Cari Blog Ini

Jumat, 26 Juni 2015

Tentang KEWAJIBAN BERPUASA BAGI ORANG YANG LEMAH FISIKNYA SEPERTI ORANG YANG LANJUT USIA DAN ORANG YANG SAKIT MENAHUN

Orang yang lemah untuk melakukan puasa dalam jangka waktu panjang yang tidak bisa diharapkan lagi kekuatannya seperti lanjut usia, sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya dalam waktu dekat seperti kanker, maka yang demikian ini tidak terkena kewajiban puasa dikarenakan ketidakmampuannya sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Allah tidaklah membebani satu jiwa kecuali dengan apa yang dia mampu.” (al-Baqarah: 286)
Akan tetapi wajib baginya untuk memberi makan kepada fakir miskin sebanyak hari puasa yang ditinggalkannya.
(Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin 20/225-238)
Wallahu a’lam bish shawab.  

Penulis:
Abu ‘Abdirrahman Muhammad Rifqi

Sumber:
Buletin Al Ilmu Edisi No. 31/VIII/XIII/1436 H

Tentang KEWAJIBAN BERPUASA BAGI ORANG GILA, ORANG YANG PINGSAN ATAU KEHILANGAN KESADARAN, DAN ORANG YANG PIKUN

Orang gila, yaitu orang yang hilang akal, maka dia tidak terkena kewajiban puasa sampai dia sadar dan tidak sah puasanya kalau ia berpuasa. Kalau dia terkadang sadar dan terkadang gila maka wajib puasa baginya ketika dalam keadaan sadar. Namun apabila pada pertengahan hari penyakit gilanya kambuh maka puasanya tetap sah, karena dari awal dia sudah berniat puasa dalam keadaan sadar. Sehingga tidak wajib baginya untuk mengqadha hari tersebut. Demikian pula sama hukumnya dengan orang yang pingsan pada pertengahan hari. Dan sebaliknya apabila orang yang gila telah sadar pada pertengahan hari maka wajib baginya berpuasa pada sisa waktu hari tersebut dan tidak wajib mengqadha hari tersebut.

Orang tua yang sudah pikun dan tidak mampu membedakan antara perkara yang baik dan buruk maka dia tidak terkena kewajiban puasa dan tidak perlu membayar fidyah karena dia termasuk orang yang tidak terkena beban syariat seperti anak kecil yang belum baligh. Apabila dia terkadang pikun dan terkadang mampu membedakan antara perkara yang baik dan buruk maka wajib puasa baginya ketika mampu membedakan antara perkara yang baik dan buruk.

(Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin 20/225-238)

Penulis:
Abu ‘Abdirrahman Muhammad Rifqi

Sumber:
Buletin Al Ilmu Edisi No. 31/VIII/XIII/1436 H

###

Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz  رحمه الله

Pertanyaan:
مريض أدرك بعض شهر رمضان ثم أصابه فقدان للوعي ولا يزال، هل يقضي عنه أبناؤه لو توفي؟ بارك الله فيكم
Seorang yang sedang sakit mendapati sebagian bulan Ramadhan lalu hilang kesadarannya dan tetap dalam kondisi demikian, apakah anak-anaknya harus membayarkan qadha puasanya seandainya ia meninggal? Semoga Allah memberkahi anda.

Jawaban:
بسم الله والحمد لله، ليس عليه القضاء إذا أصابه ما يذهِب عقله أو ما يسمى بالإغماء، فإنه إذا استرد وعيه لا قضاء عليه، فمثله مثل المجنون والمعتوه، لا قضاء عليه، إلا إذا كان الإغماء مدة يسيرة كاليوم أو اليومين أو الثلاثة على الأكثر فلا بأس بالقضاء احتياطاً، وأما إذا طالت المدة فهو كالمعتوه لا قضاء عليه، وإذا رد الله عقله يبتدئ العمل، ولا على أبنائه – لو مات – أن يقضوا عنه، نسأل الله العافية والسلامة
Bismillah, segala puji hanya milik Allah. Tidak ada kewajiban qadha baginya bila ia tertimpa sesuatu yang menghilangkan akal (kesadaran)nya atau yang disebut dengan pingsan. Karena bila hilang kesadarannya, maka tidak ada kewajiban qadha baginya. Kecuali bila ia pingsan dalam waktu yang relatif singkat seperti sehari, dua hari, atau paling banyaknya tiga hari, maka tidak mengapa melakukan qadha dalam rangka berhati-hati.
Adapun bila pingsan (tidak sadarkan diri) dalam waktu yang relatif panjang maka ia diberi hukum layaknya orang gila (kurang waras), tidak ada kewajiban qadha baginya. Apabila Allah telah mengembalikan akalnya, maka ia kembali memulai amalannya. Dan bagi anak-anaknya, tidak ada kewajiban untuk membayarkan qadha puasanya. Hanya kepada Allah kita memohon kesehatan dan keselamatan.

Sumber:
www .binbaz .org .sa/node/464

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

Tentang KEWAJIBAN BERPUASA BAGI ORANG YANG MENANGANI KEDARURATAN

Orang yang perlu untuk tidak berpuasa dikarenakan adanya keperluan darurat yang memerlukan kekuatan fisik seperti menolong seseorang yang akan tenggelam, terbakar, binasa dan lain sebagainya. Apabila tidak memungkinkan untuk melakukan pertolongan kecuali dengan kekuatan fisik yang mengharuskan baginya untuk makan dan minum maka boleh baginya untuk tidak berpuasa bahkan wajib hukumnya untuk tidak berpuasa dalam kondisi demikian dikarenakan menolong seorang dari ancaman kebinasaan hukumnya adalah wajib sebagaimana dikatakan dalam kaidah, “Tidak akan sempurna kewajiban kecuali dengan suatu perkara maka suatu perkara itupun hukumnya wajib.”
Sehingga orang yang demikian wajib mengqadha dari hari yang ditinggalkannya tersebut.
(Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin 20/225-238)
Wallahu a’lam bish shawab.  

Penulis:
Abu ‘Abdirrahman Muhammad Rifqi

Sumber:
Buletin Al Ilmu Edisi No. 31/VIII/XIII/1436 H

Tentang ANAK-ANAK IKUT BERPUASA

Anak kecil yang belum baligh maka dia tidak terkena kewajiban puasa sampai dia baligh, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, “Pena diangkat (tidak terkena kewajiban syariat) pada 3 golongan: orang yang tidur sampai dia bangun, anak kecil sampai dia mimpi basah (baligh) dan orang gila sampai dia sadar.” (HR. Abu Dawud no. 4403)
Apabila si anak telah baligh pada pertengahan hari maka wajib baginya berpuasa pada sisa waktu hari tersebut dan tidak wajib mengqadha dari waktu yang sebelumnya.
Akan tetapi boleh bagi orang tua memerintahkan anaknya untuk berpuasa sebagai bentuk latihan dalam rangka taat kepada Allah Ta’ala hingga mudah baginya untuk berpuasa ketika dia sudah baligh. Sebagaimana yang dicontohkan oleh para sahabat yang melatih anak-anak mereka untuk berpuasa. Sampai dikisahkan tatkala anak-anaknya menangis karena lapar maka diberikanlah mainan yang terbuat dari bulu kepada anak-anak tersebut hingga lupa dari rasa laparnya. Dan kebanyakan orang tua pada masa sekarang mereka lalai dan tidak melatih anak-anaknya untuk berpuasa. Bahkan didapati sebagian mereka melarang anaknya untuk berpuasa dalam keadaan si anak sangat ingin berpuasa. Orang tua beralasan dengan pelarangan tersebut adalah karena sayang kepadanya (masih kecil). Justru bentuk kasih sayang yang sebenarnya adalah mendidik dan mengenalkan kepada mereka tentang kewajiban-kewajiban syariat seperti melatih untuk berpuasa. Kecuali apabila si anak tidak mampu berpuasa maka tidak mengapa bagi orang tua untuk melarangnya.

Penulis:
Ustadz Muhammad Rifqi

Sumber:
Buletin Al Ilmu Edisi No. 31/VIII/XIII/1436 H

Tentang ZAKAT HARTA PIUTANG

Soal:
Harta piutang (uang yang kita pinjamkan kepada orang lain) apakah wajib dikeluarkan zakatnya?

Jawab:
Piutang ada rinciannya menurut pendapat yang rajih :
1. Pada orang yang mampu melunasi dan amanah dalam melunasi utang, wajib dikeluarkan zakatnya apabila mencapai nishab dan telah melewati satu periode (haul).
2. Pada orang yang tidak mampu melunasi, atau mampu tetapi tidak amanah (menunda-nunda pembayarannya), tidak terkena zakat. Namun, jika suatu ketika terlunasi juga, wajib dikeluarkan zakatnya untuk tahun itu saja (saat terlunasi). (al-Ustadz Muhammad as-Sarbini)

Sumber: Asy Syariah Edisi 081

Tentang WANITA MEMAKAI PENUTUP WAJAH

Soal:
Apa hukum memakai cadar bagi muslimah?

Jawab:
Cadar yang dimaksud adalah penutup wajah, selain jilbab yang dikenakan oleh seorang wanita. Jilbab berbeda dengan cadar. Seorang muslimah yang telah baligh diwajibkan memakai jilbab yang besar. Adapun cadar, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama mewajibkannya bagi muslimah. Adapun sebagian yang lain menyatakan tidak wajib hukumnya, namun sunnah. Perbedaan pendapat ini cukup kuat. Namun, perlu diketahui bahwa perbedaan pendapat ini berlaku pada seorang muslimah yang sudah baligh. Adapun bagi anak-anak, yakni yang belum baligh, maka sudah barang tentu tidak ada kewajiban bagi mereka untuk mengenakan cadar. (al-Ustadz Qomar Suaidi)

Sumber: Asy Syariah Edisi 081

Tentang SIAPA YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

Soal:
Bolehkah zakat fitrah dibagikan kepada selain fakir miskin? Misalnya, dibagikan kepada delapan ashnaf. Mengingat takmir masjid di tempat kami mendapatkan jatah zakat fitrah.

Jawab:
Terdapat perbedaan pendapat dalam masalah ini, tetapi yang benar zakat fitrah hanya khusus untuk fakir miskin. Takmir masjid tidak berhak mendapatkan, walaupun menurut pendapat yang mengatakan zakat fitrah untuk delapan golongan. (al-Ustadz Muhammad as-Sarbini)

Sumber: Asy Syariah Edisi 081

###

Kepada Siapa Zakat Fithrah diberikan?
Asy-Syaikh al-'Utsaimin rahimahullah menjawab:
"Zakat Fithrah tidak diberikan kecuali kepada satu pihak saja, yaitu kaum FAQIR."
(Majmu Fatawa wa Rasa'il 18/259)

Majmu'ah Manhajul Anbiya

###

Bolehkah memberikan Zakat Fithrah kepada pekerja non-muslim?
Asy-Syaikh al-'Utsaimin rahimahullah menjawab:
"TIDAK BOLEH memberikan zakat KECUALI kepada orang faqir dari kalangan muslimin saja."
(Majmu Fatawa wa Rasa'il 18/258)

Majmu'ah Manhajul Anbiya

Tentang BATALNYA PUASA KARENA MENGHIRUP AROMA DARI MAKANAN ATAU WEWANGIAN

Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz  رحمه الله

Pertanyaan:
ما حكم شم العطر أو الطعام أثناء الصيام؟
Apa hukum mencium minyak wangi atau makanan di saat berpuasa?

Jawaban:
شم الطعام لا بأس والعطر لا بأس إلا البخور لا يتنشق؛ لأنه له قوة يذهب إلى الدماغ أما شم الأطياب الأخرى ولاسيما إذا دعت الحاجة إليها لا بأس ليس من المفطرات، لكن إذا كان له قوة شديدة تركه أحسن وأما البخور نفسه العود فلا يتبخر لا يتنشق منه الصائم؛ لأن بعض أهل العلم يرى أنه يفطر فلا ينبغي أن يتنشقه الصائم وهكذا الأطياب المسحوقة  جزاكم الله خيراً
Mencium makanan dan minyak wangi tidaklah mengapa. Kecuali bukhur (wewangian yang dibakar), maka jangan dihirup. Karena bukhur memiliki aroma kuat yang sampai ke otak. Adapun mencium wewangian yang lain terlebih bila memang dibutuhkan, maka tidak mengapa dan bukan termasuk pembatal puasa. Akan tetapi bila memiliki aroma yang sangat kuat, maka meninggalkannya itu lebih utama.
Adapun bukhur itu sendiri adalah uud (kayu gaharu), maka orang yang berpuasa jangan membakarnya dan jangan menghirupnya. Karena sebagian ulama memandangnya dapat membatalkan puasa. Jadi sudah sepantasnya orang yang berpuasa tidak menghirupnya. Demikian juga dengan wewangian-wewangian yang berbentuk bubuk lainnya. Semoga Allah membalas kebaikan kepada kalian semua.

Sumber: 
www .binbaz .org .sa/node/18663

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

###

Menghirup bukhur (asap gaharu) dengan sengaja dalam keadaan tahu: Membatalkan puasa. Adapun sekedar mencium aroma bukhur tanpa sengaja menghirupnya, maka tidak membatalkan. (asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahulloh)

Memakai minyak wangi dan menghirupnya: Tidak membatalkan puasa. (asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dan asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahumalloh)

Sumber: Tanbiihaat Syahri Ramadhon

Alih Bahasa: al Ustadz Syafi’i al Idrus Hafidhohulloh

Faedah dari Majmu’ah Manaabir al-Kitab was Sunnah dengan sedikit perubahan.

Forum Ahlussunnah Ngawi

Tentang MENCICIPI MAKANAN KETIKA BERPUASA

Mencicipi makanan/masakan tidaklah membatalkan puasa, akan tetapi tidak boleh menelannya, dan tidak melakukannya kecuali memang dibutuhkan.
Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abbas radhiallahu anhuma dalam sebuah atsar, “Tidak apa-apa bagi seseorang untuk mencicipi cuka dan lainnya yang akan dia beli.” (Atsar ini dihasankan asy-Syaikh al-Albani di al-Irwa’ no. 937)

###

Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz  رحمه الله

Pertanyaan:
هل يجوز تذوق ملح الطعام وأنا صائمة، وهو لا يروح إلى الحلق بل في طرف اللسان؟
Apakah boleh mencicipi garam pada makanan di saat sedang berpuasa yaitu tidak sampai melewati kerongkongan bahkan hanya di ujung lidah saja?

Jawaban:
لا حرج في ذلك، لا حرج أن المرأة تذوق الطعام، أو الرجل الطباخ لا حرج، كونه يذوقه هل هو مالح هل هو طيب ثم يلفظه لا يبتلع شيء لكن يذوقه ثم يلقيه لا بأس في ذلك، لا في حق المرآة ولا في حق الرجل الطباخ، لا حرج في هذا بحمد لله
Tidak mengapa yang demikian. Tidak mengapa seorang wanita mencicipi makanan ataupun koki laki-laki. Yang demikian tidak mengapa. Keadaannya merasakan makanan, apakah asin atau sudah lezat, kemudian melepehnya kembali tanpa menelan apapun, akan tetapi hanya mencicipi kemudian melepehnya, maka yang demikian tidak mengapa. Sama apakah itu pada hak tukang masak laki-laki maupun perempuan. Hal itu tidak mengapa walhamdulillah.

Sumber:
www .binbaz .org .sa/node/18701

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia