Cari Blog Ini

Selasa, 16 Desember 2014

Tentang MENCELA SHAHABAT NABI

Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
“Janganlah kalian mencela shahabat-shahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian menginfaqkan emas semisal gunung Uhud, niscaya tidak mencapai (tidak bisa menyamai) infaq satu mud salah seorang dari mereka dan tidak pula setengahnya.” (HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 3673 dan Al-Imam Muslim no. 2541 dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu anhu)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
من سب أصحابي فعليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين
"Barangsiapa yang mencela sahabatku, maka dia mendapatkan laknat Allah Subhanahu Wa Ta'ala (dengan dijauhkannya dia dari rahmat Allah), mendapatkan laknat dari para malaikatnya, dan laknat dari manusia seluruhnya."
(Diriwayatkan Imam Ath-Thobroniyy dan dihasankan oleh Imam Albaniy dalam Silsilah al-Ahadits as-Shahihah no: 2340)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhuma berkata: “Janganlah kalian mencela shahabat Muhammad Shallallahu ’alaihi wa sallam. Sungguh, kedudukan salah seorang dari mereka sesaat bersama Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam lebih baik daripada amalan salah seorang kalian selama 40 tahun.”
Dalam lafadz yang lain: “Lebih baik daripada ibadah salah seorang dari kalian sepanjang hidup.” (Riwayat Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah no. 1006 dan atsar ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Albani dalam Tahqiq Syarhul ‘Aqidah Ath-Thahawiyyah hal. 469)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
آيَةُ الْإِيْمَانِ حُبُّ الْأَنصَارِ وَآيَةُ النِّفَاقِ بُغْضُ الْأَنْصَارِ
“Tanda keimanan adalah mencintai sahabat Anshar, dan tanda kemunafikan adalah membenci sahabat Anshar.” (Muttafaqun ‘Alaihi dari Anas bin Malik radhiallahu anhu)
Apabila mencintai sahabat Anshar termasuk iman, maka terlebih lagi mencintai sahabat Muhajirin dan Al-Khulafaur Rasyidin; Abu Bakr, Umar, Utsman dan Ali.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Mencela shahabat Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam adalah haram hukumnya dengan dalil Al Kitab dan As Sunnah.” (Ash-Asharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul, hal. 571)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Mencela shahabat radhiyallahu anhum adalah haram, termasuk perkara keji (buruk) yang diharamkan, baik yang dicela itu dari kalangan shahabat yang terlibat dalam fitnah (peperangan antara sesama muslimin) ataupun selain mereka, karena mereka itu berijtihad dalam peperangan tersebut dan melakukan penafsiran dalam perkara-perkara yang terjadi.”
Al-Qadhi ‘Iyadh berkata: “Mencela salah seorang shahabat termasuk perbuatan maksiat yang termasuk dosa-dosa besar.”
(Syarhu Shahih Muslim, 16/93)

Abu Zur‘ah rahimahullah berkata: “Apabila engkau melihat seseorang mencela salah seorang shahabat Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam, maka ketahuilah orang itu adalah zindiq. Karena keberadaan Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam itu haq di sisi kita, demikian pula Al Qur`an. Dan hanya para shahabat Nabi saja yang menyampaikan Al Qur`an dan Sunnah-sunnah beliau kepada kita. Sementara para zindiq tersebut ingin mencacati persaksian kita terhadap mereka -para shahabat- agar mereka dapat membatilkan Al Qur`an dan As Sunnah yang kita ambil dari para shahabat beliau Shallallahu ’alaihi wa sallam. Justru mereka itulah orang yang lebih pantas dicacatkan keberadaannya, mereka itulah para zindiq.” (Al-Kifayah fi ‘Ilmir Riwayah hal. 49)

Allah Azza wa Jalla berfirman (artinya):
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (at-Taubah: 100)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata setelah menyebutkan ayat di atas:
Sungguh Allah Yang Maha Agung telah mengabarkan bahwa Dia telah meridhai orang-orang terdahulu yang pertama-tama masuk Islam dari kalangan shahabat Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Maka sungguh celaka orang yang membenci dan mencela mereka, atau membenci dan mencela sebagian dari mereka, terlebih lagi celaan terhadap pemuka shahabat, tokoh terbaik dan termulia setelah Rasul, yaitu ash-Shiddiq al-Akbar, Khalifah yang paling agung, Abu Bakar bin Abi Quhafah.
Sesungguhnya ada satu kelompok sempalan yang hina dari kalangan (Syiah) Rafidhah, mereka memusuhi para shahabat yang paling utama, membenci, dan mencela mereka, kita berlindung kepada Allah darinya. Ini menunjukkan bahwa akal mereka telah terbalik, hati mereka telah berubah. Di manakah keimanan mereka terhadap al-Quran ketika mereka mencela dan mencaci orang-orang yang telah diridhai oleh Allah?
Adapun Ahlussunnah, sesungguhnya mereka menyebutkan keridhaan mereka kepada orang-orang yang diridhai oleh Allah, mencela orang-orang yang dicela oleh Allah dan Rasul-Nya, memberikan loyalitas kepada orang-orang yang setia dan taat kepada Allah, serta memusuhi orang-orang yang memusuhi Allah. Ahlussunnah adalah orang-orang yang senantiasa ittiba (mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya), bukan orang-orang yang mengada-adakan perkara baru dalam agama di luar petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Ahlussunnah adalah orang-orang yang meneladani (setiap bimbingan Allah dan Rasul-Nya), dan bukan orang-orang mendahului (lancang dan melanggar bimbingan Allah dan Rasul-Nya). Oleh karena itulah, mereka (Ahlussunnah) adalah Hizbullah (golongan Allah) yang meraih kemenangan dan termasuk hamba-hamba-Nya yang beriman. (Tafsir Ibnu Katsir)

Al-Harits bin ‘Utbah berkata:
Didatangkan ke hadapan ‘Umar bin Abdil ‘Aziz seorang lelaki yang mencela ‘Utsman radhiyallahu anhu.
‘Umar bin Abdul ‘Aziz bertanya: “Apa yang mendorongmu untuk mencercanya?”
“Aku membencinya,” jawab si pencerca.
“Apakah jika engkau membenci seseorang, engkau akan mencelanya?” tanya ‘Umar lagi.
Lalu ia memerintahkan agar si pencerca itu dicambuk 30 kali.
(Dinukil dari kitab Ash-Sharimul Maslul)

Ibrahim bin Maisarah berkata: “Aku belum pernah sama sekali melihat ‘Umar bin Abdil ‘Aziz memukul seseorang, kecuali seorang laki-laki yang mencerca Mu’awiyah, maka ‘Umar memukulnya dengan beberapa kali cambukan.” (Dinukil dari kitab Ash-Sharimul Maslul)

Al-Imam Malik berkata: “Siapa yang mencerca Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam maka ia dibunuh dan siapa yang mencerca shahabat maka ia diberi “pelajaran”. (Dinukil dari kitab Ash-Sharimul Maslul)

Berkata Syaikh al Allamah Ahmad bin Yahya an Najmi rahimahullah:
أنّٓ الصحابة واجبٌ علينا أن نعتقد عدالتهم لأنّٓهم هم الذين حملوا لنا الشرع الاسلامي عن نبينا صلى الله عليه وعلى آله وصحبه وسلم فالطعن فيهم يعتبر طعناً في الدين ؛ لأنّٓنا إذا قدحنا في شهودنا فقد قدحنا في ديننا ، فلايقول في الصحابة ، ويتكلم فيهم إلآّ مفتون ولهذا قال قائل أهل السنة : وما جرى بين الصحاب نسكت , عنه وأجر الاجتهاد نثبت
Sesungguhnya para shahabat itu, wajib bagi kita untuk meyakini sifat adil mereka karena merekalah yang membawakan syariat Islam kepada kita dari Nabi kita shallallaahu alahi wa ala Aalihi wa shahbihi wa sallam.
Maka celaan yang ditujukan kepada mereka dianggap sebagai celaan yang ditujukan kepada agama, karena jika kita mencemarkan para saksi-saksi kita maka sungguh (itu berarti) kita telah mencemarkan agama kita.
Maka tidaklah mengucapkan yang jelek tentang para shahabat dan membicarakan kejelekan mereka  kecuali orang yang terfitnah.
Oleh karena ini, sungguh ada seorang Ahlus Sunnah yang mengatakan:
وما جری بين الصحابة نسكت
عنه وأجر إجتهاد نثبت
Dan apa yang terjadi (perselisihan) di antara para shahabat maka kita diam darinya, dan kita tetapkan adanya pahala ijtihad (pada mereka).
(Syarh Alamis Sunnatil Mansyurah, hal 400)

Mencela shahabat itu ada tiga macam:
Pertama:
Mencela para shahabat Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam dengan mengkafirkan mayoritas mereka atau menyatakan kebanyakan mereka itu fasik. Maka hukum orang yang berbuat seperti ini kafir karena ia telah mendustakan Allah dan Rasul-Nya yang telah memberikan pujian kepada para shahabat dan ridha terhadap mereka. Bahkan siapa yang ragu tentang kekufuran orang yang semisal ini maka ia pun kafir, karena kandungan dari pencelaan tersebut berarti para shahabat Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam yang menyampaikan Al Qur`an dan As Sunnah kepada umat ini adalah orang-orang kafir dan orang-orang fasiq.
Dalam Al Qur`an Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“Kalian adalah sebaik-baik umat yang dikeluarkan untuk manusia.” (Ali ‘Imran: 110)
Sementara sebaik-baik umat ini adalah generasi pertamanya (generasi para shahabat). Namun dengan adanya celaan yang ditujukan kepada generasi pertama ini berarti mayoritas mereka para shahabat Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam adalah orang-orang kafir atau fasiq. Konsekuensinya, umat ini adalah sejelek-jelek umat dan pendahulu umat ini adalah orang-orang yang paling jelek.
Kedua:
Mencela shahabat dengan melaknat dan menjelekkan mereka. Maka ada dua pendapat di kalangan ahlul ilmi, yang satu mengkafirkan pelakunya, adapun yang lain menyatakan pelakunya tidak kafir tapi ia harus dicambuk dan dipenjara sampai mati atau bertaubat dari apa yang diucapkannya.
Ketiga:
Mencela shahabat dengan perkara yang tidak berkaitan dengan agama mereka seperti mengatakan mereka penakut atau pelit. Maka pelakunya tidak dikafirkan namun diberi hukuman ta`zir [1] yang bisa membuat dia jera dari perbuatannya.
(Ash-Sharimul Maslul hal. 586-587, Syarh Lum‘atil I‘tiqad, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 152)

Footnote:
[1] Ta‘zir adalah hukuman yang tidak dapat dikadarkan secara pasti, yang wajib ditunaikan oleh hakim karena adanya pelanggaran terhadap hak Allah atau hak anak Adam. Hukuman ini dilaksanakan dalam setiap maksiat yang tidak ada hukum hadnya dan tidak ada kaffarah-nya secara umum. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 12/254)

Tentang MELAKUKAN SATU IBADAH SUNNAH DENGAN DUA NIAT

Fatwa Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Pertanyaan:
Bolehkah memadukan dua shalat dengan satu niat, seperti sunnah wudhu dan tahiyyatul masjid?

Jawab:
Yang lebih baik adalah masing-masing niat diberi haknya dari shalat, tahiyyatul masjid 2 rakaat dan sunnah wudhu 2 rakaat. Adapun ketika melakukan satu ibadah dengan diringi tambahan satu niat (yang lain), yakni menjadi dua niat, maka ini ditulis baginya niat amal selebihnya. Dan amal kebaikannya ini dilipat gandakan 10 kali lipat (bahkan) sampai 100 hingga 700 kali lipat. Allah melipat gandakan bagi siapa yang Allah subhanahu wa ta’ala kehendaki. Jadi ketika ditulis juga baginya pahala niat amal tambahan ini, dilipat gandakan pula amal kebaikannya itu (yakni) ketika dia menyertakan niat lain bersamaan dengan amal tersebut dengan niatnya. Niat itu sendiri tidak dilipat gandakan sehingga ditulis satu kebaikan. Maka bilamana seseorang shalat sunah fajar dan sekaligus tahiyyatul masjid, kita anggap bahwa Allah menuliskan baginya 100 kebaikan, maka ditambahkan kepada 100 kebaikan sunah fajar tersebut (pahala) satu tahiyyatul masjid, kalau begitu ditulis baginya (pahala) satu niat (tahiyyatul masjid). Adapun bila dia shalat 2 rakaat tahiyyatul masjid dan 2 rakaat sunnah fajar, maka akan ditulis baginya 100 tambah 100 atau 10 tambah 10, sebagaimana tersebut dalam hadits.
Kalau begitu kita bisa gambarkan dengan tiga gambaran, berdasarkan keutamaannya sesuai dengan urutan ini:
Yang paling utama: untuk tiap niat shalat dengan shalat tersendiri.
Gambaran kedua: shalat 2 rakaat dengan dua niat.
Gambaran ketiga: satu shalat dengan satu niat.
Inilah perincian shalat yang lalu, agar tidak disangka oleh orang yang (salah) sangka bahwa orang yang shalat 2 rakaat dengan dua niat bahwa akan dituliskan baginya dua shalat. Tidak. (Bahkan) yang seperti ini ditulis baginya satu shalat tambah satu niat kebaikan. Dan satu niat baik ini kita ketahui dari hadits Abu Hurairah:
“Bila hamba-Ku bertekad untuk melakukan satu amal kebajikan lalu ia terhalangi untuk mengamalkannya, Aku tulis baginya satu kebaikan. Dan bila dia melakukannya Aku tulis baginya 10 kebaikan sampai 100 kebaikan sampai 700 kebaikan bahkan sampai berlipat ganda, dan Allah melipat gandakan sesuai yang Allah kehendaki.” *) [Shahih, HR. Muslim dan yang lainnya]
Demikian pula puasa-puasa sunah dan yang lainnya.

(Fatawa Al-Albani, hal. 273)

*) Dalam Shahih Muslim, lafadznya adalah sebagai berikut:
قَالَ اللهُ : إِذَا هَمَّ عَبْدِي بِحَسَنَةٍ وَلَـمْ يَعْمَلْهَا كَتَبْتُهَا لَهُ حَسَنَةً فَإِنْ عَمِلَهَا كَتَبْتُهَا عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ، وَإِذَا هَمَّ بِسَيِّئَةٍ وَلَـمْ يَعْمَلْهَا لَـمْ أَكْتُبْهَا عَلَيْهِ فَإِنْ عَمِلَهَا كَتَبْتُهَا سَيِّئَةً وَاحِدَةً
“Allah Azza wa Jalla berfirman: ‘Bila hamba-Ku bertekad melakukan suatu amal kebajikan lalu dia tidak mengamalkannya, Aku tulis baginya satu kebaikan. Bila dia melakukannya Aku tulis baginya 10 kebaikan, hingga 700 kali lipat. Dan bila dia bertekad melakukan suatu keburukan lalu dia tidak mengamalkannya, tidak Aku tulis (keburukan) atasnya. Bila dia melakukannya, Aku tulis baginya satu keburukan’.”

Sumber: Asy Syariah Edisi 040

###

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin

Beliau berkata pada
ta’liq/syarah beliau terhadap kitab al-Qawa’id wal Ushul al-Jami’ah Hlm. 168-169, cet. Maktabah as-Sunnah:

“Contoh-contoh yang disebutkan penulis rahimahullah, seseorang masuk ke dalam masjid dalam keadaan belum shalat sunnah rawatib. Ini pada shalat lima waktu yang mana? Shalat zhuhur dan shalat subuh.
Dia masuk masjid setelah adzan dalam keadaan baru saja berwudhu, sehingga di sini dia dituntut melaksanakan shalat sunnah wudhu, tahiyatul masjid, dan sunnah rawatib.
Apakah jika dia shalat dua rakaat saja mencukupi untuk semuanya? Jawabannya, ya. Sebab, tujuannya sama, yaitu melaksanakan shalat dua rakaat setelah wudhu, dua rakaat saat masuk masjid, dan dua rakaat rawatib (tujuan ini seluruhnya tercapai).
Di sini kami katakan: Boleh jadi dia meniatkan ibadah-ibadah ini seluruhnya sehingga dia mendapatkan pahala seluruh ibadah tersebut. Bisa jadi pula, dia meniatkan salah satunya saja maka tinjauan rinciannya adalah sebagai berikut:
- Jika dia meniatkan sunnah rawatib saja, hal itu mewakili lainnya (sunnah tahiyatul masjid dan sunnah wudhu).
- Jika dia meniatkan sunnah wudhu, hal itu mewakili dari sunnah wudhu dan tahiyatul masjid, karena tujuan dari keduanya tercapai. Namun, tidak mewakili sunnah rawatib, karena tujuan yang diinginkan darinya adalah terlaksananya dua rakaat sebelum shalat wajib secara tersendiri (sedangkan di sini tidak diniatkan).”

WA Al Istifadah
WALIS

###

Apakah mungkin menggabungkan niat puasa tiga hari dari setiap bulan dengan niat puasa hari 'Arafah?

Ibnu 'Utsaimin mengatakan:
"Yang dimaksud puasa hari 'Arafah ialah engkau dalam keadaan berpuasa ketika hari ini mendatangimu, sama saja engkau meniatkannya puasa tiga hari dari setiap bulan atau engkau meniatkannya untuk hari 'Arafah. Akan tetapi bila engkau meniatkannya untuk puasa hari 'Arafah, maka tidak mencukupi dari puasa tiga hari. Namun bila engkau meniatkannya sebagai satu hari di antara hari-hari yang tiga dari puasa setiap bulannya, maka sudah mencukupimu dari puasa 'Arafah. Dan bila engkau meniatkan semuanya (niat puasa 'Arafah dan niat puasa tiga hari setiap bulannya), maka ini lebih utama." (Majmu' al-Fatawa 20/14)

Tentang ADZAN DAN IQAMAH KETIKA SAFAR

Asy-Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin رحمه الله

Pertanyaan no. 195:
ما حكم الأذان في حق المسافرين؟
Apa hukum adzan bagi musafir?

Jawab:
هذه المسألة مَحَل خلافٍ، والصواب وجوب الأذان على المسافرين، وذلك أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لمالك بن الحُوَيرث وصحبه رضي الله عنهم: إذا حَضَرت الصلاةُ فليُؤذِّن لكم احدكم، وهم وافدون على رسول الله صلى الله عليه وسلم مسافرون إلى أهليهم، ولأن النبي صلى الله عليه وسلم لم يَدَعِ الأذان ولا الإقامة حضرًا ولا سفرًا، فكان يؤذن فى أسفاره ويأمر بلالاً رضي الله عنه أن يؤذن
Masalah ini terdapat khilaf, tapi yang benar adalah wajibnya adzan bagi musafir, hal tersebut karena Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada Malik bin Al-Khuwairits dan temannya:
إذا حَضَرت الصلاةُ فليُؤذِّن لكم احدكم
"Jika waktu sholat telah tiba hendaklah salah seorang di antara kalian adzan." *)
Dan mereka adalah utusan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam musafir kepada keluarga mereka. Dan juga karena Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak pernah meninggalkan adzan tidak pula iqamah ketika hadir/muqim maupun ketika safar/bepergian. Dan di setiap safar beliau dilakukan adzan dan memerintahkan Bilal radhiyallahu anhu untuk adzan.

*) Dikeluarkan oleh Bukhori, kitab adzan, bab siapa yang berkata: hendaklah adzan dalam safar satu orang muadzin, no. 628; dan Muslim, kitab masjid-masjid, bab siapa yang berhak menjadi imam, no. 674.

Sumber:
Fatawa  Arkanil Islam Asy-Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin رحمه الله

Alih bahasa:
Abdullah Waqii' Al-Jawy
Saudi Arabia

TIS (Thalab Ilmu Syar'i)

###

Asy Syaikh Ubaid bin Abdillah al Jabiri hafizhahullah

Soal:
هل يجِب على الْمنْفرد الأَذان والإِقامة؟
Apakah bagi seorang munfarid (yang melakukan shalat sendirian) untuk mengumandangkan adzan dan iqomat?

Jawab:
إِذا كان يَسْمع أَذان البَّلد فلا يُؤذن، والإِقامة يُقيم إذا أَراد أَن يُصلي. لكن إِذا كان لا يَسْمع أَذان البَلد كَأَّن يَكون بَعيدًا أو مُسافِرًا أَذَّن أَقام، كما أَمَر النبي صلى الله عليه وسلم
Apabila dia telah mendengar adzan di suatu negeri (pemukiman), tidak wajib baginya untuk melakukan adzan. Namun disyariatkan baginya untuk melakukan iqomah apabila hendak shalat.
Akan tetapi jika dia tidak mendengar adzan di suatu pemukiman, seperti dikarenakan jaraknya yang jauh atau sedang safar, disyariatkan baginya untuk adzan dan iqomah. Sebagaimana diperintahkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Alih bahasa: Ustadz Abu Hatim al Jagiry

Sumber:
ar .alnahj .net/fatwa/132

Forum Salafy Indonesia