucian yang kedelapan campurlah airnya dengan tanah.” (HR. Muslim)

Wallahu a'lam.

Tentang SUCINYA DARAH

Al Ustadz Abu Ishaq Muslim Al Atsari

Yang kita maksudkan dalam pembahasan ini adalah selain darah haid dan nifas yang disepakati kenajisannya sebagaimana telah kami paparkan dalam pembahasaan terdahulu. Memang dalam perkara ini juga terdapat perselisihan namun yang rajih/kuat bahwa darah itu suci.

Ada baiknya kita menengok pembahasan yang dipaparkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah:
“(Mereka yang berpendapat najisnya darah) juga menyelisihi hadits Al-Anshari (seorang shahabat dari kalangan Anshar) yang dipanah oleh seorang musyrik ketika ia sedang shalat malam. Maka ia mencabut anak panah yang menancap di tubuhnya. Lalu ia dipanah lagi dengan tiga anak panah, namun ia tetap melanjutkan shalatnya dalam keadaan darah terus mengucur dari tubuhnya, sebagaimana yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari secara mu’allaq (terputus sanadnya dari Al-Imam Al-Bukhari sampai kepada perawi hadits) dan secara maushul (bersambung sanadnya) oleh Al-Imam Ahmad dan selainnya, dishahihkan dalam Shahih Sunan Abi Dawud (no. 193). Hadits ini dihukumi marfu’ (sampai kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam) karena mustahil beliau shallallahu alaihi wasallam tidak memperhatikan hal ini. Seandainya darah yang banyak itu membatalkan wudhu niscaya beliau shallallahu alaihi wasallam akan menerangkannya. Karena tidak boleh menunda keterangan pada saat diperlukan sebagaimana hal ini diketahui dari kaidah ilmu ushul. Kalau dianggap Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak mengetahui perbuatan shahabatnya tersebut maka tidak ada sesuatupun di langit maupun di bumi yang tersembunyi dari Allah. Seandainya darah tersebut najis atau membatalkan wudhu niscaya Allah akan mewahyukan kepada Nabi-Nya sebagaimana hal ini jelas dan tidak tersembunyi bagi seorang pun. Pendapat ini dipegangi Al-Imam Al-Bukhari sebagaimana paparan beliau terhadap sebagian atsar yang mu’allaq, yang diperjelas oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari dan ini merupakan pendapat Ibnu Hazm.”

Kemudian beliau berkata:
“Adapun pembahasan masalah ini dari sisi fiqih, bisa ditinjau sebagai berikut:
Pertama: Menyamakan darah haid dengan darah yang lainnya seperti darah manusia dan darah hewan yang dimakan dagingnya adalah kesalahan yang jelas sekali dari dua sisi:
1. Tidak ada dalil yang menunjukkan hal tersebut dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, sementara hukum asal darah terlepas dari anggapan najis kecuali ada dalil.
2. Penyamaan seperti itu menyelisihi keterangan yang datang di dalam As-Sunnah. Adapun darah seorang muslim secara khusus ditunjukkan dalam hadits Al-Anshari yang berlumuran darah ketika shalat dan ia tetap melanjutkan shalatnya. Sedangkan darah hewan ditunjukkan dalam riwayat yang shahih dari Ibnu Mas‘ud radhiallahu anhu, dia pernah menyembelih seekor unta hingga ia terkena darah unta tersebut berikut kotorannya, lalu diserukan iqamah maka ia pun pergi menunaikan shalat dan tidak berwudhu lagi. (HR. Abdurrazzaq dalam Al- Mushannaf 1/125, Ibnu Abi Syaibah 1/392, Ath-Thabrani dalam Al-Mu‘jamul Kabir 9/284 dengan sanad yang shahih darinya. Dan diriwayatkan juga oleh Al-Baghawi dalam Al Ja‘diyaat 2/887/2503)
Uqbah meriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy‘ari radhiallahu anhu: “Aku tidak peduli seandainya aku menyembelih seekor unta hingga aku berlumuran dengan kotoran dan darahnya, lalu aku shalat tanpa aku menyentuh air.” Dan sanad atsar dari Abu Musa ini dha’if (lemah)."

Kemudian beliau melanjutkan:
"Kedua: Membedakan antara darah yang sedikit dengan darah yang banyak (dalam hal najis atau tidaknya), walaupun pendapat ini telah didahului oleh para imam, maka tidak ada dalil yang menunjukkannya bahkan hadits Al-Anshari membatalkan pendapat ini."
(Lihat Tamamul Minnah hal. 51-52)

Sumber: Syariah Edisi 2

Tentang SUCINYA MANI

Al Ustadz Abu Ishaq Muslim Al Atsari

Ada dua pendapat dalam masalah mani ini. Pendapat pertama mengatakan najis sedang pendapat kedua mengatakan yang sebaliknya, mani itu suci. Yang kuat dalam hal ini adalah pendapat yang mengatakan sucinya mani dan ini dipegangi oleh Al-Imam Ahmad, Asy-Syafi‘i dan selain keduanya. Dan pendapat inilah yang rajih. Al-Imam An-Nawawi berkata: “Kebanyakan ulama berpendapat mani itu suci.” (Syarah Shahih Muslim juz 3, hal. 198)

Mereka berdalil dengan hadits ‘Aisyah radhiallahu anha yang hanya mengerik bekas mani yang telah mengering pada pakaian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tanpa mencucinya (sebagaimana diriwayatkan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 288, 290), walaupun didapatkan pula riwayat ‘Aisyah radhiallahu anha mencuci bekas mani yang menempel pada pakaian beliau shallallahu alaihi wasallam (sebagaimana diriwayatkan Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 229, 230, 231, 232 dan Muslim no. 289). Namun kedua riwayat ini tidak saling bertentangan (riwayat mengerik atau mencuci). Hal ini dikatakan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani: “Hadits yang menunjukkan dicucinya bekas mani yang menempel pada pakaian dan hadits yang menunjukkan dikeriknya mani tersebut tidaklah saling bertentangan karena bisa dikumpulkan antara keduanya dengan jelas bagi yang berpendapat sucinya mani. Hadits tentang mencuci dibawa kepada hukum istihbab (disenanginya mencuci bekas mani yang menempel pada pakaian) dalam rangka kebersihan bukan karena kewajiban. Ini merupakan cara yang ditempuh Al-Imam Asy-Syafi’i, Ahmad dan ashabul hadits.” (Fathul Bari juz 1 hal. 415)

Al-Imam An-Nawawi (berkata): “Seandainya mani itu najis niscaya tidak cukup menghilangkannya dengan sekedar mengerik.” (Syarah Shahih Muslim juz 3, hal. 198)

Sumber: Syariah Edisi 2

Tentang CARA MENYUCIKAN BAGIAN YANG TERKENA DARAH HAID ATAU DARAH NIFAS

Telah ada dalil yang menunjukkan kenajisan darah haid dalam hadits Asma’ bintu Abi Bakr radhiallahu anhuma. Beliau menceritakan:
Seorang wanita bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Ia berkata, “Ya Rasulullah, jika salah seorang dari kami terkena darah haid pada pakaiannya, apa yang harus ia lakukan?” Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Apabila darah haid mengenai pakaian salah seorang dari kalian, hendaknya dia mengerik lalu membasuhnya. Kemudian ia shalat memakai pakaian tersebut.” (Shahih, HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 330, 331 dan Muslim no. 110)

Al-Imam Ash-Shan‘ani rahimahullah di dalam Subulus Salam berkata:
“Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan najisnya darah haid.”

Kaum muslimin sendiri telah bersepakat bahwa darah haid itu najis dengan nash yang ada ini dan Al-Imam An-Nawawi menukilkan adanya ijma‘ dalam hal ini. Adapun darah nifas, hukumnya sama dengan darah haid.

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda tentang darah haid yang mengenai pakaian:
“Hendaknya dia menggosoknya kemucian mengoreknya dengan kuku kemudian menyiramnya dengan air kemudian dia baru boleh shalat dengan pakaian itu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Asma` bintu Abi Bakar)

Khaulah bintu Yasar bertanya kepada Nabi tentang darah haid yang mengenai pakaian, maka beliau menjawab:
“Cukup kamu siramkan air dan tidak mengapa dengan bekasnya.” (HR. Abu Daud)

Tentang KOTORAN HEWAN YANG NAJIS

Adapun dalam masalah kotoran dan kencing hewan, masih diperselisihkan kalangan ulama. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa kotoran hewan –baik yang dimakan dagingnya maupun tidak– adalah najis, sebagaimana pendapat jumhur ulama dan Syafi’i. Sebagian yang lain berpendapat, yang najis hanya kotoran hewan yang tidak dimakan dagingnya. Sementara pendapat yang lain dari kalangan ulama dan –wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab– ini adalah pendapat yang kuat, pada asalnya semua kotoran hewan suci, kecuali ada nash yang mengatakan najis, maka barulah dikatakan najis. Ini merupakan pendapat Ibnul Mundzir, dan dinukilkan Al-Imam An-Nawawi dalam Majmu’ Syarhil Muhadzdzab bahwa ini adalah perkataan Dawud Azh-Zhahiri, Ibrahim An-Nakha’i, dan Asy-Sya’bi. Pendapat ini juga didukung oleh Al-Imam Asy-Syaukani di dalam kitab-kitab beliau, di antaranya Nailul Authar dan Ad-Daraari.

Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa tidak semua yang kotor pada wujudnya itu najis, kecuali ada nash yang menerangkan kenajisannya. Misalnya tahi cicak, tidak ada nash yang menunjukkan kenajisannya, maka itu bukan najis. Namun bila dikatakan kotoran (sesuatu yang kotor) maka tahi cicak itu memang termasuk kotoran.

Hal lain yang berkaitan dengan masalah ini adalah kencing unta. Seperti kita ketahui, kencing unta adalah kotoran, namun bukan najis. Bahkan ada riwayat dari Anas bin Malik radhiallahu anhu yang menerangkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk minum air kencing unta, sebagaimana tertera dalam Ash-Shahihain (Shahih Al-Bukhari no. 233 dan Shahih Muslim no. 1671) dan lainnya:
“Sekelompok orang dari Bani ‘Akl (Bani ‘Urainah) datang menemui Nabi. Namun mereka merasa tidak betah tinggal di Madinah karena sakit yang menimpa mereka. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun memerintahkan agar didatangkan seekor unta betina yang banyak susunya dan menyuruh mereka minum air kencing dan susunya. Lalu mereka beranjak melakukannya. Ketika telah sehat, mereka membunuh penggembala ternak Nabi shallallahu alaihi wasallam dan meminum susu ternak itu. Datanglah berita tentang peristiwa itu menjelang siang sehingga Rasulullah memerintahkan untuk mengikuti jejak mereka. Pada siang harinya mereka didatangkan ke hadapan Nabi, lalu beliau memerintahkan agar dipotong tangan dan kaki mereka, dicungkil matanya, dan dilemparkan ke tengah padang pasir yang panas. Mereka meminta-minta minum, namun tidak diberi minum.”

Adapun rautsah, maka itu adalah najis. Rautsah adalah tinja kuda, keledai, dan baghal (peranakan dari kuda dan keledai). Ini berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu:
Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa alihi wa sallam mendatangi tempat buang hajat. Maka beliau memerintahkan saya mengambil tiga batu untuknya. Maka saya hanya mendapatkan dua batu dan tidak menemukan yang ketiga. Lalu saya mengambil rautsah, maka beliau mengambil kedua batu tersebut dan melemparkan rautsah dan berkata, “Ini adalah riksun (najis).” (HR. Al-Bukhari)

Tentang CARA MENYUCIKAN BAGIAN YANG TERKENA AIR KENCING BAYI LAKI-LAKI YANG BELUM MAKAN SELAIN ASI

“Ummu Qais bintu Mihshan Al-Asadiyyah membawa anaknya yang masih kecil dan belum makan makanan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, lalu Rasulullah mendudukkan anak itu di pangkuannya. Kemudian anak itu kencing di baju beliau. Maka Rasulullah meminta air dan mengguyurkannya ke bajunya (hingga air menggenangi bekas kencing tersebut) dan tidak mencucinya." (HR. Al-Bukhari no. 223 dan Muslim no. 287)
Dalam lafadz lain: "Lalu beliau menuangkan air ke atas bekas kencing tersebut."

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ﻳُﻐْﺴَﻞُ ﻣِﻦْ ﺑَﻮْﻝِ ﺍَﻟْﺠَﺎﺭِﻳَﺔِ, ﻭَﻳُﺮَﺵُّ ﻣِﻦْ ﺑَﻮْﻝِ ﺍَﻟْﻐُﻠَﺎﻡ
“Kencing bayi perempuan dicuci dan kencing bayi laki-laki cukup dipercikkan dengan air.” (HR. Abu Daud dan An-Nasai dari Abu As-Samh)

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Kencing anak lelaki disirami air dan kencing anak perempuan dicuci.” (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad dari Ali)

Tentang BANGKAI YANG NAJIS

Al Ustadz Abu Ishaq Muslim

(Tentang) bangkai, ulama sepakat tentang kenajisannya sebagaimana dinyatakan Al-Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, juga Al-Imam An-Nawawi dalam Al Majmu’.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Apabila kulit telah disamak maka itu merupakan pensuciannya.” (HR. Muslim no. 105)

Dari hadits di atas dipahami bahwa kulit hewan yang telah mati (bangkai) itu najis sehingga bila ingin disucikan harus disamak terlebih dahulu. Apabila kulitnya saja dihukumi najis maka tentunya bangkainya lebih utama lagi untuk dihukumi akan kenajisannya.
Dikecualikan dari bangkai ini adalah:

1. Bangkai manusia dengan keumumam sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya mukmin itu tidak najis.” (HR. Al-Bukhari no. 283 dan Muslim no. 371)

2. Bangkai hewan laut dengan dalil,firman Allah:
ﺃُﺣِﻞَّ ﻟَﻜُﻢْ ﺻَﻴْﺪُ ﺍﻟْﺒَﺤْﺮِ ﻭَ ﻃَﻌَﺎﻣُﻪ
“Dihalalkan bagi kalian binatang buruan dari laut dan makanan dari hasil laut.” (Al-Maidah: 96)
Al-Imam Ath-Thabari menukilkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma tafsir dari ayat di atas, yakni yang dimaksud dengan ( ﺻَﻴْﺪُ ﺍﻟْﺒَﺤْﺮِ ) adalah binatang laut itu diambil dalam keadaan hidup dan ( ﻃَﻌَﺎﻣُﻪ ) adalah binatang itu diambil dalam keadaan mati (telah menjadi bangkai).
Dalam hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.” (Shahih, HR. Ashabus Sunan dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab beliau Ash-Shahihah, 1/480)

3. Setiap hewan yang tidak memiliki darah yakni darahnya tidak mengalir ketika hewan itu dibunuh atau terluka seperti lalat, belalang, kalajengking dan lainnya. Berdalil dengan hadits:
“Apabila jatuh lalat dalam bejana salah seorang dari kalian maka hendaklah ia mencelupkan lalat tadi ke dalam air kemudian dibuangnya.” (HR. Al-Bukhari no. 3320)
Al-Imam Ash-Shan‘ani berkata:
“Dimaklumi bahwa lalat akan mati apabila jatuh ke dalam air ataupun makanan terlebih lagi apabila makanannya dalam keadaan panas. Maka seandainya lalat itu menajisi makanan tersebut niscaya makanan tersebut rusak. Sedangkan Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk memperbaiki makanan yang ada, tidak merusakkannya.” (Subulus Salam)

Ketiga poin di atas sebenarnya ada perselisihan pendapat tentang kenajisannya, namun pendapat yang kuat dengan dalil yang ada, ketiganya bukanlah najis, wallahu a‘lam bish-shawab.

Sumber: Syariah Edisi 1