Cari Blog Ini

Sabtu, 04 Oktober 2014

Tentang URUSAN GAIB YANG BERKAITAN DENGAN JANIN

Bagaimana cara mendudukkan ilmu kedokteran sekarang yang dengan penemuan alat canggih dapat melihat jenis kelamin janin yang dikandung oleh seorang ibu apakah lelaki atau perempuan, dengan firman Allah subhaanahu wata’ala, “Dan Dia mengetahui apa yang ada di dalam rahim.” (Luqman: 34)
Demikian pula keterangan yang ada dalam Tafsir Ibni Jarir dari Mujahid bahwasanya ada seseorang bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang apa yang akan dilahirkan oleh istrinya. Lalu Allah 'Azza wa Jalla menurunkan ayat dalam surah Luqman tersebut. Demikian pula penafsiran Qatadah. Apakah ada yang mengkhususkan keumuman firman Allah subhaanahu wata’ala, “Dan Dia mengetahui apa yang ada di dalam rahim.” (Luqman: 34)

Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab:

Sebelum kita berbicara tentang permasalahan ini, saya ingin menerangkan bahwa tidak mungkin selama-lamanya ada pertentangan antara ayat-ayat Al-Qur’an yang sharih (jelas) dengan waqi’ (kenyataan). Namun, jika secara zahir tampak ada pertentangan antara keduanya maka bisa jadi kenyataan itu hanya pengakuan tanpa ada hakikatnya, atau bisa jadi Al-Qur’anul Karim tidak secara sharih menyelisihinya, karena memang Al-Qur’anul Karim yang sharih dan hakikat waqi’ (realitas) adalah hal yang qath’i (pasti). Dan dua hal yang qath’i selamanya tidak mungkin saling bertentangan. Jika hal ini telah jelas maka kita beralih kepada permasalahan yang ditanyakan.

Dinyatakan bahwa mereka sekarang dapat menyingkap apa yang ada di dalam rahim dan dapat mengetahui apakah yang di dalam rahim itu perempuan atau lelaki dengan bantuan alat-alat yang canggih. Jika yang dinyatakan itu batil/omong kosong maka tak ada pembicaraan lagi (masalahnya selesai). Namun, jika yang dikatakan itu benar maka hal itu tidaklah bertentangan dengan ayat yang disebutkan (dalam surah Luqman). Ayat tersebut menunjukkan satu dari lima hal gaib [1] yang ada dalam ilmu Allah 'Azza wa Jalla. Adapun urusan gaib yang berkaitan dengan janin adalah menyangkut kadar lamanya berada dalam perut ibunya, kehidupannya, amalnya kelak, rezekinya, dan celaka atau bahagianya. Termasuk dalam hal ini, apakah janin itu lelaki atau perempuan. Semua ini tidaklah diketahui sebelum janin itu diberi bentuk. Adapun setelah dibentuk, pengetahuan tentang janin itu lelaki ataukah perempuan bukan lagi termasuk ilmu gaib. Dengan dibentuknya janin, pengetahuan tentangnya menjadi ilmu syahadah [2] (nyata). Hanya saja, janin itu masih tertutup dalam tiga kegelapan atau tiga penutup [3]. Seandainya penutup tersebut bisa disingkap, niscaya akan jelas urusannya. Tidaklah mustahil di antara sinar yang diciptakan oleh Allah subhaanahu wata’ala, ada sinar kuat yang dapat menembus kegelapan tersebut hingga tampaklah jenis kelamin janin yang dikandung, apakah laki-laki atau perempuan. Ayat tersebut tidak secara terang-terangan menyebutkan bahwa pengetahuan tentang jenis kelamin lelaki dan perempuan (sebagai ilmu gaib). Demikian pula, tidak ada dari As-Sunnah tentang hal tersebut.

Adapun penukilan penanya dari Ibnu Jarir dari Mujahid tentang seseorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tentang apa yang dikandung oleh istrinya, lalu Allah subhaanahu wata’ala menurunkan ayat ini, riwayat ini munqathi’ (terputus sanadnya) karena Mujahid dari kalangan tabi’in (sehingga tidak bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alahi wasallam). Adapun tafsir Qatadah mungkin dibawa kepada pemahaman adanya pengkhususan ilmu Allah subhaanahu wata’ala tentang hal tersebut (yakni tentang apakah janin itu laki-laki atau perempuan) di saat janin belum diberi bentuk. Adapun setelah dibentuk, ilmu tentang hal tersebut diketahui juga oleh selain Allah subhaanahu wata’ala. Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat surah Luqman ini, “Demikianlah, tidak ada selain Allah rahimahullah yang mengetahui apa yang ada di dalam rahim berupa apa yang hendak Dia ciptakan. Akan tetapi, apabila Dia telah memerintahkan keberadaan janin tersebut lelaki atau perempuan, celaka atau bahagia, malaikat yang ditugaskan mengurusi janin pun mengetahuinya. Demikian pula siapa yang Dia kehendaki dari kalangan makhluk-Nya.”

Pertanyaan Anda tentang yang mengkhususkan keumuman firman Allah subhaanahu wata’ala:
“Dan Dia mengetahui apa yang ada di dalam rahim.” (Luqman: 34)
Kami menyatakan, jika ayat tersebut mencakup ilmu tentang jenis kelamin janin setelah pembentukannya (sebagai ilmu gaib) maka yang mengkhususkannya (mengeluarkannya dari bagian ilmu gaib) adalah perkara inderawi dan waqi’ (kenyataan). [4]

Ulama ushul menyebutkan bahwa yang mengkhususkan keumuman Al-Kitab dan As-Sunnah bisa berupa nash (dalil lain), atau ijma’, atau qiyas, atau hal inderawi, atau akal. Ucapan ulama ushul dalam hal ini sudah dikenal. Akan tetapi, jika ayat tersebut tidak mencakup setelah pembentukan janin, namun yang diinginkan hanyalah sebelum pembentukannya (merupakan ilmu gaib) maka tidak ada pertentangan dengan perkembangan ilmu kedokteran yang bisa mengetahui janin itu lelaki atau perempuan.

Alhamdulilah, tidak didapatkan dan tidak akan pernah didapatkan dalam waqi’ ini ada sesuatu yang menyelisihi Al-Qur’anul Karim yang sharih. Hujatan musuh-musuh kaum muslimin terhadap Al-Qur’anul Karim tentang terjadinya beberapa peristiwa yang secara zahir bertentangan dengan Al-Qur’anul Karim, hanyalah karena kedangkalan pemahaman mereka terhadap Kitabullah, atau peremehan mereka karena jeleknya niat mereka. Akan tetapi, ahli agama dan ahli ilmu memiliki pembahasan yang bisa menyampaikan kepada hakikat sehingga dapat mematahkan syubhat mereka. Hanya untuk Allah lah segala pujian, dan hanya Dia yang melimpahkan anugerah.

Manusia dalam masalah ini berada pada dua sisi yang bertentangan, dan ada golongan ketiga yang bersikap
pertengahan.
Sisi yang pertama, mereka yang berpegang dengan zahir Al-Qur’anul Karim yang tidak sharih dan mengingkari seluruh waqi’ yang meyakinkan yang menyelisihinya. Sikap ini membawa kepada celaan terhadap dirinya karena kedangkalan ilmunya atau karena sikap taqshirnya, atau malah celaan diarahkan kepada Al-Qur’anul Karim karena menurutnya Al-Qur’an menyelisihi waqi’ yang meyakinkan.
Golongan yang satu lagi (berada pada sisi yang berseberangan), mereka berpaling dari apa yang ditunjukkan Al-Qur’anul Karim dan hanya mengambil hal-hal materi. Dengan demikian, mereka termasuk orang-orang yang menyimpang (mulhid).
Adapun golongan yang pertengahan mengambil penunjukan Al-Qur’anul Karim dan membenarkan waqi’. Mereka mengetahui bahwa keduanya benar. Tidak mungkin ayat-ayat Al-Qur’an yang sharih bertentangan dengan hal yang diketahui dengan pandangan mata. Mereka pun mengumpulkan pengamalan hal yang naqli (berdasarkan wahyu) dan yang ma’qul (rasional). Dengan sikap seperti ini, selamatlah agama dan akal mereka.

Allah 'Azza wa Jalla memberi hidayah kepada al-haq terhadap orang-orang yang beriman terkait dengan hal yang mereka perselisihkan dan Dia memberi hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki kepada jalan yang lurus. Semoga Allah memberi taufik kepada kita dan saudara-saudara kita kepada hal tersebut dan menjadikan kita orang-orang yang memberikan bimbingan lagi terbimbing, dan pimpinan terdepan yang mengajak kepada kemaslahatan. Tidak ada taufik yang kuperoleh melainkan dengan pertolongan Allah 'Azza wa Jalla. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan hanya pada- Nya pula aku kembali.”

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

(Fatwa no. 23 dari Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatisy Syaikh Muhammad ibn al-Utsaimin rahimahullah, 1/68-70)

Catatan Kaki:

[1] Lima urusan gaib yang disebutkan dalam ayat 34 surah Luqman adalah pengetahuan tentang hari kiamat, turunnya hujan, apa yang ada di dalam rahim, apa yang diusahakan seorang hamba, dan di mana seorang hamba diwafatkan.

[2] Lawan dari ilmu gaib.

[3] Sebagaimana disebutkan dalam surah az-Zumar ayat 6:
“Dia menjadikan kalian dalam perut ibu kalian kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan.”
Al-Hafizh Ibnu Katsir menerangkan dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan tiga kegelapan adalah kegelapan rahim, kegelapan selaput yang menutup anak di dalam rahim, dan kegelapan perut. (Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, 7/63)

[4] Maksudnya, pengetahuan tentang janin itu lelaki atau perempuan setelah dibentuk di dalam rahim bukan lagi termasuk ilmu gaib karena bisa ditunjukkan oleh inderawi/pandangan mata dan kenyataan yang terjadi.

Tentang MEMINTA IZIN SUAMI KETIKA HENDAK KELUAR RUMAH

Al Ustadz Abu Umar Ibrahim Hafizhahullah

Istri tidak boleh keluar rumah ataupun melakukan safar kecuali dengan seizin suami.

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Hendaklah kalian (wahai wanita) tetap tinggal di rumah kalian.” [al-Ahzab:33]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila istri kalian meminta izin untuk pergi ke masjid, janganlah suami melarangnya.” (HR. al-Bukhari no. 4837 dan Muslim no. 666)

Para ulama berkata, “Hadits di atas merupakan dalil yang menunjukkan bahwa izinnya istri ada di tangan suami.”
Seandainya izin itu bukan di tangan suami, niscaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan memerintahkan para suami agar memberikan izin kepada wanita yang ingin pergi ke masjid. Hal ini menunjukkan bahwa urusan keluarnya istri itu di bawah izin suami.

Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memperbolehkan para suami untuk melarang istrinya, jika minta izin untuk ke masjid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang maknanya, “(Wahai sekalian suami, yang di tanganmulah perizinan atau pelarangan), apabila istrimu minta izin kepadamu untuk ke masjid, janganlah kamu melarangnya.”

Sekali lagi, hal ini menunjukkan bahwa wanita tidak boleh keluar rumah kecuali dengan seizin suaminya.

Adapun safar maka lebih layak lagi bagi istri untuk minta izin kepada suaminya. Safarnya istri tanpa izin suami dan tanpa kebutuhan yang mendesak (darurat) adalah haram (tidak diperbolehkan).

Namun (yang perlu diperhatikan para suami), di saat yang sama, suami tidak sepatutnya menyusahkan/melarang istri keluar rumah untuk memenuhi hajatnya, apalagi yang bersifat urgen dan darurat, karena setiap wanita pasti memiliki kebutuhan yang dia perlukan di luar rumah, misalnya: berobat, silaturrahmi, atau kebutuhan lain yang diperlukan untuk kemaslahatan dan kebaikan mereka.

Sekali lagi, wahai suami, tidak seyogyanya kalian untuk menyusahkan, bersikap kaku, dan menyakiti perasaan istri. Istri ingin keluar ke masjid, lalu minta izin kepadamu, ternyata engkau tidak mengizinkannya. Maka dirimu telah terjatuh ke dalam penentangan terhadap petunjuk Rasul agar tidak melarang wanita yang meminta izin kepadamu untuk ke masjid (kecuali kalau dikhawatirkan timbul fitnah/kejelekan, atau tidak aman dari fitnah).

Yang mengherankan, si istri ingin keluar rumah untuk thalabul ilmi yang itu bersifat urgen, lalu engkau melarangnya pula. Padahal, wajib bagimu untuk mengajari dan mendidik istri tentang perkara agama yang dibutuhkan olehnya. Dan ini termasuk hak istri atas suami.

Kecuali ya ikhwah, jikalau keluarnya istri ke sebagian kerabatnya menyebabkan rusaknya hubunganmu dengan istrimu. Setiap istri diizinkan ke rumah kerabatnya, pulang-pulang menjadi buruk akhlaknya, sombong, keras, durhaka, dan semakin berani kepada suaminya. Engkau merasa dengan kepergiannya ke rumah saudaranya justru menimbulkan dampak negatif/kerusakan terhadap istri. Maka,suami yang bijak tentu tidak akan menghalangi istrinya untuk silaturrahmi ke karib kerabatnya, sehingga terjatuh ke dalam perbuatan memutus hubungan silaturrahmi.

Suami harus bisa mengatur dengan baik dalam memberikan izin kepada istrinya. Misalnya, dengan tidak memberikan izin ke rumah kerabatnya tadi, kecuali setelah melewati beberapa waktu lamanya (tidak sering-sering).
Wallahu a’lam bish shawab.

Fawaid dari dars Manhajus Salikin bab ’Isyratin Nisa oleh asy-Syaikh Abdurrahman al-’Adeny hafizhahullah Ta’ala di Markiz Daril Hadits al-Fiyush