Cari Blog Ini

Selasa, 21 Juni 2016

FATAWA SEPUTAR RAMADHAN

Bulan Ramadhan adalah bulan penuh barokah bagi umat Islam. Keutamaan ini tidak diberikan kepada umat sebelum mereka. Agar kita bisa memperoleh barokah yang besar di bulan tersebut, maka hendaknya kita menjalani berbagai ibadah di bulan Ramadhan dengan ilmu. Berikut ini kami bawakan beberapa bimbingan ulama seputar ibadah di bulan Ramadhan.

Hukum Niat di Malam Hari

Apa hukum orang yang belum mengetahui masuknya bulan Ramadhan kecuali setelah terbit fajar, apa yang harus dia lakukan?

Orang yang belum mengetahui masuknya bulan Ramadhan kecuali setelah terbit fajar, wajib baginya untuk menahan diri dari segala yang membatalkan puasa pada sisa hari itu, karena sudah masuk Ramadhan. Tidak boleh bagi yang mukim dan orang sehat untuk melakukan salah satu dari perkara yang membatalkan puasa dan wajib baginya mengganti hari tersebut karena dia belum berniat puasa di malam hari sebelum fajar (shubuh). Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda,

مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ

“Barang siapa yang tidak berniat puasa di malam hari sebelum fajar (shubuh) maka tidak ada puasa baginya” (HR. Daruquthni dengan sanadnya dari ‘Amrah dari ‘Aisyah radhiyallahu anha. Daruquthni mengatakan semua perawinya terpercaya).

Ibnu Qudamah rahimahullah menukilkan dalam “Al Mughni” bahwa itu (kewajiban berniat di malam hari) pendapat seluruh ahli fiqih, dan yang dimaksud adalah puasa wajib sebagaimana disebutkan dalam hadits yang mulia tadi. Adapun puasa sunnah maka boleh niat di siang hari dengan syarat belums melakukan sesuatu dari perkara yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar, karena telah shahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang menjelaskan hal itu. (lihat Fatawa bin Baz : 15/251 )

Apa hukum berbuka bagi orang sakit dan musafir?

Barang siapa sakit atau musafir, maka boleh baginya berbuka/tidak berpuasa, bahkan mustahab (sunnah) dan dianjurkan dia berbuka, berdasarkan firman Allah subhanahu wata’ala (artinya),

Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (Al Baqarah: 185)

dan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ

“Sesungguhnya Allah menyukai jika rukhsoh-Nya (dispensasi hukum) dikerjakan sebagaimana Dia benci jika kemaksiatan dikerjakan.” (HR. Ahmad)

Hal itu semua dengan syarat, sakit yang memberatkan baginya jika berpuasa. Adapun jika tidak memberatkan, maka tidak boleh berbuka karena hal itu tidak termasuk udzur. Adapun bagi musafir, maka berbuka adalah sunnah sebagaimana hal itu dilakukan oleh Rasulullah dan para shahabat. Akan tetapi jika seorang muslim mengetahui bahwa tidak berpuasanya dia ketika safar akan memberatkan dan membebani dirinya saat mengganti di masa yang akan datang dan dia khawatir puasa tersebut berat baginya, lalu dia tetap berpuasa dengan berbagai pertimbangan tersebut maka itu baik dan tidak mengapa baginya sama saja apakah kendaraannya nyaman atau tidak. (lihat Fatawa bin Baz: 15/ 234, 235)

Menelan Ludah

Apakah menelan ludah membatalkan puasa?

Ludah tidak membatalkan puasa berdasarkan kesepakatan ulama, dan tidak mungkin ada yang mengatakan bahwa dia membatalkan. Akan tetapi jika sengaja mengumpulkan ludah lalu menelannya, sebagian ulama’ berpendapat bahwa hal itu membatalkan. Namun pendapat yang benar, tidak membatalkan karena dia tidak memasukkan makanan atau minuman ke dalam rongga tubuhnya. Ludah berasal dari rongga tubuh dan kembali kepadanya. Berdasarkan hal ini, menurut pendapat yang kuat, dahak juga tidak membatalkan walaupun sudah di mulut dan ditelan. Akan tetapi hendaknya seseorang tidak menelan dahaknya karena para ulama melarangnya dari sisi sebagai kotoran yang tidak pantas untuk ditelan. Adapun berkumur-kumur karena haus, apakah membatalkan? Jika airnya ditelan, tidak diragukan lagi bahwa hal itu membatalkan, namun jika tidak ditelan maka tidak membatalkan. (lihat Silsilah Liqo Al Bab al Maftuh Ibnu Utsaimin: 153)

Hukum Suntikan Obat Bius dan Membersihkan Gigi atau Menambal atau Mencabutnya

Apakah mencabut gigi atau menambalnya berpengaruh pada puasa dan apa hukum suntikan obat bius?

Semua yang disebutkan dalam pertanyaan tersebut tidak berpengaruh pada puasa, puasanya sah bahkan hal itu merupakan perkara yang bisa ditoleransi. Akan tetapi wajib baginya untuk tetap menjaga jangan sampai ada yang tertelan baik obat atau darah. Suntikan obat bius juga tidak berpengaruh pada puasanya karena tidak bisa disamakan dengan makan dan minum. Secara hukum asal puasanya tetap sah. (lihat Fatawa bin Baz 15: 259)

Donor Darah dan Transfusi Darah

Apa ketentuan darah yang keluar dari badan yang bisa membatalkan puasa? dan bagaimana bisa membatalkan puasa?

Darah yang bisa membatalkan puasa adalah darah yang keluar karena bekam, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (artinya),

“Orang yang membekam dan yang dibekam telah berbuka (batal puasanya-red).” (HR. Abu Daud, at-Tirmidzi dan lainnya)

Mengeluarkan darah dengan sengaja sehingga keluar darah yang banyak yang menyebabkan pelakunya lemah seperti donor darah, maka dikiaskan pada bekam. Karena hal itu bisa membatalkan puasa sebagaimana bekam. Karena syariat Islam tidak membedakan sesuatu yang sama dan tidak menyamakan sesuatu yang berbeda. Adapun darah yang keluar tanpa sengaja seperti darah mimisan atau teriris tangannya ketika memotong daging atau menginjak kaca dan semisalnya, maka hal itu tidak membatalkan puasa walaupun keluar darah yang banyak. Demikian pula kalau keluar darah sedikit seperti darah yang dikeluarkan untuk tes darah juga tidak membatalkan puasa. (lihat Fatawa bin Baz:15/ 272)

Apa hukum transfusi darah bagi orang yang sakit gagal ginjal dalam keadaan dia berpuasa, apakah wajib baginya mengqadha atau tidak?

Wajib baginya mengqadha (mengganti puasanya) disebabkan darah bersih yang dimasukkan dalam tubuhnya, apalagi ada tambahan zat yang lain, maka ini juga sebagai pembatal lainnya. (lihat Fatawa bin Baz :15/274)

Haid dan Nifas

Jika seorang wanita haid di bulan Ramadhan atau di akhir masa nifasnya dan suci dari hal itu setelah fajar di salah satu hari di bulan Ramadhan, apakah wajib baginya berpuasa pada hari itu atau tidak? Apa yang harus dia lakukan jika dia mandi dan mulai berpuasa, namun setelah beberapa saat nampak baginya darah haid atau nifas. Apakah dia harus memutus puasanya ataukah hal itu tidak berpengaruh padanya?

Terkait dengan poin yang pertama, yaitu apabila seorang wanita suci dari haid atau nifasnya di pertengahan hari maka dia wajib mandi, shalat dan puasa pada sisa hari tersebut, kemudian mengganti puasa hari tersebut di hari yang lain.

Adapun poin yang kedua, yaitu jika darah haidnya sudah berhenti, kemudian mandi, setelah beberapa saat ternyata melihat cairan merah pudar atau kuning yang keluar, maka jangan dipedulikan, berdasarkan perkataan Ummu ‘Athiyah radhiyallahu anha: “Kami dulu sama sekali tidak mempedulikan adanya Kudroh (cairan merah pudar) dan Sufroh (cairan kuning) yang keluar setelah mandi haid” (HR. Abu Daud dan Nasa’i). Maka jangan pedulikan hal itu.

Adapun terkait dengan nifas, jika darahnya berhenti sebelum 40 hari, dan mandi, kemudian ada sesuatu yang keluar lagi, maka itu termasuk nifas. Puasa dan shalatnya tidak sah selama nifasnya masih ada, karena masih di masa nifas. Adapun kalau sudah sempurna 40 hari, lalu mandi dan ternyata ada yang keluar lagi, maka jangan dipedulikan, kecuali jika bertepatan dengan masa kebiasaan haidnya, maka itu adalah haid.

Kesimpulannya, permasalahan ini perlu diperinci. Jika masa haidnya sudah sempurna, lalu mandi, kemudian melihat cairan kembali, maka jangan dipedulikan. Jika masa haidnya belum sempurna, lalu melihat tanda suci di masa haidnya dan mandi lalu keluar darah lagi, maka itu dianggap haid karena masih dalam masa kebiasaan haidnya. Begitu pula perincian dalam masalah nifas. (lihat Muntaqa Fatawa Al Fauzan)

Tidur Siang Hari, Begadang di Malam Hari

Sebagian orang begadang sampai fajar kemudian tidur setelah shalat Shubuh sampai masuk waktu dhuhur, kemudian shalat dan kembali tidur sampai ashar lalu tidur sampai waktu menjelang berbuka. Apa hukum Islam terkait cara yang semacam ini?

Tidak mengapa tidur di siang hari dan malam hari jika tidak sampai meninggalkan kewajiban dan tidak sampai melakukan perkara yang diharamkan. Dan disyariatkan bagi seorang muslim baik berpuasa atau tidak untuk tidak begadang dan hendaklah segera tidur setelah Allah subhanahu wata’ala mudahkan melaksanakan shalat malam, kemudian bangun untuk makan sahur jika di bulan Ramadhan karena sahur hukumnya sunnah mu’akkadah berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً

“Sahurlah kalian karena sahur itu mengandung barokah.” (Muttafaqun ‘alaih)

Beliau shallallahu alaihi wasallam juga bersabda (artinya),

“Perbedaaan antara puasa kita dengan puasa ahlul kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim) (lihat Fatawa bin Baz :15/318)

Mengqadha Puasa Orang Yang Sudah Meninggal

Apakah boleh mengqadha puasa orang yang sudah meninggal yang tidak sempat berpuasa ketika masih hidup karena udzur syar’i dalam keadaan dia sudah mengeluarkan kaffarah sebelum meninggal?

Barang siapa yang tidak berpuasa karena sakit atau safar kemudian udzur tersebut hilang, maka wajib baginya mengganti di hari yang lain jika memang memungkinkan menggantinya. Jika dia meninggal dan belum mengganti setelah Ramadhan yang lain tanpa udzur, maka wajib dikeluarkan dari harta peninggalannya untuk memberi makan satu orang miskin setiap hari setengah sha’. Adapun jika udzurnya tersebut masih ada tidak ada beban baginya.

Jika sang mayit yang ditanyakan tadi menderita sakit menahun dan tidak mampu berpuasa baik langsung atau qadha’ dan telah memberi makan setiap harinya satu orang miskin, maka dia telah menunaikan kewajibannya sehingga tidak perlu lagi mengqadha’ puasanya. (Muntaqa Fatawa Al Fauzan: 222)

Pembaca, terkait cara membayar kaffarah (tebusan) bagi orang yang sudah tidak mampu melaksanakan ibadah puasa baik karena sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya atau karena usianya sudah lanjut, ada dua cara:

Pertama: Memberikan makanan siap saji kepada orang-orang miskin sejumlah hari yang ia tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Sebagaimana hal ini pernah dilakukan oleh shahabat Anas bin Malik radhiyallahu anhu ketika beliau berusia lanjut.

Kedua: Membagikan makanan pokok seperti beras kepada satu orang miskin sebanyak 1 mud setiap harinya. (lihat Majmu’ fatawa ibnu Utsaimin 17/87)

Sehingga pembaca bisa memilih yang diyakininya, setengah sha’ atau satu mud ketika hendak membayar fidyah. Agar terhindar dari perbedaan pendapat tersebut pembaca bisa memberi makanan siap saji dalam satu hari satu porsi, sebagaimana shahabat Anas bin Malik radhiyallahu anhu -ketika beliau berusia lanjut dan tidak mampu berpuasa- pernah mengundang 30 orang miskin, lalu menjamu mereka sampai kenyang.

Allahu A’lam Bishshawab

Penulis: Ustadz Abdul Aziz Sorong hafizhahullah

Al-Ilmu Edisi no. 34/VIII/XIV/1437 H

The post FATAWA SEPUTAR RAMADHAN appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/06/22/fatawa-seputar-ramadhan/

RAMADHAN, PENGHAMBAAN ATAU KEBIASAAN? –Jadikan Bulan Puasa Lebih Bermakna–

Pembaca, bagaimana kabar Anda hari ini? Kami berharap, Allah subhanahu wata’ala selalu menjaga Anda, keluarga Anda dan kita semua. Kami juga berharap Allah tetap menjadikan kita cinta terhadap ilmu agama, memberi kita istiqamah dalam beribadah hingga hari tua. Amin. Saya yakin, pada sebagian pembaca sudah tersedia buah kurma, menu buka puasa sebulan ke depan telah diagendakan, hidangan lebaran juga sudah direncanakan, atau bahkan baju baru lebaran telah ada di gantungan. Alhamdulillah.

Pembaca, hari-hari begitu cepat bergulir. Minggu berubah menjadi bulan. Bulan berganti menjadi tahun. Dan tahun-tahun itu, yang jumlahnya banyak, telah berlalu. Sekarang, kita telah berada di penghujung bulan Sya’ban (awal Ramadhan). Dan untuk kali ini, sudah keberapa kalinya kita memasuki bulan yang penuh barokah ini? Hitung saja dengan bantuan umur Anda masing-masing! Ternyata, memang sudah banyak.

Sudah Puasa! Sudah Takwa?

Kiranya, ayat 183 surah al-Baqarah sudah menjadi menu wajib para khatib di bulan Ramadhan. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya),

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian semua berpuasa, sebagaimana diwajibkan kepada kaum sebelum kalian, agar kalian bertakwa!” (al-Baqarah: 183)

Pembahasan kita bukan pada tafsir ayat di atas. Namun, kita akan mencoba mengaplikasikan ayat di atas pada diri kita, orang-orang yang alhamdulillah sudah berpuasa. Hal ini bertujuan sebagai bentuk evaluasi dan muhasabah. Apakah tujuan dari puasa telah tercapai? Apakah setelah menahan makan dan minum, kita sudah menjadi pribadi yang bertakwa?

Pembaca, coba sekarang, Anda menanyakan kepada diri Anda, sudah berapa Ramadhan yang sudah Anda lewati? Satu kali, dua kali, tiga kali atau lebih dari itu? Nah, dengan melewati momen Ramadhan tersebut apa yang Anda rasakan?

Apakah tujuan utama puasa telah terealisasi? Apakah Anda sudah menjadi orang yang bertakwa? Apakah setelah melewati sekian Ramadhan itu, Anda telah menjadi hamba yang peduli terhadap sesama? Apakah dan apakah?

Jawabannya ada pada diri Anda masing-masing. Jawaban itulah nilai dari puasa Anda. Berhasil atau tidaknya puasa, tergantung pada jawaban tadi.

Realita

Realitanya, kenapa pada sebagian kita, begitu banyak kesempatan Ramadhan dilewati namun seolah tidak memberi arti. Bagi sebagian orang selesainya Ramadhan pertanda selesainya ibadah, berhentinya Ramadhan alamat berhentinya taat, berakhirnya Ramadhan simbol berakhirnya berbagai kebaikan. Allahulmusta’an.

Artinya, puasa tersebut belum optimal, atau bisa jadi belum berhasil. Kemungkinan lain, puasa tersebut tidak bernilai lagi tidak berpahala. Lebih buruk lagi, yang didapat hanyalah lapar dan haus (na’udzubillah mindzalik). Kenapa ya?

Untuk menjawab pertanyaan ini tentu agak susah. Jelasnya, jika terjadi hal yang demikian menunjukkan kualitas puasa kita masih di bawah standar. Senyatanya, puasa kita belum seperti yang diinginkan oleh Allah subhanahu wata’ala. Bisa jadi, banyak kekurangan di sana-sini.

Berguru kepada Masa Lalu

Dari pengalaman masa lalu tersebut, mari berbenah. Ayo kita perbaiki Ramadhan ini, bisa jadi momen penuh barokah ini yang terakhir bagi kita. Semoga, kualitas ibadah puasa kita semakin bermakna.

Oleh karena itu, kami akan mengajak saudara pembaca untuk merenungi bimbingan dan nasihat ulama ketika menghadapi Ramadhan. Harapannya, dengan bimbingan tersebut nilai ibadah dalam puasa semakin terasa. Ramadhan tidak lagi sebatas kebiasaan, tapi lebih identik sebagai sebuah penghambaan dan pengabdian.

Bimbingan Ramadhan

Bimbingan kali ini bukan terkait hukum dan tata cara puasa Ramadhan. Akan tetapi, lebih menitikberatkan pada persiapan batin dalam bulan Ramadhan. Untuk hukum fikih Ramadhan, pembaca bisa merujuk pada edisi-edisi mendatang, insya Allah.

1. Sambut dengan bahagia

Di antara nasihat asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah kepada kaum muslimin di penghujung Sya’ban (awal Ramadhan), “Sambutlah bulan tersebut dengan penuh kebahagiaan dan kegembiraan.”

Kenapa kita harus bahagia? Tentu karena berbagai keutamaan yang Allah subhanahu wata’ala siapkan di bulan tersebut. Perasaan bahagia dan senang terhadap sesuatu itu juga akan melahirkan semangat dan tekad. Dengan demikian, ia akan menjalani bulan Ramadhan dengan berbagai ibadah dan amal kebaikan.

Jangan sampai muncul perasaan sedih dan terpaksa. “Duh, lagi-lagi puasa! Lagi-lagi tidak boleh makan dan minum sepuasnya!” ungkapan-ungkapan ini tidak sepantasnya terlintas apalagi terucap dari seorang mukmin.

2. Bertekad kuat

Setelah seseorang merasa bahagia dengan datangnya Ramadhan, hendaknya sejak awal mula Ramadhan, ia sudah membulatkan tekad untuk menghidupkan Ramadhan. Berasal dari tekad inilah, terlahir berbagai amal shalih.

Bahkan, disebutkan dalam kitab Jami’ul ‘Ulum wal Hikam karya Ibnu Rajab rahimahullah bahwa para salaf mempersiapkan diri mereka menghadapai Ramadhan sejak empat bulan sebelum datangnya bulan tersebut. Luar biasa bukan?

Lebih menakjubkan lagi, empat bulan berikutnya, mereka gunakan untuk melakukan koreksi, evaluasi dan interopeksi terhadap amalan mereka ketika Ramadhan. Bisakah kita seperti mereka?

Pembaca, untuk membangun tekad, Anda membutuhkan niat ikhlas. Dengan inilah amal seseorang akan mendapatkan balasan. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

“Sesungguhnya amalan-amalan itu hanya tergantung pada niat.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dengan keikhlasan, ibadah puasa tidak lagi sebatas kebiasaan. Karena ikhlas, dia berpuasa bukan karena merasa malu dengan temannya, atau terpaksa, ikut-ikutan. Dengan niat ikhlas pula, yang berpuasa pun akhirnya tidak sekedar mulut saja, tapi segenap anggota badan yang lain termasuk hati.

3. Berlomba dalam kebaikan

Anda yang ingin sukses di bulan Ramadhan, terapkan prinsip ini! Selalu berlomba dalam kebaikan. Setiap kali Anda melihat kawan bersedekah, ikutlah bersedekah. Bila ada kawan yang berhasil mengkhatamkan al-Qur’an di bulan Ramadhan, kenapa saya tidak? Dengan begitu Ramadhan dipenuhi dengan amal kebaikan.

Berlomba-lomba itu bukan dalam urusan dunia, akan tetapi kita diperintahkan untuk berlomba-lomba dalam urusan akhirat. Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala (artinya),

Berlomba-lombalah kalian dalam kebaikan” (al-Baqarah: 148)

Maka, jika ada kawan yang bisa mengkhatamkan al-Qur’an dua kali di bulan Ramadhan, ada teman yang selalu di shaf depan dalam shalat berjamaah, ada saudara yang bisa ibadah ini dan itu, saya pun harus bisa! Bukankah begitu? Barakallahufikum.

4. Bertaubat dari dosa

Sebenarnya, bertaubat dari dosa itu dituntut kapan saja, di Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Hanya saja, ketika menjelang Ramadhan, taubat itu lebih dituntut. Kenapa? Agar kebiasaan dosa itu tidak terbawa ketika di bulan Ramadhan.

Jika sebuah kebiasaan buruk tidak ditinggalkan, dengan mudah kebiasaan buruk itu akan terulang kembali. Secara tidak sadar, kebiasaan buruk itu akan merusak ibadah puasa seorang hamba. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta serta perbuatan bodoh maka Allah tidak butuh terhadap amalannya dari menahan makan dan minum.” (HR. Al-Bukhari no. 1804)

Renungan Sisipan:

Makan dan minum di luar Ramadhan itu halal, di bulan Ramadhan ditinggalkan. Sedangkan dusta, di luar Ramadhan sudah haram, kenapa pada saat Ramadhan justru dikerjakan? Wajar, bila Allah subhanahu wata’ala tidak butuh terhadap puasanya.

Pembaca, perhatikanlah seruan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, “Bulan Ramadhan telah mendatangi kalian

يَا بَاغِيَ اْلخَيْرِ أَقْبِلْ يَا بَاغِيَ الشَرِّ أَقْصِرْ

“Wahai pencari kebaikan, sambutlah Ramadhan! Wahai pelaku kejelekan, hentikanlah!” (HR. at-Tirmidzi)

5. Amar ma’ruf nahi mungkar

Untuk menghidupkan Ramadhan prinsip ini juga tidak kalah penting. Mengingatkan keluarga, saudara, dan kawan agar terus berbuat baik dan menjauh dari maksiat hendaknya ditempuh.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri membangunkan keluarganya di bulan Ramadhan, terlebih di sepuluh hari terakhir. Aisyah radhiyallahu anha menuturkan,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ

“Adalah Nabi shallallahu alaihi wasallam apabila memasuki 10 hari terakhir (bulan Ramadhan) beliau mengencangkan sarungnya, menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya.” (Muttafaqun ‘alaih)

6. Bersungguh-sungguh

Bersungguh-sungguh akan menjadi sebab tercapainya tujuan. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya),

Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, maka Kami akan benar-benar memberikan petunjuk kepada jalan-jalan Kami.” (QS. al-‘Ankabut: 69)

7. Bersabar

Bersungguh-sungguh belum cukup. Berapa banyak orang yang bersungguh-sungguh, ketika menemui jalan buntu, dia berhenti. Kadang ada rasa malas, kadang ada rasa bosan, sabar-lah solusinya. Sehingga butuh adanya kesabaran. Dengan kesabaran akan diraih hasil.

Jalan itu tidak mulus. Jika di lautan, pasti ada ombak menerjang. Jika di daratan, akan ada lubang dan tikungan. Jika di udara, maka ada awan tebal dan badai menghadang.

8. Tepat di atas syariat

Inilah prinsip yang paling urgen. Agar ibadah puasa diterima, Anda harus melandasinya dengan ilmu. Dengan menghadiri berbagai kajian, mendengar CD ceramah, membaca buku dan majalah, adalah di antara metode mencari ilmu.

Pembaca, tunggu apa lagi? Ramadhan sudah di depan mata. Lakukan yang terbaik untuk Ramadhan kali ini. Bisa jadi, ini adalah kesempatan terakhir yang Allah ta’ala berikan kepada kita. Wallahu a’lam.

Penulis: Ustadz Abu Abdillah Majdiy hafizhahullah

Sumber: Buletin Al-Ilmu Edisi no. 33/VIII/XIV/1437 H

The post RAMADHAN, PENGHAMBAAN ATAU KEBIASAAN? –Jadikan Bulan Puasa Lebih Bermakna– appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/06/21/ramadhan-penghambaan-atau-kebiasaan-jadikan-bulan-puasa-lebih-bermakna-2/