Cari Blog Ini

Minggu, 01 Maret 2015

Tentang MEMAKAI GIGI PALSU

Asy-Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Baz pernah ditanya tentang memasang gigi palsu, terutama jika untuk mode (bergaya atau memperindah penampilan).

Beliau menjawab:
Hukum gigi palsu itu boleh selama bukan terbuat dari emas untuk laki-laki. Maka bagi laki-laki sebaiknya meninggalkan gigi yang terbuat dari emas dan menggunakan gigi yang terbuat dari selain emas. Emas hanyalah dibolehkan dalam kondisi darurat sebagaimana Nabi mengizinkan untuk membuat hidung palsu dari emas ketika ada seseorang yang terpotong hidungnya. Kesimpulannya, gigi palsu itu dibolehkan ketika dibutuhkan.
Adapun untuk sekedar bergaya, maka tidak sepantasnya. Melakukan sesuatu yang demikian itu untuk berhias maka tidak ada sisi (dalil) pembenarannya. Begitu pula gigi yang sudah sehat tidaklah perlu dicabut supaya bisa bergaya dengan gigi palsu. Setiap orang seharusnya bersyukur kepada Allah atas nikmat gigi, dengan cara menjaganya tetap utuh tanpa mencabutnya. Minimal hukumnya
adalah makruh.
Adapun gigi yang lepas, lalu ingin menggantinya dengan gigi palsu, maka tidak masalah, asalkan gigi buatan tersebut berasal dari bahan tambang yang boleh digunakan, kecuali emas lebih baik dihindari kecuali dalam keadaan darurat untuk laki-laki.

Ada yang bertanya kepada beliau, "Bagaimana hukumnya untuk gigi yang jelek?"
Beliau menjawab, untuk gigi yang jelek tidak mengapa diperbaiki, baik gigi tersebut terlalu panjang dari yang normal, terlalu ke depan atau ke belakang. Memperbaikinya tidaklah mengapa.
(ibnbaz .org .sa/mat/11166)

Apakah termasuk merubah ciptaan Allah, mencabut gigi dan menggantinya dengan gigi palsu?
Komite Dewan Fatwa Ulama Kibar yang diketuai oleh asy-Syaikh Bin Baz yang terhimpun dalam al-Lajnah ad-Daimah menjawab, "Tidaklah mengapa mengobati gigi yang sakit atau rusak yang dapat menghilangkan dharar (sakit atau kerusakannya) atau tidak mengapa untuk mencabutnya lalu memasang gigi palsu sebagai penggantinya jika memang dibutuhkan yang demikian itu. Karena hal ini termasuk dalam rangka untuk menghilangkan dharar tersebut. Hal ini juga tidak termasuk merubah ciptaan Allah sebagaimana yang dipahami oleh si penanya, karena yang dimaksud dengan fithrah pada firman Allah "Tidak boleh merubah ciptaan (fithrah) Allah" yaitu merubah agama Allah."
(Lihat Fatawa al-Lainah ad-Daimah no. 21104)

Penulis: Ustadz Abu Abdirrahman Arif

Tentang MERAPIKAN GIGI DENGAN CARA MENGIKIR GIGI ATAU MEMASANG BEHEL ATAU KAWAT GIGI

Dalam masalah ini terdapat beberapa hadis, di antaranya hadis dari Ibnu Mas'ud, beliau mengatakan, "Allah melaknat orang yang menato (tukang tato) dan yang minta ditato, yang mencukur alis dan yang minta dicukur alisnya, yang merenggangkan gigi untuk memperindah penampilan, (semuanya itu dilaknat) karena telah mengubah ciptaan Allah." (HR. al-Bukhari 4886)

Dalam riwayat lain, Abdullah bin Mas'ud mengatakan: Aku telah mendengar dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
"Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang wanita dari mencukur alis, mengikir gigi, menyambung rambut dan menato, kecuali karena penyakit." (HR. Ahmad no. 3945 dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Ghayatul Maram no. 93)

Dalam Adab az-Zafaf, asy-Syaikh al-Albani menjelaskan makna al-Mutafallijat yaitu merenggangkan antara gigi-gigi yang saling berdempetan dengan alat kikir atau semisalnya. Makna lilhusni, yaitu dengan tujuan memperindah.

Al-Imam an-Nawawi mengatakan,
"Ucapan (al-Mutafallijat lilhusni) artinya, mereka melakukan hal itu dengan tujuan untuk menambah keindahan. Dalam hadits ini terdapat isyarat bahwa yang diharamkan adalah (mengikir gigi) untuk memperindah penampilan. Namun jika dilakukan karena kebutuhan, baik untuk pengobatan atau karena cacat dan semacamnya maka tidak mengapa."
(Syarh Shahih Muslim, 14/107)

Asy-Syaukani mengatakan, "Sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam 'kecuali karena penyakit' menunjukkan bahwa keharaman yang disebutkan manakala tindakan tersebut dilakukan untuk tujuan memperindah penampilan, bukan untuk menghilangkan penyakit atau cacat. Maka bila tujuannya demikian (untuk menghilangkan penyakit atau cacat) tidaklah haram." (Nailul Authar, 6/244)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin pernah ditanya, "Bagaimana hukum melakukan operasi untuk merapikan (mengatur) gigi?"
Beliau menjawab, merapikan gigi meliputi dua macam:
Pertama, bila bertujuan untuk menambah keindahan maka hukumnya haram. Nabi shallallahu alaihi wasallam telah melaknat perbuatan ini, "Wanita-wanita yang mengikir gigi untuk keindahan, mereka telah merubah-rubah ciptaan Allah." Padahal wanita dituntut untuk berhias dan merekalah tempatnya perhiasan. Oleh karenanya hukum bagi laki-laki melakukan perbuatan ini lebih terlarang.
Kedua, jika tujuannya untuk (menghilangkan cacat) maka tidak mengapa. Karena sebagian orang, gigi serinya atau selainnya tumbuh dengan jelek, orang yang melihatnya bakal menganggapnya jelek. Maka dalam keadaan semacam ini boleh baginya untuk memperbaikinya. Hal ini tidak termasuk dalam rangka untuk menambah keindahan.
Dalil yang menunjukkan dalam masalah ini yaitu, Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah memerintahkan kepada seseorang yang terpotong hidungnya untuk memasang (hidung palsu) dari perak, ternyata mengalami infeksi, maka Nabi memerintahkan untuk menggantinya dari bahan emas. (Maka hukumnya tidak mengapa) karena dengan tujuan menghilangkan cacat bukan untuk menambah keindahan.
(Majmu' Fatawa Warasail lil Utsaimin 17/51)

Bagaimana hukumnya memasang behel pada gigi dengan kawat?
Behel berupa kawat atau sejenisnya yang dipasang untuk mengatur atau menata petumbuhan gigi, supaya gigi tumbuh wajar atau normal. Wallahu a'lam kalau kita melihat dari penjelasan para ulama di atas adalah tergantung sebabnya. Sebagaimana dalam sebuah kaedah, "Hukum itu berlaku tergantung pada sebabnya, jika sebabnya masih ada maka masih berlaku hukumnya, dan jika sudah hilang sebabnya maka tidak berlaku hukum tersebut."
Sehingga bila tujuannya dalam rangka untuk perbaikan yang memang dibutuhkan maka hukumnya tidak mengapa.

Penulis: Ustadz Abu Abdirrahman Arif

###

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah al-Fauzan hafizhahullah berkata dalam fatwanya:
“Dibolehkan merapikan/meluruskan gigi-geligi dan mendekatkan sebagian gigi dengan sebagian yang lain (hingga tidak terpisah/berjauhan) bila memang hal ini diperlukan karena gigi tampak jelek misalnya, atau perlu untuk diperbaiki. Adapun bila tidak ada keperluan, tidaklah diperbolehkan. Bahkan datang larangan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengikir gigi dengan tujuan memperindahnya karena hal ini merupakan perbuatan sia-sia dan mengubah ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Namun bila tujuannya untuk pengobatan misalnya, atau untuk menghilangkan kejelekan, atau ada kebutuhan seperti seseorang tidak dapat makan makanan kecuali bila giginya diperbaiki terlebih dahulu dan diluruskan, maka yang seperti ini tidak menjadi permasalahan.”
(Fatawa Nur ‘alad Darb, hlm. 34)

Tentang MELEPASKAN GIGI PALSU DAN PEN DARI SESEORANG YANG TELAH MENINGGAL

Apakah perlu melepas gigi palsu yang terbuat dari emas dari seseorang yang telah meninggal dunia?

Al-'Allamah al-Utsaimin menjawab:
Jika ada seseorang yang meninggal dunia dalam keadaan memakai gigi palsu dari emas, jika mencabutnya itu tidak merusak tubuh si mayit maka silahkan dicabut, karena membiarkannya khawatir termasuk menyia-nyiakan harta. Adapun jika mencabutnya akan berakibat merusak tubuh si mayit maka tidak boleh.
(Penjelasan lebih lengkap, lihat Liqa' al-Babil Maftuh 28/10)

Wallahu a'lam bish shawab.

Penulis: Ustadz Abu Abdirrahman Arif

###

Bagaimana seharusnya jika gigi palsu permanen dan pen (alat penopang tulang yang dipasang di dalam tubuh) masih terpasang pada jenazah muslim?

Ustadz Muhammad as Sarbini:
Gigi palsu dan pen itu dibiarkan saja tanpa dicabut.

Asy Syariah Edisi 095

Tentang MELEPAS CINCIN ATAU GIGI PALSU KETIKA BERWUDU

Apakah perlu melepas gigi palsu ketika berwudhu?

Al-'Allamah al-Utsaimin menjawab:
Jika seseorang memakai gigi palsu, maka tidak wajib baginya melepaskannya, hal ini serupa dengan cincin. Maka tidak wajib melepas cincin ketika berwudhu', tetapi yang lebih baik menggerak-gerakkannya, namun bukan perkara yang wajib. Karena dahulu Nabi shallallahu alaihi wasallam memakai cincin, sementara tidak diriwayatkan bahwa beliau shallallahu alaihi wasallam melepas cincinnya saat berwudhu'. Padahal cincin lebih bisa menghalangi air wudhu' (pada kulit) daripada gigi-gigi palsu. Apalagi sebagian pemakai gigi palsu terasa memberatkan kalau melepaskannya saat berwudhu' kemudian memasangnya kembali.
(Lihat Majmu' Fatawa Warasail lil Utsaimin no. 72)

Penulis: Ustadz Abu Abdirrahman Arif