Cari Blog Ini

Senin, 03 November 2014

Tentang SENGAJA MEMPERLAMBAT MASUK KE SHAF SHALAT

Asy Syaikh Abdurrahman Al-‘Adeny hafizhahullah

Pertanyaan:
Apa hukum bagi seorang yang berada di dalam masjid pada saat ditegakkannya shalat tarawih, akan tetapi dia tidak masuk ke saf kecuali setelah mendegar imam bertakbir untuk ruku’, dan dia tidak membaca surat Al-Fatihah?

Jawab:
Ini merupakan perbuatan yang keliru.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Abu Bakrah ketika dia masuk ke masjid dan mendapati imam sedang rukuk, maka ia langsung rukuk, dan berjalan menuju saf dalam keadaan rukuk, “Semoga Allah menambah semangatmu, akan tetapi jangan kamu ulangi lagi perbuatan itu (mendatangi shalat dengan terburu-buru).”
Kondisi ini ketika dia datang terlambat (masbuk), adapun kalau dia berada di dalam masjid kemudian sengaja memperlambat masuk ke saf, maka dikhawatirkan rakaat tersebut tidak sah.
Wahai saudaraku...
Kita katakan kepada mereka, ”Apa yang engkau inginkan dari shalatmu?“
Shalat adalah ibadah. Seorang hamba mengerjakan ibadah dengan penuh semangat, ketundukan serta keikhlasan hanya mengharap pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’aala.
Allah berfirman:
ﻭَﺍﻓْﻌَﻠُﻮﺍ ﺍﻟْﺨَﻴْﺮَ ﻟَﻌَﻠَّﻜُﻢْ ﺗُﻔْﻠِﺤُﻮﻥَ
“Berbuatlah kebaikan agar kamu beruntung.“ QS. Al-Haj: 77
Dan juga:
ﻓَﺎﺳْﺘَﺒِﻘُﻮﺍ ﺍﻟْﺨَﻴْﺮَﺍﺕِ ۚ
”Berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan.” QS. Al-Baqarah: 148
Apakah dia menginginkan pujian dari manusia? Ataukah dia bermuamalah bersama Allah Subhanahu wa Ta’aala? Kalau bermuamalah bersama Allah seharusnya dilandasi dengan keikhlasan mengharap pahala dari Allah semata.
Mereka yang bermalas-malasan mengerjakan sholat, menunggu imam rukuk baru bergegas menuju saf, mereka ini telah dipermainkan oleh syaithan. Dan dikhawatirkan rakaatnya tidak sah disebabkan tidak membaca surat Al-Fatihah.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum seorang yang tidak membaca Al-Fatihah di dalam shalatnya. Mayoritas ulama mutaqoddimin (terdahulu) berpendapat dia tidak mendapatkan rakaat, berdasarkan keumuman hadits, ”Tidak sah shalat bagi yang tidak membaca Al-Fatihah.”
Ulama juga berselisih tentang seorang masbuk yang mendapati imam sedang rukuk, apakah dia mendapatkan satu rakaat atau tidak.
Walaupun demikian, perlu ditinjau kembali fatwa ulama tentang mereka yang bersengaja tidak masuk ke saf sampai ia mendengar imam bertakbir untuk rukuk, apakah dia mendapatkan satu rakaat atau tidak. Terutama fatwa ulama yang berpendapat bahwa seorang masbuk yang mendapati imam sedang rukuk, terhitung mendapat rakaat.
Wahai saudaraku, semangatlah untuk melakukan kebaikan, jangan biarkan setan menghalangimu untuk berbuat kebaikan.
Saudaraku, apa yang mendorongmu untuk melakukan hal itu (tidak masuk saf kecuali setelah mendegar imam bertakbir untuk rukuk)? Apakah khawatir capek berdiri lama? Kalau karena hal itu, boleh bagimu untuk shalat duduk. Karena hal itu diperbolehkan ketika mengerjakan shalat sunnah walaupun tidak ada udzur (sebab-sebab diperbolehkannya shalat dengan duduk). Akan tetapi engkau hanya mendapat setengah pahala shalat berdiri. Maka memungkinkan bagimu shalat mengikuti imam dari awal, kemudian apabila engkau merasa lelah boleh bagimu untuk duduk. Tidak sepantasnya bagimu untuk menunggu sampai imam rukuk. Allahu musta’an. Sungguh sangat disayangkan apabila yang melakukan hal itu orang yang sering berolarahga, ketika di lapangan dia mampu bermain selama dua jam, namun ketika mengerjakan shalat, keadaannya seperti seorang kakek atau orang-orang lemah (tidak kuat berdiri lama). Allahu musta’an.

Pertanyaan pada malam Sabtu 8 Ramadan 1435H.

Alih bahasa: Ibnu Salihin Al-Balikbabany

TIS (Thalab Ilmu Syar’i)

Tentang RIYA'

Asy-Syaikh Ubaid Al-Jabiry hafizhahullah

Pertanyaan: Bagaimana saya melindungi dan menjaga diri saya dari syirik tersembunyi? Apakah orang yang terjatuh padanya tempat tinggalnya di neraka? Dan bagaimana saya bisa mengetahui bahwa saya terjatuh padanya?

Jawaban:

Syirik tersembunyi adalah riya’, seperti engkau mengerjakan shalat dan membaguskan shalatmu karena ada orang lain yang melihatmu, atau engkau bersedekah agar manusia menyebutmu. Semacam ini merupakan syirik tersembunyi. Untuk membebaskan diri darinya dengan cara:
Pertama: Berusaha semaksimal mungkin menundukkan jiwamu, selama engkau terus berusaha menundukkannya dan melawannya namun engkau masih menjumpai hal itu maka insya Allah Ta’ala hal itu tidak akan merugikanmu.
Kedua: Jika hal ini mempengaruhi dirimu, maksudnya jika pandangan manusia mempengaruhi dirimu ketika engkau mengerjakan amal shalih, maka bersembunyilah semaksimal mungkin. Dan jika engkau tidak mampu maka kuatkan tekad dan jauhkanlah was-was dari dirimu, dan saya khawatir yang menimpamu termasuk was-was.
Terakhir: Hendaklah engkau memperbanyak mengucapkan doa ini:
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺇِﻧِّﻲ ﺃَﻋُﻮْﺫُ ﺑِﻚَ ﺃَﻥْ ﺃُﺷْﺮِﻙَ ﺑِﻚَ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻭَﺃَﻧَﺎ ﺃَﻋْﻠَﻢُ، ﻭَﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ ﻣِﻦْ ﺍﻟﺬَّﻧْﺐِ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﻟَﺎ ﺃَﻋْﻠَﻢُ
“Yaa Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu sedikit saja dalam keadaan aku mengetahui, dan aku meminta ampunan kepada-Mu dari dosa yang tidak aku ketahui.” (Lihat: Shahih Al-Adabul Mufrad no. 551‏)

Adapun apakah pelakunya akan masuk neraka, orang yang berbuat riya’ terancam dengan neraka. Hanya saja dengan banyak bertaubat, istighfar, dan terus menerus berdoa dengan doa ini sebagaima yang telah saya sebutkan kepadamu tadi, dan itu adalah riwayat yang shahih, dinilai shahih oleh Al-Albany dan ulama yang lain –semoga Allah merahmati mereka semua– insya Allah Ta’ala engkau akan aman dan mendapatkan taufik untuk membersihkan dirimu dari syirik tersembunyi berupa riya.

Sumber artikel: albaidha[dot]net

Alih Bahasa: Abu Almass

###

Asy-Syaikh Muhammad bin Hady hafizhahullah

Pertanyaan: Saya bertanya tentang obat yang bisa membersihkan riya.

Jawaban:

Demi Allah wahai saudaraku, engkau telah menanyakan perkara yang besar. Pertama hendaklah engkau memperbanyak doa, hendaknya engkau berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar mengkaruniakan keikhlasan kepadamu dan membersihkan dirimu dari bala ini. Dan setiap muslim hendaknya berdoa kepada Rabbnya Subhanahu wa Ta’ala agar membersihkan dirinya dari kesyirikan walaupun yang sedikit kadarnya, apalagi yang banyak. Karena sebagaimana yang telah kita katakan pada pertemuan-pertemuan sebelumnya, bisa jadi riya’ tersebut akan menggugurkan amal secara keseluruhan, atau mengurangi pahalanya. Maka wajib atas seorang hamba untuk semangat berdoa, karena Allah Jalla wa Ala berfirman:
ﻓَﻤَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻳَﺮْﺟُﻮْ ﻟِﻘَﺎﺀَ ﺭَﺑِّﻪِ ﻓَﻠْﻴَﻌْﻤَﻞْ ﻋَﻤَﻠًﺎ ﺻَﺎﻟِﺤًﺎ ﻭَﻟَﺎ ﻳُﺸْﺮِﻙْ ﺑِﻌِﺒَﺎﺩَﺓِ ﺭَﺑِّﻪِ ﺃَﺣَﺪًﺍ
“Maka barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia beramal shalih dan jangan menyekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan seorang pun.” (QS. Al-Kahfi: 110)
Dan Nabi shallallahu alaihi wasallam telah menjelaskan bahaya syirik asghar (syirik kecil) yaitu riya’, dan ini merupakan perkara yang paling beliau khawatirkan akan menimpa kita, dan dia lebih samar dibandingkan rayapan semut hitam di atas batu hitam di malam yang gelap gulita. Jadi dia sangat tersembunyi, oleh karena itulah banyak manusia yang tidak mewaspadainya sehingga menjalar kepada mereka.

Perkara terbesar yang bisa engkau gunakan untuk mengobatinya adalah dengan engkau menghisab dirimu. Apa yang bisa dilakukan untukmu oleh orang yang engkau berbuat riya’ kepadanya dengan amalmu itu? Balasan apa yang akan dia berikan kepadamu? Ingatlah hal ini selalu dan renungkanlah.
Balasan apa yang akan diberikan kepadamu oleh orang yang engkau berbuat riya’ kepadanya dengan amal shalihmu tersebut? Apakah dia bisa membela dirimu dari adzab Allah sedikit saja? Ingatlah selalu firman Allah Tabaraka wa Ta’ala kepadamu pada hari kiamat nanti:
ﻓَﻬُﻮَ ﻟِﻠَّﺬِﻱْ ﺃَﺷْﺮَﻙَ
“Amalnya yang disertai riya’ tersebut untuk yang dia jadikan sekutu selain Allah.” (Asal hadits ini adalah riwayat Muslim no. 2985, namun dengan lafazh ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahih Sunan Ibnu Majah III/371 no. 3406‏)
Kita memohon keselamatan kepada Allah.

Jika engkau merenunginya maka insya Allah hal itu akan mewariskan kepadamu untuk berusaha mengobati hatimu, muhasabah (instropeksi), dan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk membebaskan diri dari bencana besar ini.
Jadi dengan selalu mengingat dan merenungkan keagungan Allah Jalla wa Ala Yang kita ibadahi yang hanya kepada-Nya saja ibadah boleh ditujukan, merenungkan bahwa perbuatan yang engkau lakukan karena riya’ untuk orang tersebut akan menghancurkan dirimu, dan engkau tidak akan menjumpai selain kecelakaan dan kebinasaan pada hari kiamat nanti, ini semua insya Allah Ta’ala yang akan membantumu untuk ikhlash dalam beribadah.

Sumber artikel: albaidha[dot]net

###

Riya’ adalah menampakkan amalan sholih dalam rangka mencari pujian manusia.
Menampakkan sedekah supaya dipuji, menampakkan sholat dan puasa supaya dipuji, berjihad, menuntut ilmu, dan menampakkan berbagai amal ibadah lainnya demi pujian dan sanjungan manusia.
Apa hukumnya?
Riya’ merupakan dosa besar. Karena riya’ termasuk perbuatan syirik kecil.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya yang paling ditakutkan dari apa yang saya takutkan menimpa kalian adalah asy syirkul ashghar (syirik kecil), maka para shahabat bertanya, apa yang dimaksud dengan asy syirkul ashghar? Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ar Riya’.”
Bahaya riya?
Apabila suatu amalan dilandasi rasa riya dari awalnya maka ini bisa menyebabkan suatu amalan tertolak dan tidak diterima di sisi Allah Azza wa Jalla. Allah subhanahu wata’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ كَالَّذِي يُنفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا ۖ لَّا يَقْدِرُونَ عَلَىٰ شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُوا ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kalian menghilangkan pahala sedekahmu dengan selalu menyebut-nyebut dan dengan menyakiti perasaan si penerima, seperti orang-orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari akhir.”
(Al Baqarah: 264)
Dalam ayat di atas, Allah subhanahu wata’ala mengabarkan bahwa sedekah yang selalu disebut-sebut atau menyakiti perasaan si penerima akan menyebabkan hilangnya pahala sedekah tersebut di sisi Allah subhanahu wata’ala sebagaimana orang yang riya dalam infaq dan sedekahnya.
Selain tertolaknya amalan, pelaku riya juga di ancam dengan neraka.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyebutkan dalam sebuah hadits bahwa yang pertama kali dihisab di hari kiamat adalah tiga golongan manusia:
pertama; seseorang yang mati di medan jihad
kedua; pembaca Al Qur’an, dan yang
ketiga; seseorang yang suka berinfaq.
Ketiga golongan manusia ini Allah subhanahu wata’ala campakkan dalam An Naar (neraka) karena mereka beramal bukan karena Allah subhanahu wata’ala namun sekedar mencari  pujian dan popularitas.
(HR. Muslim no. 1678)
Bagaimana jika rasa riyaitu muncul di tengah-tengah amalan?
Seseorang melakukan suatu amalan dengan niat awal dalam hatinya adalah hanya untuk Allah kemudian ditengah-tengah melakukan amalan tersebut terbersit rasa riya' (ingin dipuji).
Maka yang seperti ini dirinci:
Apabila dia berusaha untuk menghilangkan rasa riya yang tiba-tiba hinggap tersebut dan tidak memperdulikannya serta bersungguh-sungguh berusaha untuk memurnikan niatnya hanya untuk Allah semata maka riya tersebut tidak akan membahayakannya.
Apabila riya tersebut terus diikuti hingga akhir amalannya dan amalan yang dilakukan adalah jenis amalan yang bersambung dari awal sampai akhir seperti sholat, maka amalan tersebut akan tertolak dan pelakunya pun akan mendapatkan ancaman siksa neraka.
Dan apabila amalannya adalah amalan yang terpisah antara awal dengan yang akhir misalnya sedekah untuk dua orang dalam waktu yang sama.
Ketika bersedekah kepada yang ke-1 ikhlas kemudian kepada yang ke-2 muncul rasa riya, maka riya tidak akan membahayakannya pada keadaan pertama,dan akan membahayakannya pada keadaan kedua.
(Jamiiul uluumi wal hikam Ibnu Rajab Al Hambali)

Tentang AHLUL BAIT

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
“Wahai sekalian manusia, sungguh aku telah meninggalkan pada kalian dua perkara yang bila kalian mengambilnya, maka kalian tidak akan sesat. Yaitu Kitabullah dan ‘Itrati, (yakni) ahlul baitku.” (HR. At-Tirmidzi no. 3786 dari Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, Misykatul Mashabih no. 6143, dan Ash-Shahihah no. 1761)

Dalam lafadz lain:
“Sungguh aku meninggalkan pada kalian perkara yang bila kalian berpegang teguh dengannya niscaya kalian tidak akan sesat sepeninggalku. Salah satu dari perkara itu lebih besar daripada perkara yang lainnya, yaitu Kitabullah, Tali Allah yang terbentang dari langit ke bumi [1]. Dan (perkara lainnya adalah) ‘Itrati, yaitu ahlul baitku. Keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya mendatangiku [2] di haudh [3]. Maka lihatlah dan perhatikanlah bagaimana kalian menjaga dan memperhatikan keduanya sepeninggalku.” (HR. Ahmad 3/14,17 dan At-Tirmidzi no. 3788, dari Abu Said Al-Khudri dan Zaid bin Arqam radhiallahu anhuma, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, Misykatul Mashabih no. 6144, dan Ash-Shahihah 4/356-357)

At-Taurabasyti dalam Al-Mirqaah (5/600) berkata:
“’Itrah seseorang adalah ahlul baitnya dan golongannya yang paling dekat dengannya. Karena kata ‘itrah ini dipakai untuk banyak segi, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjelaskannya dengan pernyataan beliau ‘ahlul baitku’, agar diketahui bahwa yang beliau maksudkan dengan kata tersebut adalah keturunan beliau, keluarga beliau yang paling dekat, dan istri-istri beliau.” (Tuhfatul Ahwadzi 1/196, Ash-Shahihah 4/360)

Dalam Tuhfatul Ahwadzi, dibawakan ucapan Ibnu Malik bahwa yang dimaksud berpegang teguh dengan Al-Qur’an adalah mengamalkan apa yang ada di dalamnya yaitu melaksanakan perintah-perintah Allah dan berhenti (tidak mengerjakan) dari larangan-larangan-Nya. Sedangkan makna berpegang dengan ‘itrah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah mencintai mereka dan mengambil petunjuk dengan petunjuk mereka dan perjalanan hidup mereka. As-Sayyid Jamaluddin menambahkan: “Selama hal itu tidak menyelisihi agama.” Al-Qari berkata: “Yang dimaksud berpegang dengan ahlul bait adalah berpegang teguh dengan kecintaan terhadap mereka, menjaga kehormatan mereka, mengamalkan riwayat mereka dan bersandar dengan perkataan mereka (selama tidak menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah). Dan hal ini bukan berarti meniadakan pengambilan As-Sunnah dari shahabat selain mereka.” Ath-Thibi berkata: “Dalam ucapan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ada isyarat bahwa keduanya (Al-Qur`an dan Al-’Itrah) seperti saudara kembar yang ditinggalkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Beliau mewasiatkan kepada umat beliau untuk membaikkan penjagaan dan perhatian kepada keduanya dan mengutamakan hak keduanya di atas hak diri mereka sendiri, sebagaimana wasiat seorang ayah yang dicintai oleh manusia tentang hak anak-anaknya.” (Tuhfatul Ahwadzi 1/196,197)

Yazid bin Hayyan menyampaikan sebuah hadits yang terkenal dengan sebutan hadits Ghadir Khum.
Beliau rahimahullah berkata:
“Aku bersama Hushain bin Sabrah dan Umar bin Muslim pergi menemui shahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang bernama Zaid bin Arqam radhiallahu anhu. Tatkala kami telah duduk bersamanya, Hushain berkata kepadanya:
“Wahai Zaid, sungguh engkau telah menemui kebaikan yang banyak. Engkau pernah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Engkau pernah mendengar hadits beliau. Engkau pernah berjihad bersama beliau dan pernah pula shalat di belakang beliau. Sungguh wahai Zaid, engkau telah menemui kebaikan yang banyak. Sampaikanlah hadits kepada kami, wahai Zaid, dari apa yang pernah engkau dengar dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam."
Zaid menjawab:
“Wahai anak saudaraku, demi Allah, sungguh usiaku telah senja dan telah lewat masaku hingga aku telah lupa sebagian yang dulunya pernah aku ingat (hapal) dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Maka apa yang nantinya aku sampaikan kepada kalian, terimalah. Sedangkan apa yang tidak kusampaikan maka janganlah kalian membebani aku untuk menyampaikannya."
Kemudian Zaid berkata:
“Suatu hari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berdiri di antara kami untuk menyampaikan khutbah, di (dekat) anak sungai bernama Khum, terletak di antara Makkah dan Madinah. Beliau shallallahu alaihi wasallam memuji dan menyanjung Allah, lalu memberikan nasehat dan peringatan. Kemudian beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda:
"Amma ba’du. Ketahuilah wahai sekalian manusia, aku hanyalah seorang manusia, hampir-hampir akan datang menemuiku utusan Rabbku (untuk mencabut ruhku), maka aku akan memenuhi panggilan tersebut. Dan aku tinggalkan di antara kalian dua perkara yang agung. Yang pertama Kitabullah, di dalamnya ada petunjuk dan cahaya. Maka ambillah oleh kalian Kitabullah dan berpegang teguhlah dengannya."
Beliau shallallahu alaihi wasallam lalu menganjurkan untuk berpegang dengan Kitabullah, memberikan dorongan, anjuran dan kabar gembira (bila berpegang dengan Kitabullah). Kemudian beliau bersabda lagi:
“Ahlu baitku. Aku mengingatkan kalian kepada Allah dalam perkara ahlu baitku. Aku mengingatkan kalian kepada Allah dalam perkara ahlu baitku. Aku mengingatkan kalian kepada Allah dalam perkara ahlu baitku.”
Hushain bertanya kepada Zaid:
“Siapakah Ahlu Bait beliau, wahai Zaid? Bukankah istri-istri beliau termasuk Ahlu Bait beliau?”
Zaid menjawab:
“Istri-istri beliau memang termasuk Ahlu Bait beliau. Akan tetapi yang dimaksudkan dengan Ahlu Bait beliau adalah orang yang diharamkan memakan/menerima harta sedekah (zakat) sepeninggal beliau.”
Hushain bertanya lagi:
“Siapakah mereka itu?”
Zaid menjawab:
“Mereka adalah keluarga Ali (ibnu Abi Thalib), keluarga Aqil (ibnu Abi Thalib), keluarga Ja`far (ibnu Abi Thalib), dan keluarga Abbas (ibnu Abdil Muthalib).”
Hushain berkata:
“Mereka semua itu diharamkan mengambil harta sedekah (zakat)?”
“Iya,” jawab Zaid."
(HR. Muslim no. 2408)

Dalam riwayat lain di Shahih Muslim juga, ketika Zaid ditanya, apakah istri-istri beliau shallallahu alaihi wasallam termasuk Ahlu Bait beliau, Zaid menjawab:
“Tidak.”
Kemudian Zaid menyatakan:
“Ahlu Bait beliau adalah keturunan beliau dan keluarga beliau (`ashabah) yang diharamkan memakan sedekah sepeninggal beliau.”

Al-Imam An-Nawawi menempatkan kedua riwayat yang terlihat bertentangan ini dengan menyatakan:
“Istri-istri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam termasuk Ahlu Bait beliau yang tinggal bersama beliau, beliau menafkahi mereka dan memerintahkan untuk menghormati serta memuliakan mereka. Beliau mengistilahkan mereka dengan tsaqalain (perkara yang berat/besar/agung), menasehati dan mengingatkan untuk memperhatikan hak-hak mereka. Istri-istri beliau termasuk dalam semua perkara ini namun tidak termasuk yang diharamkan memakan zakat/sedekah.” (Syarhu Shahih Muslim 15/180)

Asy-Syaikh Abdul Haq dalam Al- Lum‘aat berkata:
“Ketahuilah, telah datang keterangan yang menyebutkan bahwa makna ahlul bait adalah orang-orang yang diharamkan menerima sedekah/zakat, mereka adalah Bani Hasyim yang mencakup Alu (keluarga) Abbas, Alu Ali, Alu Ja‘far, Alu Aqil dan Alu Harits (ibnu Abdil Muthalib). Mereka semua ini diharamkan menerima sedekah/zakat. Ahlul bait juga datang dengan makna keluarga Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang mencakup istri- istri beliau yang disucikan. Mengeluarkan istri-istri beliau shallallahu alaihi wasallamdari ahlul bait yang disebutkan dalam firman Allah, “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai ahlul bait, dan membersihkan kalian dengan sebersih-bersihnya.” (Al-Ahzab: 33)
Padahal sasaran pembicaraan dalam ayat ditujukan kepada mereka, demikian yang tampak pada ayat sebelum dan sesudahnya, berarti mengeluarkan kalam (ucapan) dari konteksnya dan susunannya.”
(Tuhfatul Ahwadzi 10/195)

Diriwayatkan sebuah hadits, yang terkenal dengan sebutan hadits Kisa`, oleh Al-Imam Ahmad dan At- Tirmidzi dari hadits Ummu Salamah radhiallahu anha, dan juga oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya (no. 2424) dari hadits Aisyah radhiallahu anha, ia berkata:
“Pada suatu pagi, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam keluar dengan mengenakan selimut dari kain tebal berwarna hitam yang berlukis pelana unta. Maka datanglah Al- Hasan bin Ali, beliau pun memasukkannya ke dalam selimut. Datang pula Al-Husain, beliau juga memasukkannya bersama Al-Hasan. Kemudian datang Fathimah, beliau masukkan pula ke dalam selimut tersebut. Demikian pula ketika Ali datang, beliau lakukan yang sama. Kemudian beliau membaca ayat yang maknanya: “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai ahlul bait, dan membersihkan kalian dengan sebersih-bersihnya.” (Al-Ahzab: 33)

Dalam riwayat lain dari ‘Umar bin Abi Salamah, disebutkan sebagai berikut:
"Ketika turun kepada Nabi ayat Allah (Sesungguhnya Allah bermaksud.hendak menghilangkan dosa dari kalian, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya) di rumah Ummu Salamah, beliau memanggil Fathimah, Hasan, dan Husain, kemudian beliau menyelimuti mereka dengan selimut (kisa`). Dan ‘Ali berada di belakang beliau lalu beliau juga menyelimutinya dengan selimut. Beliau berkata, “Ya Allah, mereka adalah Ahlul Baitku, hilangkanlah kotoran dari mereka dan bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya.” Maka Ummu Salamah berkata, “Apakah aku bersama dengan mereka, ya Nabi Allah?” Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Engkau tetaplah pada tempatmu dan engkau berada dalam kebaikan.” (HR. At-Tirmidzi no. 3205)

Disebutkan bahwa tidak dimasukkannya Ummu Salamah dalam selimut bersama mereka, karena adanya ‘Ali bin Abi Thalib (‘Ali bukanlah mahram Ummu Salamah), dan bukan berarti bahwa Ummu Salamah tidak termasuk Ahlul Bait. (Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ At-Tirmidzi, juz 9 hal. 48)

Mengenai Surat Al-Ahzab ayat 33, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Asakir dari jalan Ikrimah, bahwa Ibnu Abbas mengatakan ayat ini turun tentang istri-istri Nabi. Kemudian Ikrimah berkata:
“Barangsiapa yang mau, aku akan bermubahalah (saling mendoakan kebinasaan) dengannya bahwa ayat ini turun tentang istri-istri Nabi.”
Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Ikrimah, ‘Atha`, Al-Kalbi, Muqatil, Sa’id bin Jubair, dan lain-lain.
Namun diriwayatkan pula dari beberapa orang dari kalangan Salaf bahwa yang dimaksud juga Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Yang demikian bukan merupakan pertentangan karena disebutkan pula dalam hadits di atas (hadits Kisa) bahwa mereka adalah Ahlul Bait juga.
Adapun Al-Qurthubi dan Ibnu Katsir menyatakan bahwa ucapan yang bijaksana dalam masalah ini adalah:
“Ayat ini mencakup istri-istri Nabi dan mencakup pula Ali, Fatimah, Al-Hasan dan Al-Husain. Adapun istri-istri Nabi karena konteks ayatnya tentang mereka, dan karena mereka tinggal di rumah-rumah Nabi. Adapun masuknya Ali, Fatimah, Al-Hasan dan Al-Husain karena mereka adalah kerabat Nabi dalam nasab. Maka barangsiapa yang mengkhususkan ayat ini untuk salah satunya berarti dia telah mengabaikan kewajibannya terhadap yang lainnya."
(Lihat Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ At-Tirmidzi, juz 9 hal. 48-49)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata tentang kandungan hadits kisa`:
“Nabi shallallahu alaihi wasallam mendoakan agar Allah menghilangkan dosa/kejelekan mereka dan mensucikan mereka dengan sesuci-sucinya. Tujuannya adalah mendoakan kebaikan bagi mereka agar mereka menjadi orang-orang yang bertakwa yang dihilangkan dosa/kejelekan mereka oleh Allah dan disucikan. Menjauhi dosa/kejelekan ini wajib bagi setiap mukmin dan thaharah (mensucikan diri) diperintahkan kepada seluruh mukmin. Allah berfirman:
“Allah tidak hendak menyulitkan kalian tetapi Dia hendak mensucikan diri kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya bagi kalian agar kalian mau bersyukur.” (Al-Maidah: 6)
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu akan membersihkan dan mensucikan mereka.” (At-Taubah: 103)
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (Al-Baqarah: 222)
Puncak dari perkara ini adalah doa bagi mereka untuk mengerjakan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang. Perkara pensucian dari dosa ini bukanlah khusus bagi ahlul kisa` karena dalam nash-nash lain kita dapatkan para shahabat selain mereka juga mendapatkan keistimewaan tersebut. Seperti Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiallahu anhu, dia adalah orang yang Allah puji dalam firman-Nya:
“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, yang memberikan hartanya (di jalan Allah) guna mensucikan dirinya, padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi ia memberikan harta itu semata-mata karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha Tinggi. Dan kelak ia benar-benar akan ridha.” (Al-Lail: 17-21)
Demikian juga keberadaan As-Sabiqunal Awwalun dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan –semoga Allah meridhai mereka dan mereka pun ridha pada-Nya–, Allah nyatakan janji-Nya untuk mereka:
“Allah telah menyediakan untuk mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, dalam keadaan mereka kekal selama- lamanya di dalamnya. Yang demikian itu adalah keberuntungan yang besar.” (At-Taubah: 100)
Mereka yang mendapat janji surga ini mesti telah melakukan perkara yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang karena yang namanya keridhaan dan balasan itu hanyalah diperoleh dengan cara demikian. Sehingga dengan begitu jadilah hilangnya kejelekan dan sucinya mereka dari dosa merupakan sebagian sifat mereka. Maka apa yang didoakan Nabi shallallahu alaihi wasallam untuk ahlul kisa` (mereka yang diselimuti Nabi shallallahu alaihi wasallam di dalam hadits Kisa`, yakni Hasan, Husain, Fathimah, dan Ali) merupakan sebagian dari apa yang Allah sifatkan untuk As-Sabiqunal Awwalun. Dan kita dapatkan di antara para shahabat selain ahlul kisa` ada yang didoakan Nabi shallallahu alaihi wasallam agar Allah memberikan shalawat untuk mereka dan beliau pernah mendoakan untuk kaum yang banyak agar dimasukkan ke dalam surga, mendapatkan pengampunan dan selainnya dari doa-doa yang lebih besar/agung, namun bukan merupakan kemestian bahwa orang yang didoakan tersebut lebih utama daripada As-Sabiqunal Awwalun. Akan tetapi karena ahlul kisa` ini telah diwajibkan Allah untuk menjauhi kejelekan dan melakukan amalan yang dapat membersihkan/mensucikan diri mereka, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam mendoakan mereka untuk dapat membantu mereka mengerjakan apa yang diperintahkan, sehingga mereka tidak menjadi orang-orang yang pantas mendapatkan cercaan/celaan dan hukuman, sebaliknya agar mereka dapat beroleh pujian dan pahala.” (Minhajus Sunnah An- Nabawiyyah, 5/10)

Asy-Syaikh Al-Albani berkata:
“Hadits ini (hadits al-'Itrah) termasuk yang dijadikan hujjah oleh orang-orang Syi’ah dan mereka banyak menekuninya sehingga sebagian Ahlus Sunnah menyangka dengan keliru bahwa mereka ditimpa musibah dengan perkara ini. Padahal mereka semuanya salah sangka. Keterangannya dari dua sisi berikuti ini:
Pertama: Yang dimaukan dalam hadits dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam “’itrati”, mayoritasnya mendukung apa yang dimaukan oleh Syi`ah dan tidak ditolak oleh Ahlus Sunnah, bahkan mereka berpegang teguh dengannya, yaitu Al-’Itrah dalam hadits ini adalah Ahlu Bait Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Keterangan ini datang secara jelas pada sebagian jalan hadits ini seperti hadits dalam tarjumah (judul bab) “’Itrati ahlu baiti”. Ahlu Bait beliau shallallahu alaihi wasallam pada asalnya adalah istri-istri beliau, di antara mereka ada Ash-Shiddiqah Aisyah radhiallahu anha, sebagaimana hal ini disebutkan secara jelas dalam firman Allah dalam surah Al-Ahzab, dengan dalil ayat yang sebelumnya dan setelahnya:
“Wahai istri-istri Nabi, kalian tidaklah sama seperti wanita yang lain, jika kalian bertakwa. Maka janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. Dan tinggallah kalian di rumah-rumah kalian dan janganlah bertabarruj seperti tabarrujnya orang-orang jahiliyyah yang dahulu. Tegakkanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai ahlul bait, dan membersihkan kalian dengan sebersih-bersihnya. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumah-rumah kalian dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabi). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.” (Al- Ahzab: 32-34)
Pengkhususan Syi‘ah terhadap ahlul bait dalam ayat hanya sebatas pada Ali, Fathimah, Al-Hasan, dan Al-Husain radhiallahu anhum tanpa menyertakan istri-istri Nabi shallallahu alaihi wasallam merupakan tahrif (penyimpangan/pembelokan) mereka terhadap ayat-ayat Allah dalam rangka membantu hawa nafsu mereka sebagaimana hal ini dijelaskan nantinya. Adapun hadits Al-Kisa` dan yang semakna dengannya, tujuan yang ada di dalamnya adalah perluasan penunjukkan ayat (Surat al-Ahzab ayat 33) dan untuk menunjukkan Ali dan keluarganya juga masuk ke dalam ayat tersebut, sebagaimana hal ini diterangkan Al- Hafizh Ibnu Katsir dan selainnya. Demikian pula hadits Al-‘Itrah, Nabi shallallahu alaihi wasallam telah menerangkan bahwa yang dimaksud ahlul bait beliau shallallahu alaihi wasallam dengan makna yang sempurna mencakup istri-istri beliau, Ali, dan keluarganya.”
Asy-Syaikh Al-Albani berkata lagi:
“Al-Imam Abu Ja`far Ath-Thahawi berkata, “Al-’Itrah adalah Ahlul Bait Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang mereka itu di atas agamanya dan berpegang teguh dengan perintahnya.” Asy-Syaikh Ali Al-Qari juga menyebutkan yang semisal ini. Kemudian dari ucapan Al-Qari berikut ini menjadi jelas mengapa ahlul bait disebutkan secara khusus (di dalam hadits al-'Itrah), “Secara umum ahlul bait lebih tahu tentang pemilik rumah dan keadaan-keadaannya. Maka yang dimaksud dengan ahlul bait di sini adalah ahlu ilmi dari kalangan mereka, yang menelaah sirah beliau, yang berdiri di atas jalan beliau, yang mengetahui hukum dan hikmahnya. Dengan penjelasan seperti ini ahlul bait pantas berdampingan dengan Kitabullah sebagaimana Allah berfirman, “Dia mengajarkan kepada mereka Al- Kitab dan Al-Hikmah.” Aku (Asy-Syaikh Al-Albani) katakan: Dan yang semisal ayat di atas adalah firman Allah yang ditujukan kepada istri-istri Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam ayat ath-tathhir yang telah lewat, “Ingatlah apa yang dibacakan di rumah-rumah kalian dari ayat-ayat Allah dan Al-Hikmah.” Dengan demikian menjadi jelaslah bahwa yang dimaksudkan dengan ahlul bait adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dari kalangan mereka. Inilah yang menjadi maksud dalam hadits, karena itulah ia dijadikan salah satu dari ats-tsaqalain dalam hadits Zaid bin Arqam yang berhadapan/berdampingan dengan ats-tsaqal yang pertama yaitu Al Qur`an. Demikian yang diisyaratkan oleh Ibnul Atsir dalam An-Nihayah, “Keduanya dinamakan tsaqalain, karena orang yang mengambil keduanya (yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan mengamalkannya itu berat. Dan semua perkara yang mulia, tinggi lagi bernilai diistilahkan tsaqal. Keduanya dinamakan tsaqalain dalam rangka mengagungkan kadar keduanya dan membesarkan urusan keduanya.” Aku katakan: Kesimpulannya, disebutkannya ahlul bait berdampingan dengan Al-Qur`an dalam hadits ini seperti disebutkannya sunnah Al-Khulafa` Ar-Rasyidun berdampingan dengan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam sabda beliau shallallahu alaihi wasallam, “Maka wajib bagi kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnah Al Khulafa` Ar Rasyidin.” (Ash-Shahihah, 4/359-361)

Ahlus Sunnah mencintai Ahlu Bait Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, berloyalitas kepada mereka dan menjaga wasiat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam perkara mereka, di mana beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Aku mengingatkan kalian kepada Allah dalam perkara ahlu baitku. Aku mengingatkan kalian kepada Allah dalam perkara ahlu baitku.” Ahlus Sunnah berloyalitas kepada Al-Hasan, Al-Husain, dan orang-orang yang masyhur dari kalangan cucu-cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam seperti Al-Hasan bin Al-Hasan, Abdullah bin Al-Hasan, Ali bin Al-Husain Zainul Abidin, Muhammad bin Ali bin Al-Husain yang digelari Al-Baqir, Ja‘far bin Muhammad Ash-Shadiq, Musa bin Ja‘far, dan Ali bin Musa Ar-Ridha. Demikian pula sikap Ahlus Sunnah terhadap seluruh anak turunan Ali dari tulang sulbinya seperti Al-Abbas, Umar, Muhammad bin Al-Hanafiyyah dan seluruh yang berjalan di atas jalan yang dilalui oleh bapak-bapak mereka yang bersih. Namun mereka yang condong kepada pemahaman Mu‘tazilah ataupun Rafidhah tidaklah termasuk di dalamnya. (Masailut Taqrib Baina Ahlis Sunnah wasy Syi‘ah, 1/106)

Ibnu Taimiyyah berkata:
“Ahlu Bait Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memiliki hak-hak yang wajib untuk dijaga/diperhatikan, karena Allah menjadikan hak untuk mereka dalam mendapatkan bagian dari harta khumus dan fai’ (pampasan perang). Allah perintahkan untuk memberikan shalawat kepada mereka sebagaimana bershalawat untuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengajari kita untuk mengatakan: “Ya Allah, berikanlah shalawat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan kepada keluarga beliau sebagaimana Engkau memberikan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Berikanlah berkah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau memberikan keberkahan kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia.” (Majmu`ah Ar-Rasail Al-Kubra 1/297-298)

Catatan Kaki

[1] Al-Qur’an adalah tali yang membentang dari langit ke bumi yang akan menyampaikan hamba kepada Rabbnya dan menjadi wasilah/perantara bagi si hamba untuk dekat kepada Rabbnya. (Tuhfatul Ahwazi 1/197)

[2] Maka kelak di sisiku, keduanya mensyukuri apa yang kalian lakukan. (Tuhfatul Ahwadzi 1/197)

[3] Telaga dari Al-Kautsar milik Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di akhirat.

Tentang MENGAKIKAHI DIRI SENDIRI

al Ustadz Qomar Suaidi

Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat, yang terkuat dari pendapat yang ada adalah boleh. Berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menerangkan bahwa beliau mengakikahi dirinya sendiri setelah menjadi nabi.

Hadits ini sahih menurut pendapat yang paling kuat (rajih). Sebagian ulama melemahkannya, namun pendapat mereka keliru. Oleh karena itu, kami akan sedikit menyampaikan pembahasan hadits ini.

Sebenarnya hadits ini telah panjang lebar dibahas oleh asy-Syaikh al-Albani dalam kitab beliau Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 2726. Di sini saya hanya akan meringkas apa yang dijabarkan oleh beliau dan sedikit menambahkan yang perlu.

Adapun bunyi hadits itu, Anas berkata,
ﻋَﻖَّ ﻋَﻦْ ﻧَﻔْﺴِﻪِ ﺑَﻌْﺪَﻣَﺎ ﺑُﻌِﺚَ ﻧَﺒِﻴًّﺎ
“Nabi mengakikahi dirinya setelah diutus menjadi nabi.”
Hadits ini disampaikan oleh sahabat Anas radhiyallahu ‘anhu. Ada tiga rantai sanad yang sampai kepada sahabat Anas radhiyallahu ‘anhu.

a. Al-Haitsam bin Jamil, dari Abdullah bin al-Mutsanna, dari Tsumamah bin Anas, dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu.
Jalur ini diriwayatkan oleh ath-Thahawi, ath-Thabarani, Ibnu Hazm, adh-Dhiya’ al-Maqdisi, Abu asy-Syaikh, dan Ibn A’yan.

b. Isma’il bin Muslim, dari Qatadah, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
Jalur ini diriwayatkan oleh Abu asy-Syaikh.

c. Abdullah bin al-Muharrar, dari Qatadah, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
Jalur ini diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, Ibnu Hibban, al-Bazzar, dan Ibnu Adi.

Untuk rantai sanad yang pertama, asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Ini adalah sanad yang hasan, para rawinya adalah orang-orang yang telah dijadikan hujah (para periwayat tepercaya) dalam Shahih al-Bukhari, selain al-Haitsam bin Jamil. Beliau (al-Haitsam bin Jamil) sendiri adalah seorang yang tsiqah (tepercaya) dan hafizh (penghafal hadits), salah seorang guru al-Imam Ahmad rahimahullah. Selanjutnya, Abdullah bin al-Mutsanna, beliau adalah salah seorang periwayat dalam Shahih al-Bukhari, artinya al-Bukhari rahimahullah menganggap bahwa Abdullah bin al-Mutsanna termasuk tepercaya. Namun, ternyata ada ulama lain yang membicarakan Abdullah bin al-Mutsanna ini. Karena itu, al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mendudukkan perselisihan ini dengan kesimpulan bahwa al-Bukhari rahimahullah hanya memercayai sepenuhnya Abdullah bin al-Mutsanna apabila dia meriwayatkan dari pamannya. Jika tidak, al-Bukhari tidak bertumpu pada riwayatnya. Alhamdulillah, ternyata hadits yang kita bahas ini beliau riwayatkan dari pamannya, Tsumamah bin Anas, sehingga sesuai dengan syarat al-Bukhari dalam hal ini.

Mengenai rantai sanad yang kedua, terkhusus adanya perawi yang bernama Ismail bin Muslim, maka asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Semacam sanad tersebut bisa dijadikan pendukung sehingga hadits semakin kuat dengannya.”
Tentang Ismail bin Muslim ini, Abu Hatim —beliau termasuk ulama yang keras dalam mencacat para rawi— mengatakan, “Ismail bin Muslim tidak ditinggalkan, haditsnya dapat ditulis,” yakni untuk dukungan.
Ibnu Sa’d rahimahullah mengatakan, “Dia adalah orang yang diperhitungkan pendapat dan fatwanya, memiliki pandangan dan hafalan terhadap hadits. Karena itu, aku dahulu menulis hadits darinya karena kecerdasannya.”
Adapun Qatadah, maka jelas seorang ulama yang terkenal dan yang tepercaya.

Mengenai rantai sanad yang ketiga, para ulama melemahkannya karena kelemahan perawinya, yaitu Abdullah bin al-Muharrar.

Dari pemaparan singkat tentang hadits ini, tampak bahwa hadits ini sahih atau hasan. Di antara ulama yang menganggap kuatnya hadits ini dari ulama terdahulu adalah adalah adh-Dhiya’ al-Maqdisi rahimahullah dalam kitabnya al-Mukhtarah, Abdul Haq al-Isybili dalam kitabnya al-Ahkam, dan Abu Zur’ah al-Iraqi dalam kitabnya Tharhu Tatsrib. Menurut asy-Syaikh al-Albani, bisa juga dikatakan bahwa Ibnu Hazm dan ath-Thahawi termasuk yang menerima hadits ini karena mereka menyebutkan sanadnya tanpa mengkritiknya.

Adapun para ulama yang menganggap lemah hadits ini, di antaranya al-Imam Ahmad dan al-Baihaqi yang mengatakan hadits ini mungkar, juga an-Nawawi yang mengatakan batil, sesungguhnya mereka melemahkan hadits ini dari jalur rantai sanad yang ketiga.

Dengan demikian, pendapat yang membolehkan mengakikahi diri sendiri adalah pendapat yang rajih (kuat). Ini adalah pendapat Atha’, al-Hasan al-Bashri, Ibnu Sirin, asy-Syafi’i, dan salah satu riwayat dari al-Imam Ahmad, dan asy-Syaukani menggantungkan pendapat ini dengan kesahihan hadits. Alhamdulillah, hadits ini sahih.
(lihat al-Mufashshal fi Ahkamil Aqiqah hlm. 96)

Al-Hasan rahimahullah mengatakan, “Apabila kamu belum diakikahi, akikahilah dirimu walaupun kamu lelaki.”
Perkataan beliau "walaupun kamu lelaki" dikarenakan ada yang mengkhususkan hukum ini bagi wanita.

Muhammad bin Sirrin rahimahullah mengatakan, “Seandainya aku tahu bahwa aku belum diakikahi, tentu aku akan mengakikahi diriku.” (ash-Shahihah 6/506 qism 1)

Pendapat yang kedua, yang melarang, adalah pendapat Malikiah. Al-Imam Malik sendiri ada beberapa riwayat yang berbeda dalam hal ini. (at-Tamhid , 4/312)
Sebagian ulama yang cenderung kepada pendapat ini mengatakan bahwa seandainya hadits ini sahih, bisa jadi ini adalah kekhususan bagi beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun, sanggahan seperti ini lemah karena kekhususan itu harus berdasarkan dalil, sementara itu di sini tidak ada dalil yang mengkhususkan hal ini untuk beliau.

Asy Syariah Edisi 086

###

Fatwa Syaikh Bin Baz

Syaikh Bin Baz Rohimahulloh berfatwa:
أنه يستحب أن يعق عن نفسه؛ لأن العقيقة سنة مؤكدة، وقد تركها والده فشرع له أن يقوم بها إذا استطاع؛ ذلك لعموم الأحاديث ومنها: قوله صلى الله عليه وسلم: (كل غلام مرتهن بعقيقته تذبح عنه يوم سابعه ويحلق ويسمى) أخرجه الإمام أحمد، وأصحاب السنن عن سمرة بن جندب رضي الله عنه بإسناد صحيح
Disukai untuk mengakikahi diri sendiri karena akikah adalah sunnah muakkadah. Dan ayahnya tidak melakukan hal itu terhadapnya, maka disyariatkan baginya untuk melaksanakan hal itu jika dia mampu. Yanh demikian berdasarkan keumuman hadits, di antaranya:  Sabda Nabi shollallaahu alaihi wasallam: Setiap anak tergadaikan dengan akikahnya, disembelihkan (kambing) pada hari ketujuh, dicukur rambutnya dan diberi nama. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ashaabus Sunan dari Samuroh bin Jundub radhiyallahu anhu dengan sanad yg shahih. (Majmu' Fataawa Ibn Baaz (26/266))

Alih bahasa: Abu Utsman Kharisman

WA al-I'tishom

WA Al Istifadah
WALIS
http://walis-net.blogspot.com/p/depan.html