Cari Blog Ini

Rabu, 17 Juni 2015

Tentang KEPUTIHAN DAN CAIRAN YANG KELUAR DARI VAGINA

HUKUM AR-RUTHUBAH 
Al-Ustadzah Ummu Muhammad

Saudariku muslimah, pada edisi yang lalu telah dibahas dua cairan yang keluar dari tubuh wanita, yaitu madzi dan mani. Pada edisi kali ini akan dibahas cairan yang ketiga, yaitu ruthubatu farji al-mar’ah (kelembaban pada kemaluan wanita).

Pengertian ar-ruthubah (الرُّطُوبَة):
Secara bahasa, الرَّطْبُ (basah) adalah lawan الْيَبْسُ (kering). Jadi, الرُّطُوبَةadalah keadaan basah/lembab.
Secara istilah, dijelaskan oleh an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (2/536), “Ruthubatu farji al-mar’ah adalah cairan putih yang wujudnya antara madzi dan keringat.”
Ar-Ruthubah keluar dari bagian dalam vagina, sering kali menjelang dan seusai haid serta pada masa kehamilan.

Penulis bawakan ringkasan tulisan Dr. Ruqayyah bintu Muhammad al-Muharib, dosen dan asisten profesor di Fakultas Tarbiah di Riyadh. Tulisan yang berjudul Hukmu ar-Ruthubah ini telah dikoreksi dan disetujui oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah.
Berikut penjelasan Dr. Ruqayyah:

Di antara masalah yang dihadapi para wanita adalah masalah thaharah (bersuci). Mereka bingung tentangnya, dan mayoritas mereka terjatuh pada waswas (keragu-raguan) ataupun kesalahan, baik karena kebodohan maupun karena ketidak pedulian.
Pertanyaan terbanyak yang diajukan oleh para wanita pada masa ini adalah seputar ar-ruthubah yang keluar dari kemaluan wanita: apakah hukumnya najis atau suci, membatalkan wudhu ataukah tidak.
Pengetahuan tentang masalah ini dibutuhkan karena ruthubah dialami oleh seluruh wanita; bukan penyakit, cacat, ataupun sesuatu yang langka. Permukaan vagina selalu lembab, sama halnya dengan permukaan bagian tubuh yang berlendir lainnya. Jumlah ruthubah yang keluar pun berbeda-beda di antara para wanita.
Tidaklah benar pendapat yang menyatakan bahwa ruthubah hanya menimpa sebagian wanita. Sebab yang menimpa sebagian wanita adalah cairan akibat penyakit, yaitu keputihan. Keputihan adalah cairan berlebih yang keluar dari vagina, kadang disertai rasa gatal dan bau yang tidak sedap; kental dan berwarna kekuning-kuningan, keabu-abuan, sampai kehijau-hijauan.
Karena setiap wanita wajib dalam keadaan suci ketika akan melaksanakan shalat, dia harus mengetahui hukum ruthubah ini. Apabila tidak mengetahui hukumnya, bisa jadi dia akan mengulang-ulang wudhunya, ditimpa rasa was-was, atau mengulangi shalatnya. Oleh karena itu, seyogianya dia mengetahui hukum ruthubah ini dengan dalil syar’i berdasarkan pemahaman as-Salaf ash-Shalih.
Dari tubuh wanita, ada cairan-cairan yang keluar selain dari dua jalan (qubul dan dubur), seperti ingus, air liur, air mata, keringat, dan ruthubah. Wanita juga mengeluarkan cairan dari dua jalan, yaitu air seni dan kotoran, yang hukumnya najis dan membatalkan wudhu. Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah membatasi jalan keluarnya hadats, yaitu dubur dan kemaluan saja, baik pada pria maupun wanita.
Di kemaluan wanita ada dua jalan:
- Jalan keluarnya air seni; merupakan jalan keluarnya hadats; dan
- Jalan keluarnya bayi yang bersambung dengan rahim.

Ruthubah yang Keluar dari Rahim Wanita, Najiskah Hukumnya?
Sesungguhnya, ruthubah pada wanita tidak keluar dari saluran kencing, tetapi dari saluran lain yang bersambung dengan rahim. Ruthubah ini diproduksi oleh kelenjar di saluran rahim. Ruthubah ini menyerupai keringat, ingus, dan ludah.
Dalam kitab-kitab hadits, tidak didapati dalil, baik yang marfu’ (langsung dari Nabi shalallahu ‘alahi wasallam) maupun mauquf (dari sahabat), yang menyatakan kenajisan ruthubah. Tidak ada pula sahabat, tabi’in, dan atba’ut tabi’in yang berpendapat bahwa ruthubah hukumnya najis.
Banyak dalil tentang sucinya ruthubah, di antaranya:
1. Hukum asal segala sesuatu adalah suci, kecuali apabila ada dalil yang menyatakan kenajisannya.
Kaidah ini dijadikan dalil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah tentang sucinya mani. Beliau berkata, “Hukum asal segala sesuatu adalah suci. Maka dari itu, kita wajib menetapkan kesucian mani sampai datang kepada kita dalil yang menyatakan kenajisannya. Kami telah meneliti dalil-dalil, tetapi tidak ada yang menyatakan kenajisannya. Oleh karena itu, diketahuilah bahwa segala sesuatu yang tidak mungkin dihindari adalah dimaafkan.”
Hukum tersebut juga berlaku pada ruthubah, bahkan lebih dibutuhkan. Sebab, keluarnya mani terjadi pada situasi tertentu, dan seseorang bisa berhati-hati agar tidak terkena mani meskipun dia hanya memiliki sedikit pakaian dan tempat tidur. Namun, tidak mungkin seorang wanita menghindar dari ruthubah walaupun dia memiliki banyak pakaian dan tempat tidur. Kalau begitu, bagaimana mungkin digambarkan bahwa syariat memerintahkan agar ruthubah dihindari, sementara ruthubah ini sering dialami oleh wanita dan tidak diketahui kapan keluarnya; keluarnya bukan karena syahwat, bukan pula karena hal lain; keluar tanpa terasa ketika seorang wanita sedang tidur ataupun sedang beraktivitas; jumlahnya kadang sangat sedikit dan kadang banyak? Berhati-hati agar tidak terkena ruthubah sangatlah sulit dan lebih pantas untuk dimaafkan.
2. Apabila ruthubah ini najis, tentu Nabi shalallahu ‘alahi wasallam menjelaskannya kepada istri-istri dan putri-putri beliau serta wanita mukminin seluruhnya.
Seandainya mereka (para shahabiyyah) belum tahu tentang kesuciannya, tentu mereka akan menanyakannya karena merekalah wanita yang belajar agama tanpa terhalangi oleh rasa malu.
3. Telah tsabit bahwa para shahabiyyah tidak menghindari ruthubah. Mereka juga tidak mencuci pakaian mereka kecuali apabila terkena sesuatu yang kenajisannya telah diketahui, seperti darah haid. *)

Apakah Ruthubah Membatalkan Wudhu?
Dalam kitab-kitab tentang pembatal-pembatal wudhu, tidak saya (Dr. Ruqayyah) temukan ulama yang membahas masalah ruthubah secara panjang lebar atau memasukkannya dalam pembatal-pembatal wudhu, baik dengan dalil al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’, maupun dengan ucapan sahabat, tabi’in, ataupun salah seorang dari imam yang empat (al-Imam asy-Syafi’i, al-Imam Malik, al-Imam Ahmad, dan al-Imam Abu Hanifah).
Meng-qiyaskan ruthubah dengan salasul baul (kencing yang terus-menerus keluar; beser) tidaklah dibenarkan dan tidak dilandasi dalil. Ada beberapa alasan:
1. Telah berlaku kebiasaan meng-qiyaskan sesuatu yang jarang terjadi dengan sesuatu yang sering terjadi, dan sesuatu yang sedikit dengan sesuatu yang banyak, bukan sebaliknya. Ruthubah menimpa semua wanita, sedangkan salasul baul sangat jarang terjadi dan merupakan penyakit yang menimpa segelintir orang. (Sesuatu yang jarang terjadi diterangkan hukumnya oleh Nabi shalallahu ‘alahi wasallam. Namun, jika tidak ada dalil yang jelas dan shahih tentangnya, kembali ke kaidah bahwa hukum asal sesuatu adalah suci dan tidak membatalkan wudhu).
2. Qiyas dipakai pada dua hal yang mempunyai kesamaan sifat. Adapun ruthubah dan salasul baul, sifatnya berbeda. Ruthubah itu suci, sedangkan air kencing itu najis dan kotor. Kita diperintah untuk bersuci dari air kencing, tetapi tidak diperintah untuk bersuci dari ruthubah. Bahkan, Allah Subhanahu wataala menamai ruthubah dengan thaharah, sebagaimana firman-Nya,
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid adalah kotoran,maka hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kalian mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan oleh Allah kepada kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri’.” (al-Baqarah: 222)
Allah menamai keluarnya ruthubah dengan thaharah dan menjadikannya sebagai tanda berakhirnya haid. Juga, seandainya ruthubah ini najis, tidak ada bedanya antara menggauli wanita di qubul dan di dubur. Bukankah menggauli wanita pada duburnya itu haram disebabkan di antaranya dubur adalah tempat najis? Hal ini tidak dibenarkan oleh syariat dan akal. Ruthubah adalah hal yang biasa dan alami, sedangkan salasul baul adalah penyakit dan jarang terjadi.
3. Mengqiyaskan ruthubah dengan angin yang keluar dari dubur juga tidak dibenarkan karena jalan keluarnya berbeda. Mengapa ruthubah tidak di-qiyaskan dengan angin yang keluar dari qubul? Keduanya mempunyai kesamaan sifat, yaitu suci dan keluar dari jalan yang suci (qubul). Oleh karena itu, seharusnya ruthubah di-qiyaskan dengan angin yang keluar dari qubul.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa angin yang keluar dari qubul tidak membatalkan wudhu, di antara mereka adalah Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Kata beliau, “(Angin yang keluar dari qubul) ini tidak membatalkan wudhu karena keluarnya bukan dari tempat najis, berbeda halnya dengan angin yang keluar dari dubur.”

Dalil bahwa Ruthubah Tidak Membatalkan Wudhu
Berikut dalil-dalil yang menunjukkan bahwa ruthubah tidak membatalkan wudhu.
1. Tidak ada satu pun hadits yang shahih, hasan, bahkan dha’if yang menyebutkan masalah ruthubah. Selain itu, tidak ada seorang pun ulama yang mengharuskan wanita berwudhu setiap kali shalat disebabkan oleh keluarnya ruthubah sebagaimana keadaan wanita yang istihadhah.
2. Para shahabiyyah pada zaman Nabi shalallahu ‘alahi wasallam serupa dengan wanita lainnya dalam hal fitrah dan penciptaan. Tidak seperti anggapan sebagian orang bahwa ruthubah ini sesuatu yang baru ada pada masa ini atau hanya menimpa sebagian wanita, ruthubah justru lazim menimpa semua wanita apabila wanita itu sehat dan memiliki rahim yang sehat. Keadaannya seperti air mata di mata, ingus di hidung, dan air liur di mulut.
3. Para shahabiyyah juga shalat bersama Nabi shalallahu ‘alahi wasallam, dan beliau memperlamakan rukuk dan sujud. Tidak ada riwayat yang menceritakan bahwa sebagian shahabiyyah itu membatalkan shalatnya untuk mengulang wudhunya karena keluarnya ruthubah.
4. Membebani wanita untuk berwudhu setiap hendak shalat karena ruthubah yang keluar terus-menerus, atau untuk mengulang wudhu apabila keluarnya terputus-putus, adalah perkara yang berat dan menyulitkan.
5. Allah menamai haid dengan kotoran (najis). Adapun yang selain haid adalah suci. Allah  berfirman (yang artinya),
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid adalah kotoran, maka hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kalian mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan oleh Allah kepada kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri’.” (al-Baqarah: 222)
6. Al-Imam al-Bukhari, dalam “Kitab al-Haidh, Bab ash-Shufrah wal Kudrah fi Ghairi Ayyamil Haidh”, meriwayatkan hadits dari Ummu ‘Athiyyah yang berkata,
كُنَّا لاَ نَعُدُّ الصُّفْرَةَ وَالْكُدْرَةَ شَيْئًا
“Kami tidak menganggap ash-shufrah (cairan kekuningan) dan al-kudrah (cairan keruh) sebagai bagian dari haid.”
Saya katakan bahwa apabila para shahabiyyah tidak menganggap ash-shufrah sebagai bagian dari haid, tentu lebih utama tidak menganggap ruthubah sebagai bagian haid.
Ash-shufrah dan al-kudrah tidak mewajibkan mandi ataupun wudhu. Apabila keduanya mewajibkan wudhu, tentu Ummu ‘Athiyyah telah menjelaskannya.
7.  Menjadikan ruthubah sebagai pembatal wudhu, padahal tidak ada dalilnya, berarti mengeluarkan wanita dari ayat:
“Dan Dia tidak menjadikan kesukaran untuk kalian dalam agama.” (al-Hajj: 78)
Mewajibkan bagi wanita sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya adalah pembebanan yang berat, padahal agama ini mudah.

Demikianlah penjelasan Dr. Ruqayyah tentang ruthubah. Kesimpulannya, ruthubah hukumnya suci dan tidak membatalkan wudhu; badan dan pakaian yang terkena tidak wajib dicuci. Adapun mencucinya hanya bertujuan membersihkan, bukan menyucikan. Wallahu a’lamu bish shawab.

Tulisan di atas merupakan terjemahan ringkas, disertai beberapa penambahan, dari kitab kecil yang berjudul Hukmu ar-Ruthubah karya Dr. Ruqayyah bintu Muhammad al-Muharib, dosen sekaligus asisten profesor di Fakultas Tarbiah di Riyadh.
Makalah tersebut telah dikoreksi dan disetujui oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah. Tertulis pada sampul kitab kecil ini ucapan asy-Syaikh al-‘Utsaimin, “Saya telah mengoreksi tulisan ini, maka saya berpendapat bahwa dalil terkuat yang menunjukkan bahwa ruthubah tidak membatalkan wudhu ialah ‘hukum asal segala sesuatu adalah tidak membatalkan wudhu kecuali apabila ada dalilnya’.”
Demikian pula, telah disebutkan di sela-sela makalah, bahwa asy-Syaikh al-Albani juga sependapat dengan kesimpulan tulisan ini.

*) Di antara dalil yang menunjukkan kesucian ruthubah adalah hadits dari ‘Aisyah yang mengerik mani kering dari pakaian Nabi dengan kukunya, kemudian Nabi shalallahu ‘alahi wasallam shalat dengan pakaian tersebut. Ihtilam (mimpi basah) tidak mungkin dialami oleh Nabi shalallahu ‘alahi wasallam karena mimpi seperti ini adalah permainan setan terhadap orang yang tidur. Oleh karena itu, mani yang menempel pada pakaian Nabi shalallahu ‘alahi wasallam pastilah mani karena beliau berjima’ dengan istri beliau. Dapat dipastikan pula bahwa mani tersebut melewati kemaluan istri beliau, bercampur dengan ruthubah, kemudian mengenai pakaian beliau. Seandainya ruthubah najis, tentu mani yang mengenai pakaian beliau menjadi najis. Namun kenyataannya, mani tersebut beliau shalallahu ‘alahi wasallam biarkan menempel pada pakaian beliau dan tidak dicuci, justru cukup dikerik saja. Hal ini menunjukkan kesucian mani dan ruthubah. Demikian penjelasan an-Nawawi  dalam al-Minhaj Syarh Shahih Muslim (3/189).

Sumber:
Majalah Muslim Qonitah edisi 07

Forum Salafy Indonesia

###

Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz رحمه الله

Pertanyaan: 
هذه السائلة تقول في سؤال ثانٍ: قبل حلول الدورة الشهرية تأتي معي مادة بنية اللون تستمر خمسة أيام، وبعد ذلك يأتي الدم الطبيعي ويستمر الدم الطبيعي لمدة ثمانية أيام بعد الأيام الخمسة الأولى، وتقول أنا أصلي هذه الأيام الخمسة، ولكن أسأل: هل يجب علي صيام وصلاة هذه الأيام أم لا؟ أفيدوني أفادكم الله
Penanya ini berkata dalam soalnya yang kedua: Sebelum datang siklus bulanan, cairan coklat keluar secara kontinu selama lima hari. Setelah itu baru datang darah thabii (darah kebiasaan wanita) yang berlanjut hingga delapan hari setelah lima hari yang pertama tersebut. Ia berkata: Saya tetap mengerjakan shalat di lima hari pertama tersebut, akan tetapi saya ingin bertanya: Apakah wajib bagiku mengerjakan puasa dan shalat pada hari-hari tersebut ataukah tidak? Berilah saya faedah, semoga Allah memberikan faedah kepada anda.

Jawaban:
إذا كانت الأيام الخمسة البنية منفصلة عن الدم فليست من الحيض، وعليك أن تصلي فيها وتصومي وتتوضئي لكل صلاة؛ لأنه في حكم البول، وليس لها حكم الحيض، فهي لا تمنع الصلاة ولا الصيام، ولكنها توجب الوضوء كل وقت حتى تنقطع كدم الاستحاضة. أما إذا كانت هذه الخمسة متصلة بالحيض فهي من جملة الحيض، وتحتسب من العادة، وعليك ألا تصلي فيها ولا تصومي
Apabila lima hari tersebut di mana cairan coklat itu keluar padanya terpisah dari keluarnya darah thabii (darah kebiasaan wanita), maka berarti cairan tersebut bukanlah darah haidh. Sehingga di hari-hari tersebut, wajib bagimu menunaikan shalat, puasa, dan berwudhu setiap kali hendak shalat. Karena cairan tersebut berada pada hukum air kencing dan bukan hukum haidh. Sehingga tidak menghalangi dari penunaian shalat dan puasa. Akan tetapi, wajib bagimu berwudhu tiap kali hendak shalat sampai cairan itu berhenti sebagaimana darah istihadhah.
Adapun bila lima hari ini bersambung dengan siklus haidhnya, maka cairan tersebut termasuk darah haidh dan teranggap dari kebiasaannya tersebut. Wajib bagimu untuk tidak shalat dan tidak puasa di hari-hari tersebut.
وهكذا لو جاءت هذه الكدرة أو الصفرة بعد الطهر من الحيض فإنها لا تعتبر حيضاً، بل حكمها حكم الاستحاضة وعليك أن تستنجي منها كل وقت، وتتوضئي وتصلي وتصومي، ولا تحتسب حيضاً، وتحلين لزوجك؛ لقول أم عطية رضي الله عنها: ((كنا لا نعد الكدرة والصفرة بعد الطهر شيئاً)) أخرجه البخاري في صحيحه، وأبو داود، وهذا لفظه. وأم عطية من الصحابيات الفاضلات اللاتي روين عن النبي صلى الله عليه وسلم أحاديث كثيرة رضي الله عنها. والله ولي التوفيق
Demikian juga seandainya cairan coklat atau kuning ini datang setelah masa suci dari haidh, juga tidak teranggap sebagai darah haidh. Bahkan hukumnya adalah hukum istihadhah. Wajib bagimu beristinja (cebok) darinya tiap kali waktu shalat, berwudhu, mengerjakan shalat, berpuasa, dan tidak teranggap sebagai darah haidh, dan kamu juga halal bagi suamimu. Hal ini berdasarkan ucapan Ummu Athiyyah radhiyallahu anha:
Kami tidak memperhitungkan cairan coklat dan kuning yang keluar setelah suci sebagai haidh.
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam Shahih-nya dan Abu Dawud, dan ini adalah lafadz riwayat Abu Dawud.
Sedangkan Ummu Athiyyah termasuk di antara para shahabiyah yang utama yang banyak meriwayatkan hadits-hadits dari Nabi shallallahu alaihi was salam, radhiyallahu anha. Allah sajalah yang maha pemberi taufik.

Sumber:
www .binbaz .org .sa/node/445

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

###

Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz رحمه الله

Soal:
عندما تأتيها الدورة الشهرية يستمر نزول الدم حوالي أربعة أيام ثم ينقطع، وتأتي بعد ذلك كدرة وتستمر تقريباً ثلاثة أيام، ثم يعاودها الدم مرة أخرى، ولكنه دم مختلف عن الذي يأتيها في بداية الدورة، ويستمر تقريباً ثم ينقطع، وتأتيها بعد ذلك كدرة ثم صفرة، وتستمر حوالي أربعة أيام، ويكون المجموع اثنا عشر يوماً، السؤال هو: هل تدع الصلاة طوال الاثني عشر يوماً كلها، أم ماذا تفعل؟
Ketika siklus bulanan datang, darah terus keluar sekitar empat hari lalu berhenti. Setelah itu keluar cairan coklat yang berlanjut kurang lebih sampai tiga hari. Kemudian darah kembali muncul sekali lagi, namun darah tersebut berbeda dengan darah yang keluar di awal siklus. Darah tersebut berlanjut kurang lebih satu hari kemudian berhenti. Setelah itu keluar cairan coklat kemudian kuning dan terus berlanjut hingga kurang lebih empat hari. Sehingga total seluruhnya adalah dua belas hari.
Pertanyaannya: Apakah wanita tersebut meninggalkan shalat sepanjang dua belas hari tersebut seluruhnya atau apa yang harus ia lakukan?

Jawaban:
تدع الصلاة أيام الحيض، أيام عادتها، فإذا انتهت ورأت الطهارة تصلي وتصوم، ولا تلتفت إلى هذه الدماء الأخرى النقط أو الصفرة أو ما أشبه ذلك، كل هذا دم فساد، تحفظ بشيء من القطن في فرجها، تتحفظ، وتتوضأ لكل صلاة حتى تأتي الدورة الأخرى، وهذه الأشياء التي تقطعت عليها، هذا دم فاسد لا يلتفت إليه، بل عليها أن تصوم وتصلي وتتوضأ لكل صلاة، قالت أم عطية رضي الله عنها: كنا لا نعد الكدرة ولا الصفرة بعد الطهر شيئا. ولما اشتكى بعض النساء إليه صلى الله عليه وسلم قال: (امكثي قدر ما كانت حيضتك ثم اغتسلي وصلي). وقال لحمنة: (امكثي ستة أيام أو سبعة أيام ثم صلي وصومي ثلاثا وعشرين أو أربعا وعشرين). المقصود أنها تمكث أيام العادة وما بعدها تصلي وتصوم، وإذا كان معها دم أو قطرات أو صفرة أو شيء تتحفظ بقطن في فرجها وتتوضأ لكل صلاة، كل ما دخل الوقت تتوضأ وتصلي
Ia meninggalkan shalat di hari-hari haidhnya saja, di hari-hari kebiasaan wanitanya. Apabila telah selesai dan melihat tanda suci, maka ia shalat dan puasa. Jangan hiraukan bercak-bercak darah lainnya, cairan kuning, atau yang semisal dengannya. Semua ini adalah darah fasad, maka ia jaga dengan kapas (pembalut) pada kemaluannya. Ia jaga dan berwudhu setiap kali hendak shalat hingga datang siklus berikutnya.
Cairan-cairan yang terputus-putus, tidak teratur keluarnya ini merupakan darah fasad (rusak) yang tidak perlu dihiraukan. Wajib baginya berpuasa, shalat, dan berwudhu setiap kali hendak shalat. Ummu Athiyah radhiyallahu anha berkata:
Kami tidak memperhitungkan cairan coklat maupun kuning yang keluar setelah suci sebagai haidh.
Juga ketika sebagian wanita mengadu kepada beliau shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda:
امكثي قدر ما كانت حيضتك ثم اغتسلي و صلي
Diamlah selama masa haidh yang biasa menghalangimu, kemudian mandi dan shalatlah.
Beliau juga bersabda kepada Hamnah:
امكثي ستة أيام أو سبعة أيام ثم صلي وصومي ثلاثا وعشرين أو أربعا وعشرين
Diamlah selama enam atau tujuh hari kemudian shalat dan puasalah dua puluh tiga atau dua puluh empat hari.
Maksudnya ia diam (dari mengerjakan shalat dan puasa) pada hari-hari kebiasaan wanitanya, adapun setelah hari-hari itu maka ia shalat dan juga puasa. Dan apabila masih ada darah, bercak-bercak/tetesan-tetesan, cairan kuning, atau sesuatu lainnya, maka ia jaga dengan kapas (pembalut) pada kemaluannya dan berwudhu setiap kali hendak shalat. Setiap kali masuk waktu shalat, ia berwudhu baru kemudian mengerjakan shalat.

Sumber:
www .binbaz .org .sa/node/21074

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

###

Soal:
Bismillah. Apakah keputihan itu dapat membatalkan wudhu dan shalat? Apakah keputihan itu najis? Jazakumullah khairan.

Jawab:
Pendapat yang rajih, hukum asal sesuatu adalah suci dan tidak membatalkan wudhu sampai ada nash dalil yang menjelaskannya. Tidak ada nash yang menjelaskan najisnya keputihan atau termasuk pembatal wudhu.
Adapun lafadz: “yang keluar dari dua jalan; qubul dan dubur” bukan lafadz hadits, melainkan pernyataan jumhur ulama; itu pun tidak baku untuk semua permasalahan. Wallahul muwaffiq.
(al-Ustadz Muhammad Afifuddin)

Sumber: Asy Syariah Edisi 083

###

Soal:
Jika keputihan membatalkan wudhu, apakah kita harus mengganti celana yang terkena cairan keputihan itu dulu sebelum wudhu lagi?

Jawab:
Masalah mengganti celana tergantung najis tidaknya keputihan. Keputihan diperselisihkan kenajisannya. Yang menyatakan suci berdalil dengan hukum asal sesuatu suci selama tidak ada dalil yang menyatakan najis. Apalagi jika keputihan keluarnya dari rahim, semakin jauh untuk diqiyaskan dengan air kencing.
(al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini)

Sumber: Asy Syariah Edisi 095

Tentang TAKZIYAH ATAU MELAYAT JENAZAH

Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda (artinya):
“Tidaklah seorang mukmin bertakziyah kepada saudaranya karena suatu musibah, melainkan Allah Yang Maha Suci akan memakaikan perhiasan kemuliaan kepadanya pada hari kiamat.” (HR. Ibnu Majah yang dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani)

Asy Syaikh Shalih Fauzan bin Abdillah al Fauzan حفظه الله

Pertanyaan:
هل تجوز التعزية برفع اليدين وقراءة سورة الفاتحة بطريقة جماعية كما هو منتشر في بلادنا؟
Apakah boleh mengangkat kedua tangan kemudian membaca surat Al Fatihah secara berjamaah pada saat taziyah (melayat mayit) sebagaimana ini tersebar di negeri kami?

Jawaban:
هذا بدعة ولا هي بتعزية، هذه ما هي بتعزية هذه بدعة، التعزية أن تقول: أحسن الله عزاءك، وجبر الله مصيبتك، وغفر لميتك هذه التعزية، ما ورد أنه يقرأ القرآن أو الفاتحة أو شيء من القرآن في التعزية، ولا في المآتم ولا على القبر ولا عند القبر ما هو ورد هذا كل هذا من البدع
Perbuatan seperti ini bidah dan tidak dikatakan sebagai taziyah. Akan tetapi, taziyah adalah dengan Engkau mendoakan keluarga mayit:
أحسن الله عزاءك، وجبر الله مصيبتك، وغفر لميتك
Ahsanalloohu 'azaa`aka wa jabaralloohu mushiibataka wa ghofaro limayyitika.
Ini baru dikatakan taziyah. Tidak ada dalil sama sekali yang memerintahkan membaca Al Quran atau Al Fatihah atau sesuatu dari Al Quran pada saat taziyah, tidak pula di atas atau di sisi kuburan. Semua perkara di atas tidak lain merupakan kebidahan.

Sumber:
alfawzan .af .org .sa/node/14659

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia