Cari Blog Ini

Jumat, 31 Oktober 2014

Tentang MEMULIAKAN TAMU

Abu Hurairah radhiyallahu anhu menyampaikan dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
ﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻳُﺆْﻣِﻦُ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﺍﻟْﺂﺧِﺮِ ﻓَﻠْﻴَﻘُﻞْ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﺃَﻭْ ﻟِﻴَﺼْﻤُﺖْ، ﻭَﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻳُﺆْﻣِﻦُ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﺍﻟْﺂﺧِﺮِ ﻓَﻠْﻴُﻜْﺮِﻡْ ﺟَﺎﺭَﻩُ، ﻭَﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻳُﺆْﻣِﻦُ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﺍﻟْﺂﺧِﺮِ ﻓَﻠْﻴُﻜْﺮِﻡْ ﺿَﻴْﻔَﻪُ
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau ia diam. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tamu adalah orang yang singgah di tempat Anda. Misalnya, ada seorang musafir mampir di rumah Anda, ini adalah tamu yang wajib dimuliakan.

Al Imam Al Qadhi ‘Iyadh mengatakan:
“Makna hadits tersebut adalah bahwa barangsiapa yang berupaya untuk menjalankan syari’at Islam, maka wajib bagi dia untuk memuliakan tetangga dan tamunya, serta berbuat baik kepada keduanya.”

Al Imam An Nawawi berkata:
“Menjamu dan memuliakan tamu adalah termasuk adab dalam Islam dan merupakan akhlak para nabi dan orang-orang shalih.” (Syarh Shahih Muslim)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya bagi pengunjungmu mempunyai hak atasmu.” (HR. Al-Bukhari no. 1873 dan Muslim no. 1157 dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu anhuma)

Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata, ”Tidak ada kebaikan bagi orang-orang yang tidak menjamu tamu.” (HR. Ahmad no. 17455 dari Uqbah bin Amir radhiyallahu anhu, dishahikan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ no. 7492 dan Ash-Shahihah no. 2434)

Abdurrauf Al-Manawi rahimahullah berkata, ”Maksudnya bagi siapa saja yang tidak menjamu tamu yang bertamu kepadanya jika dia mampu untuk menjamunya.” (Faidhul Qadhir Syarh Al-Jami’ Ash-Shaghir 6/552 no. 9883)

Rasulullah bersabda:
ﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻳُﺆْﻣِﻦُ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَ ﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﺍﻵﺧِﺮِ ﻓَﻠْﻴُﻜْﺮِﻡْ ﺿَﻴْﻔَﻪُ ﺟَﺎﺋِﺰَﺗَﻪُ . ﻗَﺎﻟُﻮﺍ: ﻭَﻣَﺎ ﺟَﺎﺋِﺰَﺗُﻪُ ﻳَﺎﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ؟ ﻗَﺎﻝَ: ﻳَﻮْﻡٌ ﻭَﻟَﻴْﻠَﺘُﻪُ ﻭَﺍﻟﻀِّﻴَﺎﻓَﺔُ ﺛَﻼَﺛَﺔُ ﺃَﻳَّﺎﻡٍ ﻓَﻤَﺎ ﻛَﺎﻥَ ﻭَﺭَﺍﺀَ ﺫَﺍﻟِﻚَ ﻓَﻬُﻮَ ﺻَﺪَﻗَﺔٌ ﻋَﻠَﻴْﻪِ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya memuliakan tamunya yaitu jaizah-nya." Para shahabat bertanya, "Apa yang dimaksud dengan jaizah itu?" Rasulullah menjawab, "Jaizah itu adalah menjamu satu hari satu malam (dengan jamuan yang lebih istimewa dibanding hari yang setelahnya). Sedangkan penjamuan itu adalah tiga hari adapun selebihnya adalah shadaqah.” (Al Bukhari no. 6135 dan Muslim no. 1726 dari Abu Syuraih)

Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad menjelaskan bahwa pada sehari semalam pertama, dihidangkan makanan dan minuman yang kadarnya (kualitasnya) lebih dari kebiasaan yang kita makan, kemudian 2 hari berikutnya hidangannya adalah hidangan yang sesuai dengan kebiasaan. (Syarh Sunan Abi Dawud 19/479)

Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ”Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya, memuliakannya sehari semalam, dan menjamu tamu adalah tiga hari, adapun setelah itu, maka itu adalah shadaqah. Maka tidak dihalalkan baginya untuk bertamu kepadanya sehingga menyakitinya." (HR. Al-Bukhari no. 6019 dan Muslim no. 14 dari Abu Syuraih)
Dalam riwayat lain, para shahabat berkata, "Wahai Rasulullah, bagaimana menyakitinya?" Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata, ”Sang tamu tinggal bersamanya, sedangkan ia tidak punya apa-apa untuk menjamu tamunya.” (HR. Muslim no. 4611)

Sulaiman berkata:
ﻧَﻬَﺎﻧَﺎ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺃَﻥْ ﻧَﺘَﻜَﻠَّﻒَ ﻟِﻠﻀَّﻴْﻒِ ﻣَﺎ ﻟَﻴْﺲَ ﻋِﻨْﺪَﻧَﺎ
“Rasulullah melarang kami memberat-beratkan diri dalam menjamu tamu dari sesuatu yang di luar kemampuan.” (HR. Al Bukhari, Ahmad dan lainnya)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Malam bertamu adalah suatu kewajiban (untuk memuliakannya), maka barangsiapa di waktu pagi ia (tamu) berada di halaman rumahnya, maka itu adalah hutang; jika mau ia boleh menjamu dan jika tidak maka ia boleh membiarkannya.” (HR. Ahmad 4/130 dan Abu Dawud no. 3750 dari Al-Miqdam bin Ma’di Karib radhiyallahu anhu dengan isnad yang shahih)

Uqbah bin Amir radhiyallahu anhu berkata:
Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya anda mengutus kami, lalu kami singgah di suatu kaum, namun mereka tidak menjamu kami." Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada kami, “Jika kalian singgah di suatu kaum, lalu mereka melayani kalian sebagaimana layaknya seorang tamu, maka terimalah layanan mereka. Jika mereka tidak melayani kalian, maka kalian boleh mengambil dari mereka hak tamu yang layak bagi mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 2461 dan Muslim no. 1727)

Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata:
Ketika utusan Abdul Qais datang menemui Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Beliau bertanya kepada mereka, “Kaum manakah ini atau utusan siapakah ini?" Mereka menjawab, “Rabi’ah!” Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Selamat datang wahai para utusan dengan tanpa kehinaan dan tanpa penyesalan.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata:
Pada suatu hari atau suatu malam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pergi keluar rumah, tiba-tiba beliau bertemu dengan Abu Bakar dan Umar. Lalu beliau bertanya, “Mengapa kalian keluar-rumah malam-malam begini?” Mereka menjawab, "Kami lapar, wahai Rasulullah!" Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, aku juga keluar karena lapar seperti kalian. Marilah!” Mereka pergi mengikuti beliau ke rumah shahabat Anshar (Abu Haitsam bin At-Taihan). Namun sayang dia sedang tidak di rumah. Tetapi tatkala istrinya melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam datang, dia mengucapkan, “Marhaban wa Ahlan (selamat datang).” Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertanya, “Kemana si Fulan (Abu Haitsam)?” Isterinya menjawab, "Dia sedang mengambil air tawar untuk kami." Tiba-tiba datanglah orang anshar tersebut dan melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam beserta dua sahabat beliau, maka dia berkata, "Alhamdulillah, tidak ada seorangpun kedatangan tamu yang lebih mulia hari ini dariku." Lalu dia mengambil setandan kurma, di antaranya ada yang masih muda, yang mulai masak, dan yang sudah masak betul. Katanya, "Silakan dimakan ini." Sambil dia mengambil pisau. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Janganlah engkau sembelih yang sedang menyusui." Maka dipotongnya seekor kambing, lalu mereka makan kambing, makan kurma setandan, dan minum. Setelah semuanya kenyang dan puas makan dan minum, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada Abu Bakar dan Umar, "Demi Dzat yang jiwaku berada dalam Tangan-Nya, kalian akan ditanya pada hari kiamat tentang nikmat yang kalian peroleh ini. Kalian keluar dari rumah karena lapar dan tidak pulang sampai kalian memperoleh kenikmatan ini." (HR. Muslim no. 2030)

Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata:
Datang seseorang kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kemudian dia berkata, “Sesungguhnya aku orang yang fakir (dan dalam kesulitan hidup).” Maka beliau Shallallahu alaihi wa sallam mengutus utusan kepada sebagian istri beliau, maka istri beliau menjawab, “Demi Dzat yang mengutusmu dengan membawa kebenaran, saya tidak memiliki kecuali air minum.” Kemudian beliau mengutus ke istri yang lainnya, maka istri tersebut menjawab dengan jawaban yang sama. Sehingga istri-istri beliau semuanya menjawab dengan jawaban yang sama, “Demi Dzat yang mengutusmu dengan membawa kebenaran, saya tidak memiliki kecuali air minum.” Kemudian Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bertanya, “Siapa yang akan menjamu tamu ini?” Maka ada seorang Anshar menjawab, “Saya, wahai Rasulullah.” Dia lalu berangkat bersama dengan tamu tersebut ke rumahnya. Kemudian dia berkata kepada istrinya, “Muliakanlah tamu Rasulullah ini!” Dalam riwayat yang lain dia berkata kepada istrinya, “Apakah kamu memiliki sesuatu?” Istrinya menjawab, “Tidak, kecuali makan malam anak-anak kita.” Dia berkata, “Beri mereka (anak-anak) sesuatu yang membuat mereka lupa. Apabila mereka ingin makan malam, tidurkanlah mereka. Dan apabila tamu kita telah masuk, matikan pelita dan tampakkanlah bahwa kita telah makan!” Kemudian anak-anak mereka tidur dan tamu tersebut makan, sehingga suami istri tersebut tidur dalam keadaan lapar. Maka tatkala masuk pagi hari, dia datang kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Kemudian beliau bersabda, “Sungguh-sungguh Allah Subhanahu wata’ala takjub dengan perbuatan kalian terhadap tamu tersebut tadi malam.” (Riyadhus Shalihin 569)

Abu Mas’ud Al Anshari berkata:
Ada seorang laki-laki Anshar bernama Abu Syu’aib, dia mempunyai seorang pelayan tukang daging. Pada suatu hari Abu Syu’aib melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dia tahu dari wajah beliau bahwa beliau sedang lapar, maka Abu Syu’aib berkata kepada pelayannya, ”Celakalah kamu! Siapkanlah hidangan untuk kami, untuk lima orang, aku hendak mengundang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta lainnya sebanyak lima orang." Setelah hidangan tersedia, Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun tiba beserta orang lainnya sebanyak lima orang dan seorang lagi mengikuti mereka. Ketika sampai di pintu Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata, ”Sesungguhnya lelaki ini mengikuti kami, jika kamu menghendaki, kamu izinkan dia turut makan, dan jika kamu menghendaki, dia akan kembali." Abu Syu’aib berkata, ”Jangan, bahkan aku izinkan baginya wahai Rasulullah!" (HR. Al-Bukhari no. 5434, dan Muslim no. 2036)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika diberi jamuan dan diminta doa untuk penjamunya beliau berdoa:
‏ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺑَﺎﺭِﻙْ ﻟَﻬُﻢْ ﻓِﻰ ﻣَﺎ ﺭَﺯَﻗْﺘَﻬُﻢْ ﻭَﺍﻏْﻔِﺮْ ﻟَﻬُﻢْ ﻭَﺍﺭْﺣَﻤْﻬُﻢْ
“Ya Allah berikanlah keberkahan untuk mereka pada rizqi yang telah Engkau berikan kepada mereka, dan berikanlah ampunan dan rahmat untuk mereka.” (HR. Muslim no. 5449 dari hadits Abdullah Ibnu Busr radhiyallahu anhu)

Tentang KARTU PELANGGAN, DAN MEMBERIKAN DISKON ATAU POIN YANG BISA DITUKAR DENGAN HADIAH KARENA MEMILIKI KARTU PELANGGAN

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

Pertanyaan: Sebagian supermarket memiliki kartu yang diberikan kepada pelanggan, ketika berbelanja Anda akan diberi poin sesuai nilai barang yang Anda beli, dari sana poin-poin tersebut akan diganti dengan barang yang mereka tentukan, dan dengan kartu ini Anda bisa mendapatkan harga diskon?

Jawaban:
Ini semua termasuk perjudian sehingga tidak boleh. Jika seorang pelanggan membutuhkan barang hendaklah dia pergi ke pasar. Tinggalkan cara-cara buruk semacam ini, yaitu membeli barang dengan iming-iming siapa yang cepat atau beruntung maka dia akan mendapat hadiah. Tinggalkan, karena itu merupakan perjudian.
Konsumen akan membeli ke mereka dan tidak mau membeli ke selain mereka. Jadi mereka memalingkan manusia dari tempat belanja yang lain, sehingga mereka merugikan orang lain. Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang mencegat orang-orang yang ingin menjual barangnya sebelum sampai ke pasar. Beliau juga melarang orang kota menjualkan barang orang desa. Hal itu bertujuan agar keuntungan bisa didapatkan oleh semua orang yang ada di pasar dan tidak ada seorang pun memiliki kelebihan atas orang lain. Misalnya dengan engkau memberikan berbagai hadiah agar manusia hanya membeli kepadamu dan engkau menyebabkan pembeli tidak mau belanja ke orang lain.
Kemudian barang yang diterima oleh pembeli semacam ini tidak boleh hukumnya, karena itu didapatkan tanpa mengeluarkan apapun. Dia mendapatkannya hanya sebagai imbalan dari kartu tadi yang tujuannya untuk mengarahkan manusia agar berbelanja ke toko mereka atau tempat jualan mereka serta merugikan penjual yang lain. Tidak boleh merugikan orang lain sebagaimana tidak boleh merugikan diri sendiri. Yang semacam ini tidak boleh.

Sumber audio: albaidha[dot]net

Alih Bahasa: Abu Almass

Selasa, 28 Oktober 2014

Tentang DOA MASUK MASJID

Membaca do’a sebelum masuk masjid adalah Sunnah. Adapun lafazh do’anya ialah sebagai berikut:
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﻓْﺘَﺢْ ﻟِﻲْ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏَ ﺭَﺣْﻤَﺘِﻚَ
Allahummaftahli abwaba rohmatika.
“Ya Allah, bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmat-Mu.” [1]

Boleh juga membaca do’a yang lebih panjang seperti berikut,
ﺃَﻋُﻮﺫُ ﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ ﺍﻟْﻌَﻈِﻴﻢِ، ﻭَﺑِﻮَﺟْﻬِﻪِ ﺍﻟْﻜَﺮِﻳﻢِ، ﻭَﺳُﻠْﻄَﺎﻧِﻪِ ﺍﻟْﻘَﺪِﻳﻢِ، ﻣِﻦَ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥِ ﺍﻟﺮَّﺟِﻴﻢِ، ﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺻَﻞِّ ﻭَﺳَﻠِّﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ، ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﻓْﺘَﺢْ ﻟِﻲْ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏَ ﺭَﺣْﻤَﺘِﻚََ
A’udzu billahil ‘adzim, wa biwajhihil karim, wa sulthonihil qadim, minasy syaithanir rajim. Bismillah. Allahumma shalli wa sallim ‘ala Muhammad. Allahummaftahli abwaba rahmatika.‏
"Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Agung, dan (berlindung) dengan wajah-Nya Yang Mulia, dan kekuasaan-Nya yang kekal, dari (gangguan) syaithan yang terlaknat. Dengan menyebut Nama Allah. Ya Allah, shalawat dan salam curahkanlah kepada Muhammad. Ya Allah, bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmat-Mu.” [2]

Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan, “Tempat ke delapan dari tempat-tempat (yang disyari’atkan) bershalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah ketika akan masuk masjid dan ketika akan keluar darinya.” (Dinukil dari ‘Aunul Ma’bud 2/93‏)

Footnote:

[1] Dari Shahabat Abu Humaid dan Abu Usaid Al-Anshari radhiallahu anhuma, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Sallam bersabda, ”Apabila salah seorang kalian hendak masuk masjid maka bacalah: Allahummaftahli abwaba rohmatika (Ya Allah, bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmat-Mu).” (HR. Muslim no. 713)

[2] Dalil-dalil untuk gabungan do’a di atas adalah:
Dalil Isti’adzah:
Abdullah bin Amr bin ‘Ash menuturkan, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam apabila masuk masjid mengucapkan: "A’udzu billahil ‘adzim wa biwajhihil karim wa sulthonihil qadim minasy syaithanir rajim. Bismillah. Allahumma shalli wa sallim ‘ala Muhammad. Allahummaftahlii abwaba rahmatika (Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Agung, dan (berlindung) dengan wajah-Nya Yang Mulia, dan kekuasaan-Nya yang kekal, dari (gangguan) syaithan yang terlaknat).” Beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Apabila seseorang membacanya, syaithan berkata: Dia telah dijaga dariku sepanjang hari ini.” (HR. Abu Daud no.466, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Misykah no.749, Shahih wa Dha’if Sunan Abi Daud no.466, dan Ats-Tsamarul Mustathob hal. 603‏)
Dalil Shalawat dan Salam:
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu alaihi wasallam jika masuk masjid mengucapkan, “Bismillah, Allahumma shalli ‘ala Muhammad.” Dan apabila keluar mengucapkan, “Bismillah, allahumma shalli ‘ala Muhammad (Ya Allah, curahkanlah shalawat dan salam atas Muhammad).”
Makna serupa juga diriwayatkan dari Fathimah, Abu Hurairah, Abu Humaid dan Abu Usaid Al-Anshari. (Lihat Ats-Tsamarul Mustathob hal 604-609)

Admin Warisan Salaf

Sumber: warisansalaf[dot]com

Tentang BATALNYA WUDHU KARENA MAKAN MAKANAN YANG DIMASAK

Al Ustadz Abu Ishaq Muslim Al Atsari

Ulama berselisih pendapat dalam masalah memakan makanan yang dimasak, apakah membatalkan wudhu atau tidak? Dalam hal ini mereka terbagi dalam tiga pendapat:

Pertama: Tidak wajib berwudhu karena memakan makanan yang dimasak apa pun, termasuk di dalamnya makan daging unta dan sama saja apakah makanan itu disentuh api (dimasak) atau pun tidak. Demikian pendapat jumhur ulama dan dihikayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Abu Thalhah, Abu Darda, Amir bin Rabi’ah dan Abu Umamah. Juga pendapat jumhur tabi’in, Malik, dan Abu Hanifah.

Kedua: Wajib berwudhu karena memakan makanan yang dimasak yang disentuh api, demikian pendapat Umar bin Abdul Aziz, Al-Hasan, Az-Zuhri, Abu Qilabah, Abu Mijlaz, dan dihikayatkan Ibnul Mundzir dari jama’ah shahabat: Ibnu Umar, Abu Thalhah, Abu Musa, Zaid bin Tsabit, Abu Hurairah dan Aisyah radhiallahu ‘anhum.

Ketiga: Wajib berwudhu karena makan daging unta secara khusus, demikian pendapat Ahmad, Ishaq, Yahya bin Yahya dan Al-Mawardi menghikayatkan pendapat ini dari jamaah shahabat seperti Zaid bin Tsabit, Abu Musa, Ibnu Umar, Abu Thalhah, Abu Hurairah dan Aisyah radhiallahu anhum. Ibnul Mundzir menghikayatkan dari Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anhu, Muhammad bin Ishaq, Abu Tsaur, Abu Khaitsamah dan ia memilih pendapat ini, demikian pula Ibnu Khuzaimah. (Al-Majmu’ , 2/68)
Pendapat inilah yang rajih dengan hadits Jabir ibnu Samurah:
Seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
ﺃَﺃَﺗَﻮَﺿَّﺄُ ﻣِﻦْ ﻟﺤُُﻮْﻡِ ﺍﻟْﻐَﻨَﻢِ؟ ﻗَﺎﻝَ: ﺇِﻥْ ﺷِﺌْﺖَ، ﻓَﺘَﻮَﺿَّﺄْ ﻭَﺇِﻥْ ﺷِﺌْﺖَ، ﻓَﻼَ ﺗَﻮَﺿَّﺄْ. ﻗَﺎﻝَ: ﺃَﺃَﺗَﻮَﺿَّﺄُ ﻣِﻦْ ﻟُﺤُﻮْﻡِ ﺍْﻹِﺑِﻞِ؟ ﻗﺎَﻝَ: ﻧَﻌَﻢْ، ﻓَﺘَﻮَﺿَّﺄْ ﻣِﻦْ ﻟُﺤُﻮْﻡِ ﺍْﻹِﺑِﻞِ
“Apakah aku berwudhu setelah makan daging kambing?” Beliau menjawab: “Kalau engkau mau engkau berwudhu, kalau mau maka engkau tidak perlu berwudhu.” Beliau ditanya lagi: “Apakah aku berwudhu karena makan daging unta?” Beliau menjawab: “Ya, berwudhulah setelah makan daging unta.” (Shahih HR. Muslim no. 360 dari hadits Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anhu)

Hadits ini menunjukkan bahwa seseorang harus berwudhu setelah makan daging unta, karena makan daging unta membatalkan wudhu. Demikian pendapat Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anhu, Muhammad bin Ishaq, Ahmad, Ishaq, Abu Khaitsamah, Yahya bin Yahya, Ibnul Mundzir, Ibnu Khuzaimah, Al-Baihaqi dan dinukilkan pendapat ini dari Ashabul Hadits dan sekelompok shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Syarah Shahih Muslim, 4/48; Al-Mughni, 1/122; Al-Muhalla, 1/226; Subulus Salam, 1/106)
Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anhu berkata: “Kami berwudhu dari makan daging unta dan kami tidak berwudhu karena makan daging kambing.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, 1/46, dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Tamamul Minnah, hal. 106)

Pendapat lain menyatakan bahwa makan daging unta tidaklah membatalkan wudhu dengan dalil hadits Jabir: “(Di antara) dua perintah yang akhir dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak perlu berwudhu karena memakan makanan yang disentuh api (dimasak).” (HR. At-Tirmidzi no. 80 dan An-Nasai no. 185)
Mereka yang berpendapat seperti ini adalah jumhur tabi’in, Malik, Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan murid-murid mereka dan dihikayatkan pula dari Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Abud Darda, Abu Thalhah, Amir bin Rabi’ah, Abu Umamah. (Syarah Shahih Muslim, 4/48; Al-Mughni 1/122; Subulus Salam, 1/106)

Berkata Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah: “Mayoritas ahlul ilmi dari kalangan shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tabi’in dan orang-orang setelah mereka berpendapat tidak perlu berwudhu karena memakan makanan yang dimasak.” (Sunan Tirmidzi , 1/53)

Ucapan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam syarahnya terhadap Shahih Muslim dan di dalam Al-Majmu’: “Mayoritas ulama berpendapat (makan daging unta) tidaklah membatalkan wudhu, di antara mereka yang berpendapat demikian adalah Al-Khulafa’ur Rasyidun yang empat.”
Ini merupakan anggapan yang keliru dari beliau rahimahullah. Kesalahan beliau ini telah diperingatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Al-Qawa’id An-Nuraniyyah (hal. 9) beliau menyatakan: “Adapun yang dinukilkan dari Al-Khulafa Ar-Rasyidun atau jumhur shahabat bahwa mereka tidak berwudhu karena makan daging unta, maka sungguh orang yang menukilkan demikian telah keliru dalam anggapannya terhadap mereka. Kesalahan anggapan tersebut dikarenakan adanya riwayat dari mereka bahwa mereka tidaklah berwudhu karena memakan sesuatu yang dimasak. Padahal yang diinginkan di sini menurut mereka adalah keberadaan sesuatu yang dimasak bukan sebagai satu sebab diwajibkannya berwudhu. Sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan berwudhu karena makan daging unta bukan disebabkan daging unta ini telah dimasak. Sebagaimana dikatakan: Fulan tidak perlu berwudhu karena menyentuh kemaluannya, walaupun dalam satu keadaan wajib baginya untuk berwudhu setelah menyentuh kemaluannya apabila keluar madzi dari kemaluannya.” (Sebagaimana dinukilkan dari Tamamul Minnah hal. 105)

Dari dua pendapat yang ada (tentang apakah batal wudhu seseorang yang makan daging unta), maka yang rajih dalilnya adalah pendapat pertama (yang menyatakan bahwa memakan daging unta membatalkan wudhu).
Adapun hadits Jabir: “(Di antara) dua perintah yang akhir dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak perlu berwudhu karena memakan makanan yang disentuh api (dimasak)”, hadits ini dinyatakan oleh Abu Hatim mudhtharib pada matannya. Dan sangat dimungkinkan seorang rawinya yakni Syu’aib telah salah di dalam menyampaikan haditsnya. (Al-’Ilal Ibnu Abi Hatim, 168)
Juga telah ada pembicaraan terhadap hadits ini di kalangan para imam Ahlul Hadits. (Lihat At-Talkhisul Habir, 1/174-176)
Hadits ini juga merupakan hadits yang lafadz dan hukumnya umum, sementara hadits yang menunjukkan wudhu karena makan daging unta adalah hadits yang khusus. Dan kaidah yang masyhur sebagaimana diterangkan ulama ahli ushul, ketika ada dalil yang khusus maka dikedepankan pengamalannya daripada dalil yang umum, wallahu a’lam. Juga, makan daging unta itu membatalkan wudhu bukan karena ia disentuh api, namun karena keberadaannya sebagai daging unta sehingga ia dimasak (dengan api) ataupun dimakan dalam keadaan mentah tetap keberadaannya membatalkan wudhu. (Syarah Shahih Muslim, 4/49; Al-Mughni , 1/122-123; Al-Majmu 2/670; I’lamul Muwaqqi’in 1/298-299; Ijabatus Sail hal. 36)

Sumber: Asy Syariah online

Tentang BATALNYA WUDHU KARENA MENYENTUH KEMALUAN

Al Ustadz Abu Ishaq Muslim Al Atsari

Dari Busrah bintu Shafwan radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺇِﺫَﺍ ﻣَﺲَّ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﺫَﻛَﺮَﻩُ ﻓَﻠْﻴَﺘَﻮَﺿَّﺄْ
“Apabila salah seorang dari kalian menyentuh dzakarnya, hendaklah ia berwudhu.” (HR. Abu Dawud no. 154, dishahihkan Al-Imam Ahmad, Al-Bukhari, Ibnu Ma’in dan selainnya. Kata Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah: “Hadits ini paling shahih dalam bab ini.” Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 174)

Dalam riwayat At-Tirmidzi rahimahullah disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﻣَﺲَّ ﺫَﻛَﺮَﻩُ ﻓَﻼَ ﻳُﺼَﻞِّ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺘَﻮَﺿَّﺄَ
“Siapa yang menyentuh kemaluannya maka janganlah ia shalat sampai ia berwudhu.”
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata tentang hadits ini: “Hadits shahih di atas syarat Al-Bukhari dan Muslim.” (Al-Jami’ush Shahih, 1/520)

Sementara Thalaq bin Ali radhiallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seseorang yang menyentuh dzakarnya setelah ia berwudhu, apakah batal wudhunya? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
ﻭَﻫَﻞْ ﻫُﻮَ ﺇِﻻَّ ﺑِﻀْﻌَﺔٌ ﻣِﻨْﻪُ؟
“Bukankah dzakar itu tidak lain kecuali sebagian daging dari (tubuh)nya?” (HR. At-Tirmidzi no. 85 dan kata Ibnul Madini rahimahullah: “Hadits ini lebih baik daripada hadits Busrah.” Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah menshahihkan sanadnya dalam Al-Misykat)

Dua hadits di atas menerangkan, yang pertama menetapkan menyentuh dzakar itu membatalkan wudhu sementara hadits yang kedua menetapkan tidak membatalkan wudhu. Sebagaimana dua hadits di atas bertentangan makna secara dzahirnya maka dalam masalah ini ada perselisihan pendapat di kalangan ulama.

Pertama, berpendapat menyentuh kemaluan membatalkan wudhu seperti pendapatnya Umar, Ibnu Umar, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Aisyah, Saad bin Abi Waqqash, Atha, Urwah, Az Zuhri, Ibnul Musayyab, Mujahid, Aban bin Utsman, Sulaiman bin Yasar, Ibnu Juraij, Al-Laits, Al-Auza’i, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Malik dalam pendapatnya yang masyhur dan selain mereka. Mereka berdalil dengan hadits Busrah. (Sunan Tirmidzi, 1/56; Al-Mughni, 1/117; Al-Muhalla, 1/223; Nailul Authar, 1/282)

Kedua, berpendapat dengan hadits kedua bahwa menyentuh dzakar tidaklah membatalkan wudhu. Hadits ini dijadikan pegangan oleh mereka, seperti ‘Ali, Ibnu Mas’ud, ‘Ammar bin Yasir, Hudzaifah, Abud Darda, ‘Imran bin Hushain, Al-Hasan Al-Bashri, Rabi’ah, Ats-Tsauri, Abu Hanifah dan murid-muridnya dan selain mereka. (Sunan Tirmidzi, 1/57; Al-Mughni, 1/117; Nailul Authar, 1/282)

Ketiga, mereka yang berpendapat dijamak atau dikumpulkannya antara dua hadits yang sepertinya bertentangan tersebut, di antaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan yang lainnya, yang menyatakan apabila menyentuhnya dengan syahwat maka hendaknya dia berwudhu dengan (dalil) hadits Busrah dan kalau menyentuhnya tanpa syahwat maka tidak mengapa akan tetapi disenangi baginya apabila dia berwudhu [1], dengan (dalil) hadits Thalaq. Pendapat inilah yang penulis pilih dan memandangnya sebagai pendapat yang rajih, walaupun pendapat yang pertama menurut pandangan penulis adalah pendapat yang juga kuat di mana pendapat ini banyak dipilih dan dibela oleh ahlul ilmi seperti di antaranya Al-Imam Ash-Shan’ani (di dalam Subulus Salam, 1/104), Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah (Nailul Authar, 1/283; Ad-Darari Al-Mudhiyyah hal. 36), dan yang lainnya. Namun penulis lebih condong pada pendapat yang ketiga, wallahu ta’ala a’lam bish-shawab wal ilmu ‘indallah.

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata: “Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Hanyalah dzakar itu bagian dari (tubuh)mu”, di dalamnya ada isyarat yang lembut bahwa menyentuh dzakar yang tidak dibarengi syahwat tidak mengharuskan wudhu, karena menyentuh dalam keadaan yang seperti ini sama halnya dengan menyentuh anggota tubuh yang lain. Berbeda keadaannya apabila ia menyentuh dengan syahwat maka ketika itu tidak bisa disamakan dengan menyentuh anggota tubuh yang lain. Karena secara kebiasaan menyentuh anggota tubuh yang lain tidaklah dibarengi dengan syahwat. Perkara ini adalah perkara yang jelas sebagaimana yang kita ketahui. Berdasarkan hal ini maka hadits: “Hanyalah dzakar itu bagian dari (tubuh)mu” tidak bisa dijadikan dalil oleh madzhab Al-Hanafiyyah untuk menyatakan bahwa menyentuh dzakar tidaklah membatalkan wudhu secara mutlak. Namun hadits ini merupakan dalil bagi orang yang berpendapat bahwa menyentuh dzakar tanpa disertai syahwat tidaklah membatalkan wudhu. Adapun bila menyentuhnya dengan syahwat maka dapat membatalkan wudhu, dengan dalil hadits Busrah. Dengan demikian terkumpullah di antara dua hadits tersebut. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam sebagian kitabnya berdasarkan apa yang aku ketahui. Wallahu a’lam.” (Tamamul Minnah, hal. 103)

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Apabila seseorang menyentuh dzakarnya maka disenangi baginya untuk berwudhu secara mutlak, sama saja apakah ia menyentuhnya dengan syahwat ataupun tidak. Apabila menyentuhnya dengan syahwat maka pendapat yang mengatakan wajib baginya berwudhu sangatlah kuat, namun hal ini tidak ditunjukkan secara dzahir dalam hadits. Dan aku tidak bisa memastikan akan kewajibannya namun demi kehati-hatian sebaiknya ia berwudhu.” (Syarhul Mumti’, 1/234)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab wal ilmu ‘indallah.

Sumber: Asy Syariah online

Footnote:
[1] Juga disenangi wudhu di sini dalam rangka kehati-hatian, wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

###

Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz رحمه الله

Pertanyaan:
عن نظافة الطفل الرضيع، هل يؤثر ذلك على وضوء أمه؟
Apakah membersihkan anak yang masih menyusui bisa membatalkan wudhu ibunya?

Jawaban:
نعم، إذا مست فرجه فإنها تعيد تتطهر، ينتقض وضوئها، إذا مست فرجه ذكره أو قبل الأنثى أو حلقة الدبر فإن هذا ينقض الوضوء، إذا كانت على وضوء تعيد الوضوء كالرجل وكالمرأة. جزاكم الله خيراً
Iya. Jika dia menyentuh kemaluannya, maka dia harus wudhu ulang karena wudhunya batal.
Jika dia menyentuh kemaluannya baik qubul atau dubur atau pinggir duburnya, maka ini membatalkan wudhu. Oleh karena itu, kalau dia sudah berwudhu, maka harus mengulang wudhu baik laki-laki ataupun wanita.
Jazaakumullohu khoir.

Sumber:
www .binbaz .org .sa/node/16786

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

Tentang BATALNYA WUDHU KARENA GILA, TIDUR, PINGSAN, MABUK, DAN LAIN-LAIN YANG MENYEBABKAN HILANGNYA AKAL

Al Ustadz Abu Ishaq Muslim Al Atsari

Ada dua bentuk hilangnya akal seseorang:
1. Hilangnya akal secara keseluruhan sehingga seseorang tidak waras lagi dalam berpikir, seperti gila.
2. Tertutupnya akal seseorang dalam beberapa saat karena suatu sebab seperti pingsan, mabuk, tidur, dan semisalnya.

Hilangnya akal disebabkan gila, pingsan, dan mabuk karena minum khamr, atau karena minum obat, membatalkan wudhu seseorang, sebentar ataupun lama. Sehingga bila seseorang gila kemudian waras kembali, atau mabuk, atau jatuh pingsan kemudian siuman, maka wajib baginya memperbarui thaharahnya. (Al-Mughni, 1/114, Syarah Shahih Muslim, 4/74, Al-Majmu’, 2/25)
Inilah pendapat rajih (yang kuat) menurut kami, wallahu a’lam bish-shawab.

Adapun Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah dan yang sependapat dengan beliau memandang bahwa semua perkara di atas selain tidur tidaklah membatalkan wudhu dan perkara tersebut tidak dapat diqiyaskan dengan tidur. (Al-Muhalla, 1/212)

(Adapun dalam masalah tidur,) ulama berbeda pendapat dalam masalah tidur ini sampai 8 pendapat:
1. Tidur tidak membatalkan wudhu bagaimana pun keadaannya.
Dinukilkan pendapat ini dari Abu Musa Al-Asy’ari, Ibnul Musayyab, Abu Mijlaz, Syu’bah dan Humaid Al-A’raj.
2. Tidur membatalkan wudhu bagaimana pun keadaannya.
Ini merupakan pendapat Al-Hasan Al-Bashri, Al-Muzani, Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam, Ishaq dan satu pendapat yang gharib dari Imam Syafi’i. Ibnul Mundzir rahimahullah berkata: “Aku berpendapat demikian.” Diriwayatkan juga pendapat yang semakna dari Ibnu Abbas, Abu Hurairah dan Anas.
3. Tidur yang banyak/nyenyak membatalkan wudhu bagaimanapun posisinya, sedangkan tidur yang sedikit tidak membatalkan.
Demikian madzhab Az-Zuhri, Rabi’ah, Al-Auza’i, Malik, dan Ahmad dalam satu riwayat darinya.
4. Tidur dalam posisi duduk dan pantatnya mapan menempel ke tanah tidaklah membatalkan wudhu. Selain dari posisi ini membatalkan wudhu sama saja tidurnya sedikit ataupun banyak, di dalam shalat ataupun di luar shalat.
Demikian madzhab Asy-Syafi’i rahimahullah.
5. Tidur dalam posisi orang yang sedang shalat seperti dalam posisi ruku, sujud, berdiri, dan duduk tidaklah membatalkan wudhu, sama saja apakah itu terjadi di dalam shalat ataupun di luar shalat. Apabila tidurnya itu dalam keadaan berbaring atau terlentang di atas tengkuknya maka akan membatalkan wudhunya.
Demikian madzhab Abu Hanifah, Dawud dan satu pendapat yang gharib dari Asy-Syafi’i.
6. Tidur tidak membatalkan wudhu kecuali tidurnya orang yang ruku dan sujud.
Diriwayatkan pendapat ini dari Ahmad.
7. Tidur tidak membatalkan wudhu kecuali tidurnya orang yang sujud.
Diriwayatkan pendapat ini juga dari Ahmad.
8. Tertidur ketika sedang shalat tidak membatalkan wudhu. Adapun di luar shalat membatalkan wudhu.
Ini merupakan pendapat yang lemah dari Al-Imam Asy-Syafi’i.
(Syarah Shahih Muslim, 4/73)

Yang rajih dari pendapat yang ada menurut penulis adalah tidur yang nyenyak/pulas membatalkan wudhu. Adapun tidur yang ringan/hanya sekedar terkantuk-kantuk, di mana orang yang tidur ini masih mendengar suara di sekitarnya, tidaklah membatalkan wudhu. [1] (Al-Mughni, 1/116)

Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, ia berkata: “Diserukan iqamah untuk shalat sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berbicara pelan (berbisik-bisik) dengan seseorang. Maka beliau terus berbisik-bisik dengan orang tersebut hingga para shahabat beliau tertidur. Kemudian beliau datang lalu shalat bersama mereka.” Kata Anas: “Mereka tertidur, kemudian mereka shalat dan tidak berwudhu.” (HR. Muslim no. 376)

Dalam riwayat Abu Dawud juga dari Anas, ia berkata: “Para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanti dilaksanakannya shalat Isya yang akhir, dalam keadaan kepala mereka terangguk-angguk (karena rasa kantuk yang berat) kemudian mereka bangkit mengerjakan shalat tanpa berwudhu.” (Sunan Abu Dawud hadits no.172 dan dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullah dalam Irwaul Ghalil, 1/149)

Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullah menyatakan bahwa hadits Shafwan [2] yang menggandengkan tidur dengan hadats (kencing dan BAB) dibatasi dengan tidur nyenyak yang membuat orang tidak mengerti apa-apa (hilang kesadaran). Adapun apa yang disebutkan Anas berupa mendengkurnya (beberapa) shahabat ketika dibangunkan, mereka membaringkan/merebahkan tubuh mereka hingga mereka dibangunkan untuk mengerjakan shalat, ditakwilkan (dinyatakan) dengan tidur yang tidak nyenyak. Terkadang memang ada orang yang mendengkur di awal tidurnya sebelum ia pulas, demikian pula ada orang tidur dalam posisi berbaring tetapi tidak mesti menunjukkan tidur yang nyenyak. Dan juga seseorang yang baru tertidur bisa saja ia dibangunkan agar ia tersadarkan dan tidak pulas dalam tidurnya. (Kami nukilkan secara makna dan ringkas sebagaimana di dalam Subulus Salam, 1/97)

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Pingsan membatalkan wudhu, karena pingsan itu lebih dari sekedar tidur sementara tidur yang nyenyak itu membatalkan wudhu, di mana orang yang tidur tersebut tidak tahu seandainya ada sesuatu yang keluar dari (kemaluan)nya. Adapun tidur yang ringan di mana bila orang yang tidur itu berhadats dia bisa merasakannya maka tidur seperti ini tidak membatalkan wudhu, sama saja apakah tidur itu berbaring, duduk bersandar atau duduk tanpa bersandar atau satu keadaan dari keadaan-keadaan yang ada. Selama ia bisa merasakan keluarnya hadats tersebut (seandainya ia berhadats).”
Beliau juga menyatakan: “Tidur itu sendiri bukanlah pembatal wudhu [3], hanya saja tidur ini merupakan satu keadaan yang diperkirakan/diduga bisa terjadinya hadats pada keadaan tersebut. Dengan demikian bila hadats tersebut dapat ditolak, di mana orang tersebut dapat merasakan bila keluar hadats darinya, maka tidurnya tidaklah membatalkan wudhu.”
(Majmu’ Fatawa wa Rasail, 4/195, 200, 201)

Sumber: Asy Syariah online

Footnote:

[1] Walaupun penulis menyadari bahwa pendapat yang mengatakan tidur secara mutlak (membatalkan wudhu) juga kuat dalam masalah ini sebagaimana pendapat tersebut dikuatkan oleh Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah di dalam Al-Muhalla (1/213) dan Al-Imam Al-Albani rahimahullah dalam Tamamul Minnah hal. 99-103 dan silahkan pembaca melihatnya. Namun yang menenangkan hati penulis adalah pendapat yang penulis rajihkan. Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab wal ilmu ‘indallah.

[2] Hadits Shafwan yang dimaksud adalah:
ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳَﺄْﻣُﺮُﻧَﺎ ﺇِﺫَﺍ ﻛُﻦَّ ﺳَﻔْﺮًﺍ ﺃَﻻَّ ﺗَﻨْﺰِﻉَ ﺧِﻔَﺎﻓَﻨَﺎ ﺛَﻼَﺛَﺔَ ﺃَﻳَّﺎﻡٍ ﻭَﻟَﻴَﺎﻟِﻴَﻬُﻦَّ ﺇِﻻَّ ﻣِﻦْ ﺟَﻨَﺎﺑَﺔٍ ﻭَﻟَﻜِﻦْ ﻣِﻦْ ﻏَﺎﺋِﻂٍ ﻭَﺑَﻮْﻝٍ ﻭَﻧَﻮْﻡٍ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami, bila kami sedang safar agar tidak melepaskan khuf-khuf kami selama tiga hari tiga malam kecuali bila ditimpa janabah. Namun bila hanya buang air besar, kencing, dan tidur (tidak perlu melepaskannya).” (HR. At-Tirmidzi no. 96. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Al- Jami’us Shahih, 1/538)

[3] Seperti kencing misalnya, banyak ataupun sedikitnya kencing tetaplah membatalkan wudhu.

Tentang BATALNYA WUDHU KARENA KELUAR DARAH

Al Ustadz Abu Ishaq Muslim Al Atsari

Darah yang keluar dari tubuh seseorang, selain kemaluannya tidaklah membatalkan wudhu, sama saja apakah darah itu sedikit ataupun banyak. Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnu Abi Aufa, Abu Hurairah, Jabir bin Zaid, Ibnul Musayyab, Makhul, Rabi’ah, An-Nashir, Malik, dan Asy-Syafi’i. (Nailul Authar, 1/269-270)
Dan ini pendapat yang rajih menurut penulis. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Dari kalangan ahlul ilmi ada yang membedakan antara darah sedikit dengan yang banyak. Bila keluarnya sedikit tidak membatalkan wudhu namun bila keluarnya banyak akan membatalkan wudhu. Hal ini seperti pendapat Abu Hanifah, Al-Imam Ahmad, dan Ishaq. (Nailul Authar, 1/269)

Adapun dalil bahwa darah tidak membatalkan wudhu adalah hadits tentang seorang shahabat Al-Anshari yang tetap mengerjakan shalat walaupun darahnya terus mengalir karena luka akibat tikaman anak panah pada tubuhnya. (HR. Al-Bukhari secara mu‘allaq, dan secara maushul oleh Al-Imam Ahmad, Abu Dawud dan selainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 193)

Seandainya darah yang banyak itu membatalkan wudhu niscaya shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dilarang untuk mengerjakan shalat dan akan disebutkan teguran dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas shalat yang ia kerjakan tersebut dan akan diterangkan kepadanya atau siapa yang bersamanya. Karena mengakhirkan penjelasan/penerangan pada saat dibutuhkan penerangannya tidaklah diperbolehkan. Mereka para shahabat radhiallahu ‘anhum sering terjun ke dalam medan pertempuran hingga badan dan pakaian mereka berlumuran darah. Namun tidak dinukilkan dari mereka bahwa mereka berwudhu karenanya dan tidak didengar dari mereka bahwa perkara ini membatalkan wudhu. (Sailul Jarar, 1/262, Tamamul Minnah, hal. 51-52)
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab wal ilmu ‘indallah.

(Para ulama juga telah berbicara tentang berbekam)
Madzhab Al-Hanafiyyah berpendapat keluarnya darah dikarenakan berbekam (hijamah) merupakan salah satu dari pembatal wudhu. As-Sarkhasi berkata: “Menurut kami, seseorang yang berbekam maka wajib baginya berwudhu dan mencuci bagian tubuh yang dibekam. Karena, wudhu itu wajib dengan keluarnya najis (yaitu darah bekaman dianggap najis di sisi mereka). Bila dia berwudhu namun tidak mencuci bagian tubuh yang dibekam, maka bila bagian itu lebih besar dari ukuran dirham, ia tidak boleh mengerjakan shalat. Namun bila kurang dari itu boleh baginya mengerjakan shalat.”

Adapun madzhab Al-Malikiyyah dan Asy-Syafi’iyyah berpendapat bahwa berbekam atau sengaja mengeluarkan darah dengan merobek kulit atau urat dan dikeluarkannya segumpal darah dengan cara diisap tidaklah membatalkan wudhu. Az-Zarqani berkata: “Berbekam tidaklah membatalkan wudhu, baik orang yang membekam maupun orang yang dibekam. Demikian pula sengaja mengeluarkan darah dengan merobek kulit atau urat.”
Dalam kitab Al-Umm disebutkan: “Tidak wajib berwudhu karena muntah, mimisan dan berbekam.” ( Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 17/14).
Inilah pendapat yang rajih, karena tidak adanya dalil yang bisa dijadikan hujjah bahwa berbekam itu membatalkan wudhu.

Adapun hadits yang menyatakan dukungan penguatan bahwa berbekam itu tidak membatalkan wudhu [1], pada sanadnya ada pembicaraan terhadap salah seorang rawinya yaitu Shalih ibnu Muqatil. Al-Imam Ad-Daraquthni rahimahullah mengatakan tentang Shalih: “Bukan seorang yang kuat.” Dan hadits ini didhaifkan oleh para imam seperti Al-Baihaqi, An-Nawawi dan Al-Hafidz Ibnu Hajar. (Al-Majmu 2/63, At-Talkhisul Habir, 1/171)

Sumber: Asy Syariah online

Footnote:
[1] Diberitakan dari hadits Anas radhiallahu ‘anhu:
ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻﻠّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺍﺣْﺘَﺠَﻢَ ﻭَﺻَﻠَّﻰ ﻭﻟَﻢْ ﻳَﺘَﻮَﺿَّﺄْ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dan shalat setelahnya tanpa berwudhu.” (HR. Ad-Daraquthni, 1/157 dan Al-Baihaqi, 1/141)

###

Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts al ‘Ilmiyyah wa al Ifta

Tanya:
Mohon penjelasan tentang apakah keluarnya darah dapat membatalkan shalat?

Jawab:
Alhamdulillah, kami belum mendapatkan dalil syar’i yang menjelaskan bahwa keluarnya darah selain darah haidh dapat membatalkan wudhu’. Pada dasarnya ia tidak membatalkan wudhu’. Kaidah asal dalam masalah ibadah adalah tauqifiyah (hanya boleh ditetapkan dengan dalil). Seseorang tidak boleh menetapkan bentuk-bentuk ibadah tertentu kecuali dengan dalil. Sebagian ahli ilmu berpendapat bahwa jika darah yang keluar sangat banyak maka batallah wudhu’nya kecuali darah haidh (yang sedikit atau banyak tetap membatalkan wudhu’). Namun bila orang yang mengeluarkan darah tadi mengulangi wudhu’nya sebagai tindakan antisipatif dan guna menghindarkan diri dari perbedaan pendapat, tentunya hal itu lebih baik lagi. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Tinggalkanlah perkara yang meragukanmu kepada perkara yang tidak meragukan.”
H.R An-Nasa’i VIII/328, At-Tirmidzi VII/221 (lihat Tuhfatul Ahwadzi), Al-Hakim II/13 dan IV/99

(Dinukil dari Fatawa Lajnah Daimah juz V/261)

Sumber: salafy[dot]or[dot]id

Tentang BATALNYA WUDHU KARENA MUNTAH

Al Ustadz Abu Ishaq Muslim Al Atsari

Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa muntah mengharuskan seseorang untuk berwudhu dengan dalil hadits Ma’dan bin Abi Thalhah dari Abu Ad-Darda bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah muntah, lalu beliau berbuka dan berwudhu. Berkata Ma’dan:
Aku berjumpa dengan Tsauban di masjid Damaskus, maka aku sebutkan hal itu padanya, Tsauban pun berkata, “Abu Ad-Darda benar, akulah yang menuangkan air wudhu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. At-Tirmidzi no. 87)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata:
“Al-Baihaqi mengatakan bahwa hadits ini diperselisihkan (mukhtalaf) pada sanadnya. Kalaupun hadits ini shahih maka dibawa pemahamannya pada muntah yang sengaja. Di tempat lain Al-Baihaqi berkata: Isnad hadits ini mudhtharib (goncang), tidak bisa ditegakkan hujjah dengannya.” (Nailul Authar, 1/268)
Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah di dalam ta’liq beliau terhadap kitab Ar-Raudhatun Nadiyyah mengatakan:
“Hadits-hadits yang diriwayatkan dalam masalah batalnya wudhu karena muntah adalah lemah semuanya, tidak dapat dijadikan hujjah.” (Dinukil dari Ta’liqat Ar-Radhiyyah, 1/174)

Ulama berselisih pendapat dalam masalah muntah ini:

Di antara mereka ada yang berpendapat muntah itu membatalkan wudhu seperti Abu Hanifah dan pengikut mazhab Abu Hanifah, dengan syarat muntah itu berasal dari dalam perut, memenuhi mulut dan keluar sekaligus. (Nailul Authar, 1/268)
Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu berkata: “Sebagian ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain mereka dari kalangan tabi’in berpandangan untuk berwudhu disebabkan muntah dan mimisan. Demikian pendapat Sufyan Ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Ahmad, dan Ishaq. Sementara sebagian ahlul ilmi yang lainnya berpendapat tidak ada keharusan berwudhu karena muntah dan mimisan, demikian pendapat Malik dan Asy-Syafi’i." (Sunan At-Tirmidzi, 1/59)

Adapun ulama yang lain seperti Tujuh Imam yang faqih dari Madinah [1], Asy-Syafi‘i dan orang-orang yang mengikuti mazhab Asy-Syafi’i, juga satu riwayat dari Al-Imam Ahmad menunjukkan bahwa keluar sesuatu dari tubuh selain qubul dan dubur tidaklah membatalkan wudhu, baik sedikit ataupun banyak, kecuali bila yang keluar dari tubuh itu kencing ataupun tahi. (Nailul Authar, 1/268, Asy-Syarhul Mumti’, 1/234)
Inilah pendapat yang rajih dan menenangkan bagi kami. Mereka berdalil sebagai berikut:
1. Hukum asal perkara ini tidaklah membatalkan wudhu. Sehingga barangsiapa yang menyatakan suatu perkara menyelisihi hukum asalnya maka hendaklah ia membawakan dalil.
2. Sucinya orang yang berwudhu dinyatakan dengan pasti oleh kandungan dalil syar‘i, maka apa yang telah pasti tidaklah mungkin mengangkat kesuciannya (menyatakan hilang/membatalkannya) kecuali dengan dalil syar‘i.
3. Hadits yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama telah dilemahkan oleh mayoritas ulama. [2]
4. Apa yang ditunjukkan dalam hadits ini adalah semata-mata fi‘il (perbuatan) sedangkan yang semata-mata fi‘il tidaklah menunjukkan suatu yang wajib. (Asy-Syarhul Mumti‘, 1/224-225)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
“Tidaklah batal wudhu dengan keluarnya sesuatu dari selain dua jalan (qubul dan dubur) seperti pendarahan, darah yang keluar karena berbekam, muntah dan mimisan, sama saja baik keluarnya banyak ataupun sedikit. Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Abi Aufa, Jabir, Abu Hurairah, ‘Aisyah, Ibnul Musayyab, Salim bin Abdillah bin ‘Umar, Al-Qasim bin Muhammad, Thawus, ‘Atha, Makhul, Rabi’ah, Malik, Abu Tsaur, dan Dawud. Al-Baghawi berkata: Ini merupakan pendapat mayoritas shahabat dan tabi`in.” (Al-Majmu’, 2/63)

Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’atur Rasail Al-Kubra, beliau berpendapat hukumnya di sini adalah sunnah sebagaimana dinukilkan oleh Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah. Demikian juga beliau menyatakan sunnahnya berwudhu setelah muntah. (Tamamul Minnah, hal. 111, 112)

Sementara hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﺃَﺻَﺎﺑَﻪَ ﻗَﻲْﺀٌ ﺃَﻭْ ﺭُﻋَﺎﻑٌ ﺃَﻭْ ﻗَﻠَﺲٌ ﺃَﻭْ ﻣَﺬِﻱٌ ﻓَﻠْﻴَﻨْﺼَﺮِﻑْ، ﻓَﻠْﻴَﺘَﻮَﺿَّﺄْ
“Siapa yang ditimpa (mengeluarkan) muntah, mimisan, qalas (muntah yang keluar dari tenggorokan, bukan dari perut), atau madzi (di dalam shalatnya) hendaklah ia berpaling dari shalatnya lalu berwudhu.” (HR. Ibnu Majah no. 1221)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Hadits ini dinyatakan cacat oleh sebagian Ahlul Hadits karena setiap periwayatan Isma’il ibnu ‘Iyasy dari orang-orang Hijaz semuanya dinilai lemah. Sementara dalam hadits ini Isma’il meriwayatkan dari Ibnu Juraij yang dia itu orang Hijaz. Juga karena para perawi yang meriwayatkan dari Ibnu Juraij –yang mereka itu adalah para tokoh penghapal– meriwayatkannya secara mursal (menyelisihi periwayatan Isma’il yang meriwayatkannya secara ittishal/bersambung), sebagaimana hal ini dikatakan oleh penulis kitab Muntaqal Akhbar. Terlebih lagi riwayat yang mursal ini dinyatakan shahih oleh Adz-Dzuhli, Ad-Daruquthni dalam kitab Al-’Ilal, begitu pula Abu Hatim dan beliau mengatakan telah terjadi kesalahan dalam periwayatan Isma’il. Ibnu Ma’in berkata hadits ini dha’if." (Nailul Authar, 1/269)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan bahwa Al-Imam Ahmad dan selain beliau mendha’ifkan hadits ini. (Bulughul Maram hal. 36)

Sumber: Asy Syariah online

Footnote:

[1] Al-Fuqaha' As-Sab'ah adalah tujuh fuqaha kota Madinah dari kalangan tabi’in. Mereka adalah:
1. Ubaidullah bin Utbah
2. Urwah bin Zubair
3. Qasim bin Muhammad
4. Said bin Musayyab
5. Abu Bakar bin Abdirrahman
6. Sulaiman bin Yasar
7. Kharijah bin Zaid

[2] Di antara imam ahlul hadits ada juga yang menguatkan hadits ini seperti Ibnu Mandah dan Asy-Syaikh Al-Albani di Tamamul Minnah, beliau mengatakan sanadnya shahih. (Hal. 111)

Tentang BERSABAR KETIKA DIUJI

Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ﺍﻟﻢ () ﺃَﺣَﺴِﺐَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺃَﻥ ﻳُﺘْﺮَﻛُﻮﺍ ﺃَﻥ ﻳَﻘُﻮﻟُﻮﺍ ﺁﻣَﻨَّﺎ ﻭَﻫُﻢْ ﻟَﺎ ﻳُﻔْﺘَﻨُﻮ
“Alif Laam Miim. Apakah manusia mengira dibiarkan berkata, ‘Kami telah beriman’ sedangkan mereka tidak diberi ujian?” (al-‘Ankabut: 1—2)

Asy-Syaikh As-Sa'di berkata:
“Allah telah memberitakan tentang kesempurnaan hikmah-Nya. Dan hikmah Allah tidak menentukan bahwa setiap orang yang mengatakan dan mengaku dirinya beriman, akan selalu berada dalam satu kondisi, selamat dari ujian dan cobaan dan tidak datang menghampirinya segala perkara yang akan mengganggu iman dan segala cabangnya. Jika hal itu terjadi (artinya orang-orang yang mengaku beriman tidak diuji) tentu tidak bisa dipisahkan antara orang yang jujur dan orang yang berdusta, serta antara orang yang benar dan orang yang salah. Sungguh sunnatullah telah berjalan dalam kehidupan orang-orang terdahulu dari umat ini. Allah menguji mereka dengan kesenangan, malapetaka, kesulitan, kemudahan, segala yang disenangi dan tidak disenangi, kaya dan fakir, kemenangan musuh dalam sebagian kondisi, memerangi mereka dengan ucapan dan perbuatan, serta berbagai ujian lainnya. Segala bentuk ujian ini kembali kepada ujian syubhat yang akan mengempas aqidah, dan syahwat yang akan menodai keinginan. Barangsiapa yang ketika datang fitnah syubhat, imannya tetap kokoh dan tidak goncang, maka kebenaran yang ada pada dirinya menghalau fitnah tersebut. Ketika datang fitnah syahwat dan segala seruan kepada perbuatan maksiat dan dosa, dorongan untuk berpaling dari perintah Allah dan Rasul-Nya, dia berusaha mengaplikasikan konsekuensi iman dan bertarung melawan syahwatnya. Ini menunjukkan kejujuran dan kebenaran imannya. Namun barangsiapa yang ketika fitnah syubhat datang memengaruhi hatinya dengan memunculkan keraguan dan kerancuan, dan ketika fitnah syahwat menghampirinya lalu dia terseret pada perbuatan maksiat atau mendorongnya untuk meninggalkan kewajiban, ini menunjukkan tidak jujur dan tidak benarnya iman yang ada pada dirinya.” (As-Sa’di dalam Tafsir-nya hal. 576)

Allah berfirman:
“Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga, padahal belum datang kepada kalian (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.“ (Al-Baqarah: 214)

Asy-Syaikh As-Sa’di mengatakan:
“Allah memberitakan bahwa Dia pasti akan menguji hamba-hamba-Nya dengan kesenangan, malapetaka, dan kesulitan sebagaimana telah Dia lakukan atas orang-orang sebelum mereka. Ujian ini merupakan sunnatullah yang terus berlangsung, tidak akan berubah dan berganti. Barangsiapa yang melaksanakan ajaran agama dan syariat-Nya, pasti Dia akan mengujinya. Jika dia bersabar atas perintah Allah dan tidak peduli dengan segala rintangan yang terjadi di jalan-Nya, maka dialah orang jujur yang telah memperoleh kebahagiaan yang sempurna. Dan itulah jalan menuju sebuah kepemimpinan. Namun barangsiapa menjadikan ujian dari manusia bagaikan siksa Allah, seperti dia terhalangi untuk melaksanakan ketaatan karena gangguan tersebut, menghalanginya dari meraih tujuannya, maka dia berdusta dalam pengakuan keimanan. Karena iman bukan sekadar hiasan, angan-angan, dan pengakuan. Amallah yang akan membenarkan atau mendustakannya.”

Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ﻛُﻞُّ ﻧَﻔْﺲٍ ﺫَﺍﺋِﻘَﺔُ ﺍﻟْﻤَﻮْﺕِ ۗ ﻭَﻧَﺒْﻠُﻮﻛُﻢ ﺑِﺎﻟﺸَّﺮِّ ﻭَﺍﻟْﺨَﻴْﺮِ ﻓِﺘْﻨَﺔً ۖ ﻭَﺇِﻟَﻴْﻨَﺎ ﺗُﺮْﺟَﻌُﻮﻥَ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kami-lah kalian dikembalikan.” (al-Anbiya’: 35)

Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ﻭَﺟَﻌَﻠْﻨَﺎ ﺑَﻌْﻀَﻜُﻢْ ﻟِﺒَﻌْﺾٍ ﻓِﺘْﻨَﺔً ﺃَﺗَﺼْﺒِﺮُﻭﻥَ ۗ ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺭَﺑُّﻚَ ﺑَﺼِﻴﺮًﺍ
“Dan Kami jadikan sebagian kalian cobaan bagi sebagian yang lain, maukah kalian bersabar? Dan adalah Rabb-mu Maha Melihat.” (al-Furqan: 20)

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala menguji hamba-Nya yang beriman tidak untuk membinasakannya, tetapi untuk menguji sejauh manakah kesabaran dan penghambaannya. Sebab, sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala wajib diibadahi dalam kondisi sulit dan dalam hal-hal yang tidak disukai (oleh jiwa), sebagaimana pula Dia Subhanahu wata’ala wajib diibadahi dalam hal-hal yang disukai. Kebanyakan orang siap mempersembahkan penghambaannya kepada Allah Subhanahu wata’ala dalam hal-hal yang disukainya. Karena itu, perhatikanlah penghambaan kepada-Nya dalam hal-hal yang tak disukai. Sebab, di situlah letak perbedaan yang membedakan kualitas para hamba. Kedudukan mereka di sisi Allah Subhanahu wata’ala pun sangat bergantung pada perbedaan kualitas tersebut.” (al-Wabil ash-Shayyib, hlm. 5)

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata:
Allah tidaklah memberi cobaan untuk membinasakan hambanya, namun untuk menguji kesabaran dan keimanan hamba. Jika hamba ini bersabar, maka musibah menjadi anugerah dan petaka berbuah pahala. Sabar ini ada tiga macam, yaitu menahan jiwa dari amarah kepada apa yang Allah takdirkan, menahan lisan dari berkeluh kesah, dan menahan anggota badan dari perbuatan yang menunjukkan ketidak relaan kepada takdir. Sabar berporos pada tiga perkara ini. Barangsiapa yang bisa memenuhinya maka baginya pahala yang tiada batas yang Allah janjikan dalam firman-Nya,
ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻳُﻮَﻓَّﻰ ﺍﻟﺼَّﺎﺑِﺮُﻭﻥَ ﺃَﺟْﺮَﻫُﻢْ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﺣِﺴَﺎﺏٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahalanya tanpa batas.” (Az Zumar: 10‏)

Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam mengingatkan kita dalam sabdanya:
ﻭَﺍﻋْﻠَﻢْ ﺃَﻥَّ ﻓِﻲ ﺍﻟﺼَّﺒْﺮِ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ ﺗَﻜْﺮَﻩُ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻛَﺜِﻴﺮًﺍ ﻭَﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺼْﺮَ ﻣَﻊَ ﺍﻟﺼَّﺒْﺮِ ﻭَﺃَﻥَّ ﺍﻟْﻔَﺮَﺝَ ﻣَﻊَ ﺍﻟْﻜَﺮْﺏِ ﻭَﺃَﻥَّ ﻣَﻊَ ﺍﻟْﻌُﺴْﺮِ ﻳُﺴْﺮًﺍ
“Dan ketahuilah bahwa dalam kesabaran terhadap apa yang tidak engkau senangi terdapat kebaikan yang sangat banyak. Ketahuilah pula, bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, dan jalan keluar (kelapangan) ada bersama kesempitan/kesulitan, dan bahwasanya bersama kesulitan itu pasti ada kemudahan.” (HR. Ahmad)

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
”Kesabaran adalah cahaya.” (HR. Muslim dari sahabat Abu Malik Al Harits bin ‘Ashim Al Asy’ary radhiallahu anhu)

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
”Tidaklah seorang hamba diberikan dengan suatu pemberian yang lebih baik dan luas dari pada sabar.” (Mutafaqun ‘alaih dari sahabat Abu Sa’id Al Khudry radhiallahu anhu)

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Jika engkau bersabar maka bagimu adalah surga.” (Mutafaqun ‘alaih dari sahabat Ibnu Abbas radhiallahu anhu)

Dalam ranah kehidupan beragama, ada tiga jenis ujian dan cobaan yang tak mungkin seorang muslim lepas darinya. Bagaimana pun situasi dan kondisinya, pasti dia akan menghadapinya. Tiga jenis ujian dan cobaan itu adalah sebagai berikut,
1. Perintah-perintah Allah Subhanahu wata’ala yang wajib ditaati.
2. Larangan-larangan Allah Subhanahu wata’ala (kemaksiatan) yang wajib dijauhi.
3. Musibah yang menimpa (takdir buruk).
Para ulama sepakat bahwa senjata utama untuk menghadapi tiga jenis ujian dan cobaan itu adalah kesabaran, yaitu;
1. Sabar di atas ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala, dengan selalu mengerjakan segala perintah-Nya Subhanahu wata’ala.
2. Sabar dari perbuatan maksiat, dengan selalu menahan diri dari segala yang dilarang oleh Allah Subhanahu wata’ala.
3. Sabar atas segala musibah yang menimpa dengan diiringi sikap ikhlas dan ridha terhadap takdir yang ditentukan oleh Allah Subhanahu wata’ala.
(Lihat Qa’idah fish Shabr karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah hlm. 90—91, Syarh Shahih Muslim karya al-Hafizh an-Nawawi 3/101, dan Madarijus Salikin karya Imam Ibnul Qayyim 2/156)

Senin, 27 Oktober 2014

Tentang PERKARA-PERKARA YANG DIBENCI OLEH SUAMI PADA DIRI ISTRINYA

Abu Bakr Yusuf Al-Uwaisy

Amma ba’d.
Banyak para istri yang mengeluhkan kekasaran suami mereka dan kurangnya mereka dalam mempergauli istri dengan cara yang baik dan menampakkan kecintaan, sehingga hal tersebut termasuk yang menghilangkan sakinah dan ketenangan serta mengeruhkan kehidupan dan kebahagiaan mereka. Namun sang istri tidak tahu bisa jadi dialah sebenarnya yang menjadi sebab dari semua itu. Karena itulah dia terus merasa jengkel, mengeluh, menangis, dan mencela suaminya. Dia tidak pernah sehari pun instropeksi terhadap dirinya dan meneliti duduk perkaranya agar mengetahui bisa jadi dialah sebenarnya yang menjadi sebab dari semua itu. Suaminya berbuat baik kepadanya sekian lama, hingga ketika dia melihat sesuatu atau kekurangan pada suaminya pada suatu hari, dia mengatakan kepada suaminya tersebut: “Aku tidak pernah melihat kebaikan sedikit pun darimu.” Sikap semacam ini berulang kali terjadi, setiap kali ada sesuatu yang tidak menyenangkannya baik yang sepele atau sesuatu yang perlu diperhatikan, bangkitlah kemarahannya dan ribut seperti ombak lautan. Dia tidak pernah tenang dari kecemasannya sehari pun dan tidak melaksanakan wasiat yang agung ini. Padahal seandainya dia mau melaksanakannya sehari saja, niscaya dia akan melihat kebaikan yang banyak dan akibat yang menyenangkan yang membuahkan kasih sayang, kebaikan, cinta, dan respek besar di hati suaminya yang dia anggap zhalim dalam pandangannya itu.

Jadi apakah pernah suatu hari ketika engkau sebagai istri yang merasa terzhalimi, engkau bangkit lalu memegang tangan suamimu yang engkau anggap zhalim itu kemudian engkau cium tangannya, karena hakekatnya engkau hanyalah seorang tawanan di sisinya, lalu engkau katakan kepada suamimu: “Aku tidak akan bisa tidur nyenyak dan tidak akan bisa memejamkan mata hingga engkau ridha kepadaku.”
Cobalah cara ini dan gunakan untuk menghancurkan puncak kesombonganmu karena engkau merasa memiliki kecantikan dan harta, dan hancurkanlah sikap lancangmu terhadap suami yang letih dan lelah demi kebahagiaanmu dan ketenangan rumah tanggamu. Sesungguhnya yang demikan itu akan mengalirkan di hati dan jiwa suami kelembutan dan cinta seperti gejolak gunung berapi, dan dia akan memandangmu dengan penuh pemuliaan dan respek dan ridha kepadamu. Hal itu juga akan memutus jalan syaithan atau pintu yang dia gunakan untuk masuk dalam rangka mencabi-cabik ikatan janji yang mulia ini (pernikahan). Engkau pun akan bisa tidur dalam puncak ketenangan dan sakinah dalam keadaan Allah ridha kepadamu dan malaikat tidak melaknatmu.

Berdamailah dengan hati yang tulus setelah bertengkar, mendekatlah kepada suamimu setelah reda emosi dan kemarahannya, dan jangan sampai engkau yang justru menunggu hal itu darinya, karena sesungguhnya yang terbaik dari kalian berdua adalah yang bersegera mendahului memperbaiki tali cinta dan kasih sayang.

Di sini saya akan mengajarimu jika engkau tidak tahu, namun jika engkau lupa maka saya akan mengingatkanmu, yaitu tentang perkara-perkara yang dibenci oleh suami pada diri istrinya. Ketika suatu hari engkau merasa jengkel terhadap sikap suamimu dan engkau mengeluhkan kekasarannya, pernahkah engkau memikirkan apakah sebab-sebab yang menjadikannya bersikap kasar kepadamu, menjauh darimu, marah kepadamu, dan lari darimu? Padahal sebelumnya engkau merupakan penyejuk matanya. Kenapa engkau lalai dari perkara ini dan selalu melemparkan celaan kepada suami dan mengeluhkan kepada ibumu atau saudaramu atau temanmu atau tetanggamu? Coba duduklah dengan tenang sehari saja bersama hatimu, telitilah dirimu dan di sudut mana bersembunyinya penyakit dan kekurangan itu, dan lihatlah sebab-sebab yang mendorong suamimu melakukan hal-hal yang engkau keluhkan itu. Ulangilah pandanganmu kepada perkara-perkara yang dibenci oleh seorang suami pada diri istrinya dan jauhilah perkara-perkara tersebut. Kemudian tampakkanlah kecintaan kepadanya dengan hal-hal yang dia sukai ada pada dirimu. Ketika itu kehidupan akan berubah dan akan kembali seperti pada hari-hari pertama bagi sangkar emas, sebagaimana istilah yang dikatakan oleh manusia.

Wahai putriku atau wahai saudariku, jika engkau ingin suasana cerah bagimu agar engkau merasakan kebahagiaan, angin kelembutan bertiup dengan tenang, ikatan cinta semakin kuat dan terus terasa baru, dan engkau merasakan kesenangan dalam hidupmu, maka ambillah nasehatku dan instropeksilah dirimu, dan engkau jangan terburu-buru bertindak dengan membalas suatu perbuatan dan membuat keputusan serta mengadu tanpa sebab yang menuntutnya.

Berikut ini perkara-perkara yang dibenci oleh seorang suami pada istrinya. Sebelumnya ketahuilah –baarakallahu fiik– bahwa sesungguhnya jiwa memiliki sifat sensitif dan lari menghindari sebagian akhlak dan kebiasaan serta perkara-perkara yang rendah. Dan semacam ini merupakan fitrah yang Allah jadikan pada hamba-hamba-Nya. Hanya saja memang perkara-perkara yang dijauhi manusia ini berbeda-beda keadaannya dan bertingkat-tingkat penilaiannya menurut seseorang. Setelah meminta pendapat sekian banyak para suami yang saya teliti dan saya ikuti, baik di majelis-majelis ketika kami sedang membicarakan tentang hubungan suami istri, atau dengan cara bertanya, saya kumpulkan materi ini dan saya memandang untuk mengingatkannya kepadamu secara ringkas dan tersendiri. Dan ini merupakan perkara-perkara yang paling dibenci oleh seorang suami pada diri istrinya dan menjadikan suaminya tersebut lari darinya, atau marah kepadanya, atau memalingkan punggungnya, atau menjauh darinya dan berusaha mencari wanita lain yang halal untuknya.
Perkara-perkara tersebut adalah:

1. Tidak taatnya istri dan bersikap merasa tinggi kepada suami hanya karena sebab sepele atau perkara-perkara yang perlu diperhatikan, padahal seorang istri merupakan tawanan di kerajaan suaminya.

2. Tidak memenuhi panggilan suami ke ranjang dengan dalih capek, anak-anak, dan lain-lain.

3. Meninggikan suara di hadapan suami dan berteriak ketika membantahnya atau mendebatnya, atau dengan meninggikan suara kepada anak-anak di hadapannya, atau memukul mereka di hadapannya.

4. Memalingkan muka dari suami, takabbur dan menyombongkan kecantikannya atau nasabnya atau hartanya, tidak menurut dan tidak mentaati perintahnya dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah. Jadi suami adalah pemilik kerajaan (rumah tangganya), tetapi dia sebagai istri ingin menguasai dirinya dan kerajaannya, bukan untuk memperbaikinya, tetapi untuk memuaskan kemauan dan kepentingannya.

5. Mendesak dan terus-menerus ketika meminta sesuatu walaupun bukan dalam perkara yang sifatnya darurat atau dibutuhkan, tidak ridha dan tidak merasa cukup dengan keadaan suami ketika dalam kelapangan dan kesempitan, serta membebani suami dengan hal-hal yang tidak dia mampu yang memberatkan bebannya.

6. Tidak konsekuen dengan batasan-batasan rumah tangga, misalnya seorang istri seharusnya adalah seperti tawanan di kerajaan suaminya yang suaminya tersebut memiliki kepemimpinan yang sifatnya mutlak dan berhak bertindak di rumahnya dalam batasan-batasan yang ma’ruf. Jadi sang istri berusaha merusak hubungan suami dengan kedua orang tuanya, kerabatnya, terkhusus ibunya, atau merusak hubungan dengan anak-anaknya atau dengan istri lain jika suaminya memiliki istri lebih dari satu.

7. Menyebarkan rahasia rumah tangga ke luar rumah kepada siapapun, walaupun kepada ibu dari istri, saudara-saudaranya, dan kerabatnya apapun yang terjadi. Maka semacam ini termasuk yang menimbulkan kebencian dan menyebabkan permusuhan. Jadi tidak sepantasnya seorang istri membolehkan hal semacam itu bagi dirinya, karena sesungguhnya menyebarkan rahasia akan menimbukan keburukan, kerugian, dan kehancuran. Jika hal itu berupa rahasia-rahasia ranjang maka lebih buruk lagi dan dia pantas mendapatkan ancaman dari syari’at yang menyatakan bahwa siapa saja yang berbuat demikian maka dia termasuk seburuk-buruk makhluk di sisi Allah.

8. Banyak mengeluh atau mengadu kepada keluarganya, terkhusus kepada ibunya, atau kepada tetangganya, atau kerabatnya, atau kepada orang lain. Yang semacam ini muncul dari rusaknya akhlak seorang istri. Jadi seorang istri yang shalihah adalah yang sabar menghadapi suaminya dan tidak mengeluhkannya kepada manusia, dan tidak menerima sedikitpun celaan atau adu domba dari seseorang yang memiliki tujuan buruk atau hasad. Jadi perkara apa saja yang tidak dia sukai atau menimbulkan keburukan terhadap dirinya, sepantasnya yang dia lakukan adalah dengan mendiskusikannya di dalam rumah dan disampaikan dengan adab yang baik yang akan menambah kebaikan, cinta, dan sesuai dengan kebenaran dan keadilan.

9. Tidak ridha dan tidak tunduk kepada hukum syari’at di dalam memutuskan perselisihan dan pertengkaran. Banyak dari para istri yang tidak senang berhukum dengan syari’at dan tidak ridha dengannya. Maka ini termasuk yang menyebabkan suami membenci istri dan ingin mencari ganti, dan seharusnya dia mencari ganti jika demikian keadaannya. Dan tidak sepantasnya bagi istri untuk mendebat suaminya dengan membenturkan perkataan para ulama, dan hendaklah dia ridha dengan pendapat yang diambil oleh suaminya, karena hal itu bisa menimbulkan emosi, membangkitkan kecemburuan dan kedengkian pada dirinya.

10. Jika seorang suami memiliki istri lebih dari satu, maka dia tidak ingin disebarkan rahasia apapun atau perkara apapun yang terjadi antara suami istri di kamar tidur. Jadi tidak boleh bagi istri untuk menceritakan apa yang terjadi antara dirinya dengan suaminya kepada istri-istri yang lain, bagaimanapun perkaranya, kecil ataupun besar. Dia juga tidak boleh menceritakan hal-hal tersebut di luar rumah kepada istri-istri dari saudara-saudara suaminya atau kepada istri-istri dari saudara-saudara dia sendiri, karena bisa saja hal itu sampai ke telinga istri-istri yang lain, sehingga bisa menyebabkan berbagai masalah bagi suami dan juga bisa menyebabkan suami membenci istri semacam ini.

11. Ikut campurnya keluarga seorang istri atau para istri dalam urusan rumah tangga antara seorang suami dengan istri-istrinya. Maka hendaknya masing-masing istri menolak campur tangan siapa saja dalam urusan rumah tangganya dan jangan mengizinkan hal tersebut, karena sesungguhnya hal itu termasuk yang bisa menyebabkan kemarahan suami dan menjadikannya lari dari para mertua atau iparnya dan membenci mereka, dan dengan sebab itu dia akan lari dari istrinya.

12. Saling menuding dan meninggikan suara ketika cekcok dengan ibu dari suami atau dengan saudara perempuannya atau dengan istri-istri yang lain di hadapan suami, yang ini bisa menyebabkan saling memutus hubungan suami istri hanya gara-gara sebab yang sepele karena ibu dari suami atau saudara perempuannya atau kerabatnya, atau karena para istri yang lain, yang bisa menjadikan suami bertindak yang kurang tepat kepada mereka. Maka sepantasnya bagi seorang istri atau para istri untuk membiarkan urusan para wanita di antara para wanita saja dan jangan memberitahukan sedikitpun kepada suami, terlebih lagi dalam bentuk celaan, pengaduan, dan kejengkelan.

13. Cemburu berlebihan yang melewati batas yang wajar, misalnya jika istri melihat sesuatu ada pada orang lain dan dia tidak memilikinya, maka dia cemburu dan keluar dari batasan yang masuk akal lalu menyalahkan suami dengan ucapan dan perbuatan orang lain dari kerabat atau tetangga atau teman yang dia cemburu kepada mereka. Misalnya dengan mengatakan: “Kenapa si fulan demikian dan si fulanah demikian dan demikian, kenapa si fulan dengan si fulanah demikian dan demikian.”

14. Sering keluar rumah tanpa sebab, sering berkunjung tanpa alasan yang jelas dan tanpa izin suami, dan terkadang mengunjungi orang-orang yang suaminya tidak suka dia mengunjungi mereka karena mereka tidak komitmen dengan syari’at atau karena sebab-sebab yang lain.

15. Keluar di depan pintu atau membuka pintu dan berdiri di sampingnya jika dia tinggal di apartemen yang dihuni oleh beberapa penghuni, dia berdiri di depan pintu dan ngobrol dengan tetangganya, sementara ada orang yang lewat naik turun, dalam keadaan dia tidak mempedulikan dan tidak menjaga kehormatan suami. Atau dia mengeluarkan kepalanya lewat jendela atau balkon rumah dan memanggil anak-anaknya dengan suara keras, dan terkadang sambil mendoakan kejelekan terhadap mereka, bahkan terkadang bertengkar dengan orang lain gara-gara mereka, sebagaimana keadaan banyak wanita yang bodoh di negara kami.

16. Berlebihan dalam berhias dengan bedak dan pakaian pada acara-acara di luar rumah dengan tujuan untuk saling membanggakan dan pamer. Namun hal itu tidak dia lakukan untuk suaminya. Jika dia berada di rumah dia hanya memakai baju biasa dan tidak ganti baju walaupun setelah selesai dari pekerjaan rumah dengan tetap memakai baju kerja dan memasak, dan tidak membersihkan dirinya serta tetap dalam keadaan seperti itu. Tetapi ketika ada acara maka dia berdandan seakan-akan menyambut suaminya pertama kali seperti pengantin. Hal semacam ini bisa menimbulkan kecemburuan suami dan membuatnya goncang. Dan bisa jadi terkadang keadaannya hingga membuat suami meragukannya. Hal semacam ini terjadi sebagaimana yang dikatakan oleh banyak orang kepada saya: “Subhanallah, untuk siapa istri semacam ini berhias jika untuk saya dia tidak berhias?!” Apakah orang yang engkau berhias untuk mereka lebih tinggi derajatnya dan lebih berharga dibandingkan pendamping hidupmu?!

17. Memukul anak-anak di hadapan suami, atau mendoakan keburukan terhadap mereka. Demikian juga melawan suami dengan penentangan yang keras dan berteriak di hadapannya serta berkata kotor ketika marah dalam pertengkaran.

18. Ikut campur dalam urusan luar suami bersama teman-teman dan rekan-rekan kerjanya. Jadi tidak sepantasnya seorang istri ikut campur dalam urusan suami di luar rumah dan jangan bertanya kepadanya dalam segala hal dan ingin mengetahui semua yang kecil maupun besar pada urusannya bersama teman-temannya di pekerjaannya dan di luar rumah atau di keluarganya, karena sesungguhnya hal itu bisa membuat suami jengkel.

19. Memuji laki-laki lain di hadapan suami walapun orangnya telah mati. Jadi tidak sepantasnya bagi seorang istri untuk memuji laki-laki lain di sisi suaminya atau menyebutkan sifatnya walaupun orangnya telah mati, karena hal semacam itu akan membakar rasa cemburu suami yang bisa menjadikannya goncang dan marah yang bisa menenggelamkan istri sehingga dia tidak bisa keluar dari kemarahan itu kecuali dengan perceraian.

20. Seorang istri jangan memberi apapun kepada siapapun dari harta suaminya kecuali dengan seizinnya, terlebih lagi hal-hal yang khusus yang suaminya tidak ingin memberikannya kepada orang lain. Bahkan walaupun dia bersedekah dengan hartanya sendiri, yang lebih baik adalah dengan memberitahukan kepada suaminya untuk menjaga perasaannya.

21. Seorang istri jangan memasukan ke dalam rumahnya siapapun yang tidak disukai oleh suaminya, sama saja apakah dia dari kerabat suami maupun dari kerabatnya sendiri. Karena sesungguhnya hal itu termasuk tindakan menjaga kehormatan suami, serta akan menjaga kehormatan dirinya sendiri dan juga harta suaminya.

22. Berlepas diri dari tanggung jawab mendidik anak-anak dan menelantarkan mereka, dan menjadikan mereka sebagai dalih untuk meninggalkan kewajiban seperti shalat dan yang lainnya, dan berakhlak buruk terhadap kerabat dan tetangga.

Demikian, dan sesungguhnya saya yakin jika engkau sebagai istri meninggalkan perkara-perkara yang dibenci oleh suami yang saya sebutkan dalam nasehat ini, berusaha mendekat kepada suamimu dan menampakkan kecintaan kepadanya dengan hal-hal yang dia sukai, dan engkau menutup mata dari hal-hal sepele yang bisa mengeruhkan suasana, maka hidup ini akan terasa jernih dan menyenangkan bagimu dan engkau akan mendapatkan kehidupan yang tenang. Saya memohon kepada Allah Ta’ala semoga memperbaiki hubungan semua suami istri yang shalih dan menjauhkan mereka dari tipu daya para pendengki dan orang-orang suka melakukan makar jahat. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atasnya.

Sumber: sahab[dot]net

Alih Bahasa: Abu Almass

Tentang MELEMBUTKAN HATI YANG KERAS

1. Memperbanyak membaca dan mempelajari Al Quran

Alloh Ta’ala berfirman:
‏ﻟَﻮْ ﺃَﻧْﺰَﻟْﻨَﺎ ﻫَٰﺬَﺍ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ ﻋَﻠَﻰٰ ﺟَﺒَﻞٍ ﻟَﺮَﺃَﻳْﺘَﻪُ ﺧَﺎﺷِﻌًﺎ ﻣُﺘَﺼَﺪِّﻋًﺎ ﻣِﻦْ ﺧَﺸْﻴَﺔِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ۚ ‏
“Seandainya kami turunkan Al Qur’an ini kepada gunung, niscaya engkau akan melihatnya tunduk dan terpecah belah dikarenakan takut kepada Alloh.” (Al Hasyr: 21)

Berkata Ibnu ‘Abdil Qowiy Rahimahulloh,
ﻭﺣﺎﻓﻆ ﻋﻠﻰ ﺩﺭﺱ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻓﺈﻧﻪ *** ﻳﻠﻴﻦ ﻗﻠﺒﺎ ﻗﺎﺳﻴﺎ ﺟﻠﻤﺪ
“Jagalah dari mempelajari Al Qur’an, sesungguhnya mempelajarinya akan melembutkan hati yang keras sekeras batu karang."

2. Memperbanyak mengingat (dzikir) kepada Alloh ‘Azza wa Jalla.

Alloh Ta’ala berfirman:
‏ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻧَﺰَّﻝَ ﺃَﺣْﺴَﻦَ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳﺚِ ﻛِﺘَﺎﺑًﺎ ﻣُﺘَﺸَﺎﺑِﻬًﺎ ﻣَﺜَﺎﻧِﻲَ ﺗَﻘْﺸَﻌِﺮُّ ﻣِﻨْﻪُ ﺟُﻠُﻮﺩُ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﺨْﺸَﻮْﻥَ ﺭَﺑَّﻬُﻢْ ﺛُﻢَّ ﺗَﻠِﻴﻦُ ﺟُﻠُﻮﺩُﻫُﻢْ ﻭَﻗُﻠُﻮﺑُﻬُﻢْ ﺇِﻟَﻰٰ ﺫِﻛْﺮِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ۚ ﺫَٰﻟِﻚَ ﻫُﺪَﻯ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻳَﻬْﺪِﻱ ﺑِﻪِ ﻣَﻦْ ﻳَﺸَﺎﺀُ
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.” (Az Zumar: 23)

3. Memberi makan orang miskin dan menyantuni anak yatim.

Dalam sebuah hadits disebutkan:
ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ ﺃَﻥَّ ﺭَﺟُﻠًﺎ ﺷَﻜَﺎ ﺇِﻟَﻰ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻗَﺴْﻮَﺓَ ﻗَﻠْﺒِﻪِ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻟَﻪُ ﺇِﻥْ ﺃَﺭَﺩْﺕَ ﺗَﻠْﻴِﻴﻦَ ﻗَﻠْﺒِﻚَ ﻓَﺄَﻃْﻌِﻢْ ﺍﻟْﻤِﺴْﻜِﻴﻦَ ﻭَﺍﻣْﺴَﺢْ ﺭَﺃْﺱَ ﺍﻟْﻴَﺘِﻴﻢِ
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa seorang laki-laki mengadukan kepada Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam tentang kekerasan hatinya. Maka Nabi berkata kepada dia, “Jika engkau ingin melembutkan hatimu, berikan makan kepada orang miskin, dan usaplah kepala anak yatim." (HR. Ahmad, dihasankan oleh Syaikh al-Albany)

4. Ziarah kubur dan memperbanyak mengingat akhirat.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺇِﻧِّﻲ ﻛُﻨْﺖُ ﻧَﻬَﻴْﺘُﻜُﻢْ ﻋَﻦْ ﺯِﻳﺎَﺭَﺓِ ﺍﻟْﻘُﺒُﻮْﺭِ ﻓَﺰُﻭْﺭُﻭْﻫﺎَ ‏
"Sesungguhnya aku dulu telah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka (sekarang) ziarahlah.” (HR. Muslim dari shahabat Buraidah bin Hushaib radhiallahu ‘anhu)
Dalam riwayat yang lain dari Anas bin Mâlik radhiyallahu ‘anhu ada tambahan:
ﻓَﺈِﻧَّﻬَﺎ ﻳُﺮِﻕُّ ﺍﻟْﻘَﻠْﺐَ ﻭَﺗَﺪْﻣَﻊُ ﺍﻟْﻌَﻴْﻦُ ﻭَﺗُﺬِﻛَّﺮُ ﺍﻟْﺂﺧِﺮَﺓَ
"Karena sesungguhnya (ziarah kubur) itu akan melunakkan hati, mengundang air mata dan mengingatkan pada hari kiamat.” (HR. Al-Hâkim 1/376)

5. Menjauhi maksiat.

Makhul ad Dimasyqi rahimahullah berkata:
Manusia yang paling lembut hatinya adalah mereka yang paling sedikit dosa-dosanya. (Az Zuhud lil Imam Ahmad, 641)

6. Hanya makan makanan yang halal.

Ada yang bertanya kepada al Imam Ahmad rahimahullah:
يا أبا عبدالله، بم تلين القلوب؟ فقال: بأكل الحلال
"Wahai Aba Abdillah! Dengan apa hati itu menjadi lembut?"
Beliau menjawab: "Dengan memakan yang halal."
(Hilyatul Awliya', hal. 282)

7. Berteman dengan orang-orang yang baik dan menjauhi orang-orang yang lalai.

Berkata al Imam 'Abdul 'Aziz bin Baaz rahimahullah:
من حفظ وقته بذكر الله وقراءة القرآن وصحبة الأخيار والبعد عن صحبة الغافلين والأشرار يطيب قلبـه ويلين
“Barangsiapa yang menjaga waktunya dengan berdzikir kepada Allah, membaca al-Qur'an, berteman dengan orang yang baik dan menjauhi orang-orang yang lalai dan buruk, niscaya hatinya akan baik dan lembut.” (Majmu' Fatawa Ibnu Baaz, 5/244)

8. Menghadiri majelis-majelis ilmu, mendengarkan khotbah-khotbah, dan memperhatikan nasihat dari para ulama.

BERKATA Syaikh Bin Baaz Rohimahulloh:
فإن الإنسان إذا كان ﻻ يحضر حلقات العلم وﻻ يسمع الخطب وﻻ يعتني بما ينقل عن أهل العلم فإنه تزداد غفلته وربما يقسو قلبه حتى يطبع عليه ويختم عليه فيكون من الغافلين
"Jika seseorang tidak menghadiri halaqah ilmu, tidak pernah mendengar khutbah, dan tidak perhatian dengan apa yang dinukil dari para ulama, maka akan semakin bertambah kelalaiannya, dan boleh jadi hatinya mengeras hingga membatu, sehingga dia termasuk orang- orang yang lalai." (Majmu' fatawa: 12/324)

Minggu, 26 Oktober 2014

Tentang MENGUSAP KEPALA ANAK YATIM

Al Ustadz Abu Utsman Kharisman

Apakah kalau kita bershodaqoh terhadap anak yatim sambil mengusap kepala anak yatim tersebut maka setiap helai rambut anak yatim tersebut akan mendoakan kita?

Jawab:

Bershodaqoh, bersikap lemah lembut, memuliakan, menyenangkan hati dan memenuhi kebutuhan anak yatim dengan mengusap kepalanya adalah bagian dari amal sholeh yang dituntunkan Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam. Bahkan hal itu termasuk amalan yang bisa melembutkan hati.
ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ ﺃَﻥَّ ﺭَﺟُﻠًﺎ ﺷَﻜَﺎ ﺇِﻟَﻰ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻗَﺴْﻮَﺓَ ﻗَﻠْﺒِﻪِ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻟَﻪُ ﺇِﻥْ ﺃَﺭَﺩْﺕَ ﺗَﻠْﻴِﻴﻦَ ﻗَﻠْﺒِﻚَ ﻓَﺄَﻃْﻌِﻢْ ﺍﻟْﻤِﺴْﻜِﻴﻦَ ﻭَﺍﻣْﺴَﺢْ ﺭَﺃْﺱَ ﺍﻟْﻴَﺘِﻴﻢِ
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa seorang laki-laki mengadukan kepada Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam tentang kekerasan hatinya. Maka Nabi berkata kepada dia, “Jika engkau ingin melembutkan hatimu, berikan makan kepada orang miskin, dan usaplah kepala anak yatim." (HR. Ahmad, dihasankan oleh Syaikh al-Albany)

Mengusap kepala anak yatim bukanlah sekedar mengusap, namun itu adalah bentuk kasih sayang dan perhatian kepada mereka. Mengusap kepala anak yatim juga tidak dikhususkan pada bulan Muharram apalagi hanya pada hari Asyura (10 Muharram) saja.

Apakah setiap helai rambut anak yatim yang diusap akan berdoa kepada orang yang mengusapnya? Tidak dalil tentang hal itu. Yang ada adalah beberapa riwayat yang menyatakan bahwa setiap helai rambut anak yatim yang diusap terhitung sebagai kebaikan, namun hadits-hadits tersebut pada setiap jalur sanadnya sangat lemah, terputus, atau ada perawi yang memalsukan hadits. Di antara riwayat itu:
ﻣَﻦْ ﻣَﺴَﺢَ ﺭَﺃْﺱَ ﻳَﺘِﻴﻢٍ ﺃَﻭْ ﻳَﺘِﻴﻤَﺔٍ ﻟَﻢْ ﻳَﻤْﺴَﺤْﻪُ ﺇِﻟَّﺎ ﻟِﻠَّﻪِ ﻛَﺎﻥَ ﻟَﻪُ ﺑِﻜُﻞِّ ﺷَﻌْﺮَﺓٍ ﻣَﺮَّﺕْ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﻳَﺪُﻩُ ﺣَﺴَﻨَﺎﺕٌ
Barangsiapa yang mengusap kepala anak yatim laki-laki atau perempuan, tidaklah ia usap kecuali karena Allah, maka setiap helai rambut yang terlewati oleh tangannya terhitung sebagai kebaikan-kebaikan. (HR. Ahmad dan at-Thobarony)
Hadits ini sangat lemah, karena di dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama Ali bin Yazid al-Alhaany yang dinyatakan oleh al-Bukhari sebagai munkarul hadits, dan ad-Daruquthny menyatakan bahwa ia adalah matruk (ditinggalkan). Lihat Majmauz Zawaaid karya al-Haitsamy (8/160) dan ad-Dhuafaa’ wal Matrukin karya Ibnul Jauzy (2/200).
Riwayat lain menyatakan:
ﻣﺎ ﻣﻦ ﻣﺴﻠﻢ ﻳﻤﺴﺢ ﻳﺪﻩ ﻋﻠﻰ ﺭﺃﺱ ﻳﺘﻴﻢ ﺇﻻ ﻛﺎﻧﺖ ﻟﻪ ﺑﻜﻞ ﺷﻌﺮﺓ ﻣﺮﺕ ﻳﺪﻩ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺣﺴﻨﺔ ﻭﺭﻓﻌﺖ ﻟﻪ ﺑﻬﺎ ﺩﺭﺟﺔ ﻭﺣﻄﺖ ﻋﻨﻪ ﺑﻬﺎ ﺧﻄﻴﺌﺔ
Tidaklah seorang muslim mengusapkan tangannya pada kepala anak yatim kecuali pada tiap helai rambut yang dilewati tangannya mendapat 1 kebaikan dan diangkat 1 derajat dan dihapus 1 keburukan. (HR. Ibnun Najjaar dari Abdullah bin Abi Aufa)
Dalam riwayat ini terdapat perawi yang bernama Abdullah bin Muhammad bin Sinaan yang suka memalsukan hadits. Lihat ad-Dhuafaa’ wal Matrukiin karya Ibnul Jauzi (2/139).
Riwayat lain menyatakan:
ﻣﻦ ﻭﺿﻊ ﻳﺪﻩ ﻋﻠﻰ ﺭﺃﺱ ﻳﺘﻴﻢ ﺗﺮﺣﻤﺎ ﻛﺎﻧﺖ ﻟﻪ ﺑﻜﻞ ﺷﻌﺮﺓ ﺗﻤﺮ ﺑﻴﺪﻩ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺣﺴﻨﺔ
Barangsiapa yang meletakkan tangannya pada kepala anak yatim dengan kasih sayang, maka setiap helai rambut yang dilewati tangannya terhitung 1 kebaikan. (HR. Ibnul Mubarak dalam az-Zuhud)
Hadits ini sanadnya terputus, yaitu dari Muhammad bin Ajlan (termasuk Tabaa-ut Taabi’in) terputus dari Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam.
Wallaahu A’lam bisshowaab.

Sumber: itishom[dot]web[dot]id