Cari Blog Ini

Minggu, 02 Agustus 2015

Tentang DOA KHATAM ALQURAN

📖 DO'A KHOTAM AL-QUR'AN DI DALAM SHOLAT 📖
----------------------

💺🔬 ASY-SYAIKH MUHAMMAD IBNU SHOLIH AL-'UTSAIMIN رحمه اللّٰه

📞 السؤال ٣٨🌹

📒📌 ما قولكم فيما يذهب إليه بعض الناس من أن دعاء ختم القرآن من البدع المحدثة؟

✅ الجواب ٣٨🌻

✖🍂 لا أعلم لدعاء ختم القرآن في الصلاة أصلاً صحيحًا يعتمد عليه من سنة الرسول صلى الله عليه وسلم, ولا من عمل الصحابة رضي الله عنهم. وغاية ما في ذلك ما كان أنس بن مالك رضي الله عنه يفعله إذا أراد إنهاء القرآن من أنه كان يجمع أهله ويدعو، لكنه لا يفعل هذا في صلاته.

📏📑والصلاة كما هو معلوم لا يشرع فيها إحداث دعاء في محل لم ترد السُّنَّة به، لقول النبي صلى الله عليه وسلم : (صلوا كما رأيتموني أصلي) .

💢👋 وأما إطلاق البدعة على هذه الختمة في الصلاة فإني لا أحب إطلاق ذلك عليها ، لأن العلماء - علماء السنة - مختلفون فيها. فلا ينبغي أن نعنف هذا التعنيف على ما قال بعض أهل السنة إنه من الأمور المستحبة، لكن الأولى للإنسان أن يكون حريصًا على اتباع السنة.

📒♻ ثم إن هاهنا مسألة يفعلها بعض الأخوة الحريصين على تطبيق السنة. وهي أنهم يصلون خلف أحد الأئمة الذين يدعون عند ختم القرآن، فإذا جاءت الركعة الأخيرة انصرفوا وفارقوا الناس بحجة أن الختمة بدعة، وهذا أمر لا ينبغي لما يحصل من ذلك من اختلاف القلوب والتنافر، ولأن ذلك خلاف ما ذهبت إليه الأئمة. فإن الإمام أحمد رحمه الله كان لا يرى استحباب القنوت في الصلاة الفجر ومع ذلك يقول : (إذا ائتم الإنسان بقانت في صلاة الفجر فليتابعه، وليؤمن على دعائه).

🌀⚠ ونظير هذه المسألة أن بعض الأخوة الحريصين على اتباع السنة في عدد الركعات في الصلاة التراويح إذا صلوا خلف إمام يصلي أكثر من إحدى عشر ركعة أو ثلاث عشرة ركعة انصرفوا إذا تجاوز الإمام هذا العدد، وهذا أيضا أمر لا ينبغي، وهو خلاف عمل الصحابة رضي الله عنهم.

💦🌹 فإن الصحابة رضي الله عنهم لما اتّم عثمان بن عفان رضي الله عنه في منى متأولا أنكروا عليه الإتمام ومع ذلك كانوا يصلون خلفه ويتمون. ومن المعلوم أن إتمام الصلاة في حال يشرع فيها القصر أشد مخالفة للسنة من الزيادة على ثلاث عشرة ركعة، ومع هذا لم يكن الصحابة رضي الله عنهم يفارقون عثمان، أو يدعون الصلاة معه. وهم بلا شك أحرص منا على اتباع السنة، وأسد منا رأيا، وأشد منا تمسكا فيما تقتضيه الشريعة الإسلامية. فنسأل الله أن يجعلنا جميعا ممن يري الحق فيتبعه ، ويرى الباطل باطلا فيجتنبه.

📞 ASY-SYAIKH DITANYA

📒📌 Apa pendapat Anda, wahai Syaikh tentang sebagian manusia yang berpendapat bahwa do'a ketika khatam Al-Qur'an termasuk bid'ah?

✅ ASY-SYAIKH MENJAWAB

✖🍂 Saya tidak mengetahui do'a khatam Al-Qur'an di dalam sholat, memiliki dalil shohih yang bisa dipegangi dari sunnah Rosululloh Shollallohu 'Alaihi Wasallam dan tidak pula dari amalan para shohabat rodhiyallohu anhum. Paling kuat dalam hal ini adalah perbuatan Anas bin Malik, yaitu jika beliau ingin mengkhatamkan Al-Qur'an beliau mengumpulkan anggota keluarganya dan berdo'a. Akan tetapi beliau tidak melakukan ini dalam sholatnya.

📏📑 Sholat itu sebagaimana yang sudah maklum, tidak disyariatkan padanya untuk membuat-buat do'a yang tidak datang dari sunnah berdasarkan sabda Rosululloh Sholallohu 'Alaihi Wasallam:

(صلّوا كما رأيتموني أصلّي).

"Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat saya sholat. (HR. AL-BUKHORI: 631).

💢👋 Adapun memutlakkan bahwa do'a khotmul qur'an yang dilakukan di dalam sholat sebagai bid'ah, sungguh saya tidak suka memutlakkan demikian, karena para ulama berbeda pendapat tentang masalah ini. Oleh sebab itu, tidak pantas bagi kita untuk bersikap keras seperti ini. Apalagi sebagian Ulama Ahlussunnah wal Jama'ah ada yang menyatakan bahwa ini termasuk perkara yang disenangi (mustahab). Akan tetapi yang lebih utama bagi seseorang adalah bersemangat untuk mengikuti sunnah.

📒♻ Lalu disini saya ingin menyebutkan permasalahan yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin yang sangat antusias untuk menerapkan sunnah. Mereka sholat di belakang salah seorang imam yang berdo'a ketika khotam Al-Qur'an. Ketika sampai pada rokaat terakhir, mereka langsung meninggalkan imam dan pergi dengan alasan bahwa do'a khatam Al-Qur'an adalah bid'ah. Ini adalah hal yang tidak pantas untuk dilakukan, karena dapat menimbulkan perpecahan dan pertikaian. Selain itu, juga menyelisihi para ulama (imam). Karena sesungguhnya Al-Imam Ahmad tidak menganggap sunnah qunut pada sholat subuh. Namun demikian beliau mengatakan:

(إذا ائتم الإنسان بقانت في صلاة الفجر فليتابعه ، وليؤمن على دعائه).

"Jika ada imam yang qunut pada sholat subuh, ikutilah imam tersebut dan hendaklah mengaminkan do'anya".

🌀⚠ Yang semisal dengan permasalahan ini, bahwa sebagian kaum muslimin yang sangat antusias untuk mengikuti sunnah dalam bilangan rokaat sholat tarowih. Jika sholat di belakang imam yang sholatnya lebih dari 11 atau 13 rokaat, mereka langsug keluar, ketika imam melampaui bilangan tersebut. Hal ini juga merupakan perkara yang tidak pantas dilakukan bahkan menyelisihi amalan para sahabat rodhiyallohu 'anhum.

💦🌹 Sesungguhnya, ketika kholifah Utsman bin Affan rodhiyallohu 'anhu menyempurkan sholat di Mina berdasarkan penakwilannya. Para sahabat mengingkari perbuatan beliau. Namun demikian, mereka tetap sholat dibelakangnya dan ikut menyempurnakan sholat mereka (tidak mengqoshor/meringkasnya). Sebagaimana dimaklumi bahwa menyempurnakan sholat dalam keadaan yang disyariatkan padanya qoshor (meringkas sholat-pent), adalah sikap menyelisihi sunnah yang lebih berat daripada sekedar menambah lebih dari 13 rokaat pada sholat tarowih. Namun demikian, tidak ada sahabat yang memisahkan diri dari Utsman bin Affan atau meninggalkan sholat bersamanya. Padahal, tidak diragukan lagi bahwa mereka adalah orang-orang yang paling bersemangat berjalan di atas sunnah, paling lurus akalnya dan paling kuat berpegang teguh dengan apa yang dituntut oleh syariat islamiyah. Kita memohon kepada Alloh agar menjadikan kita seluruhnya termasuk orang-orang yang diberi taufiq untuk melihat yang benar itu benar kemudian mengikutinya dan melihat kebatilan itu adalah batil dan meninggalkannya.

📚 Sumber:
📂📋 ثمانية وأربعون سؤاﻻ في الصيام

📝Alih Bahasa: Miqdad al-Ghifary hafizhahullaah.

=========================
⭐🌈 WA Riyadhul Jannah As-Salafy
=========================
🌿💐🍁🍃💐🍁🍃💐

Tentang MENDAPATI ISTRI SUDAH TIDAK PERAWAN

Soal : Seorang lelaki menikahi seorang gadis. Ketika berhubungan intim si lelaki mendapati istrinya tersebut tidak perawan lagi. Apa yang harus dilakukannya?

Jawaban : Kehilangan keperawanan bisa karena beberapa sebab selain zina. Yang wajib bagi si lelaki untuk berbaik sangka apabila secara zahir si istri adalah perempuan baik-baik dan istiqamah. Sekali lagi wajib husnuzhan dalam hal ini. Memang dahulu si perempuan telah melakukan perbuatan zina kemudian dia bertaubat dan menyesal.

Keperawanan juga bisa hilang karena mengalami haid yang deras. Hal ini di sebutkan oleh ulama.

Bisa juga keperawanan hilang karena melompat dari satu tempat ke tempat yang lain, atau si perempuan jatuh dari tempat yang tinggi. Tidak mesti keperawanan hilang karena perbuatan zina.

Jika si perempuan mengaku keperawanannya hilang karena selain perbuatan zina, tidak ada permasalahan bagi si lelaki. Bisa jadi, dia mengaku hilang karena zina, tetapi dia diperkosa ketika itu, hal ini juga tidak bermudharat, apabila telah berlalu pada si perempuan satu kali haid setelah kejadian tersebut.¹

Bisa jadi pula dia melakukannya dahulu saat dia masih lugu dan bodoh, namun sekarang dia sudah bertobat dan menyesali perbuatannya. Hal inipun tidak memudharatkan si lelaki (suaminya). Tidak sepantasnya si lelaki menyebarkan hal tersebut, justru seharusnya ditutupi/dirahasiakan.

Apabila besar prasangkanya si perempuan itu jujur dan istiqamah, hendaklah tetap dia pertahankan sebagai istri. Jika tidak, dia bisa menceraikannya dengan baik-baik dengan menutupi keadaannya dan tidak membongkar rahasianya yang akan menjadi sebab fitnah dan kejelekan. (Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Ibni Baz, pertanyaan no. 152, 20/286-287)

Disadur dari Majalah Asy Syariah Edisi 105 vol. IX/1436H/2014M
——————————————-
1. Istibra’ rahim : tidak ada janin yang tumbuh dalam rahimnya dengan dia mengalami satu kali haid

Tentang LAKI-LAKI MENCIUM WANITA YANG TERMASUK MAHRAMNYA

Hukum Seseorang Mencium Putrinya atau Mahram yang Lain

Kita tidak menyangsikan bahwa seorang ayah adalah mahram bagi putrinya dan dibolehkan bagi si putri untuk tidak berhijab di hadapan ayahnya. Yang mungkin jadi pertanyaan, bolehkah seorang ayah mencium putrinya yang sudah baligh dan sebaliknya?

Jawaban dari pertanyaan ini adalah perbuatan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam terhadap putrinya, Fathimah, sebagaimana dikisahkan Aisyah:
“Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih mirip dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam ucapan, berbicara maupun duduk daripada Fathimah. Biasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam bila melihat Fathimah datang, beliau mengucapkan selamat datang (ucapan tarhib: Marhaban) padanya. Lalu beliau berdiri menyambutnya dan menciumnya, kemudian menggamit lengannya dan membimbingnya hingga beliau dudukkan Fathimah di tempat duduk beliau. Demikian pula jika Nabi shallallahu alaihi wasallam datang kepada Fathimah, Fathimah mengucapkan selamat datang kepada beliau, kemudian berdiri menyambutnya, menggamit lengannya lalu mencium beliau.” (Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 725)

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz memberi jawaban dari pertanyaan di atas dengan fatwa beliau sebagai berikut: “Tidak ada dosa bagi seorang ayah untuk mencium putrinya yang sudah besar ataupun yang masih kecil tanpa disertai syahwat. Namun ciuman itu diarahkan ke pipi putrinya apabila putrinya telah dewasa sebagaimana hal ini telah tsabit dari perbuatan Abu Bakar Ash-Shiddiq, beliau pernah mencium putrinya Aisyah pada pipinya. (Dan ciuman itu tidak boleh pada bibirnya) karena ciuman pada bibir terkadang akan menggerakkan syahwat maka meninggalkannya lebih utama dan lebih hati-hati. Demikian pula si putri, boleh baginya mencium ayahnya pada hidung atau kepalanya tanpa disertai syahwat. Adapun bila ciuman itu disertai syahwat maka haram bagi semuanya (kecuali antara suami dengan istrinya) dalam rangka menutup fitnah dan menutup perantara yang mengantarkan pada perbuatan fahisyah (keji).” (Al-Fatawa Kitab Ad-Da’wah 1/188, 189. Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, 2/547)

Asy-Syaikh Abdullah bin Humaid berkata: “Tidak sepantasnya seorang lelaki mencium ibunya pada bibirnya. Demikian pula seorang ibu tidak pantas mencium putranya pada bibirnya, sebagaimana tidak pantas seorang ayah mencium putrinya pada bibirnya, atau seorang lelaki mencium saudara perempuannya, atau bibinya atau salah seorang dari mahramnya pada bibirnya. Bahkan ciuman pada bibir ini khusus untuk suami/istri karena akan membangkitkan syahwat bagaimanapun keadaannya. (Adapun selain bibir), tidak apa-apa seorang ibu mencium putranya pada bagian kepala atau keningnya, demikian pula seorang anak laki-laki boleh mencium kepala atau kening ibunya atau yang semisalnya.” (Siaran radio: Barnamij Nur ‘alad Darb seperti dinukil dalam Fatawa Al-Mar’ah, 2/546-547)

Perbuatan Abu Bakar Ash-Shiddiq yang dimaksud Asy-Syaikh Ibnu Baaz di atas adalah sebagaimana dikisahkan Al-Bara’ bin ‘Azib:
“Aku masuk bersama Abu Bakar menemui keluarganya, ternyata Aisyah putrinya sedang berbaring karena diserang sakit panas yang tinggi. Maka aku melihat ayahnya, Abu Bakar, mencium pipinya seraya bertanya: “Bagaimana keadaanmu, wahai putriku?” (HR. Al-Bukhari no. 3918)
Catatan: Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Secara pasti, masuknya Al-Bara’ menemui keluarga Abu Bakar terjadi sebelum turunnya perintah berhijab dan juga ketika itu Al-Bara’ belum berusia baligh, demikian pula Aisyah.” (Fathul Bari, 7/315)
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

Sumber: Asy Syariah Edisi 013