Cari Blog Ini

Senin, 03 November 2014

Tentang MENGAKIKAHI DIRI SENDIRI

al Ustadz Qomar Suaidi

Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat, yang terkuat dari pendapat yang ada adalah boleh. Berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menerangkan bahwa beliau mengakikahi dirinya sendiri setelah menjadi nabi.

Hadits ini sahih menurut pendapat yang paling kuat (rajih). Sebagian ulama melemahkannya, namun pendapat mereka keliru. Oleh karena itu, kami akan sedikit menyampaikan pembahasan hadits ini.

Sebenarnya hadits ini telah panjang lebar dibahas oleh asy-Syaikh al-Albani dalam kitab beliau Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 2726. Di sini saya hanya akan meringkas apa yang dijabarkan oleh beliau dan sedikit menambahkan yang perlu.

Adapun bunyi hadits itu, Anas berkata,
ﻋَﻖَّ ﻋَﻦْ ﻧَﻔْﺴِﻪِ ﺑَﻌْﺪَﻣَﺎ ﺑُﻌِﺚَ ﻧَﺒِﻴًّﺎ
“Nabi mengakikahi dirinya setelah diutus menjadi nabi.”
Hadits ini disampaikan oleh sahabat Anas radhiyallahu ‘anhu. Ada tiga rantai sanad yang sampai kepada sahabat Anas radhiyallahu ‘anhu.

a. Al-Haitsam bin Jamil, dari Abdullah bin al-Mutsanna, dari Tsumamah bin Anas, dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu.
Jalur ini diriwayatkan oleh ath-Thahawi, ath-Thabarani, Ibnu Hazm, adh-Dhiya’ al-Maqdisi, Abu asy-Syaikh, dan Ibn A’yan.

b. Isma’il bin Muslim, dari Qatadah, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
Jalur ini diriwayatkan oleh Abu asy-Syaikh.

c. Abdullah bin al-Muharrar, dari Qatadah, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
Jalur ini diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, Ibnu Hibban, al-Bazzar, dan Ibnu Adi.

Untuk rantai sanad yang pertama, asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Ini adalah sanad yang hasan, para rawinya adalah orang-orang yang telah dijadikan hujah (para periwayat tepercaya) dalam Shahih al-Bukhari, selain al-Haitsam bin Jamil. Beliau (al-Haitsam bin Jamil) sendiri adalah seorang yang tsiqah (tepercaya) dan hafizh (penghafal hadits), salah seorang guru al-Imam Ahmad rahimahullah. Selanjutnya, Abdullah bin al-Mutsanna, beliau adalah salah seorang periwayat dalam Shahih al-Bukhari, artinya al-Bukhari rahimahullah menganggap bahwa Abdullah bin al-Mutsanna termasuk tepercaya. Namun, ternyata ada ulama lain yang membicarakan Abdullah bin al-Mutsanna ini. Karena itu, al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mendudukkan perselisihan ini dengan kesimpulan bahwa al-Bukhari rahimahullah hanya memercayai sepenuhnya Abdullah bin al-Mutsanna apabila dia meriwayatkan dari pamannya. Jika tidak, al-Bukhari tidak bertumpu pada riwayatnya. Alhamdulillah, ternyata hadits yang kita bahas ini beliau riwayatkan dari pamannya, Tsumamah bin Anas, sehingga sesuai dengan syarat al-Bukhari dalam hal ini.

Mengenai rantai sanad yang kedua, terkhusus adanya perawi yang bernama Ismail bin Muslim, maka asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Semacam sanad tersebut bisa dijadikan pendukung sehingga hadits semakin kuat dengannya.”
Tentang Ismail bin Muslim ini, Abu Hatim —beliau termasuk ulama yang keras dalam mencacat para rawi— mengatakan, “Ismail bin Muslim tidak ditinggalkan, haditsnya dapat ditulis,” yakni untuk dukungan.
Ibnu Sa’d rahimahullah mengatakan, “Dia adalah orang yang diperhitungkan pendapat dan fatwanya, memiliki pandangan dan hafalan terhadap hadits. Karena itu, aku dahulu menulis hadits darinya karena kecerdasannya.”
Adapun Qatadah, maka jelas seorang ulama yang terkenal dan yang tepercaya.

Mengenai rantai sanad yang ketiga, para ulama melemahkannya karena kelemahan perawinya, yaitu Abdullah bin al-Muharrar.

Dari pemaparan singkat tentang hadits ini, tampak bahwa hadits ini sahih atau hasan. Di antara ulama yang menganggap kuatnya hadits ini dari ulama terdahulu adalah adalah adh-Dhiya’ al-Maqdisi rahimahullah dalam kitabnya al-Mukhtarah, Abdul Haq al-Isybili dalam kitabnya al-Ahkam, dan Abu Zur’ah al-Iraqi dalam kitabnya Tharhu Tatsrib. Menurut asy-Syaikh al-Albani, bisa juga dikatakan bahwa Ibnu Hazm dan ath-Thahawi termasuk yang menerima hadits ini karena mereka menyebutkan sanadnya tanpa mengkritiknya.

Adapun para ulama yang menganggap lemah hadits ini, di antaranya al-Imam Ahmad dan al-Baihaqi yang mengatakan hadits ini mungkar, juga an-Nawawi yang mengatakan batil, sesungguhnya mereka melemahkan hadits ini dari jalur rantai sanad yang ketiga.

Dengan demikian, pendapat yang membolehkan mengakikahi diri sendiri adalah pendapat yang rajih (kuat). Ini adalah pendapat Atha’, al-Hasan al-Bashri, Ibnu Sirin, asy-Syafi’i, dan salah satu riwayat dari al-Imam Ahmad, dan asy-Syaukani menggantungkan pendapat ini dengan kesahihan hadits. Alhamdulillah, hadits ini sahih.
(lihat al-Mufashshal fi Ahkamil Aqiqah hlm. 96)

Al-Hasan rahimahullah mengatakan, “Apabila kamu belum diakikahi, akikahilah dirimu walaupun kamu lelaki.”
Perkataan beliau "walaupun kamu lelaki" dikarenakan ada yang mengkhususkan hukum ini bagi wanita.

Muhammad bin Sirrin rahimahullah mengatakan, “Seandainya aku tahu bahwa aku belum diakikahi, tentu aku akan mengakikahi diriku.” (ash-Shahihah 6/506 qism 1)

Pendapat yang kedua, yang melarang, adalah pendapat Malikiah. Al-Imam Malik sendiri ada beberapa riwayat yang berbeda dalam hal ini. (at-Tamhid , 4/312)
Sebagian ulama yang cenderung kepada pendapat ini mengatakan bahwa seandainya hadits ini sahih, bisa jadi ini adalah kekhususan bagi beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun, sanggahan seperti ini lemah karena kekhususan itu harus berdasarkan dalil, sementara itu di sini tidak ada dalil yang mengkhususkan hal ini untuk beliau.

Asy Syariah Edisi 086

###

Fatwa Syaikh Bin Baz

Syaikh Bin Baz Rohimahulloh berfatwa:
أنه يستحب أن يعق عن نفسه؛ لأن العقيقة سنة مؤكدة، وقد تركها والده فشرع له أن يقوم بها إذا استطاع؛ ذلك لعموم الأحاديث ومنها: قوله صلى الله عليه وسلم: (كل غلام مرتهن بعقيقته تذبح عنه يوم سابعه ويحلق ويسمى) أخرجه الإمام أحمد، وأصحاب السنن عن سمرة بن جندب رضي الله عنه بإسناد صحيح
Disukai untuk mengakikahi diri sendiri karena akikah adalah sunnah muakkadah. Dan ayahnya tidak melakukan hal itu terhadapnya, maka disyariatkan baginya untuk melaksanakan hal itu jika dia mampu. Yanh demikian berdasarkan keumuman hadits, di antaranya:  Sabda Nabi shollallaahu alaihi wasallam: Setiap anak tergadaikan dengan akikahnya, disembelihkan (kambing) pada hari ketujuh, dicukur rambutnya dan diberi nama. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ashaabus Sunan dari Samuroh bin Jundub radhiyallahu anhu dengan sanad yg shahih. (Majmu' Fataawa Ibn Baaz (26/266))

Alih bahasa: Abu Utsman Kharisman

WA al-I'tishom

WA Al Istifadah
WALIS
http://walis-net.blogspot.com/p/depan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar