Asy-Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Baz pernah ditanya tentang memasang gigi palsu, terutama jika untuk mode (bergaya atau memperindah penampilan).
Beliau menjawab:
Hukum gigi palsu itu boleh selama bukan terbuat dari emas untuk laki-laki. Maka bagi laki-laki sebaiknya meninggalkan gigi yang terbuat dari emas dan menggunakan gigi yang terbuat dari selain emas. Emas hanyalah dibolehkan dalam kondisi darurat sebagaimana Nabi mengizinkan untuk membuat hidung palsu dari emas ketika ada seseorang yang terpotong hidungnya. Kesimpulannya, gigi palsu itu dibolehkan ketika dibutuhkan.
Adapun untuk sekedar bergaya, maka tidak sepantasnya. Melakukan sesuatu yang demikian itu untuk berhias maka tidak ada sisi (dalil) pembenarannya. Begitu pula gigi yang sudah sehat tidaklah perlu dicabut supaya bisa bergaya dengan gigi palsu. Setiap orang seharusnya bersyukur kepada Allah atas nikmat gigi, dengan cara menjaganya tetap utuh tanpa mencabutnya. Minimal hukumnya
adalah makruh.
Adapun gigi yang lepas, lalu ingin menggantinya dengan gigi palsu, maka tidak masalah, asalkan gigi buatan tersebut berasal dari bahan tambang yang boleh digunakan, kecuali emas lebih baik dihindari kecuali dalam keadaan darurat untuk laki-laki.
Ada yang bertanya kepada beliau, "Bagaimana hukumnya untuk gigi yang jelek?"
Beliau menjawab, untuk gigi yang jelek tidak mengapa diperbaiki, baik gigi tersebut terlalu panjang dari yang normal, terlalu ke depan atau ke belakang. Memperbaikinya tidaklah mengapa.
(ibnbaz .org .sa/mat/11166)
Apakah termasuk merubah ciptaan Allah, mencabut gigi dan menggantinya dengan gigi palsu?
Komite Dewan Fatwa Ulama Kibar yang diketuai oleh asy-Syaikh Bin Baz yang terhimpun dalam al-Lajnah ad-Daimah menjawab, "Tidaklah mengapa mengobati gigi yang sakit atau rusak yang dapat menghilangkan dharar (sakit atau kerusakannya) atau tidak mengapa untuk mencabutnya lalu memasang gigi palsu sebagai penggantinya jika memang dibutuhkan yang demikian itu. Karena hal ini termasuk dalam rangka untuk menghilangkan dharar tersebut. Hal ini juga tidak termasuk merubah ciptaan Allah sebagaimana yang dipahami oleh si penanya, karena yang dimaksud dengan fithrah pada firman Allah "Tidak boleh merubah ciptaan (fithrah) Allah" yaitu merubah agama Allah."
(Lihat Fatawa al-Lainah ad-Daimah no. 21104)
Penulis: Ustadz Abu Abdirrahman Arif