Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
“Wahai sekalian manusia, sungguh aku telah meninggalkan pada kalian dua perkara yang bila kalian mengambilnya, maka kalian tidak akan sesat. Yaitu Kitabullah dan ‘Itrati, (yakni) ahlul baitku.” (HR. At-Tirmidzi no. 3786 dari Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, Misykatul Mashabih no. 6143, dan Ash-Shahihah no. 1761)
Dalam lafadz lain:
“Sungguh aku meninggalkan pada kalian perkara yang bila kalian berpegang teguh dengannya niscaya kalian tidak akan sesat sepeninggalku. Salah satu dari perkara itu lebih besar daripada perkara yang lainnya, yaitu Kitabullah, Tali Allah yang terbentang dari langit ke bumi [1]. Dan (perkara lainnya adalah) ‘Itrati, yaitu ahlul baitku. Keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya mendatangiku [2] di haudh [3]. Maka lihatlah dan perhatikanlah bagaimana kalian menjaga dan memperhatikan keduanya sepeninggalku.” (HR. Ahmad 3/14,17 dan At-Tirmidzi no. 3788, dari Abu Said Al-Khudri dan Zaid bin Arqam radhiallahu anhuma, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, Misykatul Mashabih no. 6144, dan Ash-Shahihah 4/356-357)
At-Taurabasyti dalam Al-Mirqaah (5/600) berkata:
“’Itrah seseorang adalah ahlul baitnya dan golongannya yang paling dekat dengannya. Karena kata ‘itrah ini dipakai untuk banyak segi, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjelaskannya dengan pernyataan beliau ‘ahlul baitku’, agar diketahui bahwa yang beliau maksudkan dengan kata tersebut adalah keturunan beliau, keluarga beliau yang paling dekat, dan istri-istri beliau.” (Tuhfatul Ahwadzi 1/196, Ash-Shahihah 4/360)
Dalam Tuhfatul Ahwadzi, dibawakan ucapan Ibnu Malik bahwa yang dimaksud berpegang teguh dengan Al-Qur’an adalah mengamalkan apa yang ada di dalamnya yaitu melaksanakan perintah-perintah Allah dan berhenti (tidak mengerjakan) dari larangan-larangan-Nya. Sedangkan makna berpegang dengan ‘itrah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah mencintai mereka dan mengambil petunjuk dengan petunjuk mereka dan perjalanan hidup mereka. As-Sayyid Jamaluddin menambahkan: “Selama hal itu tidak menyelisihi agama.” Al-Qari berkata: “Yang dimaksud berpegang dengan ahlul bait adalah berpegang teguh dengan kecintaan terhadap mereka, menjaga kehormatan mereka, mengamalkan riwayat mereka dan bersandar dengan perkataan mereka (selama tidak menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah). Dan hal ini bukan berarti meniadakan pengambilan As-Sunnah dari shahabat selain mereka.” Ath-Thibi berkata: “Dalam ucapan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ada isyarat bahwa keduanya (Al-Qur`an dan Al-’Itrah) seperti saudara kembar yang ditinggalkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Beliau mewasiatkan kepada umat beliau untuk membaikkan penjagaan dan perhatian kepada keduanya dan mengutamakan hak keduanya di atas hak diri mereka sendiri, sebagaimana wasiat seorang ayah yang dicintai oleh manusia tentang hak anak-anaknya.” (Tuhfatul Ahwadzi 1/196,197)
Yazid bin Hayyan menyampaikan sebuah hadits yang terkenal dengan sebutan hadits Ghadir Khum.
Beliau rahimahullah berkata:
“Aku bersama Hushain bin Sabrah dan Umar bin Muslim pergi menemui shahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang bernama Zaid bin Arqam radhiallahu anhu. Tatkala kami telah duduk bersamanya, Hushain berkata kepadanya:
“Wahai Zaid, sungguh engkau telah menemui kebaikan yang banyak. Engkau pernah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Engkau pernah mendengar hadits beliau. Engkau pernah berjihad bersama beliau dan pernah pula shalat di belakang beliau. Sungguh wahai Zaid, engkau telah menemui kebaikan yang banyak. Sampaikanlah hadits kepada kami, wahai Zaid, dari apa yang pernah engkau dengar dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam."
Zaid menjawab:
“Wahai anak saudaraku, demi Allah, sungguh usiaku telah senja dan telah lewat masaku hingga aku telah lupa sebagian yang dulunya pernah aku ingat (hapal) dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Maka apa yang nantinya aku sampaikan kepada kalian, terimalah. Sedangkan apa yang tidak kusampaikan maka janganlah kalian membebani aku untuk menyampaikannya."
Kemudian Zaid berkata:
“Suatu hari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berdiri di antara kami untuk menyampaikan khutbah, di (dekat) anak sungai bernama Khum, terletak di antara Makkah dan Madinah. Beliau shallallahu alaihi wasallam memuji dan menyanjung Allah, lalu memberikan nasehat dan peringatan. Kemudian beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda:
"Amma ba’du. Ketahuilah wahai sekalian manusia, aku hanyalah seorang manusia, hampir-hampir akan datang menemuiku utusan Rabbku (untuk mencabut ruhku), maka aku akan memenuhi panggilan tersebut. Dan aku tinggalkan di antara kalian dua perkara yang agung. Yang pertama Kitabullah, di dalamnya ada petunjuk dan cahaya. Maka ambillah oleh kalian Kitabullah dan berpegang teguhlah dengannya."
Beliau shallallahu alaihi wasallam lalu menganjurkan untuk berpegang dengan Kitabullah, memberikan dorongan, anjuran dan kabar gembira (bila berpegang dengan Kitabullah). Kemudian beliau bersabda lagi:
“Ahlu baitku. Aku mengingatkan kalian kepada Allah dalam perkara ahlu baitku. Aku mengingatkan kalian kepada Allah dalam perkara ahlu baitku. Aku mengingatkan kalian kepada Allah dalam perkara ahlu baitku.”
Hushain bertanya kepada Zaid:
“Siapakah Ahlu Bait beliau, wahai Zaid? Bukankah istri-istri beliau termasuk Ahlu Bait beliau?”
Zaid menjawab:
“Istri-istri beliau memang termasuk Ahlu Bait beliau. Akan tetapi yang dimaksudkan dengan Ahlu Bait beliau adalah orang yang diharamkan memakan/menerima harta sedekah (zakat) sepeninggal beliau.”
Hushain bertanya lagi:
“Siapakah mereka itu?”
Zaid menjawab:
“Mereka adalah keluarga Ali (ibnu Abi Thalib), keluarga Aqil (ibnu Abi Thalib), keluarga Ja`far (ibnu Abi Thalib), dan keluarga Abbas (ibnu Abdil Muthalib).”
Hushain berkata:
“Mereka semua itu diharamkan mengambil harta sedekah (zakat)?”
“Iya,” jawab Zaid."
(HR. Muslim no. 2408)
Dalam riwayat lain di Shahih Muslim juga, ketika Zaid ditanya, apakah istri-istri beliau shallallahu alaihi wasallam termasuk Ahlu Bait beliau, Zaid menjawab:
“Tidak.”
Kemudian Zaid menyatakan:
“Ahlu Bait beliau adalah keturunan beliau dan keluarga beliau (`ashabah) yang diharamkan memakan sedekah sepeninggal beliau.”
Al-Imam An-Nawawi menempatkan kedua riwayat yang terlihat bertentangan ini dengan menyatakan:
“Istri-istri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam termasuk Ahlu Bait beliau yang tinggal bersama beliau, beliau menafkahi mereka dan memerintahkan untuk menghormati serta memuliakan mereka. Beliau mengistilahkan mereka dengan tsaqalain (perkara yang berat/besar/agung), menasehati dan mengingatkan untuk memperhatikan hak-hak mereka. Istri-istri beliau termasuk dalam semua perkara ini namun tidak termasuk yang diharamkan memakan zakat/sedekah.” (Syarhu Shahih Muslim 15/180)
Asy-Syaikh Abdul Haq dalam Al- Lum‘aat berkata:
“Ketahuilah, telah datang keterangan yang menyebutkan bahwa makna ahlul bait adalah orang-orang yang diharamkan menerima sedekah/zakat, mereka adalah Bani Hasyim yang mencakup Alu (keluarga) Abbas, Alu Ali, Alu Ja‘far, Alu Aqil dan Alu Harits (ibnu Abdil Muthalib). Mereka semua ini diharamkan menerima sedekah/zakat. Ahlul bait juga datang dengan makna keluarga Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang mencakup istri- istri beliau yang disucikan. Mengeluarkan istri-istri beliau shallallahu alaihi wasallamdari ahlul bait yang disebutkan dalam firman Allah, “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai ahlul bait, dan membersihkan kalian dengan sebersih-bersihnya.” (Al-Ahzab: 33)
Padahal sasaran pembicaraan dalam ayat ditujukan kepada mereka, demikian yang tampak pada ayat sebelum dan sesudahnya, berarti mengeluarkan kalam (ucapan) dari konteksnya dan susunannya.”
(Tuhfatul Ahwadzi 10/195)
Diriwayatkan sebuah hadits, yang terkenal dengan sebutan hadits Kisa`, oleh Al-Imam Ahmad dan At- Tirmidzi dari hadits Ummu Salamah radhiallahu anha, dan juga oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya (no. 2424) dari hadits Aisyah radhiallahu anha, ia berkata:
“Pada suatu pagi, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam keluar dengan mengenakan selimut dari kain tebal berwarna hitam yang berlukis pelana unta. Maka datanglah Al- Hasan bin Ali, beliau pun memasukkannya ke dalam selimut. Datang pula Al-Husain, beliau juga memasukkannya bersama Al-Hasan. Kemudian datang Fathimah, beliau masukkan pula ke dalam selimut tersebut. Demikian pula ketika Ali datang, beliau lakukan yang sama. Kemudian beliau membaca ayat yang maknanya: “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai ahlul bait, dan membersihkan kalian dengan sebersih-bersihnya.” (Al-Ahzab: 33)
Dalam riwayat lain dari ‘Umar bin Abi Salamah, disebutkan sebagai berikut:
"Ketika turun kepada Nabi ayat Allah (Sesungguhnya Allah bermaksud.hendak menghilangkan dosa dari kalian, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya) di rumah Ummu Salamah, beliau memanggil Fathimah, Hasan, dan Husain, kemudian beliau menyelimuti mereka dengan selimut (kisa`). Dan ‘Ali berada di belakang beliau lalu beliau juga menyelimutinya dengan selimut. Beliau berkata, “Ya Allah, mereka adalah Ahlul Baitku, hilangkanlah kotoran dari mereka dan bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya.” Maka Ummu Salamah berkata, “Apakah aku bersama dengan mereka, ya Nabi Allah?” Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Engkau tetaplah pada tempatmu dan engkau berada dalam kebaikan.” (HR. At-Tirmidzi no. 3205)
Disebutkan bahwa tidak dimasukkannya Ummu Salamah dalam selimut bersama mereka, karena adanya ‘Ali bin Abi Thalib (‘Ali bukanlah mahram Ummu Salamah), dan bukan berarti bahwa Ummu Salamah tidak termasuk Ahlul Bait. (Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ At-Tirmidzi, juz 9 hal. 48)
Mengenai Surat Al-Ahzab ayat 33, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Asakir dari jalan Ikrimah, bahwa Ibnu Abbas mengatakan ayat ini turun tentang istri-istri Nabi. Kemudian Ikrimah berkata:
“Barangsiapa yang mau, aku akan bermubahalah (saling mendoakan kebinasaan) dengannya bahwa ayat ini turun tentang istri-istri Nabi.”
Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Ikrimah, ‘Atha`, Al-Kalbi, Muqatil, Sa’id bin Jubair, dan lain-lain.
Namun diriwayatkan pula dari beberapa orang dari kalangan Salaf bahwa yang dimaksud juga Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Yang demikian bukan merupakan pertentangan karena disebutkan pula dalam hadits di atas (hadits Kisa) bahwa mereka adalah Ahlul Bait juga.
Adapun Al-Qurthubi dan Ibnu Katsir menyatakan bahwa ucapan yang bijaksana dalam masalah ini adalah:
“Ayat ini mencakup istri-istri Nabi dan mencakup pula Ali, Fatimah, Al-Hasan dan Al-Husain. Adapun istri-istri Nabi karena konteks ayatnya tentang mereka, dan karena mereka tinggal di rumah-rumah Nabi. Adapun masuknya Ali, Fatimah, Al-Hasan dan Al-Husain karena mereka adalah kerabat Nabi dalam nasab. Maka barangsiapa yang mengkhususkan ayat ini untuk salah satunya berarti dia telah mengabaikan kewajibannya terhadap yang lainnya."
(Lihat Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ At-Tirmidzi, juz 9 hal. 48-49)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata tentang kandungan hadits kisa`:
“Nabi shallallahu alaihi wasallam mendoakan agar Allah menghilangkan dosa/kejelekan mereka dan mensucikan mereka dengan sesuci-sucinya. Tujuannya adalah mendoakan kebaikan bagi mereka agar mereka menjadi orang-orang yang bertakwa yang dihilangkan dosa/kejelekan mereka oleh Allah dan disucikan. Menjauhi dosa/kejelekan ini wajib bagi setiap mukmin dan thaharah (mensucikan diri) diperintahkan kepada seluruh mukmin. Allah berfirman:
“Allah tidak hendak menyulitkan kalian tetapi Dia hendak mensucikan diri kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya bagi kalian agar kalian mau bersyukur.” (Al-Maidah: 6)
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu akan membersihkan dan mensucikan mereka.” (At-Taubah: 103)
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (Al-Baqarah: 222)
Puncak dari perkara ini adalah doa bagi mereka untuk mengerjakan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang. Perkara pensucian dari dosa ini bukanlah khusus bagi ahlul kisa` karena dalam nash-nash lain kita dapatkan para shahabat selain mereka juga mendapatkan keistimewaan tersebut. Seperti Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiallahu anhu, dia adalah orang yang Allah puji dalam firman-Nya:
“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, yang memberikan hartanya (di jalan Allah) guna mensucikan dirinya, padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi ia memberikan harta itu semata-mata karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha Tinggi. Dan kelak ia benar-benar akan ridha.” (Al-Lail: 17-21)
Demikian juga keberadaan As-Sabiqunal Awwalun dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan –semoga Allah meridhai mereka dan mereka pun ridha pada-Nya–, Allah nyatakan janji-Nya untuk mereka:
“Allah telah menyediakan untuk mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, dalam keadaan mereka kekal selama- lamanya di dalamnya. Yang demikian itu adalah keberuntungan yang besar.” (At-Taubah: 100)
Mereka yang mendapat janji surga ini mesti telah melakukan perkara yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang karena yang namanya keridhaan dan balasan itu hanyalah diperoleh dengan cara demikian. Sehingga dengan begitu jadilah hilangnya kejelekan dan sucinya mereka dari dosa merupakan sebagian sifat mereka. Maka apa yang didoakan Nabi shallallahu alaihi wasallam untuk ahlul kisa` (mereka yang diselimuti Nabi shallallahu alaihi wasallam di dalam hadits Kisa`, yakni Hasan, Husain, Fathimah, dan Ali) merupakan sebagian dari apa yang Allah sifatkan untuk As-Sabiqunal Awwalun. Dan kita dapatkan di antara para shahabat selain ahlul kisa` ada yang didoakan Nabi shallallahu alaihi wasallam agar Allah memberikan shalawat untuk mereka dan beliau pernah mendoakan untuk kaum yang banyak agar dimasukkan ke dalam surga, mendapatkan pengampunan dan selainnya dari doa-doa yang lebih besar/agung, namun bukan merupakan kemestian bahwa orang yang didoakan tersebut lebih utama daripada As-Sabiqunal Awwalun. Akan tetapi karena ahlul kisa` ini telah diwajibkan Allah untuk menjauhi kejelekan dan melakukan amalan yang dapat membersihkan/mensucikan diri mereka, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam mendoakan mereka untuk dapat membantu mereka mengerjakan apa yang diperintahkan, sehingga mereka tidak menjadi orang-orang yang pantas mendapatkan cercaan/celaan dan hukuman, sebaliknya agar mereka dapat beroleh pujian dan pahala.” (Minhajus Sunnah An- Nabawiyyah, 5/10)
Asy-Syaikh Al-Albani berkata:
“Hadits ini (hadits al-'Itrah) termasuk yang dijadikan hujjah oleh orang-orang Syi’ah dan mereka banyak menekuninya sehingga sebagian Ahlus Sunnah menyangka dengan keliru bahwa mereka ditimpa musibah dengan perkara ini. Padahal mereka semuanya salah sangka. Keterangannya dari dua sisi berikuti ini:
Pertama: Yang dimaukan dalam hadits dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam “’itrati”, mayoritasnya mendukung apa yang dimaukan oleh Syi`ah dan tidak ditolak oleh Ahlus Sunnah, bahkan mereka berpegang teguh dengannya, yaitu Al-’Itrah dalam hadits ini adalah Ahlu Bait Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Keterangan ini datang secara jelas pada sebagian jalan hadits ini seperti hadits dalam tarjumah (judul bab) “’Itrati ahlu baiti”. Ahlu Bait beliau shallallahu alaihi wasallam pada asalnya adalah istri-istri beliau, di antara mereka ada Ash-Shiddiqah Aisyah radhiallahu anha, sebagaimana hal ini disebutkan secara jelas dalam firman Allah dalam surah Al-Ahzab, dengan dalil ayat yang sebelumnya dan setelahnya:
“Wahai istri-istri Nabi, kalian tidaklah sama seperti wanita yang lain, jika kalian bertakwa. Maka janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. Dan tinggallah kalian di rumah-rumah kalian dan janganlah bertabarruj seperti tabarrujnya orang-orang jahiliyyah yang dahulu. Tegakkanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai ahlul bait, dan membersihkan kalian dengan sebersih-bersihnya. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumah-rumah kalian dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabi). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.” (Al- Ahzab: 32-34)
Pengkhususan Syi‘ah terhadap ahlul bait dalam ayat hanya sebatas pada Ali, Fathimah, Al-Hasan, dan Al-Husain radhiallahu anhum tanpa menyertakan istri-istri Nabi shallallahu alaihi wasallam merupakan tahrif (penyimpangan/pembelokan) mereka terhadap ayat-ayat Allah dalam rangka membantu hawa nafsu mereka sebagaimana hal ini dijelaskan nantinya. Adapun hadits Al-Kisa` dan yang semakna dengannya, tujuan yang ada di dalamnya adalah perluasan penunjukkan ayat (Surat al-Ahzab ayat 33) dan untuk menunjukkan Ali dan keluarganya juga masuk ke dalam ayat tersebut, sebagaimana hal ini diterangkan Al- Hafizh Ibnu Katsir dan selainnya. Demikian pula hadits Al-‘Itrah, Nabi shallallahu alaihi wasallam telah menerangkan bahwa yang dimaksud ahlul bait beliau shallallahu alaihi wasallam dengan makna yang sempurna mencakup istri-istri beliau, Ali, dan keluarganya.”
Asy-Syaikh Al-Albani berkata lagi:
“Al-Imam Abu Ja`far Ath-Thahawi berkata, “Al-’Itrah adalah Ahlul Bait Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang mereka itu di atas agamanya dan berpegang teguh dengan perintahnya.” Asy-Syaikh Ali Al-Qari juga menyebutkan yang semisal ini. Kemudian dari ucapan Al-Qari berikut ini menjadi jelas mengapa ahlul bait disebutkan secara khusus (di dalam hadits al-'Itrah), “Secara umum ahlul bait lebih tahu tentang pemilik rumah dan keadaan-keadaannya. Maka yang dimaksud dengan ahlul bait di sini adalah ahlu ilmi dari kalangan mereka, yang menelaah sirah beliau, yang berdiri di atas jalan beliau, yang mengetahui hukum dan hikmahnya. Dengan penjelasan seperti ini ahlul bait pantas berdampingan dengan Kitabullah sebagaimana Allah berfirman, “Dia mengajarkan kepada mereka Al- Kitab dan Al-Hikmah.” Aku (Asy-Syaikh Al-Albani) katakan: Dan yang semisal ayat di atas adalah firman Allah yang ditujukan kepada istri-istri Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam ayat ath-tathhir yang telah lewat, “Ingatlah apa yang dibacakan di rumah-rumah kalian dari ayat-ayat Allah dan Al-Hikmah.” Dengan demikian menjadi jelaslah bahwa yang dimaksudkan dengan ahlul bait adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dari kalangan mereka. Inilah yang menjadi maksud dalam hadits, karena itulah ia dijadikan salah satu dari ats-tsaqalain dalam hadits Zaid bin Arqam yang berhadapan/berdampingan dengan ats-tsaqal yang pertama yaitu Al Qur`an. Demikian yang diisyaratkan oleh Ibnul Atsir dalam An-Nihayah, “Keduanya dinamakan tsaqalain, karena orang yang mengambil keduanya (yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan mengamalkannya itu berat. Dan semua perkara yang mulia, tinggi lagi bernilai diistilahkan tsaqal. Keduanya dinamakan tsaqalain dalam rangka mengagungkan kadar keduanya dan membesarkan urusan keduanya.” Aku katakan: Kesimpulannya, disebutkannya ahlul bait berdampingan dengan Al-Qur`an dalam hadits ini seperti disebutkannya sunnah Al-Khulafa` Ar-Rasyidun berdampingan dengan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam sabda beliau shallallahu alaihi wasallam, “Maka wajib bagi kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnah Al Khulafa` Ar Rasyidin.” (Ash-Shahihah, 4/359-361)
Ahlus Sunnah mencintai Ahlu Bait Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, berloyalitas kepada mereka dan menjaga wasiat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam perkara mereka, di mana beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Aku mengingatkan kalian kepada Allah dalam perkara ahlu baitku. Aku mengingatkan kalian kepada Allah dalam perkara ahlu baitku.” Ahlus Sunnah berloyalitas kepada Al-Hasan, Al-Husain, dan orang-orang yang masyhur dari kalangan cucu-cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam seperti Al-Hasan bin Al-Hasan, Abdullah bin Al-Hasan, Ali bin Al-Husain Zainul Abidin, Muhammad bin Ali bin Al-Husain yang digelari Al-Baqir, Ja‘far bin Muhammad Ash-Shadiq, Musa bin Ja‘far, dan Ali bin Musa Ar-Ridha. Demikian pula sikap Ahlus Sunnah terhadap seluruh anak turunan Ali dari tulang sulbinya seperti Al-Abbas, Umar, Muhammad bin Al-Hanafiyyah dan seluruh yang berjalan di atas jalan yang dilalui oleh bapak-bapak mereka yang bersih. Namun mereka yang condong kepada pemahaman Mu‘tazilah ataupun Rafidhah tidaklah termasuk di dalamnya. (Masailut Taqrib Baina Ahlis Sunnah wasy Syi‘ah, 1/106)
Ibnu Taimiyyah berkata:
“Ahlu Bait Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memiliki hak-hak yang wajib untuk dijaga/diperhatikan, karena Allah menjadikan hak untuk mereka dalam mendapatkan bagian dari harta khumus dan fai’ (pampasan perang). Allah perintahkan untuk memberikan shalawat kepada mereka sebagaimana bershalawat untuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengajari kita untuk mengatakan: “Ya Allah, berikanlah shalawat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan kepada keluarga beliau sebagaimana Engkau memberikan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Berikanlah berkah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau memberikan keberkahan kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia.” (Majmu`ah Ar-Rasail Al-Kubra 1/297-298)
Catatan Kaki
[1] Al-Qur’an adalah tali yang membentang dari langit ke bumi yang akan menyampaikan hamba kepada Rabbnya dan menjadi wasilah/perantara bagi si hamba untuk dekat kepada Rabbnya. (Tuhfatul Ahwazi 1/197)
[2] Maka kelak di sisiku, keduanya mensyukuri apa yang kalian lakukan. (Tuhfatul Ahwadzi 1/197)
[3] Telaga dari Al-Kautsar milik Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di akhirat.