Cari Blog Ini

Jumat, 07 November 2014

Tentang MEMAKAI SANDAL SEBELAH

Penulis: Ustadz Abdullah Imam hafizhahullah

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Janganlah salah seorang di antara kalian berjalan dengan memakai sandal sebelah. Pakailah keduanya atau (jika tidak) lepaslah keduanya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menyebutkan tentang larangan memakai sandal sebelah. Larangan ini bersifat mutlak, artinya tidak boleh memakai sandal sebelah meskipun jangka waktunya pendek/sebentar. Misalnya, jika kita hendak memakai sandal ketika keluar rumah, ternyata kita dapati sandal yang sebelah kiri agak jauh jaraknya dari yang kanan. Keadaan demikian bukan berarti kita boleh memakai yang kanan terlebih dahulu lalu berjalan 2/3 langkah untuk mengambil yang kiri. Namun yang seharusnya kita lakukan adalah mengambil dan mendekatkan sandal yang kiri kemudian kita pakai yang kanan terlebih dahulu lalu yang kiri tanpa ada jeda waktu di antara keduanya. (lihat Fathu Dzil Jalali Ibnu utsaimin dan syarah Riyadhush Shalihin Ibnu Utsaimin rahimahullah)

Para ulama menyebutkan hikmah dari larangan hadits ini. Ada yang menyatakan bahwa hikmah larangan ini adalah kembali kepada fungsi penggunaan sandal itu sendiri yaitu untuk melindungi kaki. Jika seseorang hanya mengenakan sebelah sandal saja maka ada salah satu dari kakinya yang tidak terlindungi sehingga yang demikian keluar dari fungsi asalnya dan menimbulkan bahaya.
Sebagian yang lain menyatakan bahwa hikmah larangan ini adalah penyeimbangan anggota tubuh. Seseorang yang hanya mengenakan sebelah sandal maka pada hakikatnya dia tidak berbuat adil atau tidak menyeimbangkan anggota tubuhnya bahkan pelakunya bisa dinyatakan lemah akalnya.
Yang lain menyatakan bahwa perbuatan seperti ini merupakan perbuatan dalam rangka mencari ketenaran (syuhrah) dan agar orang lain memperhatikan dirinya sementara yang demikian ini dilarang dalam Islam.
Ulama yang lain menyatakan bahwa mengenakan sebelah sandal ketika berjalan adalah cara dan gayanya setan ketika berjalan. Hal ini berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan ath-Thahawi rahimahullah dari shahabat mulia Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Setan ini berjalan dengan memakai sandal sebelah saja.” (Lihat Fathul Bari karya Ibnu Hajar rahimahullah dan al-Silsilah ash-Shahihah no. 348)

Al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah dalam kitab beliau Subulus Salam menyatakan bahwa larangan dalam hadits ini bersifat makruh bahkan beliau menegaskan bahwa pendapat ini adalah pendapatnya jumhur ulama. Al-Imam an-Nawawi rahimahullah termasuk di antara ulama yang menilai larangan ini bersifat makruh, sebagaimana pernyataan beliau dalam syarah shahih muslim. Hal ini dikarenakan ada hadits lain yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memakai sandal sebelah, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari shahabiyyah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa tali sandal Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terputus sehingga beliau berjalan hanya dengan menggunakan sandal sebelah sampai beliau memperbaikinya.

Namun larangan ini diperkecualikan jika dalam keadaan-keadaan yang darurat atau adanya udzur syar’i, misalkan jika terdapat luka pada salah satu kaki sehingga tidak memungkinkan untuk mengenakan sandal maka tidak mengapa hanya mengenakan sebelah sandal. (Lihat Fathu Dzil Jalali Ibnu Utsaimin dan Syarah Shahih Muslim)

Sumber: buletin-alilmu[dot]net

Tentang BERJALAN TANPA ALAS KAKI

Bolehkah Berjalan Tanpa Alas Kaki?

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan bahwa memakai sandal termasuk bagian dari sunnah demikian pula tidak memakai sandal (tidak beralas kaki) juga bagian dari sunnah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Perbanyaklah memakai sandal karena sesungguhnya senantiasa berkendara selama dia memakai sandalnya.” (HR. Muslim)

Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Fadhalah bin ‘Ubaid beliau menyatakan:
“Dahulu Nabi memerintahkan kami untuk sesekali tidak mengenakan alas kaki.”

Tentunya amalan yang satu ini perlu pula melihat kondisi dan situasi. Jika memang tidak ada mudharat maka yang utama adalah terkadang mengenakan sandal dan terkadang melepasnya. Jika di sana ada mudharat, misalkan terdapat duri-duri di jalan yang akan dilalui maka yang utama adalah mengenakan sandal dan tidak melepasnya. (lihat Syarah Riyadhush Shalihin dan Fathu Dzil Jalali Ibnu Utsaimin)

Penulis: Ustadz Abdullah Imam hafizhahullah

Sumber: buletin-alilmu[dot]net

Tentang DOA KETIKA MEMAKAI BAJU BARU DAN SANDAL BARU

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah dalam Riyadhush Shalihin menyebutkan salah satu bab “Doa yang diucapkan ketika mengenakan baju baru, sandal baru, dan yang semisalnya” lalu beliau membawakan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan at-Tirmidzi dari shahabat mulia Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika memakai baju baru atau yang lainnya beliau mengucapkan:
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻟَﻚَ ﺍﻟْﺤﻤْﺪُ ﺃَﻧْﺖَ ﻛَﺴَﻮْﺗَﻨِﻴْﻪِ ﺃَﺳْﺄَﻟُﻚَ ﺧَﻴْﺮَﻩُ ﻭَﺧَﻴْﺮَ ﻣَﺎ ﺻُﻨِﻊَ ﻟَﻪُ ﻭَﺃَﻋُﻮْﺫُ ﺑِﻚَ ﻣِﻦْ ﺷَﺮِّﻩِ ﻭَﺷَﺮِّ ﻣَﺎ ﺻُﻨِﻊَ ﻟَﻪُ
“Ya Allah, segala puji hanyalah untuk-Mu yang telah mengaruniakan kepadaku (pakaian ini). Aku memohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan akibat memakainya serta aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan akibat yang jelek di saat memakainya.” (Lihat Syarah Riyadhush Shalihin Ibnu Utsaimin rahimahullah dan Tuhfatul ahwadzi)

Tentang MEMAKAN MAKANAN ATAU MENERIMA HADIAH DARI NON MUSLIM YANG BERHUBUNGAN DENGAN HARI RAYA MEREKA

Pertanyaan:
“Bolehkah seorang muslim memakan makanan dari perayaan ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) atau dari perayaan orang musyrik di hari raya mereka atau menerima pemberian yang berhubungan dengan hari raya mereka?”

Jawaban:

“Tidak boleh seorang muslim memakan makanan yang dibuat oleh orang Yahudi dan Nashrani atau orang musyrik yang berhubungan dengan hari raya mereka. Begitu pula seorang muslim tidak boleh menerima hadiah yang berhubungan dengan perayaan tersebut. Karena jika kita menerima pemberian yang berhubungan dengan hari raya mereka, itu termasuk bentuk memuliakan dan menolong dalam menyebarluaskan syi’ar agama mereka. Hal itu pun termasuk mempromosikan ajaran mereka yang mengada-ada dan turut gembira dalam perayaan mereka. Seperti itu pun dapat dianggap menjadikan perayaan mereka menjadi perayaan kaum muslimin. Boleh jadi awalnya mereka ingin mengundang kita, namun diganti dengan yang lebih ringan yaitu dengan memberi makanan atau hadiah saat mereka berhari raya. Ini termasuk musibah dan ajaran agama yang mengada-ada. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻣَﻦْ ﺃَﺣْﺪَﺙَ ﻓِﻰ ﺃَﻣْﺮِﻧَﺎ ﻫَﺬَﺍ ﻣَﺎ ﻟَﻴْﺲَ ﻓِﻴﻪِ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ
“Barangsiapa yang mengada-adakan amalan baru yang bukan ajaran dari kami, maka amalannya tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sebagaimana pula tidak boleh bagi seorang muslim memberi hadiah kepada non muslim yang berhubungan dengan perayaan mereka.
وبالله التوفيق ، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ’Ilmiyyah wal Ifta
Ketua : Syaikh ‘Abdul‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz
Wakil Ketua : Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi
Anggota : Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud

Sumber:
Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, pertanyaan kedua dari fatwa no. 2882, juz 22, hal. 398 – 399

Al-‘Ilmu | العلم
Wa forum berbagai faedah

Tentang MEMAKAN DAGING BUAYA, PENYU, LANDAK, KUDA LAUT, ANJING LAUT, DAN BABI LAUT

HADIS:
Ketika Ibnu Umar ditanya tentang landak, beliau menjawab:
ﻗُﻞْ ﻻ ﺃَﺟِﺪُ ﻓِﻲ ﻣَﺎ ﺃُﻭﺣِﻲَ ﺇِﻟَﻲَّ ﻣُﺤَﺮَّﻣًﺎ
Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan.” sampai selesai ayat
Berkata orang tua yang ada berada disitu:
“Saya pernah mendengar Abu Hurairah berkata:
Ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah tentang hukum landak, maka Rasul bersabda:
خبيثة من الخبائث
“Sesungguhnya dia adalah termasuk binatang yang kotor.”
Maka Ibnu Umar berkata:
Jika Rasul mengatakan demikian, maka hukum landak sebagaimana yang beliau katakan yang sebelumnya kami tidak mengetahuinya.”
[Hadits riwayat Abu Dawud: 37799]

DERAJAT HADIS:
Hadits ini lemah, padanya ada perawi ‘Isa bin Numailah dan ayahnya. Dua perawi ini majhul (tidak diketahui).
Demikian pula tidak diketahui siapa orang tua yang menyebutkan riwayat Abu Hurairah.

PENJELASAN HADIS:
Ketika Ibnu Umar ditanya tentang landak, beliau menjawab:
ﻗُﻞْ ﻻ ﺃَﺟِﺪُ ﻓِﻲ ﻣَﺎ ﺃُﻭﺣِﻲَ ﺇِﻟَﻲَّ ﻣُﺤَﺮَّﻣًﺎ
Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan.”
Artinya, daging landak adalah halal karena tidak termasuk dalam 4 kategori yang disebutkan dalam ayat selanjutnya yang berbunyi:
ﻗُﻞْ ﻻ ﺃَﺟِﺪُ ﻓِﻲ ﻣَﺎ ﺃُﻭﺣِﻲَ ﺇِﻟَﻲَّ ﻣُﺤَﺮَّﻣًﺎ ﻋَﻠَﻰ ﻃَﺎﻋِﻢٍ ﻳَﻄْﻌَﻤُﻪُ ﺇِﻻ ﺃَﻥْ ﻳَﻜُﻮﻥَ ﻣَﻴْﺘَﺔً ﺃَﻭْ ﺩَﻣًﺎ ﻣَﺴْﻔُﻮﺣًﺎ ﺃَﻭْ ﻟَﺤْﻢَ ﺧِﻨْﺰِﻳﺮٍ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﺭِﺟْﺲٌ ﺃَﻭْ ﻓِﺴْﻘًﺎ ﺃُﻫِﻞَّ ﻟِﻐَﻴْﺮِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑِﻪِ ﻓَﻤَﻦِ ﺍﺿْﻄُﺮَّ ﻏَﻴْﺮَ ﺑَﺎﻍٍ ﻭَﻻ ﻋَﺎﺩٍ ﻓَﺈِﻥَّ ﺭَﺑَّﻚَ ﻏَﻔُﻮﺭٌ ﺭَﺣِﻴﻢٌ
“Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu adalah:
- bangkai,
- atau darah yang mengalir,
- daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor,
- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.
Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Rabbmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Sehingga difahami dari ayat tersebut bahwa selain empat perkara tersebut adalah halal, masuk padanya landak.
Inilah yang dijadikan landasan Ibnu Umar tentang landak.
Namun ketika ada lelaki tua yang memberitahukan sabda Rasul bahwa landak termasuk hewan yang menjijikkan, maka Ibnu Umar ruju’ (menarik kembali) ijtihad beliau.

RINGKAS PEMBAHASAN:
Halalnya landak, dikarenakan hadits yang menyebutkan keharamannya lemah, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai dalil.

Rujukan:
[Tashilul Ilmam: 6/14]

Abu Zain Abdullah Iding
Selasa, 29 Dzulhijjah 1436 H

WA Berbagi Faedah [WBF] | https://jendelasunnah.com

###

Pertanyaan kedelapan dari fatwa no. 5394

Soal:
Apakah halal makan hewan-hewan berikut ini: penyu, kuda laut, buaya dan landak. Ataukah haram dimakan?

Jawaban:

Landak halal dimakan, berdasarkan keumuman ayat:
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
“Katakanlah (wahai Nabi) tiadalah aku memperoleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi, karena semua itu adalah kotor, atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (Al An’am: 145)
Dan karena secara asal hukum makanan adalah boleh, hingga jelas apa yang merubah hukumnya.

Adapun penyu, maka jama’ah dari para ulama mengatakan boleh memakannya meskipun tanpa disembelih, berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala:
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ
“Telah dihalalkan bagi kalian buruan laut dan memakannya” (Al Maidah: 96)
Dan berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
هو الطهور ماؤه الحل ميتته
“(Laut itu) suci airnya, halal bangkainya.” (Diriwayatkan oleh At Tirmidziy, An Nasa’iy, Abu Dawud dan yang selain mereka)
Akan tetapi yang lebih berhati-hati adalah dengan disembelih dalam rangka keluar dari khilaf.

Adapun buaya maka ada yang berpendapat boleh dimakan sebagaimana halnya ikan, berdasarkan keumuman ayat dan hadits yang telah disebutkan. Dan adapula yang mengatakan tidak boleh dimakan, karena buaya termasuk hewan buas yang mempunyai taring. Dan yang rojih adalah pendapat pertama (boleh dimakan).

Dan adapun kuda laut maka boleh dimakan sebagaimana keumuman ayat dan hadits yang telah berlalu, dan karena tidak adanya hal yang memalingkan hukumnya. Sebab kuda darat itu hukumnya halal secara nash, lebih-lebih lagi kuda laut.

Wabillãhit Taufíq washallallãhu ‘alã Nabiyyinã Muhammad wa ‘alã ãlihí wa shohbihí wasallam

Al-Lajnah Ad-Dã’imah lil Buhús wal Iftã’
Ketua : Abdul Azíz bin Abdillãh bin Bãz
Wakil : Abdurrozãq Afifiy
Anggota : Abdullãh bin Qu’úd

Sumber:
Fatawa Al Lajnah Ad Da’imah
Jilid 22 Halaman 319

Penyusun:
Syeikh Ahmad bin Abdurrozãq ad Duwaisy

Alih bahasa: Abu Dawud al Pasimiy

WA Thullab al Fyusy dan SLN

###

Asy Syaikh Shalih Fauzan bin Abdillah al Fauzan حفظه الله

Pertanyaan:
أحسن الله إليكم سماحة الوالد، يقول السائل: في قوله تعالى: (أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ) [المائدة:96]، هل يشمل خنزير البحر وكلب البحر؟
Semoga Allah berbuat baik kepada anda wahai syaikh yang mulia.
Ada yang bertanya tentang firman Allah:
Dan telah dihalalkan bagi kalian hewan buruan laut dan makanan laut. (Qs. Almaidah: 96)
Apakah ayat ini juga mencakup penghalalan babi laut dan anjing laut?

Jawaban:
كل ما لا يعيش إلا في البحر فهو من صيد البحر لأنه لا دليل على الإستثناءات، هم قالوا إن التمساح والحية أنها لا تؤكل لكن ما في دليل على هذا، الله جل وعلا عمم فقال: (أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ) [المائدة:96]، وصيده ما لا يعيش إلا فيه، أما التمساح فإنه يعيش في البر والبحر فيغلَّب عليه جانب الحظر، أما ما لا يعيش إلا في البحر فهذا حلال دون استثناء. نعم
Semua hewan yang tidak bisa hidup kecuali di laut maka dikatakan hewan buruan laut, dan tidak ada pengecualian dalam perkara ini.
Sebagian mereka ada yang mengatakan: buaya laut dan anjing laut tidak boleh dimakan!
Akan tetapi pendapat ini tidak memiliki dalil.
Allah berfirman secara umum: Dihalalkan bagi kalian hewan buruan laut dan makanan laut. (Qs. Almaidah: 96)
Dan buruan laut di sini adalah hewan yang tidak bisa hidup kecuali di laut. Adapun buaya, maka dia hidup di darat dan laut maka lebih condong hukumnya ke arah pelarangan. Adapun hewan yang tidak bisa hidup kecuali di laut, maka semuanya halal tanpa pengecualian.

Sumber:
alfawzan .af .org .sa/node/2538

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

Tentang MEMULIAKAN DAN MENGHORMATI ORANG YANG LEBIH TUA

Menghormati orang yang tua bukan hanya budaya, namun bagian dari akhlak mulia dan terpuji yang diseru oleh Islam. Hal ini dilakukan dengan cara memuliakannya dan memerhatikan hak-haknya. Terlebih, bila disamping tua umurnya, juga lemah fisik, mental, dan status sosialnya.

Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيَعْرِفْ حَقَّ كَبِيرَنَا فَلَيْسَ مِنَّا
“Barangsiapa tidak menyayangi anak kecil kami dan tidak mengenal hak orang tua kami maka bukan termasuk golongan kami.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab, lihat Shahih Al-Adab Al-Mufrad no. 271)

Hadits ini merupakan ancaman bagi orang yang menyia-nyiakan dan meremehkan hak orang yang sudah tua, di mana orang tersebut tidak di atas petunjuk Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam dan tidak menepati jalannya.

Menghormati mereka termasuk mengagungkan Allah Subhanahu wata’ala sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam:
إِنَّ مِنْ إِجْلَالِ اللهِ إِكْرَامَ ذِي الشَّيْبَةِ الْمُسْلِمِ وَحَامِلِ الْقُرْآنِ غَيْرَ الْغَالِي فِيْهِ وَالْجَافِي عَنْهُ وَإِكْرَامَ ذِي السُّلْطَانِ الْمُقْسِطِ
“Sesungguhnya termasuk mengagungkan Allah adalah menghormati seorang muslim yang beruban (sudah tua), pembawa Al-Qur’an yang tidak berlebih-lebihan padanya (dengan melampaui batas) dan tidak menjauh (dari mengamalkan) Al-Qur’an tersebut, serta memuliakan penguasa yang adil.” (HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih At-Tarhib no. 92)

Orang tua tentunya telah melewati berbagai macam tahapan hidup di dunia ini sehingga setumpuk pengalaman dimilikinya. Orang yang telah mencapai kondisi ini biasanya ketika hendak melakukan sesuatu telah dipikirkan matang-matang. Terlebih lagi, disamping banyak pengalamannya, juga mendalam ilmu dan ibadahnya. Ini berbeda dengan kebanyakan anak muda yang umumnya masih minim ilmunya, dangkal pengalamannya, dan sering memperturutkan hawa nafsunya.

Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda:
الْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ
“Barakah itu bersama orang-orang tua dari kalian.” (HR. Ibnu Hibban, Al-Hakim, lihat Shahihul Jami’ no. 2884)

Mungkin kita bisa mengambil pelajaran dari fitnah Khawarij (kelompok sesat) di masa sahabat Ali radhiyallahu anhu. Semangat mereka dalam mengamalkan agama tidak diimbangi dengan mengikuti pemahaman para sahabat Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam. Para Khawarij yang umumnya dari kalangan muda terkadang berdalilkan dengan dalil-dalil syariat, sesuatu yang sebenarnya bukan dalil bagi mereka. Para sahabat yang mengetahui sebab turunnya ayat dan sebab periwayatan hadits tentunya lebih tahu maksudnya dari mereka. Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam menjelaskan di antara ciri-ciri Khawarij yang akan muncul adalah:
سَيَخْرُجُ قَوْمٌ فِي آَخِرِ الزَّمَانِ أَحْدَاثُ الْأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الْأَحْلَامِ
“Akan muncul di akhir zaman suatu kaum yang muda umurnya (para pemuda) yang bodoh akalnya.” (HR. Al-Bukhari no. 6930)

An-Nawawi rahimahullah menerangkan:
“Diambil faedah dari hadits ini bahwa kekokohan dan kuatnya pandangan hati adalah ketika seorang telah sempurna umurnya, banyak pengalamannya, dan kuat pemahamannya.”
(Fathul Bari 12/287)

Ada beberapa keadaan yang disyariatkan untuk mengutamakan orang yang lebih tua, di antaranya:

1. Dalam mengimami shalat.

Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Malik bin Al-Huwairits radhiyallahu anhu:
إِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ لِيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمُّكُمْ أَكْبَرُكُمْ
“Bila waktu shalat telah tiba maka hendaklah salah seorang kalian mengumandangkan adzan dan orang yang paling tua mengimami shalat kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 628)
Disebutkan dalam hadits lain, bahwa Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda (yang) artinya:
“Yang mengimami manusia adalah orang yang pandai membaca (memahami) Al-Qur’an. Bila dari sisi bacaan Al-Qur’an mereka sama maka yang paling tahu tentang sunnah. Bila pengetahuan mereka tentang sunnah sama maka yang paling dahulu berhijrah. Bila dalam hijrah mereka sama maka yang paling tua umurnya.” (HR. Muslim)

2. Dalam berbicara dan memberikan keterangan, kecuali yang kecil lebih tahu dan lebih mampu berbicara.

Disebutkan oleh Sahl bin Abi Hatsmah bahwa Abdullah bin Sahl dan Muhayyishah bertolak pergi menuju Khaibar yang pada saat itu ada ikatan perdamaian. Sesampainya di sana keduanya berada di tempat yang berbeda. Setelah itu Muhayyishah datang (menemui temannya), Abdullah bin Sahl, dan ternyata didapati dalam keadaan bersimbah darah, terbunuh. Muhayyishah lalu mengubur temannya kemudian pulang ke Madinah. Setelah itu Abdurrahman bin Sahl (saudara Abdullah yang terbunuh tersebut), Muhayyishah, dan Huwayyishah putra Mas’ud datang menghadap Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam. Abdurrahman yang waktu itu adalah orang paling kecil yang menghadap Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam ingin berbicara, maka Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam mengatakan:
“Hendaknya yang paling tua yang berbicara.”
Maka kedua temannya yang berbicara dan Abdurrahman diam.” (HR. Al-Bukhari no. 3173)
Perhatikanlah.
Meski seorang dalam keadaan tertimpa musibah namun seorang tetap menjaga adab-adab agamanya.

3. Dalam pemberian.

Sebagaimana hadits yang diceritakan oleh Ibnu ‘Umar radhiyallahu anhuma bahwa ia melihat Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersiwak (membersihkan gigi dan lidah dengan batang siwak), lalu beliau memberikan siwak tadi kepada orang yang paling tua. Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam mengatakan:
إِنَّ جِبْرِيلَ أَمَرَنِي أَنْ أُكَبِّرَ
“Sesungguhnya Jibril memerintahkan aku untuk memberikan kepada yang paling tua.” (lihat Ash-Shahihah no. 1555, dan hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad)
Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan:
“Dalam hadits ini ada faedah yaitu mengutamakan orang yang sudah berusia lanjut dalam pemberian siwak. Masuk pula dalam hal ini mendahulukan dalam hal diberi makanan dan minuman, berjalan dan berbicara. Al-Muhallab berkata: ‘Hal ini dilakukan apabila manusia tidak duduk dengan berurutan, bila mereka duduk berurutan maka yang sunnah ketika itu mendahulukan yang kanan’.” (Ash-Shahihah vol. IV/76)
Sahabat Anas bin Malik radhiyallahu anhu menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam diberi susu yang dicampur dengan air. Di sebelah kanan Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam ada seorang badui sedangkan di sebelah kirinya ada Abu Bakr radhiyallahu anhu. Nabi meminum susu tadi lalu memberikannya kepada badui itu. Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam mengatakan:
الْأَيْمَنَ فَالْأَيْمَنَ
“(Dahulukan) yang kanan lalu yang kanan.” (HR. Al-Bukhari no. 5619)

Demikian besarnya hak-hak orang yang sudah tua dan penghormatan kepada mereka sangat ditekankan bila dia itu adalah orangtuanya, kakeknya, pamannya, kerabat atau tetangganya. Karena mereka memiliki hak yang besar sebagai karib kerabat dan tetangga. Orang yang menghormati/memuliakan mereka maka dia akan dihormati saat tuanya. Balasan setimpal dengan perbuatan. Seperti apa kamu berbuat, maka seperti itu pula kamu dibalas.

Disebutkan dari Yahya bin Sa’id Al-Madani, ia berkata, “Telah sampai berita kepada kami bahwa siapa saja yang menghinakan orang yang sudah tua maka ia tidak akan mati sampai Allah Subhanahuwata’ala mengutus seorang yang menghinakannya di saat dia telah tua.” (lihat Al-Fawaid Al-Mantsurah hal. 84 karya Dr. Abdurrazzaq Al-Badr)

Termasuk tanda-tanda orang yang telah menginjak usia lanjut adalah uban yang menghiasi kepalanya, kekuatan fisik yang mengendur, pandangan dan penglihatan yang mulai berkurang ketajamannya. Seorang muslim yang telah mencapai kondisi seperti ini tentunya telah melewati masa-masa yang panjang dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala. Berbagai manis dan getirnya kehidupan telah dilakoninya. Dia pun merasa ajal telah dekat sehingga pendekatan diri kepada Allah Subhanahu wata’ala semakin bertambah. Orang yang panjang umurnya dan baik amalannya adalah sebaik-baik orang, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam:
خَيْرُ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ
“Sebaik-baik orang ialah yang panjang umurnya dan baik amalannya.” (HR. At-Tirmidzi dan dia menghasankannya)

Orang yang beruban rambutnya karena menjalankan ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala, dia memiliki keutamaan. Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ شَابَ شَيْبَةً فِي الْإِسْلَامِ كَانَتْ لَهُ نُوْرًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa beruban dengan suatu uban di dalam Islam maka uban itu akan menjadi cahaya baginya di hari kiamat.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasa’i. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Shahihul Jami’ no. 6307)

Maksudnya, uban tersebut akan menjadi cahaya, sehingga pemiliknya menjadikannya sebagai penunjuk jalan. Cahaya itu akan berjalan di hadapannya di kegelapan padang mahsyar, sampai Allah Subhanahu wata’ala memasukkannya ke dalam jannah (surga). Uban, meski bukan rekayasa hamba, namun bila muncul karena suatu sebab, seperti jihad atau takut kepada Allah Subhanahu wata’ala, maka ditempatkan pada usaha (amalan) hamba. Oleh karena itu, dimakruhkan –bahkan tidak keliru bila dikatakan haram– mencabut uban yang ada di jenggot atau semisalnya. (lihat Faidhul Qadir karya Al-Munawi, 6/202)

Tentang larangan mencabut uban, telah diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَنْتَفُوا الشَّيْبَ فَإِنَّهُ نُورُ الْمُسْلِمِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Janganlah kalian mencabut uban, karena ia merupakan cahaya seorang muslim di hari kiamat.” (HR. Abu Dawud. Al-Imam An-Nawawi dalam Riyadush Shalihin menghasankannya)

Sumber: Asy Syariah Edisi 055
(Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu’thi, Lc)

Tentang MENYAYANGI ANAK KECIL

Bila orang yang telah lanjut usia mendapatkan hak penghormatan dan pemuliaan, demikian pula dengan anak yang masih kecil, dia berhak mendapat kasih sayang yang penuh. Anak kecil yang belum baligh secara umum masih lemah fisik dan mentalnya, serta belum mengetahui persis tentang kemaslahatan untuk dirinya. Kondisi yang seperti ini tentunya menggugah kita untuk memberikan kasih sayang kepadanya, karena beban syariat juga belum ditujukan kepadanya dan pena pencatat dosa pun belum berlaku atasnya. Oleh karenanya, menyayangi anak kecil merupakan keharusan.

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا
“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi anak kecil kami.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Al-Imam An-Nawawi menshahihkannya dalam Riyadhush Shalihin)

Bila sifat belas kasihan dicabut dari seseorang maka hal itu menjadi pertanda kecelakaan baginya.

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لاَ تُنْزَعُ الرَّحْمَةُ إِلاَّ مِنْ شَقِيٍّ
“Tidaklah sifat kasih sayang dicabut melainkan dari orang yang celaka.” (HR. Ahmad. Dalam Shahihul Jami’ no. 7467, Asy-Syaikh Al-Albani menshahihkannya)

Pernah pada suatu saat Nabi shallallahu alaihi wasallam mencium Hasan bin Ali radhiallahu anhuma, cucunya. Waktu itu, di sisi Nabi ada seorang bernama Al-Aqra’ bin Habis At-Tamimi sedang duduk. Maka Al-Aqra’ mengatakan: “Sesungguhnya saya memiliki sepuluh anak, tidak pernah satu pun yang saya cium.” Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melihat kepadanya dan mengatakan:
مَنْ لَا يَرْحَمْ لَا يُرْحَمْ
“Orang yang tidak menyayangi maka tidak disayangi (Allah).” (HR. Al-Bukhari no. 5997)

Lihatlah, betapa meruginya yang tidak mendapat rahmat Allah padahal rahmat-Nya sangat luas. Sungguh balasan kebaikan adalah kebaikan, sebagaimana firman Allah:
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (Ar-Rahman: 60)

Tentunya, menyayangi anak kecil tidak hanya terbatas pada anaknya sendiri bahkan umum sifatnya. Bentuk menyayangi anak kecil juga banyak. Misalnya, dengan mencandainya tanpa ada kedustaan untuk memasukkan kegembiraan pada dirinya, menciumnya, menggendongnya, mengusap kepalanya, menyapa dan menyalaminya, serta mengucapkan salam kepadanya.

Pada suatu saat Anas bin Malik radhiallahu anhu melewati anak-anak kecil lalu ia mengucapkan salam kepada mereka. Anas radhiallahu anhu berkata:
“Dahulu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melakukan demikian.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Termasuk menyayangi anak kecil adalah tidak mengarahkan mereka kepada hal-hal yang membahayakannya.

Sumber: Asy Syariah Edisi 055
(Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu’thi, Lc)

Tentang MENINGGAL DI HARI JUMAT

Asy Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan: Apakah meninggal pada hari jum’at termasuk tanda-tanda khusnul khatimah?

Jawaban:
TIDAK. Meninggal di hari apapun ini sama saja.
Seandainya hari-hari itu (pada kematian seseorang) memiliki keistimewaan tersendiri, niscaya hari senin lebih istimewa. Dikarenakan pada hari tersebut adalah hari di mana Rasulallah shallallahu ‘alaihi wasallam meninggal padanya. Akan tetapi saya tidak mengetahui keistimewaan suatu hari dari hari-hari yang ada, (tidak pula) pada kematian Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.

Sumber : Silsilah Fatawa Nur ‘ala Darb (Fadhail Azminah – kaset no. 374)

Alih bahasa : Ibrohim Abu Kaysa