Cari Blog Ini

Rabu, 08 Oktober 2014

Tentang ANAK-ANAK IKUT SHALAT DI MASJID

FATWA SYAIKH IBNU UTSAIMIN RAHIMAHULLAH

S: Seseorang dari Negeri Sudan bertanya: Apakah boleh seseorang pergi ke masjid bersama anak-anaknya yang masih kecil yang berumur belum sampai 4 tahun?

J: Anak-anak yang umurnya belum sampai 4 tahun, umumnya tidak bagus ketika sholat, karena mereka belum tamyiz. Umur tamyiz biasanya 7 tahun. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk menyuruh anak-anak kita sholat, jika mereka telah sampai pada umur ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻣُﺮُﻭﺍ ﺃَﻭْﻻَﺩَﻛُﻢْ ﺃَﻭْ ﺃَﺑْﻨَﺎﺀَﻛُﻢْ ﺑِﺎﻟﺼَّﻼَﺓِ ﻟﺴَﺒْﻊٍ
“Perintahlah anak-anak kalian untuk sholat pada umur 7 tahun!”
Jika anak-anak yang berumur 4 tahun ini tidak bisa sholat dengan baik, maka tidak sepantasnya orang tuanya membawa mereka ke masjid, kecuali ketika ada perkara dharurah (sangat mendesak), seperti kalau tidak ada di rumahnya seorangpun yang menjaga anak kecil ini. Maka dia membawanya dengan syarat anak tadi tidak mengganggu orang-orang yang sholat. Jika anak itu mengganggu orang-orang yang sholat, janganlah orang tuanya membawanya. Jika anak kecil itu butuh untuk ditemani di rumah, dalam keadaan ini orang itu diberi udzur untuk meninggalkan jama’ah, karena dia tidak ikut jamaah karena udzur, yaitu menjaga anak.
(Fatawa Nur ‘Ala Ad-Darb No. 643, Al-Maktabah Asy-Syamilah)

#####

FATWA SYAIKH IBNU UTSAIMIN RAHIMAHULLAH

S: Apa hukum membawa anak-anak kecil ke masjid, jika mereka mengacaukan orang-orang yang sholat?

J: Tidak boleh membawa anak-anak ke masjid jika mereka mengacaukan orang-orang yang sholat, karena (suatu ketika) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar menuju para shohabatnya saat mereka sedang sholat, dan mereka mengeraskan suara, kemudian beliau bersabda:
ﻻَ ﻳَﺠْﻬَﺮْ ﺑَﻌْﻀُﻜُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺑَﻌْﺾٍ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥِ، ﺃَﻭْ ﻗَﺎﻝَ: ﻓِﻲ ﺍﻟْﻘِﺮَﺍﺀَﺓِ
“Janganlah sebagian kalian mengeraskan atas yang lain dalam membaca al-qur’an atau dalam bacaan.” (HR. Ahmad 2/36)
Jika mengacaukan orang sholat dilarang, padahal dalam membaca al-qur’an, maka bagaimana pendapatmu dengan main-mainnya anak-anak kecil?!
Namun jika anak-anak itu tidak mengacaukan, maka mengajak mereka ke masjid adalah perkara yang baik. Karena hal itu melatih mereka untuk menghadiri sholat jamaah dan membuat mereka mencintai masjid dan membuat mereka terbiasa ke masjid.
(Majmu’ Fatawa Wa Rosail Ibni Utsaimin 12/325)

#####

FATWA SYAIKH IBNU UTSAIMIN RAHIMAHULLAH

S: Ya Syaikh, kadang terjadi di masjid kegaduhan sebagian anak-anak kecil. Apakah boleh seorang makmum memutus sholatnya untuk melarang hal itu, atau untuk menoleh saja agar anak-anak itu kecil itu tahu sedang dimarahi setelah itu?

J: Pertama: wajib atas para wali anak-anak itu untuk takut kepada Allah ‘azza wa jalla, dan janganlah mereka membiarkan anak-anak mereka untuk hadir di masjid selama mereka masih bermain-main. Jika ditaqdirkan anak-anak itu datang tanpa pengetahuan bapak-bapak mereka, sebagaimana yang terjadi kadang-kadang, maka wajib dilaporkan kepada bapaknya jika anaknya ada di masjid: “Ya fulan, ajak anakmu, bawa pulang dia ke rumahmu.”
Jika kita tidak mampu dan kita tidak bisa mencegah gangguan anak-anak kecuali dengan mengeluarkan mereka dari masjid, maka kita mengeluarkan mereka.
Sedangkan memutus sholat karena hal itu, maka itu tidak boleh, karena seseorang jika telah masuk dalam satu perkara fardhu, maka dia wajib menyempurnakannya. Dan kegaduhan anak-anak kecil itu tidak menyebabkan rusaknya sholat orang lain. Kalau sampai menyebabkan rusaknya sholat orang lain, maka untuk melakukan perkara itu perlu diteliti lagi. Namun kegaduhan anak-anak itu tidak menyebabkan kerusakan sholat orang lain, maka hendaklah mereka bersabar sampai sholatnya selesai, kemudian kenalilah anak-anak itu, dan hubungilah bapak-bapak mereka.
Sedangkan menoleh (dalam sholat) untuk sebuah kebutuhan tidak apa-apa. Namun menoleh dengan wajah saja, tidak dengan badan keseluruhannya. Dan anak-anak itu kadang bisa diperbaiki dengan menenangkan mereka, dikatakan, “Wahai anak-anakku, ini tidak boleh. Ini adalah rumah Allah. Sedang mereka itu bapak-bapak kalian dan saudara-saudara kalian, kalian jangan membuat mereka gelisah dan janganlah kalian merusak sholat mereka.”
(Transkrip Liqo’ Al-Bab Al-Maftuh: Pertemuan 94 ke No. 17, Al-Maktabah Asy-Syamilah)

#####

FATWA SYAIKH IBNU UTSAIMIN RAHIMAHULLAH

S: Jika didapati anak-anak di masjid banyak bermain-main dan mereka membuat orang-orang yang sholat tidak konsentrasi dalam sholat mereka, apakah boleh aku untuk berkata kepada salah seorang anak kecil untuk menoleh ketika sholat dan memberi tahu kepada kami siapa yang bermain-main dalam sholat, sehingga kami bisa memberi tahu wali anak-anak itu?

J: Apakah diterima persaksian seorang anak kecil? Intinya: wajib untuk meneliti ulang apakah mungkin untuk menerima persaksian sebagian anak-anak dalam hal anak-anak yang lain, karena sebagian ulama berpendapat: “Tidak diterima persaksian sebagian anak-anak dalam hal anak-anak yang lain.” Sedang sebagian ulama yang lain berpendapat: “Diterima persaksian mereka selama mereka berada di tempat itu.”
Contohnya: Salah seorang dari anak-anak itu dilukai, kemudian dia berkata kepada bapaknya: “Ini dia yang melukaiku.” Kemudian anak (yang dituduh) itu mengingkari dan berkata: “Aku tidak melukainya.” Namun kemudian ada dua anak lain menyaksikan bahwa memang dia yang melukai anaknya. Sebagian ulama berpendapat: “Tidak diterima persaksian anak-anak.” Sebagian yang lain berpendapat: “Jika mereka belum berpisah maka diterima, namun jika mereka telah berpisah maka tidak diterima.” Karena kadang mereka didikte saja.
Bagaimanapun keadaannya, kami berpendapat agar engkau berbicara –jika engkau seorang imam– dengan ucapan yang umum. Engkau mengatakan kepada jamaah masjid: “Jazakumullah khoiron. Anak–anak jika mengganggu orang-orang yang sholat dan mereka meremehkan masjid, maka dosanya atas kalian. Maka hendaknya setiap orang menjaga anaknya dan melatihnya dengan adab.”
Dan mungkin menunjuk salah seorang dari anak-anak itu yang bisa dipercaya untuk menjaga anak-anak itu, meskipun dia tidak sholat, karena anak itu tidak wajib untuk sholat. Dan jangan engkau mengatakan kepada anak itu: “Tolehlah!” Agar tidak ada yang menyangka bahwa menoleh (dalam sholat) itu tidak apa-apa.
(Transkrip Liqo’ Al-Bab Al-Maftuh: Pertemuan 40 ke No. 16, Al-Maktabah Asy-Syamilah)

#####

FATWA SYAIKH IBNU UTSAIMIN RAHIMAHULLAH

S: Ya Syaikh, apa hukum sholat anak kecil yang berumur kurang dari 15 tahun di rumah, karena kadang dia mengganggu orang-orang yang sholat dan bermain-main dengan teman-temannya, atau yang seperti ini?

J: Yang disyariatkan anak-anak kecil itu hadir di masjid dan sholat bersama orang-orang, karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
ﻟِﻴَﻠِﻨِﻲ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﺃُﻭْﻟُﻮﺍ ﺍْﻷَﺣْﻼَﻡِ ﻭَﺍﻟﻨُّﻬَﻰ
“Hendaklah orang yang di belakangku dari kalian adalah orang-orang yang dewasa dan berakal.”
Ini menunjukkan bahwa di sana ada anak-anak kecil. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang-orang dewasa untuk maju dan untuk datang lebih dulu dan mengambil tempat-tempat yang utama. Maka sholatnya anak-anak di masjid termasuk dari sunnah. Tidak sepantasnya kita berbuat perkara yang membuat mereka lari dari masjid, sebagaimana yang dilakukan sebagian orang jika melihat seorang anak kecil yang belum baligh berada dalam shof, dia mengusirnya dan membentaknya. Ini tidak diragukan lagi menyelisihi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dibangun di atas kelembutan dan kemudahan.
Kami berpendapat: Biarkan anak itu di tempatnya, meskipun dia berada di shof pertama, walaupun dia berada di belakang imam, biarkan dia. Namun bila dia bermain-main dan tidak mungkin untuk mengajari adab kepada mereka, maka di sini kita mengeluarkan mereka dari masjid. Namun di sana ada jenjang-jenjang sebelum mengeluarkan mereka dari masjid, yaitu: berbicara kepada para wali mereka, sehingga tidak ada pada diri mereka sesuatu (prasangka) atas kita kalau kita mengeluarkan anak-anak itu. Kita berbicara kepada para wali dan berkata: “Anak-anak ini masih kecil, mereka tidak menghormati masjid, tidak menghormati jamaah. Kalau engkau meninggalkan mereka sampai mereka bisa sedikit berlaku baik, maka itu lebih baik.”
(Transkrip Liqo’ Al-Bab Al-Maftuh: Pertemuan 74 ke No. 8, Al-Maktabah Asy-Syamilah)

#####

Asy Syaikh Ubaid bin Abdillah al Jabiry حفظه الله

Pertanyaan: 
بارك الله فيكم شيخنا، هذا السؤال التاسِع، يقول: هناك بعضُ الآباء يصحبونَ أبناءهم الصغار إلى المسجد ويتركونهم يفعلون ما يشاءون ويُشوشونَ على الحضور كالكلام واللعبِ بصوتٍ مرتفع، والشيخ يتكلم؛ فما نصيحتكم باركَ الله فيكم؟
Semoga Allah memberkahi anda wahai syekh kami. Pertanyaan kesembilan:
Ada sebagian ayah yang membawa anak mereka ke masjid kemudian dibiarkan anak-anak mereka berbuat sekehendaknya, berbicara dan bermain-main sehingga mengganggu orang yang shalat. Bagaimana nasehat anda?
Baarokallohu fiik.

Jawaban:
أولًا:  يجبُ علينا تعويدُ أبناءنا احترام المساجِد، واحترام المسلمين المُصلين في المساجِد نعودّهم هذا، ونُعَلِّمهم
Yang pertama: wajib untuk mengajarkan dan membiasakan kepada anak-anak untuk memuliakan masjid dan menghormati kaum muslimin yang sedang shalat.
ثانيًا:  لا نصحب إلا المميزين لأنَّ غير المميز إذا أُطلق يلعب ويعبث ويُشوّش
Yang kedua: jangan membawa anak-anak ke masjid kecuali yang sudah tamyiz, dikarenakan anak yang belum tamyiz kalau dilepas, maka akan bermain-main dan membuat kekacauan.
نعم إذا كانَ الرجل مُضطرًا، كأن تكون أُم الطفل مريضة أو تُصلي ومعها طفل، فيصحب الصغير معه ولكن عليه أن يضبطه، فإذا كانَ من المحمولين حملهُ، وإذا كانَ ليسَ من المحمولين كأن يكون ابن خمس أو ابن ست يجعلهُ بجواره ولا يُطلقهُ يعبث في المسجد ويُشوِّش على الناس
Ya, kalau seorang terpaksa (harus membawa anak kecil) disebabkan ibunya sakit atau karena ibunya juga sedang shalat dan menjaga anak kecil, maka dia yang membawa anak kecil tersebut harus menjaganya dengan baik. Kalau anaknya masih usia gendongan, maka gendong dia, dan kalau sudah bisa berdiri seperti lima atau enam tahun, maka letakkan dia di samping anda. Jangan biarkan dia terlepas bermain kesana kemari dan mengganggu orang yang shalat.

Sumber:
ar .miraath .net/fatwah/11063

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

#####

Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baz رحمه الله

Pertanyaan: 
حكم اصطحاب الأطفال للمساجد، هل هو سنة كما يقول البعض؟ أم أنه غير جائز؟ لما يسببه الأطفال من إزعاج للمصلين كما يقول البعض الآخر؟
Apa hukum membawa anak ke masjid? Apakah sunnah sebagaimana dikatakan sebagian pihak? Ataukah cuma sekedar boleh saja? Dikarenakan anak-anak akan menggangu orang-orang yang shalat sebagaimana dikatakan sebagian orang.

Jawaban:
استصحاب الأطفال فيه تفصيل: فإن كان الطفل قد أكمل السبع السنين فهو مأمور بالصلاة، ويستصحبه أبوه أو أخوه حتى يتمرن على الصلاة ويعتادها ويحافظ عليها. أما إن كان أقل من السبع فلا حاجة إلى ذلك، ولا يشرع استصحابه؛ لأنه قد يؤذي المصلين، وقد يشوش عليهم بلعبه وكلامه الذي لا وجه له، فالأولى عدم استصحابهم لما في ذلك من الإيذاء للمصلين. جزاكم الله خيراً
Hukum membawa anak ke masjid dirinci:
• Jika anak tersebut telah genap berusia tujuh tahun, maka dia sudah bisa disuruh untuk shalat. Maka sang ayah atau kakaknya harus mengajak dia untuk shalat (di masjid) agar dia bisa terbiasa dalam menjaga shalat.
• Adapun kalau belum genap tujuh tahun, maka tidak perlu untuk diajak ke masjid dan belum disyariatkan untuk itu dikarenakan dia bisa mengganggu orang yang shalat dengan main-mainnya dia atau ngobrolnya dia yang ke sana-kemari.
Maka yang utama, jangan membawanya ke masjid dikarenakan bisa mengganggu orang yang shalat. Jazaakumullohu khairaa.

Sumber: 
www .binbaz .org .sa/node/16165

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

#####

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz رحمه الله

Pertanyaan:
ما حكم صلاة الأطفال دون السابعة في الصفوف الأمامية، ويزاحمون المصلين، وهذا مما يجعل دائماً أن يكون هناك فرجة في الصفوف، وأن يحدثوا بعض الحركات في الصلاة؟
Apa hukum seorang anak kecil yang berumur di bawah tujuh tahun yang dia bergabung pada shaf terdepan dan ikut berdesakan dengan orang yang shalat yang terkadang dia membuat celah dalam shaf dan dia membuat beberapa gerakan ketika shalat?

Jawaban:
الأطفال الذين هم دون السبع ليس لهم صلاة، ولا يؤمرون بالصلاة، والمشروع لآبائهم إبقائهم في البيوت حتى لا يشوشوا على المصلين، هذا هو المشروع، لكن لو وجد أحدهم بين الصفوف لم يضر الصف، وعلى من حوله أن يرشده إلى الهدوء حتى لا يؤذي أحداً ولا يؤذى، أما آبائهم فالمشروع لهم أن يحفظوهم في البيوت، وأن لا يحضروهم إلى المساجد حتى لا يشوشوا على الناس ويقطعوا الصفوف، ومتى وجد أحدٌ منهم في الصف ودعت الحاجة إلى بقائه فإنه لا يضر الصف ويكون بمثابة الكرسي أو العمود أو ما أشبه ذلك إذا دعت الحاجة إلى وجوده في الصف
Anak di bawah tujuh tahun belum diperintahkan shalat, dan disyariatkan bagi para ayah untuk menahan anak-anak mereka di rumah agar tidak mengganggu orang yang shalat. Ini yang disyariatkan.
Akan tetapi, seandainya mereka ada di antara shaf, maka tidak memutus shaf dan wajib bagi orang yang di sebelahnya untuk mengarahkan anak ini agar dia tenang dan tidak mengganggu.
Adapun ayahnya, maka selayaknya dia menahan anak tersebut tetap di rumah dan jangan dibawa ke masjid sehingga bisa mengganggu orang shalat atau memutuskan shaf.
Adapun kalau seandainya keadaan mengharuskan mereka berada di tengah shaf, maka tidak memutuskan shaf sebagaimana halnya kursi atau tiang-tiang dan semisalnya jika memang dibutuhkan keberadaannya di tengah shaf.

Sumber:
www .binbaz .org .sa/mat/14350

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

#####

Syaikh Ali Bin Yahya Al-Haddadi Hafizhahullah

Telah disebutkan beberapa pernyataan para imam yang menjelaskan beberapa ketentuan dan syarat-syarat yang dibolehkan bagi seseorang membawa anak-anak ke masjid.
Kapan syarat-syarat tersebut terpenuhi, maka dibolehkan membawa mereka, dan kapan terdapat sesuatu yang tidak memenuhi syarat, maka menghadirkan mereka (ke masjid) lebih mendekati perbuatan dosa daripada mendapatkan pahala.

Diantara syarat tersebut adalah:

1. Anak itu telah berusia sempurna tujuh tahun, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala aalihi wa sallam:
“Perintahkan anak-anak kalian untuk shalat di kala berusia tujuh tahun.”
Sebab sebelum sempurna mencapai usia tujuh tahun, sangat memungkinkan baginya melakukan perbuatan yang sia-sia dan mengganggu.
Maka jangan dia membawanya ke masjid kecuali jika ia memiliki uzur, seperti dikhawatirkan baginya sesuatu apabila anak tersebut ditinggal di rumah.

2. Di antaranya pula bahwa anak yang berusia tujuh tahun itu termasuk anak yang tidak membuat gangguan di masjid, dan kalau seandainya terjadi gangguan darinya, lalu ketika ia dilarang, maka dia segera menahan dirinya dari gangguan tersebut, lalu segera menjaga adab dan kesopanan, dan memuliakan masjid dan para penghuninya.

Para ulama mengetahui bahwa seorang wanita terkadang datang shalat bersama anaknya yang masih kecil. Demikian pula Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala aalihi wa sallam mengerjakan shalat, dalam keadaan menggendong Umamah Bintu Zaenab, dan juga Hasan dan Husain naik ke punggung beliau dalam keadaan beliau sedang shalat, namun para ulama tidak memahami dari nash-nash ini bahwa hal tersebut dibolehkan dan dijinkan secara mutlak, dengan mengumpulkan dan mengkompromikan dalil-dalil yang ada.

Di antara ucapan para ulama dalam perkara ini adalah perkataan Imam Malik رَحِمَهُ اللهُ tatkala beliau ditanya tentang anak-anak, apakah boleh di bawa ke masjid?
Beliau menjawab: “Jika dia tidak bermain-main karena kekanakannya, dan segera menahan diri tatkala dilarang, maka menurutku hal tersebut tidak mengapa.”
Lalu Beliau berkata: “Dan jika dia bermain-main karena kekanakannya, maka aku tidak berpendapat bolehnya ia dibawa ke masjid.”

Imam Ahmad رَحِمَهُ اللهُ berkata:
˝Sepantasnya anak-anak dijauhkan dari masjid.˝

Dan berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رَحِمَهُ اللهُ:
˝Hendaknya masjid dijauhkan dari hal-hal yang mengganggunya, dan mengganggu orang-orang yang shalat di dalamnya, termasuk anak- anak yang meninggikan suaranya di masjid, dan juga yang mengotori tikar-tikarnya, dan yang semisalnya, terlebih lagi di saat waktu shalat, karena hal itu termasuk diantara kemungkaran yang besar.˝

Juga disebutkan dalam fatwa lajnah daimah yang diketuai oleh Syaikh Bin Baaz رَحِمَهُ اللهُ:
˝Membawa anak-anak ke masjid bersama ayah dan ibunya adalah hal yang tidak mengapa jika dikhawatirkan atas mereka sesuatu menimpanya (bila ditinggal dirumah), sebab hal ini terjadi di masa Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala aalihi wa sallam, namun wajib menjaga mereka dari perbuatan sia-sia di masjid, dan dari mengganggu orang-orang yang mengerjakan shalat, dan siapa diantara mereka yang mencapai usia tujuh tahun atau lebih, maka dia diperintahkan untuk berwudhu dan shalat agar ia terbiasa dengannya, sehingga dia dan orang tuanya mendapatkan pahala.˝
Disebutkan pula pada jawaban Beliau yang lain:
˝Yang wajib, memelihara masjid dari perbuatan sia-sia yang dilakukan anak-anak dan gangguan mereka, sebab masjid dibangun untuk melakukan ibadah. Maka siapa yang menghadirkan anaknya dengan tujuan melatih mereka shalat, maka wajib baginya bersemangat untuk hal tersebut, dan melatih mereka untuk tidak berbuat sia-sia dan bermain-main di masjid, atau mempermainkan mushaf-mushaf yang ada di masjid. Semoga Allah َّعَزَّ وَجَل memberi taufik.˝

Ini sebagian penukilan yang datang dari para ulama yang menjelaskan tentang kapan dihadirkannya anak-anak ke masjid menyebabkan gangguan, kegaduhan dan pengrusakan, maka menghadirkan mereka (ke masjid) merupakan hal yang terlarang.

[Dari khutbah Syaikh yang berjudul: Zhahiratu 'abatsil athfaal fil masaajid]

Channel Telegram Al-Ustadz Abu Mu'awiyah Askary حفظه الله

Edisi: مجموعة الأخوة السلفية

https://telegram.me/ukhuwahsalaf

#####

Bolehkah Membawa Anak Kecil ke Masjid?
Tidak ada halangan untuk membawa anak kecil ke masjid, selama orang tua atau walinya bisa menjaga anak tersebut tidak mengotori masjid atau menimbulkan kegaduhan yang mengganggu kekhusyukan bagi jamaah sholat yang lain. Untuk anak yang belum tamyiz (di bawah usia 6 atau 7 tahun) jangan meletakkannya dalam shof jamaah sholat, karena hal itu termasuk memutus shof.
Hal yang menunjukkan bolehnya membawa anak kecil ke masjid adalah: Nabi shollallahu alaihi wasallam pernah sholat di masjid dengan menggendong cucu wanitanya yang bernama Umamah, putri Zainab. (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Abu Qotaadah)
Sedangkan hadits yang menyatakan perintah Nabi untuk menjauhkan anak-anak kecil dari masjid adalah hadits yang sangat lemah, seperti hadits:
جَنِّبُوْا مَسَاجِدَكُمْ صِبْيَانَكُمْ وَمَجَانِيْنِكُمْ
Jauhkanlah masjid-masjid kalian (dari) anak-anak kecil dan orang-orang gila… (H.R Ibnu Majah, atThobarony, dinyatakan oleh al-Munawy bahwa hadits tersebut dhaif jiddan (sangat lemah) dalam atTaysiir bi syarhil Jaami’is shoghiir (1/990))
Karena itu, tidak benar melarang masuknya anak kecil ke masjid secara mutlak. Karena sifat anak kecil berbeda-beda: ada yang pendiam dan tidak mengganggu, ada juga yang tidak bisa diatur dan akan selalu mengganggu. Untuk yang mudah diatur ini, bisa dibawa ke masjid selama aman untuk tidak mengotori masjid (misal dengan memakai pembalut untuk anak kecil). Sedangkan untuk anak yang tidak bisa diatur, janganlah dibawa ke masjid karena akan menimbulkan mudharat yang besar yaitu mengganggu kekhusyukan jamaah masjid yang lain.
(dikutip dari buku Fiqh Bersuci dan Sholat Sesuai Tuntunan Nabi karya Abu Utsman Kharisman, dengan sedikit penambahan)

Salafy .or .id

#####

Al Ustadz Muhammad bin Umar as Seweed hafizhahullah

Pertanyaan: Apa nasihat antum bagi orang tua yang membawa anaknya di bawah 5 tahun ke masjid.
Terkadang membuat kegaduhan menyebabkan terganggunya para jamaah shalat, alasan ikhwah kalo tidak diajak anaknya suka nangis dan mengganggu ketika uminya shalat?

Jawaban:
Ikhwanufiddin a’azakumullah, shalat adalah sesuatu yang harus dihormati, dijaga.
Sesungguhnya shalat itu memiliki kesibukan tersendiri.
Jangan disibukkan dengan yang lainnya.
Sebagian orang tua beralasan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bahwa dua anaknya Hasan dan Husen bahkan naik ke punggungnya digendong dan sebagainya.
Pertama utsbut, tetapkan riwayatnya yang shahih bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam membawa, karena tidak tegas beritanya bahwa itu dibawa oleh Nabi.
Tapi yang diberitakan datang anaknya.
Itu satu!
Sehingga cukup yang diriwayatkan itu sebagai dalil bahwasanya gerakan-gerakan yang ringan mengangkat anak atau menurunkannya tidak merusak shalat.
Tidak kemudian mengatakan “Silakan wahai para muslimin untuk membawa anak-anak kalian ke masjid rame-rame…”
Jadi apa (nanti) masjidnya?
Orang membaca Al Quran disuruh pelankan kalo ada orang shalat, kenapa?
Mengganggu!
Perempuan kalo menegur imamnya dengan menepuk paha, tidak mengucapkan subhanallah, kenapa?
Sekian banyak, bahkan Rasulullah mengembalikan baju, jubah yang diberikan oleh Abu Jahm, kembalikan kepada Abu Jahm.
Berikan aku baju janiyahnya daripada ini, kenapa?
Karena coraknya mengganggu.
Bayangkan corak mengganggu.
Suara Al Quran (saja) ndak boleh, apalagi suara anak-anak lari-larian main petak umpet di masjid.
Jangan seenaknya beristinbat hukum!
Bahkan ketika ada ikhwan yang masya Allah cerdas, anak-anak dikumpulkan (di) satu kelas, (lalu) dikasih kesibukan, (kemudian) ditutup pintunya, kemudian dia shalat jamaah.
Ustadznya membatalkannya, (dan berkata) “Kenapa dikurung semua? Suruh ke sini semua anak-anaknya!”
Ana (Ust. Muhammad Assewed) bilang: “Gila mungkin ustadnya.”
Apa maksudnya?
Maksudnya silakan ganggu orang shalat, begitu?
Dengan alasan apa, sama seperti tadi dengan alasan Rasulullah membawa anaknya, anak cucunya.
Tanyakan bagaimana para shahabat, apakah mereka menggandeng anak-anak kecilnya, bayi-bayinya?
Naam, kalau dia sudah mumayyiz, bisa diatur, maka silakan dilatih mereka untuk ke masjid.
Sudah mumayyiz, sudah bisa diatur.
Dan Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah punya pendapat kalo anak itu dikhawatirkan akan berbuat ini dan itu, mengganggu, maka taruh di sebelah bapaknya.
Kalau dia (ketika shalat) mau pergi, (maka bapaknya) pegangi (anaknya), gak papa.
Tarik lagi. Kenapa? Khawatir menganggu.
Sehingga tidak saklek tidak boleh, juga tidak dianjurkan untuk bawa anak semuanya rame-rame, ndak.
Tetap shalat itu adalah perkara yang harus dijaga.
Jangan sampai kaum muslimin terganggu dengan shalatnya.
Bau saja yang lupa sikat gigi, bau pete, bau rokok, bau segala macem itu makruh, diusir sampai ke Baqi, yang makan bawang putih. Kenapa?
Khawatir menggangu.
Jangan sampai shalat itu terganggu.
Harus dijaga betul dari segala sisinya dari suara, bau-bauan, gambar corak-corak, harus dibersihkan semuanya.
Sehingga tidak ada gangguan-gangguan.
Memalingkan dari kekhusyuan.

Sumber:
Tanya Jawab Kajian Limo-Depok || Rabiul awwal 1436 H ll Januari 2015 M

Forum Salafy Indonesia

Tentang MEMBUNYIKAN JARI JEMARI KETIKA SHALAT

Dari Syu’bah maula Ibnu ‘Abbas ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ berkata: Saya shalat di samping Ibnu ‘Abbas, lalu aku membunyikan jari-jariku. Setelah selesai shalat beliau berkata, ”Tidak ada Ibu bagimu. Kamu membunyikan jarimu dalam keadaan kamu shalat?” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (2/344) dan disebutkan di dalam Irwa’ul Gholil (2/99) sanadnya hasan]

Hal yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa sebagian orang yang sedang shalat memainkan jari-jemarinya dengan membunyikan sendi-sendi jarinya sampai keluar suaranya. Ini adalah main-main yang tidak pantas dilakukan oleh orang yang sedang shalat, dan juga menjadi bukti bahwa shalatnya tidak khusyu’, sebab jika hatinya khusyu’ pasti akan khusyu’ dan tenang pula seluruh badannya.
(Lihat: “ ﺃﺣﻜﺎﻡ ﺣﻀﻮﺭ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ” karya Abdullah bin Shalih al Fauzan)

Membunyikan jari jemari ketika sholat tidak membatalkan sholat akan tetapi hal ini termasuk perbuatan main-main. Apabila hal itu dilakukan saat sholat berjama’ah pasti akan mengganggu orang yang mendengarkannya. Saat itu lebih buruk dibandingkan jika tidak ada seseorang di sisinya. (Lihat: Majmu’ Fatawa Arkanil Islam, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, soal no. 266)

Tentang LARANGAN MENJALIN JARI JEMARI KETIKA BERANGKAT SHALAT SAMPAI SELESAI SHALAT

Abdullah bin Shalih al Fauzan

Ini adalah adab ketika keluar menuju  masjid, yaitu perkara yang dilarang bagi orang yang mau shalat, sebagaimana hadits dari Abu Hurairah ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ bahwa Rasulullah ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ bersabda:
ﺇﺫﺍ ﺗﻮﺿﺄ ﺃﺣﺪﻛﻢ ﻓﻲ ﺑﻴﺘﻪ ﺛﻢ ﺃﺗﻰ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ﻛﺎﻥ ﻓﻲ ﺻﻼﺓ ﺣﺘﻰ ﻳﺮﺟﻊ، ﻓﻼ ﻳﻔﻌﻞ ﻫﻜﺬﺍ ﻭﺷﺒﻚ ﺑﻴﻦ ﺃﺻﺎﺑﻌﻪ
“Apabila di antara kalian berwudhu’ kemudian mendatangi masjid maka dia dalam keadaan (mendapat pahala) sholat sampai dia kembali, oleh karena itu janganlah melakukan begini di antara jari-jemarinya.” [Dikeluarkan oleh ad-Darimi (1/267) dan al-Hakim (1/206) dan beliau berkata: shohih atas syarat syaikhain dan ini disetujui adz-Dzahabi]

Dari Abu Tsumamah al-Hannath ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ bahwa Ka’a ibn ‘Ujroh ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ mendapatinya ketika hendak berangkat ke masjid, salah seorang dari keduanya mendapati temannya. Tsumamah ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ berkata: Ia mendapati aku sedang menjalin jari-jemariku, maka dia melarangku dan berkata: Sesungguhnya Rasulullah ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ bersabda,
ﺇﺫﺍ ﺗﻮﺿﺄ ﺃﺣﺪﻛﻢ ﻓﺄﺣﺴﻦ ﻭﺿﻮﺀﻩ ﺛﻢ ﺧﺮﺝ ﻋﺎﻣﺪﺍً ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ﻓﻼ ﻳﺸﺒﻜﻦ ﻳﺪﻳﻪ ﻓﺈﻧﻪ ﻓﻲ ﺻﻼﺓ
“Apabila di antara kalian berwudhu’ lalu membaguskan wudhu-nya kemudian keluar menuju masjid maka janganlah dia menjalin kedua (jari-jemari) tangannya karena dia dalam keadaan shalat.” [Dikeluarkan oleh Abu Dawud no. 562 dan dishohihkan oleh al-Albani di dalam Shohih Abu Dawud (1/112)]

Hadits ini dan yang sebelumnya adalah dalil tentang larangan menjalin jari-jemari ketika berjalan menuju masjid untuk shalat, karena orang yang sedang keluar menuju masjid hukumnya seperti orang yang sedang shalat.

Telah berkata al-Khaththobi ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ :
“Menjalin jari-jemari adalah dengan memasukkan jari-jari tangannya satu dengan lainnya dengan terjalin. Seringnya dilakukan oleh sebagian manusia sekedar main-main, terkadang sekedar untuk membunyikan jari-jemarinya, dan terkadang ketika manusia duduk kemudian menjalin tangannya untuk mengikat kedua kakinya yang ditempelkan di perut ketika hendak istirahat yang terkadang bisa menyebabkan tidur, sehingga menjadi sebab batalnya thaharah (bersuci). Dikatakan kepada orang yang hendak keluar menuju shalat: janganlah kamu menjalin jari-jemarimu, karena semua yang telah kami sebutkan dari berbagai bentuk itu tidaklah sedikitpun sesuai dengan shalat dan tidak ada keserasian bagi keadaan orang yang sedang shalat.” [Ma’alimussunan (1/295)]

Telah diriwayatkan hadits dari Abu Hurairah ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ di dalam kisah Dzul Yadain di dalam masalah sujud sahwi dengan lafazh,
ﻓﻘﺎﻡ ﺇﻟﻰ ﺧﺸﺒﺔ ﻣﻌﺮﻭﺿﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ، ﻓﺎﺗﻜﺄ ﻋﻠﻴﻬﺎ، ﻛﺄﻧﻪ ﻏﻀﺒﺎﻥ، ﻭﻭﺿﻊ ﻳﺪﻩ ﺍﻟﻴﻤﻨﻰ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻴﺴﺮﻯ، ﻭﺷﺒﻚ ﺑﻴﻦ ﺃﺻﺎﺑﻌﻪ
“Maka beliau (Nabi ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ) berdiri menuju kayu yang membentang di masjid sambil bersandar padanya seakan-akan beliau sedang marah dengan meletakkan tangan kanannya pada tangan kirinya dan menjalin jari-jemarinya.” [Dikeluarkan oleh al-Bukhari no. 468 dan Muslim no. 573]

Hadits ini tidak bertentangan dengan hadits yang sebelumnya karena menjalin jari-jemari di sini kejadiannya adalah setelah selesai shalat, dan hukumnya adalah hukum orang yang telah selesai dari shalat. Sehingga larangannya khusus mengenai orang shalat, karena termasuk dari perbuatan main-main dan tidak khusyu’, atau khusus kepada orang yang hendak menuju masjid sebagaimana yang telah lalu. [Lihat Fathul Bari (1/565) dan Ghidzaul Albab (2/391)]

Hal yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa sebagian orang yang sedang shalat memainkan jari-jemarinya dengan membunyikan sendi-sendi jarinya sampai keluar suaranya sebagaimana di terangkan oleh al Khaththabi ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ . Ini adalah main-main yang tidak pantas dilakukan oleh orang yang sedang shalat, dan juga menjadi bukti bahwa shalatnya tidak khusyu’, sebab jika hatinya khusyu’ pasti akan khusyu’ dan tenang pula seluruh badannya.

Dari Syu’bah maula Ibnu ‘Abbas ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ berkata: Saya shalat di samping Ibnu ‘Abbas, lalu aku membunyikan jari-jariku. Setelah selesai shalat beliau berkata, ”Tidak ada Ibu bagimu. Kamu membunyikan jarimu dalam keadaan kamu shalat?” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (2/344) dan disebutkan di dalam Irwa’ul Gholil (2/99) sanadnya hasan]

Diambil dari buku ”Menyambut Adzan, Adab dan Hukumnya”, dengan penerjemah al-Ustadz Abu Umamah Abdurrohim bin Abdulqahar Al-Atsary, hal. 81-83 terbitan Hikmah Ahlus Sunnah Sleman Yogyakarta. Kitab aslinya berjudul “ ﺃﺣﻜﺎﻡ ﺣﻀﻮﺭ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ” karya Abdullah bin Shalih al Fauzan.

Tentang MEMBIARKAN SESAMA MUSLIM DIZHALIMI

Dari Sahl bin Hunaif radhiallahu ‘anhu secara marfu:
‏ ﻣﻦ ﺃُﺫِﻝَّ ﻋﻨﺪﻩ ﻣﺴﻠﻢ ﻓﻠﻢ ﻳﻨﺼﺮﻩ ﻭﻫﻮ ﻳﻘﺪﺭ ﺃﻥ ﻳﻨﺼﺮﻩ ﺃﺫﻟﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﺭﺅﻭﺱ ﺍﻟﺨﻼﺋﻖ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ‏
“Barangsiapa yang di sisinya ada seorang muslim dihinakan, kemudian dia tidak menolongnya padahal dia mampu (untuk menolongnya), maka Allah akan menghinakannya di depan para makhluk pada hari kiamat.” (HR.Ahmad) [1]

Dan dalam riwayat Abu Dawud dari Jabir dan Abu Thalhah radhiallahu ‘anhuma secara marfu:
‏ﻣﺎ ﻣﻦ ﺍﻣﺮﺉ ﻣﺴﻠﻢ ﻳﺨﺬﻝ ﺍﻣﺮﺃ ﻣﺴﻠﻤﺎ ﻓﻲ ﻣﻮﺿﻊ ﺗﻨﺘﻬﻚ ﻓﻴﻪ ﺣﺮﻣﺘﻪ ﻭﻳﻨﺘﻘﺺ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﻋﺮﺿﻪ ﺇﻻ ﺧﺬﻟﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻓﻲ ﻣﻮﻃﻦ ﻳﺤﺐ ﻓﻴﻪ ﻧﺼﺮﺗﻪ ، ﻭﻣﺎ ﻣﻦ ﺍﻣﺮﺉ ﻣﺴﻠﻢ ﻳﻨﺼﺮ ﺍﻣﺮﺃ ﻣﺴﻠﻤﺎ ﻓﻲ ﻣﻮﺿﻊ ﻳﻨﺘﻘﺺ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﻋﺮﺿﻪ ﻭﻳﻨﺘﻬﻚ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﺣﺮﻣﺘﻪ ﺇﻻ ﻧﺼﺮﻩ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻲ ﻣﻮﻃﻦ ﻳﺤﺐ ﻓﻴﻪ ﻧﺼﺮﺗﻪ ‏
“Tidaklah seorang membiarkan (menelantarkan) seorang muslim di tempat dilanggar kehormatannya dan dicela kehormatannya, melainkan Allah akan membiarkannya di tempat yang dia suka mendapat pertolongan-Nya. Dan tidaklah seorang muslim menolong seorang muslim di tempat yang dia dicela kehormatannya dan dilanggar kehormatannya, melainkan Allah akan menolongnya di tempat yang dia suka mendapat pertolongan-Nya.” [2]

[1] Didha’ifkan Al-Albani dalam Dha’if Al-Jami’ 5380
[2] Dihasankan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ 5690

Sumber:
Al-Kabaa’ir, Al-Imam Al-Mujaddid Muhammad bin ‘Abdil Wahhab At-Tamimi An-Najdi rahimahullah
(Penerjemah: Abu Muhammad Miftah, Gema Ilmu Yogyakarta, cetakan ke-3 Mei 2013)

Tentang KUIS SMS

Apa hukumnya mengirim kuis berhadiah menggunakan SMS dengan tarif premium (lebih dari tarif biasa)? Apakah itu termasuk dalam kategori judi?

Jawab:
Apa yang anda tanyakan termasuk judi. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan,
ﺍﻟْﻘَﺎﻋِﺪَﺓُ: ﺃَﻥَّ ﻛُﻞَّ ﻣُﻌَﺎﻣَﻠَﺔٍ ﻳَﻜُﻮﻥُ ﻓِﻴْﻬَﺎ ﺍﻟْﻤُﻌَﺎﻣِﻞُ ﺇِﻣَّﺎ ﻏَﺎﻧِﻤﺎً ﺃَﻭْ ﻏَﺎﺭِﻣﺎً ﺃَﻧَّﻬَﺎ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤَﻴْﺴِﺮِ ﻓَﻠَﺎ ﺗَﺠُﻮﺯُ
“Kaidahnya, setiap transaksi di mana seseorang yang bertransaksi akan mengalami kemungkinan untung dan rugi [1], maka itu termasuk dari perjudian, sehingga terlarang (tidak diperbolehkan).” (Liqa’ Al-Bab Al-Maftuh‏)
Sehingga apa yang marak tersebar melalui SMS berupa beragam kuis dengan cara mengirim SMS dengan tarif yang melebihi biasanya adalah termasuk perjudian yang Allah subhanahu wa ta’ala larang. Sebagaimana dalam ayat-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kalian dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kalian (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (Al-Maidah: 90-91)

Sumber: Majalah Asy Syariah

Catatan Kaki:
[1] Rugi di sini dalam arti tidak mendapatkan imbalan apapun sementara ia telah mengeluarkan sejumlah harta.

Tentang MERATAPI ORANG YANG SUDAH MATI

Niyahah atau meratapi mayit telah dilarang oleh Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam dengan larangan keras dan termasuk dosa besar, karena pelakunya telah diancam dengan ancaman keras sebagaimana dalam hadits:
ﺍﻟﻨَّﺎﺋِﺤَﺔُ ﺇِﺫَﺍ ﻟَﻢْ ﺗَﺘُﺐْ ﻗَﺒْﻞَ ﻣَﻮْﺗِﻬَﺎ ﺗُﻘَﺎﻡُ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ﻭَﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﺳِﺮْﺑَﺎﻝٌ ﻣِﻦْ ﻗَﻄِﺮَﺍﻥٍ ﻭَﺩِﺭْﻉٌ ﻣِﻦْ ﺟَﺮَﺏٍ
“Seorang wanita yang niyahah (meratapi mayit) bila tidak bertaubat sebelum matinya maka akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan memakai pakaian yang menutupi tubuhnya dari tembaga yang meleleh dan kulitnya terkena penyakit kudis (secara merata).” (Shahih, HR. Muslim)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
اثْنَتَانِ فِى النَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ الطَّعْنُ فِى النَّسَبِ وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ
Ada dua hal yang jika keduanya ada pada mereka menyebabkan kekufuran, yaitu mencela nasab keturunan dan meratapi mayit. (HR Imam Ahmad dan Imam Muslim)

Islam melarang pemeluknya yang tertimpa musibah untuk berucap atau berbuat sesuatu yang menunjukkan ketidak ridhaan kepada keputusan (takdir) Allah, seperti merobek baju, menampar pipi, menjambak rambut, menangis histeris, apalagi menyayat kepala dan dahi seperti yang dilakukan sebagian orang-orang syi’ah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ
“Bukan dari golongan kami barang siapa yang menampar pipi, merobek baju, atau meratap dengan ratapan jahiliyah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)

Dari Abu Burdah dia berkata: 
Abu Musa radhiyallahu ‘anhu mewasiatkan ketika hendak meninggal, “Apabila kalian berangkat membawa jenazahku maka cepatlah dalam berjalan. Jangan mengikutkan (jenazahku) dengan bara api. Sungguh jangan kalian membuat sesuatu yang akan menghalangiku dengan tanah. Janganlah membuat bangunan di atas kuburku. Aku mempersaksikan kepada kalian dari al-haliqah (wanita yang mencukur gundul rambutnya karena tertimpa musibah), as-saliqah (wanita yang menjerit karena tertimpa musibah), dan al-khariqah (wanita yang merobek-robek pakaiannya karena tertimpa musibah).” Mereka bertanya, “Apakah engkau mendengar sesuatu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal itu?” Dia menjawab, “Ya, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” 
(Diriwayatkan oleh Ahmad 4/397, Al-Baihaqi 3/395, dan Ibnu Majah, sanadnya hasan)