Fatwa al-Lajnah ad-Daimah
Ketua: Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Wakil: Abdurrazzaq Afifi
Anggota: Abdullah Ghudayyan
Apabila lewat hari yang ketujuh dan belum diakikahi, sebagian fuqaha berpendapat bahwa tidak disunnahkan untuk diakikahi setelahnya, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan waktunya pada hari ketujuh. Sementara itu, ulama mazhab Hanbali dan sekelompok ahli fikih berpendapat bahwa disunnahkan untuk diakikahi walaupun telah lewat satu bulan, satu tahun, atau lebih, dari kelahirannya, berdasarkan keumuman hadits-hadits dan berdasarkan apa yang diriwayatkan al-Baihaqi dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengakikahi dirinya setelah kenabian, dan ini pendapat yang lebih hati-hati.
###
al Ustadz Qomar Suaidi
Dalam hal ini ada tiga pendapat sebagaimana disebutkan oleh Abu Zur`ah al-Iraqi dalam kitab Tharhu at-Tatsrib. Namun, dengan mengetahui persoalan pertama, yaitu bolehnya seseorang mengakikahi dirinya [1], tampak jelas bahwa diperbolehkan mengakikahi setelah hari ketujuh. Walaupun tentu sangat ditekankan untuk melakukannya pada hari ketujuh saat ada kemampuan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﻛُﻞُّ ﻏُﻼَﻡٍ ﺭَﻫِﻴﻨَﺔٌ ﺑِﻌَﻘِﻴﻘَﺘِﻪِ ﺗُﺬْﺑَﺢُ ﻋَﻨْﻪُ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟﺴَّﺎﺑِﻊِ
“Tiap anak itu tergadai dengan akikahnya yang disembelih pada hari ketujuh.” (Sahih, HR. Abu Dawud dan yang lain, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani)
Di antara yang berpendapat bolehnya setelah hari ke-7 adalah Ibnu Sirin, asy-Syafi’i, Ibnu Hazm, dan yang lain.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Yang tampak, pengaitan akikah dengan hari ketujuh adalah sunnah. Jadi, sah saja apabila menyembelih pada hari ke-4, ke-8, ke-10, atau setelahnya. Penentuan waktu ini adalah untuk penyembelihannya, bukan untuk memasak atau memakannya.” (Tuhfatul Maudud hlm. 76)
Adapun Ibnu Hazm rahimahullah tidak membolehkan sebelum hari ketujuh.
Apakah penyembelihan itu pada hari kapan saja ataukah tiap kelipatan ketujuh? Tampaknya, kapan saja boleh karena riwayat yang menyebutkan kelipatan ketujuh adalah lemah, sebagaimana telah diterangkan oleh asy-Syaikh al- Albani dalam kitab al-Irwa’ (4/395).
Sumber: Asy Syariah Edisi 086
Footnote:
[1] Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat, yang terkuat dari pendapat yang ada adalah boleh. Berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menerangkan bahwa beliau mengakikahi dirinya sendiri setelah menjadi nabi. Hadits ini sahih menurut pendapat yang paling kuat (rajih). Sebagian ulama melemahkannya, namun pendapat mereka keliru. Oleh karena itu, kami akan sedikit menyampaikan pembahasan hadits ini. Sebenarnya hadits ini telah panjang lebar dibahas oleh asy-Syaikh al-Albani dalam kitab beliau Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 2726. Di sini saya hanya akan meringkas apa yang dijabarkan oleh beliau dan sedikit menambahkan yang perlu. Adapun bunyi hadits itu, Anas berkata,
ﻋَﻖَّ ﻋَﻦْ ﻧَﻔْﺴِﻪِ ﺑَﻌْﺪَﻣَﺎ ﺑُﻌِﺚَ ﻧَﺒِﻴًّﺎ
“Nabi mengakikahi dirinya setelah diutus menjadi nabi.”
Hadits ini disampaikan oleh sahabat Anas radhiyallahu ‘anhu. Ada tiga rantai sanad yang sampai kepada sahabat Anas radhiyallahu ‘anhu.
a. Al-Haitsam bin Jamil dari Abdullah bin al-Mutsanna, dari Tsumamah bin Anas, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
Jalur ini diriwayatkan oleh ath-Thahawi, ath-Thabarani, Ibnu Hazm, adh-Dhiya’ al-Maqdisi, Abu asy-Syaikh, dan Ibn A’yan.
b. Isma’il bin Muslim, dari Qatadah, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
Jalur ini diriwayatkan oleh Abu asy-Syaikh.
c. Abdullah bin al-Muharrar, dari Qatadah, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
Jalur ini diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, Ibnu Hibban, al-Bazzar, dan Ibnu Adi.
a) Untuk rantai sanad yang pertama, asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Ini adalah sanad yang hasan, para rawinya adalah orang-orang yang telah dijadikan hujah (para periwayat tepercaya) dalam Shahih al-Bukhari, selain al-Haitsam bin Jamil. Beliau (al-Haitsam bin Jamil) sendiri adalah seorang yang tsiqah (tepercaya) dan hafizh (penghafal hadits), salah seorang guru al-Imam Ahmad rahimahullah.
Selanjutnya, Abdullah bin al-Mutsanna, beliau adalah salah seorang periwayat dalam Shahih al-Bukhari, artinya al-Bukhari rahimahullah menganggap bahwa Abdullah bin al-Mutsanna termasuk tepercaya. Namun, ternyata ada ulama lain yang membicarakan Abdullah bin al-Mutsanna ini. Karena itu, al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mendudukkan perselisihan ini dengan kesimpulan bahwa al-Bukhari rahimahullah hanya memercayai sepenuhnya Abdullah bin al-Mutsanna apabila dia meriwayatkan dari pamannya. Jika tidak, al-Bukhari tidak bertumpu pada riwayatnya. Alhamdulillah, ternyata hadits yang kita bahas ini beliau riwayatkan dari pamannya, Tsumamah bin Anas, sehingga sesuai dengan syarat al-Bukhari dalam hal ini.
b) Mengenai rantai sanad yang kedua, terkhusus adanya perawi yang bernama Ismail bin Muslim, maka asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Semacam sanad tersebut bisa dijadikan pendukung sehingga hadits semakin kuat dengannya.”
Tentang Ismail bin Muslim ini, Abu Hatim —beliau termasuk ulama yang keras dalam mencacat para rawi— mengatakan, “Ismail bin Muslim tidak ditinggalkan, haditsnya dapat ditulis,” yakni untuk dukungan.
Ibnu Sa’d rahimahullah mengatakan, “Dia adalah orang yang diperhitungkan pendapat dan fatwanya, memiliki pandangan dan hafalan terhadap hadits. Karena itu, aku dahulu menulis hadits darinya karena kecerdasannya.”
Adapun Qatadah, maka jelas seorang ulama yang terkenal dan yang tepercaya.
c) Mengenai rantai sanad yang ketiga, para ulama melemahkannya karena kelemahan perawinya, yaitu Abdullah bin al-Muharrar.
Dari pemaparan singkat tentang hadits ini, tampak bahwa hadits ini sahih atau hasan. Di antara ulama yang menganggap kuatnya hadits ini dari ulama terdahulu adalah adalah adh-Dhiya’ al-Maqdisi rahimahullah dalam kitabnya al-Mukhtarah, Abdul Haq al-Isybili dalam kitabnya al-Ahkam, dan Abu Zur’ah al-Iraqi dalam kitabnya Tharhu Tatsrib.
Menurut asy-Syaikh al-Albani, bisa juga dikatakan bahwa Ibnu Hazm dan ath-Thahawi termasuk yang menerima hadits ini karena mereka menyebutkan sanadnya tanpa mengkritiknya.
Adapun para ulama yang menganggap lemah hadits ini, di antaranya al-Imam Ahmad dan al-Baihaqi yang mengatakan hadits ini mungkar, juga an-Nawawi yang mengatakan batil, sesungguhnya mereka melemahkan hadits ini dari jalur rantai sanad yang ketiga.
Dengan demikian, pendapat yang membolehkan mengakikahi diri sendiri adalah pendapat yang rajih (kuat).
Ini adalah pendapat Atha’, al-Hasan al-Bashri, Ibnu Sirin, asy-Syafi’i, dan salah satu riwayat dari al-Imam Ahmad, dan asy-Syaukani menggantungkan pendapat ini dengan kesahihan hadits. Alhamdulillah, hadits ini sahih. (lihat al-Mufashshal fi Ahkamil Aqiqah hlm. 96)
Al-Hasan rahimahullah mengatakan, “Apabila kamu belum diakikahi, akikahilah dirimu walaupun kamu lelaki.”
Perkataan beliau "walaupun kamu lelaki" dikarenakan ada yang mengkhususkan hukum ini bagi wanita.
Muhammad bin Sirrin rahimahullah mengatakan, “Seandainya aku tahu bahwa aku belum diakikahi, tentu aku akan mengakikahi diriku.” (ash-Shahihah 6/506 qism 1)
Pendapat yang kedua, yang melarang, adalah pendapat Malikiah. Al-Imam Malik sendiri ada beberapa riwayat yang berbeda dalam hal ini. (at-Tamhid , 4/312)
Sebagian ulama yang cenderung kepada pendapat ini mengatakan bahwa seandainya hadits ini sahih, bisa jadi ini adalah kekhususan bagi beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun, sanggahan seperti ini lemah karena kekhususan itu harus berdasarkan dalil, sementara itu di sini tidak ada dalil yang mengkhususkan hal ini untuk beliau.
###
Tanya:
Ibu saya telah wafat dan saya ingin menyelenggarakan akikah untuk beliau. Namun, ketika saya meminta penjelasan kepada salah seorang imam di sebuah masjid di Baghdad, ia berkata, “Akikah itu hanya dilakukan untuk orang yang hidup, tidak untuk orang mati.” Apa sebenarnya hukum syariat dalam hal ini?
Jawab:
Akikah memang tidak disyariatkan untuk orang mati, namun hanya disyariatkan ketika kelahiran anak pada hari ketujuhnya. Ketika itu disyariatkan bagi ayahnya menyelenggarakan akikah untuk si anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan.
Untuk anak laki-laki dua ekor kambing, sedangkan untuk anak perempuan hanya seekor yang disembelih pada hari ketujuh dari kelahiran si anak. Kemudian (setelah dimasak) dagingnya ada yang dimakan, ada yang disedekahkan dan dihadiahkan. Tidak apa-apa mengundang karib kerabat dan tetangga untuk makan-makan saat hari penyelenggaraan akikah dan sisanya disedekahkan. Dengan demikian, terkumpullah dua hal ini.
Apabila tidak mampu sehingga hanya bisa menyembelih seekor kambing untuk anak laki-lakinya, hal tersebut mencukupinya.
Ulama mengatakan, apabila tidak bisa menyembelih pada hari ketujuh, boleh dilakukan pada hari ke-14. Kalau tidak bisa juga, pada hari ke-21. Apabila tidak bisa, pada hari ke berapa pun bisa diselenggarakan akikah tersebut.
Adapun orang yang sudah mati tidak diakikahi, tetapi didoakan untuknya ampunan dan rahmat. Doa kebaikan untuknya lebih baik daripada hal lainnya, berdasar ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
“Apabila seseorang meninggal, terputuslah amalannya, terkecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakan kebaikan untuknya.”
Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan: ‘atau anak shalih yang mendoakan kebaikan untuknya’, beliau tidak mengatakan, ‘atau anak shalih yang mempuasakannya atau menghadiahkan amalan shalat untuknya atau bersedekah untuknya atau amalan yang semisalnya’.
Hal ini menunjukkan bahwa doa kebaikan untuk orang mati lebih utama daripada amalan yang pahalanya dihadiahkan untuknya. (hlm. 608)
Sumber:
Majalah Asy Syariah no. 95/VIII/1431 H/2013, rubrik Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah hal. 93-94
###
Asy Syaikh Shalih Fauzan bin Abdillah al Fauzan hafizhahullah
Soal:
Allah subhanahu wa ta’ala memberi saya rejeki berupa tiga anak perempuan. Hanya saja, mereka meninggal dunia dalam keadaan masih kecil, sementara saya belum sempat mengakikahi mereka. Padahal saya pernah mendengar bahwa syafaat anak-anak kecil dikaitkan dengan akikah. Maka dari itu, apakah sah saya mengakikahi mereka setelah meninggalnya? Apakah saya gabungkan akikah mereka dalam satu sembelihan atau masing-masing di sembelihkan sembelihan sendiri?
Jawaban:
Akikah untuk anak yang baru lahir hukumnya sunnah muakkadah (sunnah yang di tekankan), menurut pendapat jumhur (mayoritas) ahlul ilmi (ulama). Akan tetapi, hukum ini berlaku untuk anak-anak yang masih hidup, tanpa ada keraguan di dalamnya, karena hal ini adalah sunnah yang pasti dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun akikah untuk anak-anak yang sudah meninggal (yang belum diakikahi saat hidupnya), tidak tampak disyariatkan bagi Anda. Sebab, akikah itu disembelih hanya sebagai tebusan bagi anak yang lahir, untuk tafaul (berharap/optimis) akan keselamatannya, dan untuk mengusir setan dari si anak, sebagaimana hal ini di tetapkan olel al-Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya, Tuhfah al-Maudud fi Ahkam al-Maulud. Tujuan-tujuan ini tidak ada pada anak-anak yang sudah meninggal.
Adapun hal yang diisyaratkan oleh penanya bahwa akikah masuk dalam (syarat) syafaat anak yang lahir bagi ayahnya apabila ayah mengakikahinya, hal ini tidaklah benar dan telah didhaifkan (dilemahkan) oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. Beliau menyebutkan bahwa rahasia dalam akikah itu adalah:
1. Akikah menghidupkan sunnah Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam tatkala beliau menebus putranya, Ismail ‘alaihis salaam.
2. Akikah bertujuan untuk mengusir setan dari anak yang lahir, sementara makna hadits,
كل غلام رهينة بعقيقته
“Setiap anak tergadai dengan akikahnya.” (HR Ahmad (5/12), Abu Dawud no. 2837, at-Tirmidzi no. 1522, dan yang lainnya, dinyatakan shahih dalam shahih al-Jami’ no. 4541)
Maknanya, si anak tergadai pembebasannya dari setan dengan akikahnya. Apabila si anak tidak diakikahi, niscaya dia tetap sebagai tawanan bagi setan. Jika diakikahi dengan akikah yang syar’i, dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala hal itu akan menjadi sebab terbebasnya dia dari tawanan setan.
Demikian makna yang dihikayatkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah.
Bagaimanapun, apabila si penanya ingin mengakikahi anak-anak perempuannya yang sudah meninggal dan menganggap baik hal tersebut, silahkan dia lakukan. Akan tetapi, yang rajih (kuat) menurut saya, hal tersebut tidaklah disyariatkan.
Kapan waktu yang afdhal (lebih utama) untuk mengakikahi anak yang lahir dan hidup?
Yang afdhal adalah hari ketujuh. Inilah waktu yang paling utama sebagaimana di sebutkan dalam nash/dalil. Namun, seandainya di tunda dari hari ketujuh, tidaklah apa-apa. Tidak ada batasan untuk akhir waktunya. Hanya saja sebagian ahlul ilmi memandang apabila anak telah dewasa, berarti waktu akikah telah gugur. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa tidak ada akikah untuk orang yang sudah dewasa. Sementara itu, jumhur ulama berpandangan tidak ada larangan untuk hal tersebut meskipun yang di akikahi sudah dewasa.” (Majmu’ Fatawa Fadhilatudy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, 2/573-574)
Disadur dari Majalah Asy Syariah Edisi 105, vol IX/1436H/2014M
trima kasih infonya. artikelnya sangat inspiratif
BalasHapusAqiqah Jogja