Cari Blog Ini

Sabtu, 25 Oktober 2014

Tentang PUASA HARI ASYURA DAN PUASA PADA BULAN MUHARRAM

Mengenai keutamaan puasa sunnah di bulan Muharram, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﺃَﻓْﻀَﻞُ ﺍﻟﺼِّﻴَﺎﻡِ ﺑَﻌْﺪَ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﺷَﻬْﺮُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺍﻟْﻤُﺤَﺮَّﻡُ
“Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah berpuasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim, no.1982 dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Al-Imam an-Nawawy menjelaskan bahwa hadits ini menunjukkan bahwa bulan Muharram adalah bulan yang paling utama untuk melaksanakan puasa sunnah. (Syarh Shahih Muslim)

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menerangkan bahwa menurut sebagian ulama, disunnahkan berpuasa Muharram sebulan penuh berdasarkan hadits di atas. Namun sebatas yang beliau ketahui, Rasulullah tidak pernah melakukan puasa Muharram ini sebulan penuh. Akan tetapi puasa yang banyak beliau lakukan setelah Ramadhan adalah berpuasa di bulan Sya’ban berdasarkan penuturan Aisyah,
ﻭَﻟَﻢْ ﺃَﺭَﻩُ ﺻَﺎﺋِﻤًﺎ ﻣِﻦْ ﺷَﻬْﺮٍ ﻗَﻂُّ، ﺃَﻛْﺜَﺮَ ﻣِﻦْ ﺻِﻴَﺎﻣِﻪِ ﻣِﻦْ ﺷَﻌْﺒَﺎﻥَ ﻛَﺎﻥَ ﻳَﺼُﻮﻡُ ﺷَﻌْﺒَﺎﻥَ ﻛُﻠَّﻪُ، ﻛَﺎﻥَ ﻳَﺼُﻮﻡُ ﺷَﻌْﺒَﺎﻥَ ﺇِﻻَ ﻗَﻠِﻴﻼً
“Dan tidaklah aku melihat beliau (Nabi) berpuasa di suatu bulan yang lebih banyak daripada puasa beliau bulan Sya’ban. Beliau pernah berpuasa Sya’ban seluruhnya (sebulan penuh), dan dahulu pernah berpuasa Sya’ban kecuali beberapa hari saja (beliau tidak berpuasa).” (HR. Muslim no. 1156)

Mengapa Rasulullah justru memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban? Jawabannya adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh An-Nawawi dalam kitabnya, Syarh Shahih Muslim. Beliau menyebutkan ada dua kemungkinan Nabi memperbanyak puasa sunnah pada bulan Sya’ban, tidak pada bulan Muharram.
Kemungkinan pertama adalah Rasulullah mengetahui tentang keutamaan puasa Muharram ini di akhir hayat beliau, sehingga beliau belum sempat mengerjakan puasa Muharram.
Kemungkinan kedua adalah pada bulan Muharram Rasulullah terhalangi dari berpuasa karena udzur syar’i seperti safar (bepergian), sakit, atau selainnya. Wallahu a’lam. (Lihat Syarh Shahih Muslim)
Sehingga banyaknya puasa di bulan Sya’ban yang dilakukan oleh Nabi tidaklah menggugurkan keutamaan puasa Muharram ini. Puasa Muharram tetap menjadi puasa yang paling utama setelah Ramadhan dibandingkan puasa di bulan lain.

Dan mengenai keutamaan puasa hari Asyura, yakni puasa sunnah pada tanggal 10 bulan Muharram, selain sudah termasuk dalam keumuman keutamaan berpuasa di bulan Muharram sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, puasa di hari itu memiliki keutamaan khusus yang tidak terdapat di hari-hari yang lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻭَﺻِﻴَﺎﻡُ ﻳَﻮْﻡِ ﻋَﺎﺷُﻮﺭَﺍﺀَ ﺃَﺣْﺘَﺴِﺐُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺃَﻥْ ﻳُﻜَﻔِّﺮَ ﺍﻟﺴَّﻨَﺔَ ﺍﻟَّﺘِﻲ ﻗَﺒْﻠَﻪُ
“Puasa ‘Asyura, aku berharap kepada Allah bisa menghapuskan dosa setahun sebelumnya.” (HR. Muslim)

Rasulullah benar-benar menjaga puasa pada hari itu sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas,
ﻣَﺎ ﻋَﻠِﻤْﺖُ ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﺎﻡَ ﻳَﻮْﻣًﺎ ﻳَﻄْﻠُﺐُ ﻓَﻀْﻠَﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺄَﻳَّﺎﻡِ ﺇِﻟَّﺎ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟْﻴَﻮْﻡَ ﻭَﻟَﺎ ﺷَﻬْﺮًﺍ ﺇِﻟَّﺎ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟﺸَّﻬْﺮَ ﻳَﻌْﻨِﻲ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ
“Aku tidak pernah mengetahui Rasulullah berpuasa di suatu hari yang beliau benar-benar berharap meraih keutamaannya yang lebih dibandingkan hari-hari yang lain kecuali hari ini (yaitu hari Asyura’), dan tidak pula berpuasa pada suatu bulan yang beliau benar-benar berharap meraih keutamaannya melebihi bulan-bulan yang lain kecuali bulan ini, yaitu bulan Ramadhan.” (HR. Muslim no. 1132)

‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata,
ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﻗَﺪِﻡَ ﺍﻟْﻤَﺪِﻳﻨَﺔَ ﻓَﻮَﺟَﺪَ ﺍﻟْﻴَﻬُﻮﺩَ ﺻِﻴَﺎﻣًﺎ ﻳَﻮْﻡَ ﻋَﺎﺷُﻮﺭَﺍﺀَ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻟَﻬُﻢْ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ‏« ﻣَﺎ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟْﻴَﻮْﻡُ ﺍﻟَّﺬِﻯ ﺗَﺼُﻮﻣُﻮﻧَﻪُ ‏» . ﻓَﻘَﺎﻟُﻮﺍ ﻫَﺬَﺍ ﻳَﻮْﻡٌ ﻋَﻈِﻴﻢٌ ﺃَﻧْﺠَﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻓِﻴﻪِ ﻣُﻮﺳَﻰ ﻭَﻗَﻮْﻣَﻪُ ﻭَﻏَﺮَّﻕَ ﻓِﺮْﻋَﻮْﻥَ ﻭَﻗَﻮْﻣَﻪُ ﻓَﺼَﺎﻣَﻪُ ﻣُﻮﺳَﻰ ﺷُﻜْﺮًﺍ ﻓَﻨَﺤْﻦُ ﻧَﺼُﻮﻣُﻪُ. ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ : ‏« ﻓَﻨَﺤْﻦُ ﺃَﺣَﻖُّ ﻭَﺃَﻭْﻟَﻰ ﺑِﻤُﻮﺳَﻰ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ‏». ﻓَﺼَﺎﻣَﻪُ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺃَﻣَﺮَ ﺑِﺼِﻴَﺎﻣِﻪِ
Bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika tiba di Madinah, beliau mendapati Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura. Maka beliau bertanya (kepada mereka), “Hari apakah ini yang kalian bershaum padanya?” Maka mereka menjawab, “Ini merupakan hari yang agung, yaitu pada hari tersebut Allah menyelamatkan Musa beserta kaumnya dan menenggelamkan Fir’aun bersama kaumnya. Maka Musa bershaum pada hari tersebut dalam rangka bersyukur (kepada Allah). Maka kami pun bershaum pada hari tersebut.” Maka Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.” Maka Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bershaum pada hari tersebut dan memerintahkan (para shahabat) untuk bershaum pada hari tersebut. [HR. Al-Bukhari 2004, 3397, 3943, 4680, 4737, dan Muslim1130]

‘Aisyah radhiyallahu ’anha berkata,
ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺃَﻣَﺮَ ﺑِﺼِﻴَﺎﻡِ ﻳَﻮْﻡِ ﻋَﺎﺷُﻮﺭَﺍﺀَ ، ﻓَﻠَﻤَّﺎ ﻓُﺮِﺽَ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥُ ﻛَﺎﻥَ ﻣَﻦْ ﺷَﺎﺀَ ﺻَﺎﻡَ ، ﻭَﻣَﻦْ ﺷَﺎﺀَ ﺃَﻓْﻄَﺮَ
“Dulu Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan (para shahabat) untuk bershaum pada hari ‘Asyura. Namun ketika diwajibkan shaum Ramadhan, maka jadilah bagi siapa yang mau boleh bershaum (‘Asyura`) dan barangsiapa yang mau boleh juga tidak bershaum.” [Al-Bukhari 2001 dan Muslim 1125]

‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata,
ﺣِﻴﻦَ ﺻَﺎﻡَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻳَﻮْﻡَ ﻋَﺎﺷُﻮﺭَﺍﺀَ ﻭَﺃَﻣَﺮَ ﺑِﺼِﻴَﺎﻣِﻪِ ﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺇِﻧَّﻪُ ﻳَﻮْﻡٌ ﺗُﻌَﻈِّﻤُﻪُ ﺍﻟْﻴَﻬُﻮﺩُ ﻭَﺍﻟﻨَّﺼَﺎﺭَﻯ. ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ‏« ﻓَﺈِﺫَﺍ ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟْﻌَﺎﻡُ ﺍﻟْﻤُﻘْﺒِﻞُ – ﺇِﻥْ ﺷَﺎﺀَ ﺍﻟﻠﻪُ – ﺻُﻤْﻨَﺎ ﺍﻟْﻴَﻮْﻡَ ﺍﻟﺘَّﺎﺳِﻊَ ‏». ﻗَﺎﻝَ ﻓَﻠَﻢْ ﻳَﺄْﺕِ ﺍﻟْﻌَﺎﻡُ ﺍﻟْﻤُﻘْﺒِﻞُ ﺣَﺘَّﻰ ﺗُﻮُﻓِّﻰَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ
Ketika Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bershaum pada hari ‘Asyura dan memerintahkan untuk bershaum pada hari itu, para shahabat berkata, “Itu adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashara.” Maka Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Bila tiba tahun depan Insya Allah kita (juga) akan bershaum pada hari ke-9 (bulan Muharram).”
Ibnu ‘Abbas berkata: Namun belum sampai tahun depan kecuali Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam telah wafat terlebih dahulu. [HR. Muslim no. 1134]

Oleh karena itu shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ’anhuma menegaskan:
ﺻُﻮﻣُﻮﺍ ﺍﻟﺘَّﺎﺳِﻊَ ﻭَﺍﻟْﻌَﺎﺷِﺮَ ﻭَﺧَﺎﻟِﻔُﻮﺍ ﺍﻟْﻴَﻬُﻮﺩَ
“Bershaumlah pada hari ke-9 dan ke-10, selisihilah kaum Yahudi!” [HR. 'Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya 7839, Al-Baihaqi IV/287. Diriwayatkan juga oleh At-Tirmidzi dalam Sunan-nya di bawah hadits no. 755]
Dalam riwayat lain, disebutkan agar bershaum pada tanggal 9 dan 10, atau 10 dan 11, atau 9, 10, 11.
‏ﺻُﻮﻣُﻮﺍ ﻳَﻮْﻡَ ﻋَﺎﺷُﻮﺭَﺍﺀَ ﻭَﺧَﺎﻟِﻔُﻮﺍ ﻓِﻴﻪِ ﺍﻟْﻴَﻬُﻮﺩَ ﺻُﻮﻣُﻮﺍ ﻗَﺒْﻠَﻪُ ﻳَﻮْﻣﺎً ﺃَﻭْ ﺑَﻌْﺪَﻩُ ﻳَﻮْﻣﺎً ‏
“Bershaumlah kalian pada hari ‘Asyura, dan selisihilah kaum Yahudi. Bershaumlah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.” [HR. Ahmad 1/241, Ibnu Khuzaimah 2095]
Berarti shaum dilaksanakan tanggal 9 dan 10 Muharram, atau 10 dan 11 Muharram.
Dalam riwayat lain dengan lafazh:
‏ﺻُﻮﻣُﻮﺍ ﻗَﺒْﻠَﻪُ ﻳَﻮْﻣًﺎ ﻭَﺑَﻌْﺪَﻩُ ﻳَﻮْﻣًﺎ
“Bershaumlah sehari sebelumnya dan sehari setelahnya.” [HR. Al-Baihaqi IV/287]
Berarti shaum dilaksanakan tanggal 9, 10, dan 11 Muharram.

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata:
“Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mensyari’atkan kepada kita untuk bershaum sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.
- bershaum pada hari ke-9 dan ke-10 ini yang paling utama.
- kalau bershaum pada hari ke-10 dan 11 maka itu sudah mencukupi, karena (dengan cara itu sudah) menyelisihi Yahudi.
- kalau bershaum semuanya bersama hari ke-10 (yaitu 9, 10, dan 11) maka tidak mengapa. Berdasarkan sebagian riwayat:
ﺻﻮﻣﻮﺍ ﻳﻮﻣﺎ ﻗﺒﻠﻪ ﻭﻳﻮﻣﺎ ﺑﻌﺪﻩ
“Bershaumlah sehari sebelumnya dan sehari setelahnya.”
- Adapun bershaum pada hari ke-10 saja maka makruh.”
[Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah XV/403, fatwa no. 158]

Namun, para ‘ulama lainnya ada yang berpendapat bahwa yang paling utama adalah bershaum tiga hari, yaitu 9, 10, dan 11 Muharram. Ini merupakan pendapat Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad dan Al-Hafizh dalam Fathul Bari.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
“Puasa ‘asyura ada tiga tingkatan:
- Yang paling rendah adalah berpuasa tanggal 10 saja.
- Lebih utama lagi, berpuasa tanggal 9 dan 10.
- Paling utama, adalah berpuasa tanggal 9, 10, dan 11."‏
(Lihat Fathul Bari IV/246)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Tingkatan puasa ‘asyura ada tiga:
- Yang paling sempurna adalah berpuasa sehari sebelumnya dan sehari setelahnya (yakni tanggal 9,10, dan 11)
- Yang berikutnya adalah berpuasa tanggal 9 dan 10. Kebanyakan hadits-hadits menunjukkan pada makna ini.
- Yang berikutnya adalah berpuasa hanya tanggal 10 saja.
Adapun yang (memahami) bahwa (yang disyari’atkan) hanya tanggal 9 saja, maka itu disebabkan karena kurang bisa memahami dalil-dalil yang ada, dan tidak meniliti dengan seksama lafazh-lafazh dan jalur-jalur periwayatan (dalil-dalil tersebut), sekaligus (pemahaman) tersebut jauh dari bahasa dan syari’at. Wallahul Muwaffiq lish Shawab." (lihat Zadul Ma’ad II/72)

Pendapat ini dikuatkan pula oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata:
“Shaum ‘Asyura` memiliki empat tingkatan:
Tingkat Pertama: bershaum pada tanggal 9, 10, dan 11. Ini merupakan tingkatan tertinggi. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad, "Bershaumlah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. Selisihilah kaum Yahudi.”
Dan karena seorang jika ia bershaum (pada) 3 hari (tersebut), maka ia sekaligus memperoleh keutamaan shaum 3 hari setiap bulan.
Tingkat Kedua: bershaum pada tanggal 9 dan 10. Berdasarkan sabda Nabi shalallahu’alaihi wa sallam, “Kalau saya hidup sampai tahun depan, niscaya aku bershaum pada hari ke-9.” Ini beliau ucapkan ketika disampaikan kepada beliau bahwa kaum Yahudi juga bershaum pada hari ke-10, dan beliau suka untuk berbeda dengan kaum Yahudi, bahkan dengan semua orang kafir.
Tingkat Ketiga: bershaum pada tanggal 10 dan 11.
Tingkat Keempat: bershaum pada tanggal 10 saja. Di antara ‘ulama ada yang berpendapat hukumnya mubah, namun ada juga yang berpendapat hukumnya makruh. Yang berpendapat hukumnya mubah berdalil dengan keumuman sabda Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika beliau ditanya tentang shaum ‘Asyura`, maka beliau menjawab, “Saya berharap kepada Allah bahwa shaum tersebut menghapuskan dosa setahun sebelumnya.” Beliau tidak menyebutkan hari ke-9. Sementara yang berpendapat hukumnya makruh berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, “Selisihilah kaum Yahudi. Bershaumlah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.” Dalam lafazh lain, “Bershaumlah sehari sebelumnya dan sehari setelahnya.” Sabda beliau ini berkonsekuensi wajibnya menambahkan satu hari dalam rangka menyelisihi (kaum Yahudi), atau minimalnya menunjukkan makruh menyendirikan shaum pada hari itu (hari ke-10) saja. Pendapat yang menyatakan makruh menyendirikan shaum pada hari itu saja merupakan pendapat yang kuat.”
[Liqa`at Babil Maftuh]

Sementara itu, ketika Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta` ditanya apakah boleh melaksanakan shaum ‘Asyura` satu hari saja?
Maka lembaga tersebut menjawab:
Boleh melaksanakan shaum hari ‘Asyura` satu hari saja. Namun yang afdhal (lebih utama) adalah bershaum sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. Ini merupakan sunnah yang pasti dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berdasarkan sabda beliau, “Kalau saya masih hidup hingga tahun depan, niscaya aku akan bershaum pada hari ke-9.” Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata, “Yakni bersama hari ke-10.”
Wabillahit Taufiq. Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa Shahbihi wa Sallam.
Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta`
Anggota: ‘Abdullah bin Ghudayyan
Wakil Ketua: ‘Abdurrazzaq ‘Afifi
Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz
[dari Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhutsil 'Ilmiyyah wal Ifta` X/401, fatwa no. 13.700]

Pendapat yang terpilih adalah bahwa yang paling utama adalah berpuasa pada tanggal 9, 10, dan 11 Muharram sebagaimana difatwakan dan dijelaskan oleh Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah. Dan juga karena keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ﺃَﻓْﻀَﻞُ ﺍﻟﺼِّﻴَﺎﻡِ ﺑَﻌْﺪَ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﺷَﻬْﺮُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺍﻟْﻤُﺤَﺮَّﻡُ
“Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah berpuasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim, no.1982 dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Wallahu a'lam.

Tentang MENGHADIRI SALAT JUMAT DAN SALAT JAMAAH KETIKA SAFAR

Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin Rahimahulloh

Pertanyaan:
Apakah boleh bagi musafir untuk tidak menghadiri sholat jum’at dan sholat jama’ah?

Jawaban:
TIDAK BOLEH. Bahkan wajib bagi setiap orang yang mendengar adzan untuk memenuhi seruan tersebut, baik dia orang yang mukim atau musafir. Maka seorang musafir yang tinggal (untuk sementara waktu) di sebuah daerah pada hari jum’at kemudian dia mendengar adzan, maka wajib atasnya untuk memenuhi seruan tersebut. Alloh Ta’ala berfirman:
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺇِﺫَﺍ ﻧُﻮﺩِﻱَ ﻟِﻠﺼَّﻠَﺎﺓِ ﻣِﻦْ ﻳَﻮْﻡِ ﺍﻟْﺠُﻤُﻌَﺔِ ﻓَﺎﺳْﻌَﻮْﺍ ﺇِﻟَﻰٰ ﺫِﻛْﺮِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ‏
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru kepada kalian untuk sholat jum’at maka bersegeralah kalian untuk mengingat Alloh.” (Al Jumu’ah: 9)
Saya bertanya kepada musafir ini, “Apakah engkau orang mu’min atau bukan?” Niscaya dia menjawab, "Iya, saya termasuk orang mu’min." Maka kami katakan, "Apabila engkau seorang mu’min, lantas bagaimana jawabanmu kepada Alloh nanti di hari kiamat dalam keadaan (ayat ini) ditujukan kepadamu?!"
Alloh Ta’ala befirman:
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺇِﺫَﺍ ﻧُﻮﺩِﻱَ ﻟِﻠﺼَّﻠَﺎﺓِ ﻣِﻦْ ﻳَﻮْﻡِ ﺍﻟْﺠُﻤُﻌَﺔِ ﻓَﺎﺳْﻌَﻮْﺍ ﺇِﻟَﻰٰ ﺫِﻛْﺮِ ﺍﻟﻠَّﻪِ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru kepada kalian untuk sholat jum’at maka bersegeralah kalian untuk mengingat Alloh.” (Al Jumu’ah: 9)
Adapun kalau keadaannya dia dalam perjalanan dan melintasi suatu daerah di jalan raya-kemudian dia mendengar adzan, maka saya katakan: Tidak wajib atasmu untuk berhenti kemudian sholat, dikarenakan engkau sedang dalam perjalanan.
Adapun orang yang mukim maka wajib baginya untuk menghadiri (sholat jum’at) begitu pula sholat-sholat jama’ah. Dikarenakan Nabi Shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda mengenai sholat jama’ah:
ﻣﻦ ﺳﻤﻊ ﺍﻟﻨﺪﺍﺀ ﻓﻠﻢ ﻳﺠﺐ ﻓﻼ ﺻﻼﺓ ﻟﻪ ﺇﻻ ﻣﻦ ﻋﺬﺭ
“Barangsiapa yang mendengar adzan kemudian tidak memenuhinya maka tidak ada sholat baginya kecuali orang yang memiliki udzur.”
Dan safar bukan termasuk udzur, dengan dalil bahwa Alloh memerintahkan sholat dengan berjama’ah dalam peperangan.

Sumber: Silsilah Liqo Syahri (Liqo 69)

Alih bahasa : Ibrohim Abu Kaysa

###

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

Penanya:
Jika seorang musafir singgah di hotel atau di sebuah rumah dan di sekitarnya terdapat masjid yang ditegakkan shalat jama’ah padanya, bolehkah baginya untuk menjama’ shalat di rumah, terlebih lagi jika dia membutuhkan istirahat?

Asy-Syaikh:
Jika dia membutuhkan istirahat maka boleh baginya untuk menjama’, atau jika dia ingin tidur, misalnya karena dia lelah sehingga ingin tidur dan dia seorang musafir, maka tidak masalah baginya untuk menjama’ di hotel atau di rumah.
Adapun jika dia dalam kondisi semangat atau dia hanya duduk hingga mu’adzin mengumandangkan adzan untuk shalat berikutnya, maka yang afdhal dan lebih hati-hati baginya adalah dengan pergi ke masjid untuk shalat jama’ah.

Alih bahasa: Abu Almass

###

Asy Syaikh Shalih Fauzan bin Abdillah al Fauzan حفظه الله

Pertanyaan:
ماذا على المسافر إذا سمع المنادي ينادي للصلاة؟ هل تلزمه الإجابة أم يترخص برخص السفر؟
Apa yang sebaiknya dilakukan oleh seorang musafir yang mendengar seruan adzan untuk shalat?
Apakah wajib baginya memenuhi panggilan shalat ataukah dia mendapatkan ruksoh (keringanan) safar?

Jawaban:
الإجابة ليست واجبة، إن أراد الأجر يجيب المؤذن، وإن ما جاب المؤذن فليس هذا بواجب عليه سواء كان مسافراً أو مقيماً
Menjawab adzan tidak wajib.
Akan tetapi, kalau dia menginginkan pahala, maka jawablah adzan seorang muadzin.
Adapun kalau dia tidak menjawab adzan, maka ini tidak wajib baginya, sama saja baik dia musafir atau orang yang muqim.

Syaikh berkata:
أو قصده الإجابة الحضور؟
Apakah yang dia maksud adalah menghadiri (shalat jamaah)?

Penanya:
الحضور
Iya, menghadirinya.

Jawaban:
يجب على من سمع النداء وليس له عذر يحضر ويصلي قال صلى الله عليه وسلم: مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ، قيل وما العذر؟ قيل: خوف أو مرض، بعض الناس إذا كانوا مسافرين ونازلين في بيت مقابل المسجد يقولون نحن مسافرين نريد أن نصلي في بيتنا، لا ما يجوز لكم تصلون وتسمعون الأذان وبجانبكم المسجد، يقولون: نريد أن نقصر، صلوا مع الإمام وأتموا الصلاة أعظم لكم أجرا لا ترحمون أنفسكم من الأجر وإجابة النداء، فإجابة المؤذن يعني: الحضور واجب لمن سمعه وقدر على الحضور سواء كان مسافراً أو مقيماً
Wajib bagi setiap yang mendengar adzan dan dia tidak memiliki udzur untuk menghadiri shalat jamaah.
Sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:
Barang siapa yang mendengar adzan kemudian dia tidak memenuhinya, maka tidak ada shalat baginya kecuali ada udzur.
Ditanyakan kepada beliau: Apa itu udzur? Beliau berkata: Rasa takut dan sakit.
Sebagian orang yang sedang safar dan dia singgah di sebuah rumah yang berdampingan dengan masjid, mereka berkata: Kami adalah musafir dan kami akan shalat di rumah.
Ini tidak boleh bagi kalian untuk shalat di rumah dalam keadaan kalian mendengar adzan dan di sebelah rumah kalian (terdapat) masjid.
Mereka juga berkata: Kita akan mengqosor shalat.
Akan tetapi, shalatlah kalian bersama imam dan sempurnakanlah shalat kalian sehingga kalian mendapatkan pahala yang besar.
Jangan kalian mengharamkan pahala atas diri kalian dan pahala menjawab panggilan adzan.
Maka menjawab panggilan muadzin -yaitu menghadiri shalat berjamaah- wajib bagi siapa saja yang mendengar adzan tersebut dan dia mampu untuk menghadirinya, sama saja baik dia musafir atau muqim.

Sumber:
alfawzan .af .org .sa/node/14847

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

Tentang BERZIKIR, BERSHALAWAT, MENGAMINI DOA, MENJAWAB SALAM, DAN MENDOAKAN ORANG YANG BERSIN KETIKA KHUTBAH JUMAT

Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin Rahimahulloh

Pertanyaan:
Fadhilatusy Syaikh, ada seorang yang ia berdzikir, bersholawat atas Nabi atau mengamini doa. Apakah ini termasuk berbicara ketika khutbah? Apa yang disyari’atkan bagi ma’mum dan apa yang tidak disyari’atkan (ketika khutbah berlangsung)?

Jawaban:
Ini bukan termasuk berbicara, dikarenakan Nabi Shollallohu ‘alaihi wasallam mempermisalkan kepada kita dengan ucapan yang memiliki kesan dan pengaruh. Beliau bersabda:
ﺇﺫﺍ ﻗﻠﺖ ﻟﺼﺎﺣﺒﻚ
“Apabila engkau berkata kepada temanmu."
Dan engkau tidak berkata kepada temanmu, engkau sedang berdzikir kepada Alloh ‘Azza wa Jalla.
Apabila disebut nama Alloh ketika khutbah, engkau mengatakan: “Subhanahu.”
Atau disebut nama Rasul-Nya Shollallohu ‘alaihi wasallam engkau mengatakan: “Allohumma Sholli ‘alaihi.”
Atau disebutkan balasan, pahala engkau mengatakan: “As`alulloha min fadhlihi.”
Disebutkah hukuman, siksa engkau mengatakan: “A'udzu billah.”
Maka ini bukan termasuk perkataan yang dilarang. Namun, apakah ini disunnahkan bagi seseorang untuk mengucapkannya atau tidak? Saya memandang, ini tidak mengapa untuk mengucapkannya. Ini juga termasuk yang bisa menghadirkan hati seseorang, memperhatikan apa yang disampaikan oleh imam, berbeda dengan orang yang lalai (tidak memperhatikan khutbah). Akan tetapi dengan syarat tidak mengganggu orang yang di sekitarnya.

Sumber: Silsilah Liqo Syahri (Liqo 69‏)

Alih bahasa : Ibrohim Abu Kaysa

###

Fadhilatus Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh

Pertanyaan:
فضيلة الوالد، ما حكم رد السلام، وتشميت العاطس، والصلاة على النبي -صلى الله عليه وسلم- يوم الجمعة والإمام على المنبر؟
Fadhilatul walid, apa hukum menjawab salam, mendoakan orang yang bersin, dan bersholawat atas Nabi shollallohu alaihi wa sallam di hari Jumat sedangkan imam sudah di atas mimbar?

Jawaban:
كل هذا لا يجوز، لا تشميت العاطس، ولا رد السلام على المسلم، ولا الصلاة على النبي -صلى الله عليه وسلم- لكن الأخيرة تجوز إذا لم يكن هناك تشويش على الناس؛ لأن الأخيرة ليست خطاباً ولا كلام آدمي، وإذا كان الرسول -صلى الله عليه وسلم- يقول: «إذا قلت لصاحبك يوم الجمعة والإمام يخطب: أنصت فقد لغوت» (أنصت) نهي عن منكر، وجعل النبي -صلى الله عليه وسلم- ذلك لغواً، أي: أنه يفوت على الإنسان فضيلة الجمعة، فكل خطاب لآدمي فهو حرام، وأما الدعاء والتأمين عليه فهذا جائز إذا لم يحصل فيه تشويش
Semua ini tidak boleh, tidak mendoakan orang yang bersin, dan tidak pula menjawab salam seorang muslim, dan tidak juga bersholawat atas Nabi shollallohu alaihi wa sallam, akan tetapi yang terakhir (yakni bersholawat) dibolehkan jika di sana tidak menimbulkan kegaduhan (gangguan) bagi orang lain; dikarenakan yang terakhir bukan merupakan obrolan dan bukan pula ucapan anak Adam, dan jika Nabi shollallohu alaihi wa sallam telah mengatakan:
إذا قُلتَ لصاحبِك يومَ الجمعةِ والإمامُ يخطب: أَنْصِتْ فقدْ لغَوتَ
Apabila engkau katakan kepada teman engkau di hari Jumat sedang imam berkhutbah, "Diamlah," maka engkau telah sia-sia.
Kata: "diamlah" merupakan larangan dari suatu kemungkaran, dan Nabi shollallohu alaihi wa sallam menjadikannya sebagai sesuatu yang sia-sia, artinya bahwa dia telah kehilangan atas orang lain keutamaan Jumat, sehingga semua bentuk obrolan anak Adam maka dia haram, dan adapun doa dan mengaminkan doa maka yang demikian boleh apabila tidak menimbulkan kegaduhan.
(Liqo al-bab al-maftuh [73])

Alih Bahasa: Muhammad Sholehuddin Abu Abduh

WA Ahlus Sunnah Karawang

Sumber: Salafy .or .id

###

ASY SYAIKH MUHAMMAD BIN SHALIH AL-UTSAIMIN RAHIMAHULLAH

Tanya:
Apa hukum menjawab salam, mengamini doa khatib, dan bershalawat kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam ketika imam sedang berkhutbah pada hari Jum'at?

Jawab:
Mengucapkan salam ketika khutbah Jum'at hukumnya haram. Sehingga tidak boleh seseorang masuk masjid ketika imam sedang berkhutbah kemudian ia mengucapkan salam. Demikian pula tidak boleh menjawab salam. Dan alasan diharamkannya menjawab salam karena hal tersebut termasuk dalam hukum berbicara.
Dan telah datang dari Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda,
"Apabila engkau mengucapkan kepada temanmu: "Diamlah!" dalam keadaan imam sedang berkhutbah pada hari Jum'at, maka engkau telah melakukan perbuatan sia-sia."
Padahal engkau melarang dari kemungkaran, itu termasuk perbuatan sia-sia, yaitu diharamkan baginya pahala ibadah Jum'at.
Adapun bershalawat kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam ketika nama beliau disebut ketika khutbah, hal ini tidak mengapa. Akan tetapi dengan syarat tidak mengeraskan suaranya, agar tidak mengganggu orang lain atau mencegah dirinya dari sikap diam mendengarkan khutbah.
Adapun mengamini doa khatib, tidak mengapa, selama tidak mengeraskan suara. Karena mengucapkan amin juga termasuk doa.

Sumber:
Majmu' Fatawa wa Rasa-il asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin 16/100

Alih bahasa:
Abdulaziz Bantul
Ma’had Ibnul Qoyyim, Balikpapan

TIS

###

ASY SYAIKH MUHAMMAD BIN SHALIH AL-UTSAIMIN RAHIMAHULLAH

Tanya:
Apabila seseorang menghadiri shalat Jum'at, apakah boleh baginya berdoa kepada Allah Ta'ala di tengah-tengah khutbah?

Jawab:
Berdoa di tengah-tengah khutbah Jum'at hukumnya tidak diperbolehkan, karena akan menyibukkan dirinya dari mendengarkan khutbah. Akan tetapi, apabila khatib menyebutkan surga atau neraka, kemudian ia mengatakan, "Aku meminta kepada Allah karunia-Nya," atau mengatakan, "Aku berlindung kepada Allah dari neraka-Nya," tanpa menyibukkan dirinya dari mendengarkan khutbah, ataupun tidak menimbulkan gangguan kepada orang lain, maka hal ini tidak mengapa.

Sumber:
Majmu' Fatawa wa Rasa-il asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin 16/104

http://www.thalabilmusyari.web.id/2015/09/fatwa-pilihan-ibadah-jumat-15-bolehkah.html

Alih bahasa:
Ust. Abdulaziz Bantul حفظه الله

Ma’had Ibnul Qoyyim, Balikpapan

TIS | طلب العلم الشر عي

WA Al Istiqomah
WALIS
http://walis-net.blogspot.com/p/depan.html

###

ASY SYAIKH MUHAMMAD BIN SHALIH AL-UTSAIMIN RAHIMAHULLAH

Tanya:
Apa hukum bershalawat kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam di tengah-tengah khutbah?

Jawab:
Bershalawat kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam ketika nama beliau disebutkan ketika khutbah, apabila tidak menyibukkan dirinya dari mendengarkan khutbah, maka hal ini tidak mengapa.

Sumber:
Majmu' Fatawa wa Rasa-il asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin 16/104.

Alih bahasa:
Abdulaziz Bantul
Ma’had Ibnul Qoyyim, Balikpapan

###

Asy-Syaikh Al-Muhadits Muqbil bin Hadi Al-Wadi'iy رحمه الله

PERTANYAAN:
بالنسبة ليوم الجمعة إذا قيل للمأموم في حال استماع الخطبة: السلام عليكم أو إذا سمع أحدا يعطس فما الحكم
Terkait dengan hari Jum'at, jika dikatakan kepada makmum pada saat mereka mendengarkan khutbah: Assalaamu 'alaikum, atau jika ia mendengar seseorang bersin, maka apa hukum menjawabnya?

JAWABANNYA:
الحكم أنه يشير ولا يتكلم في التسليم وأما العطاس فأيضا لا يتكلم بشئ
Hukumnya adalah memberikan isyarat dan tidak berbicara pada saat menerima salam, sedangkan orang yang bersin maka sama saja yakni tidak berbicara dengan sesuatupun.

Dari kaset: As-ilah 'Aamah Mutanawi'ah

Sumber:
muqbel .net/fatwa .php?fatwa_id=1860

Alih Bahasa: Abu Kuraib bin Ahmad Bandung حفظه الله - [FBF 1]

WA Forum Berbagi Faidah [FBF]

###

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah

Tanya:
ما حكم تشميت العاطس والإمام يخطب يوم الجمعة؟
Apa hukumnya menjawab orang bersin (dengan ucapan Yarhamukallah) ketika khatib sedang berkhutbah pada hari Jum’at?

Jawab:
لا يشرع تشميته لوجوب الإنصات، فكما لا يشمت العاطس في الصلاة كذلك لا يشمت العاطس في حال الخطبة. والله ولي التوفيق
TIDAK DISYARI’ATKAN untuk menjawab orang bersin (dengan Yarhamukallah), karena (ketika khutbah) WAJIB UNTUK DIAM.
Sebagaimana tidak boleh menjawab orang bersin (dengan ucapan Yarhamukallah) ketika sedang shalat, demikian pula tidak boleh ketika khutbah sedang berlangsung.
Wallahu waliyyu at-Taufiq.

Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah 12/339

Majmuah Manhajul Anbiya

###

Asy-Syaikh Ubaid bin Abdillah Al-Jabiri hafizhahullah

Penanya:
Apakah orang yang mendengarkan khutbah disyariatkan untuk mengucapkan ‘amin’ ketika khathib sedang berdoa? Jazakumullahukhairan.

Asy-Syaikh Ubaid bin Abdillah Al-Jabiri hafizhahullah menjawab:
Sampai saat ini aku belum mengetahui satu dalil pun yang bisa aku jadikan dalil tentang disyariatkannya hal tersebut. Namun barangkali jika seseorang mengamini (doa khathib) di dalam hati, maka ia benar -Insya Allahu ta’ala-, karena tujuan dari duduk ketika khutbah adalah diam dalam rangka mendengarkan khuthbah. Dan mengeraskan bacaan ‘amin’ itu bisa mengganggu yang lain.

Sumber:
ar .miraath .net/fatwah/10937

Situs Resmi Mahad As-Salafy

###

Al Lajnah Ad Da`imah

Tanya:
Sesorang diam (mendengarkan) khutbah jum'at kemudian tiba-tiba ada orang di sebelahnya mengulurkan tangannya untuk bersalaman di Masjid yang mana imam sedang berkhutbah, apakah dia meninggalkannya atau dia bersalaman dengannya?

Jawab:
Dia bersalaman dengannya dan dia TIDAK BERBICARA, dan dia menjawab salamnya setelah selesai khotib melakukan khutbah yang pertama apabila dia memberikan salam padamu dalam keadaan khotib berkhutbah pada khutbah yang pertama.
Apabila dia mengucapkan salam padamu pada khutbah yang kedua maka engkau membalas salamnya ketika khotib selesai khutbah yang kedua.
(Fatawa Al Lajnah Ad Da`imah no: 3774)

Alih Bahasa:
Abu Arifah Muhammad Bin Yahya Bahraisy -hafidzahullah-

WA Forum Berbagi Faidah [FBF] Dikutip dari Berbagi Ilmu Agama ~ WALIS | www .alfawaaid .net