Cari Blog Ini

Sabtu, 13 September 2014

Tentang BIDAH

Petikan Nasihat dari Al-’Allamah Al-Muhaddits Al-Imam Al-Albani

Satu kebiasaan yang lazim kita lihat di kalangan kaum muslimin adalah mencium/mengecup mushaf Al-Qur`an. Dengan berbuat seperti itu mereka merasa telah memuliakan Al-Qur`an. Lalu apa penjelasan syariat tentang hal ini? Kita baca keterangan Al-’Allamah Al-Muhaddits Al-Imam Al-Albani rahimahullah berikut ini:

"Dalam keyakinan kami, perbuatan mengecup mushaf tersebut hukumnya masuk dalam keumuman hadits:
ﺇِﻳَّﺎﻛُﻢْ ﻭَﻣُﺤْﺪَﺛﺎَﺕِ ﺍﻟْﺄُﻣُﻮْﺭِ، ﻓَﺈِﻥَّ ﻛُﻞَّ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺔٍ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ، ﻭَﻛُﻞُّﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟَﺔٌ
"Hati-hati kalian dari perkara-perkara yang diada-adakan, karena setiap yang diada-adakan merupakan bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.” (Shahih At-Targhib wat Tarhib, 1/92/34)
Dalam hadits yang lain disebutkan dengan lafadz:
ﻭَﻛُﻞُّ ﺿَﻼَﻟَﺔٍ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ
"Dan setiap kesesatan itu di dalam neraka.” (Shalatut Tarawih, hal. 75)

Kebanyakan orang memiliki anggapan khusus atas perbuatan semisal ini. Mereka mengatakan bahwa perbuatan mengecup mushaf tersebut tidak lain kecuali untuk menampakkan pemuliaan dan pengagungan kepada Al-Qur`anul Karim. Bila demikian, kita katakan kepada mereka, “Kalian benar. Perbuatan itu tujuannya tidak lain kecuali untuk memuliakan dan mengagungkan Al-Qur`anul Karim! Namun apakah bentuk pemuliaan dan pengagungan seperti itu dilakukan oleh generasi yang awal dari umat ini, yaitu para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, demikian pula para tabi’in dan tabi’ut tabi’in?” Tanpa ragu jawabannya adalah sebagaimana kata ulama salaf, “Seandainya itu adalah kebaikan, niscaya kami lebih dahulu mengerjakannya.”

Di sisi lain, kita tanyakan, “Apakah hukum asal mengecup sesuatu dalam rangka taqarrub kepada Allah 'Azza wa Jalla itu dibolehkan atau dilarang?” Berkaitan dengan masalah ini, kita bawakan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya, agar menjadi peringatan bagi orang yang mau ingat dan agar diketahui jauhnya kaum muslimin pada hari ini dari pendahulu mereka yang shalih. Hadits yang dimaksud adalah dari ’Abis bin Rabi’ah, ia berkata, “Aku melihat Umar ibnul Khaththab radhiyallahu 'anhu mengecup Hajar Aswad dan berkata:
ﺇِﻧِّﻲ ﻟَﺄَﻋْﻠَﻢُ ﺃَﻧَّﻚَ ﺣَﺠَﺮٌ ﻻَ ﺗَﻀُﺮُّ ﻭَﻻَ ﺗَﻨْﻔَﻊُ، ﻓَﻠَﻮْﻻَ ﺃَﻧِّﻲ ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﻳُﻘَﺒِّﻠُﻚَ ﻣَﺎ ﻗَﺒَّﻠْﺘُﻚَ
"Sungguh aku tahu engkau adalah sebuah batu, tidak dapat memberikan mudarat dan tidak dapat memberi manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mencium/mengecupmu niscaya aku tidak akan menciummu.” (Shahih At-Targhib wat Tarhib, 1/94/41)

Apa makna ucapan ‘Umar Al-Faruq radhiyallahu 'anhu, “Seandainya aku tidak melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mencium/mengecupmu niscaya aku tidak akan menciummu.” Dan kenapa ‘Umar mencium/mengecup Hajar Aswad yang dikatakan dalam hadits yang shahih:
ﺍﻟْﺤَﺠَﺮُ ﺍﻟْﺄَﺳْﻮَﺩُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ
"Hajar Aswad (batu) dari surga.” (Shahihul Jami’, no. 2174)

Apakah ‘Umar menciumnya dengan falsafah yang muncul darinya sebagaimana ucapan orang yang berkata, “Ini adalah Kalamullah maka kami menciumnya”? Apakah ‘Umar mengatakan, “Ini adalah batu yang berasal dari surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa maka aku menciumnya. Aku tidak butuh dalil dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang menerangkan pensyariatan menciumnya!” Ataukah jawabannya karena memurnikan ittiba’ (pengikutan) terhadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang yang menjalankan Sunnah beliau sampai hari kiamat? Inilah yang menjadi sikap ‘Umar hingga ia berkata, “Seandainya aku tidak melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mencium/mengecupmu niscaya aku tidak akan menciummu….” Dengan demikian, hukum asal mencium seperti ini adalah kita menjalankannya di atas sunnah yang telah berlangsung, bukannya kita menghukumi dengan perasaan kita, “Ini baik dan ini bagus.”

Ingat pula sikap Zaid bin Tsabit, bagaimana ia memperhadapkan tawaran Abu Bakar dan ‘Umar radhiyallahu 'anhuma kepadanya untuk mengumpulkan Al-Qur`an guna menjaga Al-Qur`an jangan sampai hilang. Zaid berkata, “Bagaimana kalian melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam?!”

Sementara kaum muslimin pada hari ini, tidak ada pada mereka pemahaman agama yang benar. Bila dihadapkan pertanyaan kepada orang yang mencium mushaf tersebut, “Bagaimana engkau melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam?”, niscaya ia akan memberikan jawaban yang aneh sekali. Di antaranya, “Wahai saudaraku, ada apa memangnya dengan perbuatan ini, toh ini dalam rangka mengagungkan Al-Qur`an!” Maka katakanlah kepadanya, “Wahai saudaraku, apakah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengagungkan Al-Qur`an? Tentunya tidak diragukan bahwa beliau sangat mengagungkan Al-Qur`an namun beliau tidak pernah mencium Al-Qur`an.”

Atau mereka akan menanggapi dengan pernyataan, “Apakah engkau mengingkari perbuatan kami mencium Al-Qur`an? Sementara engkau mengendarai mobil, bepergian dengan pesawat terbang, semua itu perkara bid’ah (maksudnya kalau mencium Al-Qur`an dianggap bid’ah maka naik mobil atau pesawat juga bid’ah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah naik mobil dan pesawat).” Ucapan ini jelas salahnya karena bid’ah yang dihukumi sesat secara mutlak hanyalah bid’ah yang diada-adakan dalam perkara agama. Adapun bid’ah (mengada-adakan sesuatu yang baru yang belum pernah ada di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam) dalam perkara dunia, bisa jadi perkaranya dibolehkan, namun terkadang pula diharamkan dan seterusnya. Seseorang yang naik pesawat untuk bepergian ke Baitullah guna menunaikan ibadah haji misalnya, tidak diragukan kebolehannya. Sedangkan orang yang naik pesawat untuk safar ke negeri Barat dan berhaji ke barat, tidak diragukan sebagai perbuatan maksiat. Demikianlah.

Adapun perkara-perkara ta’abbudiyyah (peribadatan) jika ditanyakan, “Kenapa engkau melakukannya?” Lalu yang ditanya menjawab, “Untuk taqarrub kepada Allah!” Maka aku katakan, “Tidak ada jalan untuk taqarrub kepada Allah 'Azza wa Jalla kecuali dengan perkara yang disyariatkan-Nya.” Engkau lihat bila salah seorang dari ahlul ilmi mengambil mushaf untuk dibaca, tak ada di antara mereka yang menciumnya. Mereka hanyalah mengamalkan apa yang ada di dalam mushaf Al-Qur`an. Sementara kebanyakan manusia yang perasaan mereka tidak memiliki kaidah, menyatakan perbuatan itu sebagai pengagungan terhadap Kalamullah namun mereka tidak mengamalkan kandungan Al-Qur`an. Sebagian salaf berkata, “Tidaklah diadakan suatu bid’ah melainkan akan mati sebuah sunnah.”

Ada bid’ah lain yang semisal bid’ah ini. Engkau lihat manusia, sampai pun orang-orang fasik di kalangan mereka namun di hati-hati mereka masih ada sisa-sisa iman, bila mereka mendengar muadzin mengumandangkan adzan, mereka bangkit berdiri. Jika engkau tanyakan kepada mereka, “Apa maksud kalian berdiri seperti ini?” Mereka akan menjawab, “Dalam rangka mengagungkan Allah 'Azza wa Jalla!” Sementara mereka tidak pergi ke masjid. Mereka terus asyik bermain dadu, catur, dan semisalnya. Tapi mereka meyakini bahwa mereka mengagungkan Rabb mereka dengan cara berdiri seperti itu. Dari mana mereka dapatkan kebiasaan berdiri saat adzan tersebut?! Tentu saja mereka dapatkan dari hadits palsu:
ﺇِﺫَﺍ ﺳَﻤِﻌْﺘُﻢُ ﺍﻟْﺄَﺫَﺍﻥَ ﻓَﻘُﻮْﻣُﻮْﺍ
"Apabila kalian mendengar adzan maka berdirilah.” (Adh-Dha’ifah, no. 711)
Hadits ini sebenarnya ada asalnya, akan tetapi ditahrif oleh sebagian perawi yang dhaif/lemah atau para pendusta. Semestinya lafadznya: ﻗُﻮْﻟُﻮﺍ (ucapkanlah), mereka ganti dengan:  ﻗُﻮْﻣُﻮْﺍ (berdirilah), meringkas dari hadits yang shahih:
ﺇِﺫَﺍ ﺳَﻤِﻌْﺘُﻢُ ﺍﻟْﺄَﺫَﺍﻥَ، ﻓَﻘُﻮْﻟُﻮْﺍ ﻣِﺜْﻞَ ﻣَﺎ ﻳَﻘُﻮْﻝُ ﺛُﻢَّ ﺻَﻠُّﻮْﺍ ﻋَﻠَﻲَّ
"Apabila kalian mendengar adzan maka ucapkanlah semisal yang diucapkan muadzin, kemudian bershalawatlah untukku.” (Hadits riwayat Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 384)

Lihatlah bagaimana setan menghias-hiasi bid’ah kepada manusia dan meyakinkannya bahwa ia seorang mukmin yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah Subhanahu wa Ta'ala. Buktinya bila mengambil Al-Qur`an, ia menciumnya dan bila mendengar adzan ia berdiri karenanya. Akan tetapi apakah ia mengamalkan Al-Qur`an? Tidak! Misalnya pun ia telah mengerjakan shalat, tapi apakah ia tidak memakan makanan yang diharamkan? Apakah ia tidak makan riba? Apakah ia tidak menyebarkan di kalangan manusia sarana-sarana yang menambah kemaksiatan terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala? Apakah dan apakah? Pertanyaan yang tidak ada akhirnya. Karena itulah, kita berhenti dalam apa yang Allah 'Azza wa Jalla syariatkan kepada kita berupa amalan ketaatan dan peribadatan. Tidak kita tambahkan walau satu huruf, karena perkaranya sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
ﻣَﺎ ﺗَﺮَﻛْﺖُ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻣِﻤَّﺎ ﺃَﻣَﺮَﻛُﻢُ ﺍﻟﻠﻪُ ﺑِﻪِ ﺇِﻻَّ ﻭَﻗَﺪْ ﺃَﻣَﺮْﺗُﻜُﻢْ ﺑِﻪِ
"Tidaklah aku meninggalkan sesuatu dari apa yang Allah perintahkan kepada kalian kecuali pasti telah aku perintahkan kepada kalian.” (Ash Shahihah, no. 1803)

Maka apakah amalan yang engkau lakukan itu dapat mendekatkanmu kepada Allah 'Azza wa Jalla? Bila jawabannya, “Iya.” Maka datangkanlah nash dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang membenarkan perbuatan tersebut. Bila dijawab, “Tidak ada nashnya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.” Berarti perbuatan itu bid’ah, seluruh bid’ah itu sesat dan seluruh kesesatan itu dalam neraka.

Mungkin ada yang merasa heran, kenapa masalah yang kecil seperti ini dianggap sesat dan pelakunya kelak berada di dalam neraka? Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullah memberikan jawabannya dengan pernyataan beliau, “Setiap bid’ah bagaimanapun kecilnya adalah sesat.”

Maka jangan melihat kepada kecilnya bid’ah, tapi lihatlah di tempat mana bid’ah itu dilakukan. Bid’ah dilakukan di tempat syariat Islam yang telah sempurna, sehingga tidak ada celah bagi seorang pun untuk menyisipkan ke dalamnya satu bid’ah pun, kecil ataupun besar. Dari sini tampak jelas sisi kesesatan bid’ah di mana perbuatan ini maknanya memberikan ralat, koreksi, dan susulan (dari apa yang luput/tidak disertakan) kepada Rabb kita 'Azza wa Jalla dan juga kepada Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam. Seolah yang membuat dan melakukan bid’ah merasa lebih pintar daripada Allah 'Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Na’udzu billah min dzalik. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab."

(Dinukil dan disarikan oleh Ummu Ishaq Al-Atsariyyah dari kitab Kaifa Yajibu ‘Alaina an Nufassir Al-Qur`an Al-Karim, hal. 28-34)

###

Asy-Syaikh Al-'Allamah Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin رحمه الله

Pertanyaan:
ما هو تعريف البدعة وهل ما خالف الكتاب والسنة يسمى بدعة حسنة لأن شيخ الإسلام يقول: ما خالف الكتاب فهو بدعة وما لم يعلم أنه خالف فقد لا يسمى بدعة لأننا نجد بعض الجماعات يغلون مثلا في الأذكار يعني: في أذكار معينة -مثلا- في الصباحأو في السماء فيزيدون في هذه الأذكار فهل هذه تسمى بدعة
Apa definisi Bidah itu? Apakah sesuatu yang menyelisihi al-Kitab (Al-Quran) dan Sunnah dinamakan Bidah Hasanah, karena Syaikhul Islam berkata, sesuatu yang menyelisihi Al-Kitab (Al-Quran) adalah bidah sedangkan yang tidak diketahui menyelisihinya maka terkadang tidak dinamakan bidah?
(Pertanyaan ini) disebabkan kami menemui sebagian jamaah (sholat) bersikap ghuluw (ekstrim) contohnya dalam berdzikir yaitu dzikir-dzikir tertentu di pagi atau sore hari di mana mereka menambahkan (sesuatu) dalam dzikir-dzikir ini, maka apakah ini disebut bidah?

Jawaban:
ضابط البدعة -بارك الله فيك-: أن يتعبد الإنسان لله بما لم يشرعه الله هذا الضابط لا أن يفعل ما لم يشرعه الله
Batasan bidah -semoga Allah memberkahimu- :
أن يتعبد الإنسان لله بما لم يشرعه الله
Seseorang ber-taabbud (beribadah) kepada Allah dengan sesuatu yang Allah tidak mensyari'atkannya.
Inilah batasannya, bukan seseorang melakukan sesuatu yang Allah tidak mensyariatkannya.
أن يتعبد فالبدعة تتعلق بالعبادة وإنما غير العبادة فما لها تعلق بها فإذا تعبد الإنسان لله بما لم يشرعه من عقيدة أو قول أو فعل قلنا: هذه بدعة أما إذا كان من الأمور غير التعبدية فابتدع ما شئت ولا أحد يقول: هذه بدعةولهذا الآن عندنا ابتداعات كثيرة في الأمور العادية أليس كذلك
Seseorang ber-taabbud yakni bahwa bidah itu terkait dengan suatu IBADAH. Adapun selain ibadah maka tidak berhubungan dengannya (bidah).
Maka, andaikan seseorang ber-taabbud kepada Allah dengan sesuatu yang Dia (Allah) tidak mensyari'atkannya dari suatu aqidah, ucapan, atau perbuatan, kita katakan: INI BID'AH.
Adapun kalau sesuatu itu TERMASUK PERKARA-PERKARA SELAIN TAABBUD maka lakukanlah perkara yang baru tersebut sesuai dengan kehendakmu dan TIDAK seorangpun akan berkata ini bidah (menurut syariat).
Oleh karena itu kita sekarang mendapati banyak perkara-perkara baru dalam urusan-urusan adat kebiasaan, bukankah begitu?
نكتب بالكمبيوتر الآن وبالآلات الكاتبة ونسجل في المسجل وهذا ليس معروفا في عهد الصحابة لكن هذا ليس تعبدا ولكن من الأمور العادية والوسائل
Kita sekarang menulis dengan komputer dan mesin ketik, merekam dengan recorder dan INI TIDAK DIKENAL DI ZAMAN PARA SHAHABAT NAMUN BUKAN TERMASUK PERKARA TAABBUD, tidak lain itu hanyalah bagian dari perkara-perkara adat kebiasaan, (bukan terkait ibadah) dan sekedar wasilah (media/alat perantara).
أما التعبد لله مثل الذين يتعبدون لله ـ تعالى ـ بتنزيهه عن صفاته التي وصف الله بها نفسه هؤلاء مبتدعة يتعبدون لله تعالى بإثبات المثيل له فيقولون: نحن نؤمن بالصفات على أنها مماثلة لصفاتنا هؤلاء مبتدعة ـ أيضا ـ . فالضابط في البدعة إذا ما هو
Adapun taabbud kepada Allah semisal orang-orang yang (berniat) beribadah kepada Allah dengan menyucikan-Nya dari sifat-sifat-Nya yang Allah sendiri menyifati diri-Nya dengannya, mereka itulah pelaku bidah (mubtadi).
Mereka yang taabbud kepada Allah dengan menetapkan permisalan/penyerupaan bagi-Nya, mereka berkata: Kami beriman dengan sifat-sifat Allah bahwa sifat-sifat itu serupa dengan sifat-sifat kami, mereka juga mubtadi.
Jika demikian, apakah batasan bidah itu?
التعبد لله بما لم يشرعه الله من عقيدة أو قول أو عمل سواء كان في أصل العبادة أو في كيفيتها
TAABBUD kepada Allah dengan sesuatu yang Allah tidak mensyariatkannya dalam masalah akidah, ucapan, atau amalan, BAIK terkait dalam hukum asal ibadah itu atau kaifiyah/tata caranya.
فلو صلى أناس جماعة ثم قالوا: سنذكر الله ـ عز وجل ـ بأذكار الصلوات جميعا نقول جميعا: سبحان الله والحمد لله والله أكبر قلنا: هذه بدعة بدعة بماذا ... بأصل العبادةأو بكيفيتها بكيفيتها
Sehingga, apabila orang-orang shalat berjamaah lalu mereka katakan: Kita akan berdzikir kepada Allah dengan seluruh dzikir-dzikir shalat; kita ucapkan SECARA BERSAMA-SAMA (ketika shalat):
SUBHANALLAH WALHAMDU LILLAH WALLAHU AKBAR.
Kita katakan: Ini bidah.
Bidah dengan sebab apa, hukum asal ibadah atau kaifiyah/tata caranya?
(Jawabannya) dengan sebab tata caranya (tidak sesuai syariat Allah).

Sumber:
Silsilah Liqo`at Al-Bab Al-Maftuh Liqo` Al-Bab Al-Maftuh [65]

Alih Bahasa:
Al-Ustadz Abu Yahya Almaidaniy حفظه الله - [FBF 5]

WA Forum Berbagi Faidah [FBF]

###

Fatawa Asy-Syaikh Muqbil Rahimahullah

Soal: Apakah boleh mengamalkan sebagian bid’ah yang kecil dengan alasan karena perkara-perkara ini membuat mereka (orang-orang awam) menghindar dengan pandangan benci, padahal di sana kita ingin menyatukan hati-hati mereka dan menyeru mereka kepada dakwah tauhid dan agar tidak menyekutukan Allah?

Jawaban:

Tidak boleh kita mengamalkan segala bentuk kebid’ahan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima taubat dari pelaku kebid’ahanan sampai dia meninggalkan kebid’ahannya.”

Dan sebagaimana pula diriwayatkan dalam Ash-Shahihain dari hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam urusan (agama) kami, padahal kami tidak perintahkan, maka hal itu tertolak."

Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, “Sesungguhnya siapa saja di antara kalian yang hidup (setelahku), maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnahnya para Khulafa yang telah mendapatkan petunjuk, gigitlah dengan gigi geraham."

Kita tidak memiliki kekuasaan dalam agama Allah, oleh karena itu, Allah berfirman kepada Nabi-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam,
ﻟَﻴْﺲَ ﻟَﻚَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺄَﻣْﺮِ ﺷَﻲْﺀٌ
"Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu.” [QS. Ali 'Imraan: 128‏]

Allah Ta’ala berfirman,
ﻭَﻟَﻮْﻟَﺎ ﺃَﻥ ﺛَﺒَّﺘْﻨَﺎﻙَ ﻟَﻘَﺪْ ﻛِﺪﺕَّ ﺗَﺮْﻛَﻦُ ﺇِﻟَﻴْﻬِﻢْ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻗَﻠِﻴﻠًﺎ ﺇِﺫًﺍ ﻟَّﺄَﺫَﻗْﻨَﺎﻙَ ﺿِﻌْﻒَ ﺍﻟْﺤَﻴَﺎﺓِ ﻭَﺿِﻌْﻒَ ﺍﻟْﻤَﻤَﺎﺕِ ﺛُﻢَّ ﻟَﺎ ﺗَﺠِﺪُ ﻟَﻚَ ﻋَﻠَﻴْﻨَﺎ ﻧَﺼِﻴﺮًﺍ
"Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka. Kalau terjadi demikian, benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap Kami. [QS. Al Isra: 74-75‏]

HATI-HATILAH KALIAN DARI MEMAKAI PERASAAN DALAM AGAMA ALLAH!
Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih penyayang kepada hamba-hamba-Nya dan lebih cemburu terhadap agama-Nya daripada kita. Hanyalah kepada Allah, kita memohon pertolongan.

Sumber: muqbel .net

###

Ustadz Kharisman

HADITS:
ﻋَﻦْ ﺃُﻡِّ ﺍﻟﻤُﺆْﻣِﻨِﻴْﻦَ ﺃُﻡِّ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔَ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻬَﺎ ﻗَﺎﻟَﺖْ ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻣَﻦْ ﺃَﺣْﺪَﺙَ ﻓِﻲ ﺃَﻣْﺮِﻧَﺎ ﻫَﺬَﺍ ﻣَﺎ ﻟَﻴْﺲَ ﻓِﻴﻪِ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻭﻣﺴﻠﻢ ﻭﻓﻲ ﺭﻭﺍﻳﺔ ﻟﻤﺴﻠﻢ: ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﻋَﻤَﻼً ﻟَﻴْﺲَ ﻋَﻠَﻴْﻪ ِﺃَﻣْﺮُﻧَﺎ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ
Dari Ibunda kaum mukminin, Ummu Abdillah Aisyah –semoga Allah meridhainya– beliau berkata: Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu hal yang baru dalam perkara kami ini yang tidak ada (perintahnya dari kami) maka tertolak. (H.R alBukhari dan Muslim). Dalam riwayat Muslim: Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada perintah kami, maka tertolak.

PENJELASAN:
Hadits ini adalah patokan lahiriah untuk menentukan sah atau tidaknya suatu amalan. Jika suatu amalan tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam, maka tertolak. Meski pelakunya mengamalkan dengan ikhlas hanya karena Allah. Karena itu, syarat diterimanya amalan ada 2:
1. Ikhlas karena Allah, sebagaimana disebutkan dalam hadits pertama yang lalu.
2. Mengikuti tuntunan Rasulullah
shollallaahu ‘alaihi wasallam
Perbuatan yang diada-adakan dalam Dienul Islam, yang tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam disebut dengan bid’ah.

DEFINISI BID’AH
Bid’ah secara bahasa artinya adalah sesuatu yang diada-adakan tanpa ada contoh sebelumnya. Dalam alQur’an ada penyebutan lafadz bid’ah secara bahasa tersebut, di antaranya:
ﺑَﺪِﻳﻊُ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻭَﺍﺕِ ﻭَﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ
Allahlah yang mengadakan langit dan bumi (tanpa contoh sebelumnya). (Q.S alBaqoroh:117)
Makna bid’ah secara istilah adalah:
Jalan yang ditempuh dalam Dien, yang diada-adakan, menandingi syariat, yang niat melaksanakannya adalah sebagaimana niat seseorang menjalankan syariat. (al-I’tishom
karya al-Imam asy-Syathiby)

PENJELASAN DEFINISI BID’AH
Beberapa karakteristik sesuatu hal dikatakan sebagai bid’ah:
1) Telah menjadi sebuah ‘jalan’.
Bukan sesuatu hal yang sekedar ‘pernah’ dilakukan, tapi berulang-ulang dan menjadi kebiasaan, sehingga menjadi ‘jalan’.
2) Dalam urusan Dien (bukan duniawi).
Dalam urusan duniawi dipersilahkan berinovasi seluas-luasnya selama tidak ada larangan dari alQur’an maupun Sunnah Rasul shollallaahu ‘alaihi wasallam.
ﺃَﻧْﺘُﻢْ ﺃَﻋْﻠَﻢُ ﺑِﺄَﻣْﺮِ ﺩُﻧْﻴَﺎﻛُﻢْ
Kalian lebih tahu tentang urusan duniawi kalian. (H.R Muslim)
3) Diada-adakan, tidak ada dalilnya.
Tidak ada dalil shahih yang menjadi landasannya. Jika ada dalil, bisa berupa hadits lemah atau hadits palsu, atau ayat yang ditafsirkan tidak pada tempatnya.
4) Menandingi syariat.
Tidaklah seseorang melakukan sesuatu bid’ah kecuali Sunnah yang semisalnya akan mati.
Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ﻣَﺎ ﺃَﺣْﺪَﺙَ ﻗَﻮْﻡٌ ﺑِﺪْﻋَﺔً ﺇِﻟَّﺎ ﺭُﻓِﻊَ ﻣِﺜْﻠُﻬَﺎ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺴُّﻨَّﺔِ
Tidaklah suatu kaum melakukan suatu bid’ah, kecuali akan terangkat Sunnah yang semisal dengannya (H.R Ahmad dari Ghudhaif bin al-Haarits, dan Ibnu Hajar menyatakan bahwa sanad hadits ini jayyid
(baik) dalam Fathul Baari (13/253))
Contoh: bacaan-bacaan setelah selesai sholat fardlu banyak disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih. Namun, ada seseorang yang karena merasa mendapatkan ijazah bacaan dari gurunya (meski tidak ada dalilnya dari hadits Nabi), selalu mengulang-ulang bacaan yang diajarkan tersebut setelah selesai sholat. Misalkan, membaca Laa Ilaaha Illallaah 333 kali, disertai keyakinan keutamaan-keutamaannya (memperlancar rezeki, kewibawaan, dsb). Akibatnya, ia akan tersibukkan dengan amalan dari gurunya tersebut dan meninggalkan Sunnah Nabi yang sebenarnya.
5) Niat melakukannya adalah sebagaimana orang berniat dalam melakukan syariat (untuk mendekatkan diri kepada Allah).
Penjelasan ini disarikan dari Syaikh Sholih bin Abdil Aziz Aalusy Syaikh ketika mensyarah hadits ini. (Syarh al-Arbain anNawawiyyah)

SEMUA BID’AH ADALAH SESAT
Semua bid’ah -secara istilah- sebagaimana definisi di atas adalah sesat.
Sabda Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam:
ﻭَﺇِﻳَّﺎﻛُﻢْ ﻭَﻣُﺤْﺪَﺛﺎَﺕِ ﺍْﻷُﻣُﻮْﺭِ ﻓَﺈِﻥَّ ﻛُﻞَّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟَﺔٌ
Dan berhati-hatilah kalian dari perkara yang diada-adakan karena setiap bid’ah adalah sesat. (H.R Abu Dawud, atTirmidzi, Ibnu Majah)
Dalam hadits Jabir dinyatakan bahwa Nabi selalu mengulang-ulang ucapan semacam itu pada permulaan-permulaan khutbah beliau baik pada saat Khutbah Jumat atau di waktu lain.

Ucapan para Sahabat Nabi:
(1) Ibnu Mas’ud –semoga Allah meridlainya– berkata:
ﺍَ ﺗَﺒْﺘَﺪِﻋُﻮﺍ ﻓَﻘَﺪْ ﻛُﻔِﻴْﺘُﻢْ ﻭَﻛُﻞُّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟَﺔٌ
Ikutilah (Sunnah Nabi) janganlah melakukan bid’ah, karena sesungguhnya kalian telah dicukupi, dan seluruh bid’ah adalah sesat. (diriwayatkan oleh Abu Khoytsam dalam Kitabul Ilm dan Muhammad bin Nashr alMarwazy dalam as-Sunnah)
ﺍﻟْﺈِﻗْﺘِﺼَﺎﺩُ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴُّﻨَّﺔِ ﺃَﺣْﺴَﻦُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺎِﺟْﺘِﻬَﺎﺩِ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺒِﺪْﻋَﺔِ
Sederhana di dalam Sunnah lebih baik dibandingkan bersungguh-sungguh di dalam bid’ah. (riwayat al-Hakim)
Maksudnya, sedikit amalan namun di atas Sunnah (sesuai bimbingan Nabi) lebih baik dibandingkan banyak beramal dan bersungguh-sungguh, namun di atas kebid’ahan.
(2) Ibnu Umar –semoga Allah meridlainya– berkata:
ﻛﻞُّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟَﺔٌ ﻭَﺇِﻥْ ﺭَﺁﻫَﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺣَﺴَﻨَﺔً
Semua bid’ah adalah sesat sekalipun manusia memandangnya baik. (diriwayatkan oleh alBaihaqy dalam al-Madkhal dan Muhammad bin Nashr alMarwazy dalam as-Sunnah)
(3) Muadz bin Jabal –semoga Allah meridlainya– berkata:
ﻓَﺈِﻳﺎَّﻛُﻢْ ﻭَﻣَﺎ ﻳُﺒْﺘَﺪَﻉُ ﻓَﺈِﻥَّ ﻣَﺎ ﺍﺑْﺘُﺪِﻉَ ﺿَﻠَﺎﻟَﺔ
Berhati-hatilah kalian dari perkara yang diada-adakan, karena perkara yang diada-adakan (dalam Dien) adalah sesat. (Hilyatul Awliyaa’ (1/233))
(4) Ibnu Abbas –semoga Allah meridlainya– berkata:
Hendaknya engkau bertakwa kepada Allah dan istiqomah, ikutilah (Sunnah Nabi), jangan berbuat kebid’ahan. (diriwayatkan oleh ad-Daarimi)
(5) Hudzaifah bin al-Yaman –semoga Allah meridlainya– berkata:
ﻛُﻞُّ ﻋِﺒَﺎﺩَﺓٍ ﻟَﻢْ ﻳَﺘَﻌَﺒَّﺪْ ﺑِﻬَﺎ ﺃَﺻْﺤَﺎﺏُ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻼَ ﺗَﺘَﻌَﺒَّﺪُﻭْﺍ ﺑِﻬَﺎ؛ ﻓَﺈِﻥَّ ﺍﻷَﻭَّﻝَ ﻟَﻢْ ﻳَﺪَﻉْ ﻟِﻶﺧِﺮِ ﻣَﻘَﺎﻻً؛ ﻓَﺎﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪَ ﻳَﺎ ﻣَﻌْﺸَﺮَ ﺍﻟﻘُﺮَّﺍﺀِ، ﺧُﺬُﻭْﺍ ﻃَﺮِﻳْﻖَ ﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻗَﺒْﻠَﻜُﻢْ
“Setiap ibadah yang tidak pernah diamalkan oleh para Sahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, janganlah kalian beribadah dengannya. Karena generasi pertama tak menyisakan komentar bagi yang belakangan. Maka bertakwalah kalian kepada Allah wahai para pembaca al-Qur’an (orang-orang alim dan yang suka beribadah) dan ikutilah jalan orang-orang sebelummu.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al Ibanah)

###

Abu Ubaidah Iqbal bin Damiri Al Jawy

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa mengada-ngadakan sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami, padahal kami tidak perintahkan, maka hal itu tertolak. [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Dalam riwayat Muslim disebutkan:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa mengamalkan suaru perkara yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak.

Faedah-faedah Hadist :
1. Hadits ini adalah hadits yang agung, yang mana dia menjadi dalil pokok atas tercelanya dan tertolaknya segala bentuk perkara baru atau amalan baru dalam agama yang tidak pernah ada asalnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini termasuk hadits yang sepatutnya untuk dihafal dan digunakan untuk membantah segala bentuk kemungkaran (yang dibuat-buat dalam agama) serta terus disebarkan dalam berdalil dengannya.” [Syarah an-Nawawi: 12/16]
Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah berkata: “Hadits ini merupakan kaedah-kaedah Islam yang agung, dan dia termasuk dari Jawami’ Kalim Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Hadist ini menjelaskan dengan jelas tentang tertolaknya segala bentuk kebid’ahan dan perkara yang diada-adakan dalam agama.” [Al-Irwa: 1/128]
Catatan: Jawami’ Kalim adalah kalimat yang singkat namun padat, yaitu memiliki makna dan faedah yang banyak.
2. Larangan membuat perkara-perkara baru dalam agama, karena agama ini dibangun di atas dasar al-Qur’an dan Sunnah. Tidak satu pun dari kita berhak membuat ibadah baru di dalamnya, meskipun dengan niatan atau tujuan yang baik.
3. Barangsiapa membuat perkara-perkara baru dalam agama, meskipun dengan niatan baik, maka hal tersebut tertolak, karena syarat diterimanya suatu amalan harus terpenuhi padanya dua syarat:
a. Amalan tersebut harus ikhlas karena Allah.
b. Amalan tersebut harus sesuai dengan petunjuk dan tuntunan Nabi Muhamad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dalil yang menunjukan hal ini diantaranya adalah firman Allah Ta’ala;
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah mentafsirkan ayat ini: Ini adalah dua rukun amalan yang diterima; Harus amalan itu ikhlas karena Allah dan mencocoki syariat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. [Tafsir Ibnu Katsir 5/205]
Adapun dari sunnah, hadits Umar yang telah lewat untuk syarat pertama dan hadits ‘Aisyah di atas untuk syarat yang kedua.
4. Bahayanya membuat perkara-perkara baru atau beramal dengannya di dalam agama, karena konsekuensi dari perbuatan bid’ah atau membuat perkara baru dalam agama telah menuduh bahwa;
a. Syariat Islam belum sempurna, berarti dia menuduh Nabi Muhamad shallallahu ‘alaihi wasallam berkhianat, karena tidak menyampaikan syariat dengan sempurna, masih ada ibadah yang beliau sembunyikan atau belum disampaikan.
b. Atau dia menganggap dirinya lebih berilmu daripada Nabi Muhamad shallallahu ‘alaihi wasallam, karena masih ada perkara yang baik yang belum diketahui oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Padahal Allah Ta’ala tidaklah mewafatkan Nabi Muhamad shallallahu ‘alaihi wasallam, melainkan dalam keadaan agama Islam ini telah sempurna, tidak butuh lagi penambahan maupun pengurangan.
Allah Ta’ala berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” [QS. Al-Maidah: 3]
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah: “Ini adalah kenikmatan Allah yang paling besar yang dilimpahkan kepada umat ini, yang mana Allah telah menyempurnakan untuk mereka agama mereka, mereka tidak butuh lagi kepada agama yang lain.” [Tafsir Ibnu Katsir: 3/26]
Berkata al-Imam Malik rahimahullah: “Barangsiapa membuat perkara baru dalam agama Islam dan menganggapnya suatu kebaikan, maka sungguh dia telah menuduh bahwa Nabi Muhamad shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengkhianati risalah, karena Allah telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian, apa saja yang saat itu bukan bagian dari agama, maka pada hari ini (setelah diturunkan ayat tersebut) bukan termasuk (bagian dari) agama.”
Berkata Syaikhul Islam rahimahullah dalam kitab Majmu’ al-Fatawa (20/103): “Sesungguhnya pelaku kebid’ahan itu lebih jelek daripada pelaku kemaksiatan berdasarkan dalil dari Sunnah dan Ijma’. Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan untuk memerangi para Khawarij dan melarang untuk memerangi para penguasa yang zhalim. Dan beliau juga bersabda tentang para peminum khamer:
“Janganlah kalian laknat dia, karena sesungguhnya dia (masih) mencintai Allah dan Rasul-Nya.”
Waffaqallahul Jami’.

Pelajaran Forum KIS

###

Apa Perbedaan Antara Mashalihul Mursalah dan Bid'ah?

Perbedaan utama mashalihul mursalah dengan bid'ah adalah dalam 2 hal, yaitu: posisinya terhadap syariat dan niat pengamalannya.

1. Posisi terhadap syariat.

Mashalihul mursalah bersifat mendukung dan menguatkan syariat, sedangkan bid'ah menandingi atau menyaingi syariat.

2. Niat pengamalan

Mashalihul mursalah sekedar sarana, bukan tujuan. Sarana itu mendukung syariat. Sedangkan bid'ah, orang yang mengerjakannya dalam rangka taabbud (meniatkannya sebagai dzat ibadah).

Contoh:
Penggunaan mikrophone dan speaker saat adzan. Ini termasuk bid'ah atau mashalihul mursalah?
Jawabnya: mashalihul mursalah.
Karena:
1) Posisinya terhadap syariat adalah mendukung dan menguatkan.
Nabi menjelaskan dalam hadits bahwa sejauh jarak terdengar adzan, semua makhluk baik yang basah maupun kering akan bersaksi bagi muadzin itu pada hari kiamat.
Maka dengan adanya microphone dan speaker, syariat akan terdukung karena jangkauan suara akan semakin jauh sehingga pahala muadzin semakin besar, pihak yang mendengar dan mendatangi panggilan adzan diharapkan semakin banyak.
2) Dalam penggunaan microphone dan speaker, hal itu dianggap sebagai sarana bukan tujuan. Kalaupun suatu saat listrik mati, adzan tanpa alat tersebut tidak masalah. Kalaupun rusak, diganti asalkan fungsinya sama, tidak fanatik dengan alat atau merk tertentu. Kalau tidak dengan alat merk tertentu, tidak mau adzan. Tidak demikian. Itu hanya dianggap sebagai sarana, bukan inti ibadah.

Contoh lain:
Membaca dzikir atau doa yang tidak diajarkan Nabi selesai sholat dengan jumlah tertentu dan cara tertentu sebagai kebiasaan. Hal ini bid'ah atau mashalihul mursalah?
Jawabnya: bid'ah.
Karena:
1) Menandingi syariat.
Menghidupkan bid'ah akan mematikan sunnah. Sebagaimana dijelaskan dalam ucapan Ibnu Abbas.
Seseorang yang bacaan-bacaan dzikir selesai sholatnya tidak diajarkan Nabi, atau bahkan dibaca keras saat ia jadi imam, sehingga dibaca berjamaah, maka ini bid'ah, yang menandingi syariat yang diajarkan Nabi. Ia tandingi ajaran Nabi dengan ajaran gurunya atau kyainya.
Semakin bid'ah ini dihidupkan, orang semakin ingat dengan bid'ahnya, dan sunnah justru akan terlupakan.
2) Niat dalam mengamalkannya adalah untuk taabbud (mendekatkan diri kepada Allah dengan dzat ibadah itu).

Mengapa sulit menasehati orang yang terjatuh dalam bid'ah? Salah satunya karena unsur taabbud ini. Ia menganggap bid'ah itu bukan kesalahan, justru menganggap akan mendekatkan dirinya kepada Allah.

Abu Utsman Kharisman

WA al-i'tishom

-----------------------------------

Bid’ah Besar Berawal dari Bid’ah yang Kecil

Firman Allah Ta’ala:
ﻓَﻠَﻤَّﺎ ﺯَﺍﻏُﻮﺍْ ﺃَﺯَﺍﻍَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻗُﻠُﻮﺑَﻬُﻢ
“Maka tatkala mereka berpaling dari kebenaran, Allah palingkan hati mereka.”
Demikian juga Firman Allah Ta’ala:
ﻓِﻲ ﻗُﻠُﻮﺑِﻬِﻢْ ﻣَﺮَﺽٌ ﻓَﺰَﺍﺩَﻫُﻢُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻣَﺮَﺿﺎ
“Hati-hati mereka terdapat penyakit, kemudian Allah tambahkan kepada mereka penyakitnya.”
Juga Firman Allah Ta’ala:
ﻭَﺃَﻣَّﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻓِﻲ ﻗُﻠُﻮﺑِﻬِﻢْ ﻣَﺮَﺽٌ ﻓَﺰَﺍﺩَﺗْﻬُﻢْ ﺭِﺟْﺴﺎً ﺇِﻟَﻰ ﺭِﺟْﺴِﻬِﻢ
“Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan turunnya surat itu, bertambah kekafiran mereka, disamping kekafiran (yang telah ada).”

Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah pada kitab “Madaarijus Saalikin” (1/224):
ﻓﺈﻥ ﺍﻟﺒﺪﻉ ﺗﺴﺘﺪﺭﺝ ﺑﺼﻐﻴﺮﻫﺎ ﺇﻟﻰ ﻛﺒﻴﺮﻫﺎ، ﺣﺘَّﻰ ﻳَﻨْﺴَﻠِﺦ ﺻﺎﺣﺒﻬﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﺪِّﻳﻦ، ﻛﻤﺎ ﺗﻨﺴﻞُّ ﺍﻟﺸﻌﺮﺓ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﺠﻴﻦ
“Maka sesungguhnya kebid’ahan akan meningkat berangsur-angsur dari yang kecil hingga yang besar, hingga pelakunya terkupas habis dari agama, seperti terurainya sehelai rambut dari adonan.”

Dan benarlah seorang yang berkata:
ﻛﻞ ﺍﻟﺤﻮﺍﺩﺙ ﻣﺒﺪﺅﻫﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﻈﺮ ● ﻭﻣُﻌْﻈﻢ ﺍﻟﻨﺎﺭ ﻣﻦ ﻣﺴﺘﺼﻐﺮ ﺍﻟﺸﺮﺭ
“Setiap peristiwa permulaannya dari pandangan… Dan besarnya kobaran api berasal dari percikan-percikan api yang kecil.”

Al-Imam Al-Barbahari (329 H) rahimahullah berkata: “Berhati-hatilah dari perkara-perkara muhdats (bid’ah) yang kecil, karena bid'ah yang kecil akan menjadi besar. Dan demikianlah, semua kebid’ahan yang muncul di umat ini pada awalnya menyerupai kebenaran, maka tertipulah mereka yang masuk ke dalamnya, hingga kemudian tidak mampu untuk keluar darinya….” (Syarh As-Sunnah hal. 37)

Al-Imam Ad-Darimi meriwayatkan bahwasanya Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu menjumpai sekelompok manusia berkumpul di masjid membentuk lingkaran. Masing-masing memegang kerikil-kerikil, dan di tengah mereka ada seseorang yang duduk dan mengatakan: “Bertasbihlah kalian seratus kali! Bertahlillah seratus kali! Bertakbirlah seratus kali!” Dengan kerikil-kerikil itu mulailah mereka menghitung dzikir (bersama-sama). Maka berdirilah Abdullah bin Mas’ud mengingkarinya seraya berkata: “Apa yang kalian lakukan ini?” Mereka menjawab: “Wahai Abu ‘Abdirrahman, kami menghitung takbir, tasbih dan tahlil dengan kerikil-kerikil ini.” Berkatalah Ibnu Mas’ud: “Hitung saja kesalahan-kesalahan kalian. Aku jamin kebaikan kalian tidak disia-siakan sedikitpun. Wahai umat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, betapa celakanya kalian! Betapa cepatnya kehancuran kalian! (Bukankah) sahabat Nabi kalian masih banyak, dan pakaian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam belum lagi hancur? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah yang kalian lakukan ini berada di atas agama yang lebih baik dari agama Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, ataukah kalian telah membuka pintu-pintu kesesatan!?” Mereka menjawab: “Demi Allah subhanahu wa ta’ala! Wahai Abu Abdurrahman, tidaklah kami menginginkan kecuali kebaikan!” Ibnu Mas’ud berkata: “Betapa banyak orang menginginkan kebaikan akan tetapi tidak mendapatkannya.”
‘Amr bin Salamah (salah seorang perawi hadits ini) berkata: “ Sungguh kami melihat bahwa semua mereka yang berada di halaqah-halaqah tersebut memerangi kami di hari Nahrawan bersama barisan Khawarij.”
(Diriwayatkan oleh Ad-Darimi dalam As-Sunan dan dishahihkan Al-Albani dalam Ash-Shahihah , 5/11, no. 2005)

Pertempuran Nahrawan adalah pertempuran besar antara Ali dan Khawarij. Terbunuh pada perang ini tokoh-tokoh Khawarij, termasuk di antara mereka adalah orang-orang yang terlibat pembunuhan khalifah Utsman bin ‘Affan.

Asy-Syaikh Al-Albani berkata menerangkan faedah dari riwayat Ad-Darimi ini: “Sesungguhnya bid’ah yang kecil akan mengantarkan kepada bid’ah yang besar.” (Ash-Shahihah, 5/11)

-----------------------------------

Pelaku Bidah Berdosa karena Menyelisihi Sunnah

Pada masa tabi’in terkemuka, Sa’id bin Al Musayyab rahimahullahu, ada seseorang yang mengerjakan shalat sunah subuh di Masjid Nabawi berulang kali. Sa’id bin Al Musayyab menegur dan menasehatinya. Tetapi, orang itu membantah,”Wahai Imam, apakah saya akan disiksa karena mengerjakan shalat?” Sa’id bin Al Musayyab berkata, ”Engkau tidak disiksa karena shalat, tetapi karena menyelisihi perintah/ketetapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, Allah Ta’ala berfirman (An Nuur 63):
ﻓَﻠْﻴَﺤْﺬَﺭِ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﺨَﺎﻟِﻔُﻮﻥَ ﻋَﻦْ ﺃَﻣْﺮِﻩِ ﺃَﻥْ ﺗُﺼِﻴﺒَﻬُﻢْ ﻓِﺘْﻨَﺔٌ ﺃَﻭْ ﻳُﺼِﻴﺒَﻬُﻢْ ﻋَﺬَﺍﺏٌ ﺃَﻟِﻴﻢٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.”

Tentang MENJABAT TANGAN DAN MENYENTUH WANITA YANG BUKAN MAHRAMNYA

Tidak boleh berjabat tangan dengan wanita selain mahramnya.

Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata,
ﻭَﻻَ ﻭَﺍﻟﻠﻪِ ﻣَﺎ ﻣَﺴَّﺖْ ﻳَﺪُ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻳَﺪَ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓٍ
“Tidak. Demi Allah, tidak pernah tangan Rasulullah menyentuh tangan seorang wanita (yang bukan mahramnya).” (HR. al-Bukhari no. 4609 dan Muslim no. 1866‏)

Demikian pula hadits Umaimah binti Ruqaiqah tentang baiat kaum muslimah. ”Wahai Rasulullah, mengapa Anda tidak menjabat tangan kami?"
Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
ﺇِﻧِّﻲ ﻻَ ﺃُﺻَﺎﻓِﺢُ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀَ
“Sesungguhnya aku tidak menjabat tangan kaum wanita.” (HR. Malik 2/982, at-Tirmidzi 4/151, an-Nasai 7/149, Ahmad 6/401. Lihat as-Silsilah ash-Shahihah no. 529)

Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
ﻟَﺄَﻥْ ﻳُﻄْﻌَﻦَ ﻓِﻲ ﺭَﺃْﺱِِ ﺃَﺣَﺪِﻛُﻢْ ﺑِﻤِﺨْﻴَﻂٍ ﻣِﻦْ ﺣَﺪِﻳﺪٍ ﺧَﻴﺮٌ ﻟَﻪُ ﻣِﻦْ ﺃَﻥْ ﻳَﻤُﺲَّ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓً ﻻَ ﺗَﺤِﻞُّ ﻟَﻪُ
“Sungguh, kepala salah seorang di antara kalian ditusuk dengan jarum besi lebih baik baginya daripada menyentuh seorang wanita yang tidak halal untuknya.” (HR. ath-Thabarani dan al-Baihaqi dari sahabat Ma’qil bin Yasar. Lihat as-Silsilah ash-Shahihah no. 226)

Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim di dalam Shahih keduanya dari Abi Hurairah radhiallahu anhu berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Telah ditetapkan bagi anak Adam bagiannya dari zina, senantiasa dia mendapatkan hal itu dan tidak mustahil, kedua mata zinanya adalah melihat, kedua telinga zinanya adalah mendengarkan, tangan zinanya adalah menyentuh, kaki zinanya adalah melangkah, dan hati cenderung dan mengangankannya, dan yang membenarkan atau mendustakan semua itu adalah kemaluan.”

Dan hukum haramnya perbuatan ini ada di dalam kitab-kitab empat madzhab.

Tentang MENGIKUTI PEMERINTAH DI DALAM MENENTUKAN WAKTU BERPUASA, BERHARI RAYA, DAN BERKURBAN

Iedul Fitri dan juga shaum Ramadhan (dan juga Iedul Adha) merupakan syiar keutuhan dan kebersamaan, namun sangat disayangkan ketika syiar ini mulai ternodai oleh perselisihan dan perpecahan di antara kaum muslimin (yang ternyata dipelopori oleh ormas-ormas Islam sendiri) di dalam menentukan Iedul Fitri ataupun shaum Ramadhan (ataupun Idul Adha).
Padahal Nabi bersabda:
ﺍﻟﺼَﻮْﻡُ ﻳَﻮْﻡَ ﺗَﺼُﻮْﻣُﻮْﻥَ ﻭَﺍﻟْﻔِﻄْﺮُ ﻳَﻮْﻡَ ﺗُﻔْﻄِﺮُﻭْﻥَ ﻭَﺍﻷَﺿْﺤَﻰ ﻳَﻮْﻡَ ﺗُﻀَﺤُّﻮْﻥَ
“Shaum itu pada waktu bershaumnya kaum muslimin, berbuka pada saat berbukanya kaum muslimin, dan berkurban pada saat kaum muslimin berkurban.” (HR. At-Tirmidzi dengan sanad shahih)
Yakni bersama pemerintah kaum muslimin.

Terkait dengan hadits di atas, al-Imam Abul Hasan as-Sindi rahimahullah berkata, “Yang pasti, penentuan urusan ini (berpuasa, berbuka, dan berhari raya) bukanlah kewenangan setiap orang. Tidak dibolehkan bagi mereka untuk menyendiri dalam pelaksanannya. Akan tetapi, hendaknya dikembalikan kepada pemerintah. Untuk itu, wajib bagi setiap orang untuk mengikuti apa yang telah diputuskan/ditetapkan pemerintah dan komunitas manusia yang bersamanya.” (Hasyiyah as-Sindi ‘ala Ibni Majah)

Al-Imam Ibnu Baththah rahimahullah berkata, “Telah sepakat para ulama dari kalangan ahli fikih, ahlul ‘ilmi, serta ahli ibadah dan yang dikenal kezuhudannya dari generasi pertama umat ini hingga waktu kita sekarang bahwa shalat Jum’at dan pelaksanan shalat hari raya (‘Idul Fitri dan Adha) serta yang menyangkut Mina, ‘Arafah, dan jihad, adalah bersama pemerintah, yang baik ataupun yang jahat.” (Syarhul Ibanah)

Asy-Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata,
ﻋﻠﻴﻚ ﺃﻥ ﺗﺒﻘﻰ ﻣﻊ ﺃﻫﻞ ﺑﻠﺪﻙ، ﻓﺈﻥ ﺻﺎﻣﻮﺍ ﻓﺼﻢ ﻣﻌﻬﻢ ﻭﺇﻥ ﺃﻓﻄﺮﻭﺍ ﻓﺄﻓﻄﺮ ﻣﻌﻬﻢ؛ ﻟﻘﻮﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‏: ﺍﻟﺼﻮﻡ ﻳﻮﻡ ﺗﺼﻮﻣﻮﻥ، ﻭﺍﻟﻔﻄﺮ ﻳﻮﻡ ﺗﻔﻄﺮﻭﻥ، ﻭﺍﻷﺿﺤﻰ ﻳﻮﻡ ﺗﻀﺤﻮﻥ
Wajib atasmu untuk berpegang bersama negerimu. Jika mereka berpuasa maka puasalah bersama mereka dan jika dia berbuka berbukalah bersama mereka; Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:
"Berpuasa pada hari mereka berpuasa, dan berbuka pada hari mereka berbuka, dan berkurban pada hari mereka berkurban."
Beliau rahimahullah juga berkata,
ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻈﻬﺮ ﻟﻨﺎ ﻣﻦ ﺣﻜﻢ ﺍﻟﺸﺮﻉ ﺍﻟﻤﻄﻬﺮ ﺃﻥ ﺍﻟﻮﺍﺟﺐ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﻣﻊ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻟﺪﻳﻚ
Yang nampak bagi kami dari hukum syari’ yang suci bahwasanya wajib atas kalian puasa bersama kaum muslimin ditempatmu.
(Majmu Fatawa asy-Syaikh Bin Baz)

Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata,
ﻓﻜﻞ ﺇﻧﺴﺎﻥ ﻳﺼﻮﻡ ﻣﻊ ﺃﻫﻞ ﺍﻹﻗﻠﻴﻢ ﻭﺃﻫﻞ ﺍﻟﺒﻠﺪ ﺍﻟﺬﻱ ﻫﻮ ﻓﻴﻪ ﺇﺫﺍ ﺭﺃﻭﺍ ﺍﻟﻬﻼﻝ ﻭﻳﻔﻄﺮ ﻣﻌﻬﻢ
Setiap manusia berpuasa bersama wilayahnya dan negeri yang dia.tinggal padanya jika mereka melihat hilal dan berbuka bersama mereka.
Beliau hafizhahullah juga berkata,
ﻛﻞ ﻣﺴﻠﻢ ﻳﺼﻮﻡ ﻭﻳﻔﻄﺮ ﻣﻊ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺍﻟﻤﻮﺟﻮﺩﻳﻦ ﻓﻲ ﺑﻠﺪﻩ
Maka setiap muslim dia berpuasa dan berbuka bersama muslimin yang berada di negerinya.
(al-Muntaqo jilid 2 hal. 365)

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Apabila pemerintah sudah mengumumkan melalui radio atau media lainnya tentang penetapan masuknya awal bulan Hijriyyah, maka wajib beramal dengannya untuk menetapkan waktu masuk dan keluarnya bulan, baik bulan Ramadhan atau bulan yang lainnya. Hal itu dikarenakan pengumuman dari pemerintah adalah hujah syar’i yang harus.diamalkan. Oleh sebab itu, dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada Bilal untuk mengumumkan kepada masyarakat penetapan awal bulan agar mereka semuanya berpuasa, dan pada waktu itu, masuknya bulan telah terbukti di sisi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian, beliau menjadikan pengumuman itu sebagai ketetapan yang harus mereka ikuti untuk menjalankan ibadah puasa.” (Majalis Syahr Ramadhan)

Di samping itu kami juga mewasiatkan kepada pemerintah -semoga Allah merahmati mereka- agar melandaskan keputusan masuk dan keluarnya Ramadhan secara syar’i, yaitu dengan ru’yatul hilal dan tidak dengan ilmu hisab.
Rasulullah bersabda,
ﺻُﻮﻣُﻮﺍ ﻟِﺮُﺅْﻳَﺘِﻪِ ﻭَﺃَﻓْﻄِﺮُﻭﺍ ﻟِﺮُﺅْﻳَﺘِﻪِ ﻓَﺈِﻥْ ﻏُﺒِّﻲَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻓَﺄَﻛْﻤِﻠُﻮﺍ ﺍﻟﻌِﺪَّﺓَ ﺛَﻼَﺛِﻴﻦَ
“Bershaumlah berdasarkan ru’yatul hilal dan berhari rayalah berdasarkan ru’yatul hilal. Jika terhalangi oleh mendung (atau semisalnya) maka genapkan bilangan (Ramadhan) menjadi 30 hari.” (HR. Al-Bukhari)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻳُﺼَﻠُّﻮﻥَ ﻟَﻜُﻢْ ﻓَﺈِﻥْ ﺃَﺻَﺎﺑُﻮﺍ ﻓَﻠَﻜُﻢْ ﻭَﻟَﻬُﻢْ، ﻭَﺇِﻥْ ﺃَﺧْﻄَﺆُﻭﺍ ﻓَﻠَﻜُﻢْ ﻭَﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ
“Mereka (pemerintah) memimpin shalat kalian. Jika mereka benar, (pahalanya) untuk kalian dan mereka. Jika mereka salah, kebenarannya untuk kalian dan (kesalahannya) mereka yang menanggung.” (HR. al-Bukhari dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

###

TERMASUK SUNNAH, BERUPAYA MELIHAT Hilal dan Mengembalikan Penentuannya Kepada Pemerintah

Dari Shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar berkata,
تَرَاءى النَّاسُ الْهِلَالَ، فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ، وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
“Orang-orang berupaya melihat hilal. Lalu aku beritakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku berhasil melihatnya. Maka beliaupun berpuasa (berdasarkan) hilal tersebut, dan memerintahkan umat manusia untuk berpuasa berdasarkan hilal tersebut juga.” (HR. Abu Dawud 2342)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan tentang hadits tersebut, “Bahwa termasuk Sunnah: berupaya melihat Hilal. Dalilnya adalah ucapan Ibnu ‘Umar, “Orang-orang berupaya melihat hilal.”
Sunnah dari jenis yang manakah ini? Sunnah Iqrariyyah (yakni Nabi membiarkan dan menyetujui sebuah peristiwa atau perbuatan yang terjadi/dilakukan pada masanya). Apakah termasuk sunnah memerintahkan umat untuk berupaya melihat hilal, sehingga dikatakan kepada mereka, “Carilah hilal pada malam ini, barangsiapa yang melihatnya di antara kalian hendaknya dia bersaksi di hadapan Qadhi.” Jawabannya: Kita memerintahkan mereka dalam rangka mengingatkan mereka dengan Sunnah ini. Karena itu yang lebih utama. Tidak dikatakan kepada mereka, “Carilah (upayakanlah melihat) hilal.” Namun dikatakan, “Dulu para shahabat biasa melakukan upaya melihat hilal. Barangsiapa di antara kalian yang juga ingin mencari (berupaya melihat) hilal, maka lakukanlah pada malam ini atau itu.” Cara ini lebih dekat untuk menepati Sunnah.
Juga diambil faidah dari hadits ini, bahwa tidak diterima kecuali ru’yah dari:
- orang yang terpercaya pada penglihatannya, dan
- terpercaya pada ucapannya karena dia seorang yang amanah dan tajam pandangannya.
Aku katakan: seorang yang meru`yah itu haruslah seorang yang bisa dipercaya ucapannya, karena dia memiliki sifat amanah dalam menyampaikan (berita), dan karena pandangannya yang tajam sehingga bisa melihat hilal.
Yang bisa diambil faidah dari hadits ini pula, bahwa urusan hilal ini dikembalikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau seorang hakim (pemerintah). Karena sabda Nabi, “Maka beliaupun berpuasa (berdasarkan) hilal tersebut, dan MEMERINTAHkan umat manusia untuk berpuasa berdasarkan hilal tersebut juga.” Jadi permasalahan seperti ini (keputusan penentuan hilal) DIKEMBALIKAN KEPADA PEMERINTAH. Bukan kepada semua orang, masing-masing berpuasa atau beridul fitri sekehendaknya, dengan persaksian orang lain. Namun keputusan itu kembali kepada pemerintah yang sah.” [Fathul Dzi al-Jalal wa al-Ikram, syarh hadits no. 623 dengan ada perubahan susunan]

Hadits ini menunjukkan, bahwa untuk menetapkan ru`yah hilal Ramadhan, cukup dengan persaksian satu orang muslim yang adil (terpercaya). [Lihat Fatwa al-Lajnah ad-Da`imah no. 256]

Majmuah Manhajul Anbiya

Tentang MEMBALAS SALAM DARI SESAMA MUSLIM

Bagi yang memulai salam, maka hukumnya sunnah. Adapun yang menjawab salam maka hukumnya wajib ‘ain.

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
ﺣَﻖُّ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢِ ﺧَﻤْﺲٌ؛ ﺭَﺩُّ ﺍﻟﺴَّﻠَﺎﻡِ، ﻭَﻋِﻴَﺎﺩَﺓُ ﺍﻟْﻤَﺮِﻳﺾِ، ﻭَﺍﺗِّﺒَﺎﻉُ ﺍﻟْﺠَﻨَﺎﺋِﺰِ، ﻭَﺇِﺟَﺎﺑَﺔُ ﺍﻟﺪَّﻋْﻮَﺓِ، ﻭَﺗَﺸْﻤِﻴﺖُ ﺍﻟْﻌَﺎﻃِﺲِ
“Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima: membalas salam, menjenguk orang sakit, mengikuti jenazah, memenuhi undangan, dan menjawab orang yang bersin.”

Allah 'Azza wa Jalla memerintahkan:
“Dan apabila kalian diucapkan salam penghormatan, balaslah dengan yang lebih baik atau balaslah (dengan yang serupa).” (An-Nisa`: 86)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Apabila seorang muslim mengucapkan salam kepada kalian, balaslah dengan ucapan salam yang lebih utama daripada yang dia ucapkan, atau balaslah sebagaimana yang dia ucapkan. Sehingga membalas dengan menambah ucapan salam itu disunnahkan, dan membalas dengan ucapan yang sama itu diwajibkan.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/269)

###

Asy-Syaikh al-‘Allaamah ‘Ubaid bin ‘Abdillah al-Jaabiry -hafidzahullah-

P E R T A N Y A A N :

Apa hukum menjawab salam dengan lafadz sama dengan yang diucapkan oleh pemberi salam? Yaitu dijawab dengan:
السلام ورحمة الله
as-salaamu warahmatullaah

J A W A B A N :

Tidak (tidak benar). Sunnahnya adalah demikian ini:
السلام عليكم
Atau 
السلام عليكم ورحمة الله
Atau
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Maka yang menjawab salam mengucapkan salam semisal ini. Jika pemberi salam mengatakan:
السلام عليكم
Maka dijawab dengan:
عليك السلام
atau
وعليك السلام
Namun jika ditambah dengan lafadz:
ورحمة الله وبركاته
maka ini lebih utama.
Terkadang pemberi salam mengatakan:
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Sebagaimana yang kalian dengar pada khutbah-khutbah kami, maka yang menjawab salam mengatakan:
وعليك السلام ورحمة الله وبركاته
Maksudnya adalah:
Jika seorang muslim diberi salam, maka dia menjawab salam seperti dengan yang diucapkan oleh pemberi salam, dan jika dia menambah lafadz (balasan) salam maka ini lebih bagus dan utama, sebagaimana yang Allah firmankan:
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا 
“Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah dengan yang lebih baik atau balaslah dengan yang serupa. Sesungguhnya Allah maha menghitung segala sesuatu.” (Surat An-Nisa: 86)
Demikian, balaslah salam dengan yang serupa atau yang lebih baik darinya.
Ya (demikian).

Abu Zain Abdulloh Iding
Jum’at, 24 Dzul Hijjah 1436 H
9 Oktober 2015

WA Berbagi Faedah [WBF] |  http://www.jendelasunnah.com

###

Menjawab salam juga dengan wajah, suara, dan lafadz yang lebih baik.

Allah ta’ala berfirman:
فحيوا بأحسن منها أو ردوها
Artinya:
“Maka jawablah (salam tadi) dengan yang lebih baik atau balas dengan yang semisalnya.”

Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan ayat ini:
“Yang baik dalam menjawab salam adalah dengan 3 cara:
1. Dengan lafadz
2. Dengan suara
3. Dengan wajah
Contoh: Jika ada yang mengucap salam kepadamu dengan lafadz:
السلام عليكم ورحمة الله
Maka yang lebih baik bagimu membalas salam ini dengan lafadz:
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
atau dengan:
وعليك السلام ورحمة الله حياك الله
Atau dengan:
وعليك السلام ورحمة الله أهلا وسهلا
Inilah cara membalas salam yang lebih baik dengan bentuk lafadz.
Adapun membalas dengan yang baik dalam hal suara, jika ada yang mengucapkan:
السلام عليك
Dengan suara yang jelas dan keras, maka balaslah  salam tersebut dengan suara yang lebih jelas dan keras, atau minimalnya engkau jawab dengan yang semisalnya.
Adapun jika ada yang mengucap salam kepadamu dengan suara yang jelas dan terdengar olehmu, tetapi engkau menjawabnya dengan suara yang mungkin bisa dengar atau tidak, maka engkau belum menunaikan kewajibanmu, dikarenakan Allah berfirman:
بأحسن منها
“Jawablah dengan yang lebih baik darinya atau yang semisalnya.”
Demikian pula dalam hal senyum.
Jika ada yang memberimu salam dengan senyuman dan wajah yang berseri-seri, tidaklah engkau membalasnya dengan wajah yang masam, karena engkau saat itu tidaklah menjawab salam dengan yang semisalnya dan tidak pula menjawab dengan yang lebih baik.
Ini adalah permasalahan yang kebanyakan orang lalai. Maka seyogyanya bagi seorang yang beriman untuk mengetahuinya dan mengamalkannya.”

Abu Zain Abdulloh Iding
Jum’at, 24 Dzul Hijjah 1436 H
9 Oktober 2015

WA Berbagi Faedah [WBF] |  http://www.jendelasunnah.com

Tentang MENGUCAPKAN SALAM KETIKA MASUK RUMAH SENDIRI

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman di dalam Kitab-Nya yang mulia:
“Apabila kalian memasuki rumah, maka ucapkanlah salam bagi diri kalian sebagai penghormatan dari sisi Allah yang penuh berkah dan kebaikan.” (An-Nur: 61)

Diriwayatkan oleh Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu 'anhu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
ﺛَﻼَﺛَﺔٌ ﻛُﻠُّﻬُﻢْ ﺿَﺎﻣِﻦٌ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ ﻋَﺰَّ ﻭَﺟَﻞَّ : ‏( ﻣِﻨْﻬَﺎ ‏) ﻭَﺭَﺟُﻞٌ ﺩَﺧَﻞَ ﺑَﻴْﺘَﻪُ ﺑِﺴَﻼَﻡٍ ﻓَﻬُﻮَ ﺿَﺎﻣِﻦٌ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ ﻋَﺰَّ ﻭَﺟَﻞَّ
“Ada tiga orang yang mendapat jaminan dari Allah 'Azza wa Jalla, (di antaranya) seseorang yang masuk rumahnya dengan mengucapkan salam, maka dia mendapatkan jaminan dari Allah 'Azza wa Jalla.” (HR. Abu Dawud no. 2494, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud: shahih)

Dan berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, “Wahai anakku, apabila kamu masuk ke keluargamu maka ucapkanlah salam, yang akan menjadi berkah bagimu dan bagi keluargamu.” (HR. At-Tirmidziy no.2841)

Adapun jika rumah dalam keadaan tidak ada orang, maka telah dijelaskan oleh para pendahulu kita yang shalih, di antaranya Mujahid dan Qatadah: Apabila engkau masuk rumah untuk menemui keluargamu, ucapkanlah salam kepada mereka. Apabila engkau masuk rumah yang tak berpenghuni, ucapkanlah:
ﺍﻟﺴَّﻼَﻡُ ﻋَﻠَﻴْﻨَﺎ ﻭَﻋَﻠَﻰ ﻋِﺒَﺎﺩِ ﺍﻟﻠﻪِﺍﻟﺼَّﺎﻟِـﺤِﻴْﻦَ
(Tafsir Ibnu Katsir, 5/431)

Abdullah bin Umar berkata:
إِذَا دَخَلَ الْبَيْتَ غَيْرَ الْمَسْكُونِ فَلْيَقُلِ: السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ
Jika seseorang masuk ke dalam rumah yang tidak berpenghuni, maka hendaknya dia mengucapkan, ASSALAAMU ‘ALAINA WA ‘ALAA ‘IBAADILLAAHISH SHAALIHIIN’ (semoga keselamatan senantiasa tercurahkan atas kami dan hamba-hamba Allah yang shalih). [HR. Al-Bukhari dalam kitab Al-Adabul Mufrad no. 1055, dihasankan oleh al-‘Allamah al-Albani rahimahullah]

Tentang MEMBERI SALAM OLEH YANG LEBIH MUDA KEPADA YANG LEBIH TUA, OLEH YANG BERJALAN KEPADA YANG DUDUK, DAN OLEH YANG SEDIKIT KEPADA YANG BANYAK

Demikian yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam ucapan beliau yang dinukilkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu:
ﻳُﺴَﻠِّﻢُ ﺍﻟﺼَّﻐِﻴْﺮُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻜَﺒِﻴْﺮِ، ﻭَﺍﻟْﻤَﺎﺭُّ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻘَﺎﻋِﺪِ، ﻭَﺍﻟْﻘَﻠِﻴْﻞُ
ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻜَﺜِﻴْﺮِ
“Yang kecil memberi salam kepada yang besar, yang berjalan memberi salam kepada yang duduk, yang sedikit memberi salam kepada yang banyak.” (HR. Al-Bukhari no.6234 dan Muslim no. 2160)

Tentang MENGUCAPKAN SALAM KETIKA DATANG DAN KETIKA PERGI

Diceritakan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu:
ﺇِﻥَّ ﺭَﺟُﻼً ﻣَﺮَّ ﻋَﻠَﻰ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ  ﻭَﻫُﻮَ ﻓِﻲ ﻣَﺠْﻠِﺲٍ، ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﺍﻟﺴَّﻼَﻡُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ. ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﻋَﺸْﺮَ ﺣَﺴَﻨَﺎﺕٍ. ﻓَﻤَﺮَّ ﺭَﺟُﻞٌ ﺁﺧَﺮُ ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﺍﻟﺴَّﻼَﻡُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻭَﺭَﺣْﻤَﺔُ ﺍﻟﻠﻪِ، ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﻋِﺸْﺮُﻭْﻥَ ﺣَﺴَﻨَﺔً. ﻓَﻤَﺮَّ ﺭَﺟُﻞٌ ﺁﺧَﺮُ ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﺍﻟﺴَّﻼَﻡُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻭَﺭَﺣْﻤَﺔُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺑَﺮَﻛَﺎﺗُﻪُ. ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﺛَﻼَﺛُﻮﻥَ ﺣَﺴَﻨَﺔً. ﻓَﻘَﺎﻡَ ﺭَﺟُﻞٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤَﺠْﻠِﺲِ ﻭَﻟَﻢْ ﻳُﺴَﻠِّﻢْ، ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ : ﻣَﺎ ﺃَﻭْﺷَﻚَ ﻣَﺎ ﻧَﺴِﻲَ ﺻَﺎﺣِﺒُﻜُﻢْ، ﺇِﺫَﺍ ﺟَﺎﺀَ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢُ ﺍﻟْﻤَﺠْﻠِﺲَ ﻓَﻠْﻴُﺴَﻠِّﻢْ، ﻓَﺈِﻥْ ﺑَﺪَﺍ ﻟَﻪُ ﺃَﻥْ ﻳَﺠْﻠِﺲَ ﻓَﻠْﻴَﺠْﻠِﺲْ، ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻗَﺎﻡَ ﻓَﻠْﻴُﺴَﻠِّﻢْ، ﻣَﺎ ﺍﻟْﺄُﻭْﻟَﻰ ﺑِﺄَﺣَﻖَّ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺂﺧِﺮَﺓِ
Ada seseorang datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang saat itu sedang berada di suatu majelis. Orang itu berkata, “Assalamu ‘alaikum.” Beliau pun bersabda, “Dia mendapat sepuluh kebaikan.” Datang lagi seorang yang lain, lalu berkata, “Assalamu ‘alaikum warahmatullahi.” Beliau bersabda, “Dia mendapat dua puluh kebaikan.” Ada seorang lagi yang datang, lalu mengatakan, “Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.” Beliau pun bersabda, “Dia mendapat tiga puluh kebaikan.” Kemudian ada seseorang yang bangkit meninggalkan majelis tanpa mengucapkan salam, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun mengatakan, “Betapa cepatnya teman kalian itu lupa. Jika salah seorang di antara kalian mendatangi suatu majelis, hendaknya dia mengucapkan salam. Bila ingin duduk, hendaknya dia duduk. Bila dia pergi meninggalkan majelis, hendaknya mengucapkan salam. Tidaklah salam yang pertama lebih utama daripada salam yang akhir.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 757: shahih)

Imam Nawawi Rahimahullohu ta'ala mengatakan:
“Termasuk perkara sunnah adalah bila seseorang berdiri dari tempat duduknya dan dia hendak pergi meninggalkan tempat duduknya (berpisah) dengan orang yang duduk di sebelahnya untuk memberi salam kepada mereka.” (Al Majmu' 4/325)

Tentang MEMPERDENGARKAN UCAPAN SALAM

Ketika menyampaikan salam, hendaknya seseorang memperdengarkan ucapan salamnya.
Diriwayatkan oleh Tsabit bin ‘Ubaid radhiyallahu 'anhu:
ﺃَﺗَﻴْﺖُ ﻣَﺠْﻠِﺴًﺎ ﻓِﻴْﻪِ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺑْﻦُ ﻋُﻤَﺮَ ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﺇِﺫَﺍ ﺳَﻠَّﻤْﺖَ
ﻓَﺄَﺳْﻤِﻊْ، ﻓَﺈِﻧَّﻬَﺎ ﺗَﺤِﻴَّﺔٌ ﻣِﻦْ ﻋِﻨْﺪِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻣُﺒَﺎﺭَﻛَﺔٌ ﻃَﻴِّﺒَﺔٌ
“Aku pernah mendatangi suatu majelis yang di situ ada ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu 'anhuma. Maka beliau berkata, ‘Apabila engkau mengucapkan salam, perdengarkan ucapanmu. Karena ucapan salam itu penghormatan dari sisi Allah yang penuh berkah dan kebaikan’.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 769: shahihul isnad)