Cari Blog Ini

Jumat, 31 Juli 2015

Tentang JUMLAH MINIMAL MAKMUM UNTUK SALAT JUMAT

APAKAH JUMLAH MAKMUM MENJADI SYARAT DILAKSANAKANNYA SHOLAT JUMAT
======================

Faidah dari Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah
لقد اختلفت أقوال العلماء كثيرا في العدد الذي يشترط لصحة صلاة الجمعة حتى بلغت إلى خمسة عشر قولا، قال الإمام الشوكاني في السيل الجرار (١/٢٩٨): وليس على شيء منها دليل يستدل به قط، إلا قول من قال: إنها تنعقد جماعة الجمعة بما تنعقد به سائر الجماعات. قلت: وهذا هو الصواب إن شاء الله تعالى
"Ulama berbeda pendapat berkaitan jumlah orang yang menjadi syarat sahnya sholat jum'at.
Bahkan pendapat mereka mencapai 15 pendapat.
Al-Imam asy-Syaukani menyatakan dalam kitab 'as-Sailu al-Jarar' (1/298): Tidak ada satu dalil pun yang mereka jadikan landasan selain pernyataan: 'Bahwa sholat jum'at dilaksanakan sebagaimana dilaksanakannya sholat jama'ah lain.'
Saya (Al Albani) katakan: Insyaallah pendapat ini yang benar."

[Adh-Dhaifah (hadits no. 1204)]

=====================
Majmuah Manhajul Anbiya

~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Tentang GAMBAR MAKHLUK YANG BERNYAWA MAUPUN YANG TIDAK BERNYAWA

Asy Syaikh Ahmad bin Yahya an Najmy ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ

Pertanyaan:
ﻣﺎ ﺣﻜﻢ ﺭﺳﻢ ﺫﻭﺍﺕ ﺍﻷﺭﻭﺍﺡ ﺑﺤﺠﺔ ﺍﻟﺘﻌﻠﻴﻢ؟
Hukum menggunakan gambar sebagai bahan praktek pelajaran?

Jawaban:
ﺍﻟﺘﺼﻮﻳﺮ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻘﻮﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ: ﺃﺷﺪ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﺬﺍﺑﺎ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﺍﻟﻤﺼﻮﺭﻭﻥ ﻳﻘﺎﻝ ﻟﻬﻢ ﺃﺣﻴﻮﺍ ﻣﺎ ﺧﻠﻘﺘﻢ
Menggambar makhluk bernyawa hukumnya haram sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Manusia yang paling keras siksanya pada hari kiamat adalah para penggambar, kemudian dikatakan kepadanya: “Hidupkanlah apa yang telah engkau buat!”
ﻭﻓﻲ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻵﺧﺮ: ﻣﻦ ﺻﻮﺭ ﺻﻮﺭﺓ ﻛﻠﻒ ﺃﻥ ﻳﻨﻔﺦ ﻓﻴﻬﺎ ﺍﻟﺮﻭﺡ ﻭﻟﻴﺲ ﺑﻨﺎﻓﺦ؛ ﻭﻓﻲ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻭﻫﻮ ﻗﺪﺳﻲ ﻳﻘﻮﻝ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻴﻤﺎ ﻳﺮﻭﻳﻪ ﻋﻦ ﺭﺑﻪ: ﻓﻤﻦ ﺃﻇﻠﻢ ﻣﻤﻦ ﺫﻫﺐ ﻳﺨﻠﻖ ﻛﺨﻠﻘﻲ ﻓﻠﻴﺨﻠﻘﻮﺍ ﺫﺭﺓ ﻓﻠﻴﺨﻠﻘﻮﺍ ﺷﻌﻴﺮﺓ
Dan pada hadits yang lain dengan lafadz: “Barang siapa yang menggambar sebuah gambar (makhluk bernyawa) maka kelak dia akan diperintahkan untuk meniupkan ruh padanya padahal dia tidak akan mampu meniupkan padanya ruh.”
Dan pada hadits qudsi bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda sebagaimana yang beliau riwayatkan dari Rabb-Nya: ”Siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang mencoba menciptakkan seperti ciptaan-Ku, maka coba dia menciptakan dzarroh (satu biji atom) atau dia menciptakan satu biji gandum.”
ﻭﻫﺬﻩ ﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﺗﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺗﺤﺮﻳﻢ ﺍﻟﺘﺼﻮﻳﺮ ﻟﻤﺎ ﻓﻴﻪ ﺭﻭﺡ ﺳﻮﺍﺀ ﻛﺎﻧﺖ ﺍﻟﺼﻮﺭﺓ ﻣﺠﺴﻤﺔ ﺃﻭ ﻏﻴﺮ ﻣﺠﺴﻤﺔ ﻭﺳﻮﺍﺀ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﺘﺼﻮﻳﺮ ﺑﺎﻟﻴﺪ ﺃﻭ ﺑﺎﻵﻟﺔ ﻭﻗﺪ ﺯﻋﻢ ﻗﻮﻡ ﺃﻥ ﺍﻟﺘﺼﻮﻳﺮ ﻟﻤﺎ ﻻ ﻇﻞ ﻟﻪ ﺃﻱ ﻟﻐﻴﺮ ﺍﻟﺼﻮﺭ ﺍﻟﻤﺠﺴﻤﺔ ﺃﻥ ﺫﻟﻚ ﺟﺎﺋﺰ ﺇﻻ ﺃﻧﻪ ﺯﻋﻢ ﻻ ﻳﺴﺘﻨﺪ ﺇﻟﻰ ﺩﻟﻴﻞ ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻫﻮ ﻣﺠﺎﺭﺍﺓ ﻟﻠﻮﺍﻗﻊ ﻭﺗﺮﻙ ﻟﻠﻨﺼﻮﺹ ﺍﻟﺸﺮﻋﻴﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺃﻣﺮﻧﺎ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﺎﻟﺘﺤﺎﻛﻢ ﺇﻟﻴﻬﺎ ﻭﺍﻟﺨﻀﻮﻉ ﻟﺤﻜﻤﻬﺎ ﻭﻳﺮﺩ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺑﻤﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺪﻡ ﻣﻦ ﺳﻔﺮ ﻭﻭﺟﺪ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﻗﺪ ﺳﺘﺮﺕ ﺳﻬﻮﺓ ﻟﻬﺎ ﺑﻘﺮﺍﻡ ﺃﻱ ﺛﻮﺏ، ﻓﻴﻪ ﺻﻮﺭ، ﻓﻮﻗﻒ ﻭﻟﻢ ﻳﺪﺧﻞ ﻓﻘﺎﻟﺖ ﺃﻋﻮﺫ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﻣﻦ ﻏﻀﺐ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ ﻓﻘﺎﻝ ﻳﺎ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺇﻥ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻳﺼﻮﺭﻭﻥ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺼﻮﺭ ﻳﻌﺬﺑﻮﻥ ﺑﻬﺎ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﻳﻘﺎﻝ ﻟﻬﻢ ﺃﺣﻴﻮﺍ ﻣﺎ ﺧﻠﻘﺘﻢ، ﺛﻢ ﺃﻣﺮ ﺑﻬﺘﻜﻪ؛ ﻫﺬﺍ ﺃﻭ ﻣﻌﻨﺎﻩ
Dari semua hadits di atas menunjukkan tentang keharaman menggambar makhluk bernyawa, sama saja berbentuk patung ataukah berbentuk gambar biasa, dan sama saja baik menggambarnya dengan tangan atau menggunakan alat.
Sebagian pihak menyangka bahwa menggambar makhluk bernyawa jika (gambar tersebut) tidak memilki bayangan atau tidak berbentuk patung maka tidak mengapa, akan tetapi ini dugaan yang tidak bersandar pada dalil akan tetapi semata-mata hanya melihat realita saja dan meninggalkan nash-nash syariat yang kita diperintahkan oleh Allah untuk berhukum dengannya serta tunduk terhadap hukum-Nya.
Dan cukuplah membantah pendapat mereka ini hadits yang diriwayatkan imam al-Bukhari bahwasannya pernah suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang dari safarnya dan mendapati Aisyah telah menutupi bilik kamarnya dengan tirai yang bergambar, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berhenti dan tidak masuk ke dalam, maka Aisyah berkata: “Aku berlindung kepada kepada Allah dari kemurkaan Allah dan Rosul-Nya.” Maka Beliau berkata: “Wahai Aisyah sesungguhnya orang-orang yang menggambar seperti ini akan diadzab denganya pada hari Kiamat kemudian dikatakan kepadanya, “Hidupkanlah apa yang telah engkau buat.”
Kemudian Beliau memerintahkan Aisyah untuk menghapus gambar tersebut, demikianlah riwatnya atau yang semakna dengannya.
ﻭﻓﻴﻪ ﺩﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺍﻟﺼﻮﺭﺓ ﺍﻟﺘﻲ ﻻ ﻇﻞ ﻟﻬﺎ ﻣﺤﺮﻣﺔ ﻛﺬﺍﺕ ﺍﻟﻈﻞ ﻷﻥ ﺍﻟﺼﻮﺭ ﺍﻟﺘﻲ ﻓﻲ ﺍﻟﺜﻮﺏ ﻟﻴﺲ ﻟﻬﺎ ﻇﻞ ﻭﻫﺬﺍ ﻫﻮ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻭﻣﻦ ﺟﻨﺢ ﻋﻨﻪ ﻓﺈﻧﻤﺎ ﻳﻔﻌﻞ ﺫﻟﻚ ﻟﻬﻮﻯ ﻓﻲ ﻧﻔﺴﻪ. ﻭﻗﺪ ﺍﺧﺘﻠﻒ ﻓﻲ ﺗﺼﻮﻳﺮ ﻣﺎﻻ ﺭﻭﺡ ﻓﻴﻪ ﻛﺎﻟﺠﺒﺎﻝ ﻭﺍﻷﺷﺠﺎﺭ ﻭﺍﻷﻭﺩﻳﺔ ﻭﻣﺎ ﺃﺷﺒﻪ ﺫﻟﻚ ﻓﺄﺟﺎﺯ ﺫﻟﻚ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﻟﻤﻦ ﺳﺄﻟﻪ ﻭﻗﺎﻝ ﻟﻪ: ﺇﻥ ﻛﻨﺖ ﻻﺑﺪ ﻓﺎﻋﻼ ﻓﺼﻮﺭ ﻣﺎﻻ ﺭﻭﺡ ﻓﻴﻪ. ﻭﺍﺣﺘﺞ ﻣﻦ ﻣﻨﻊ ﺑﺎﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﻘﺪﺳﻲ ﺍﻟﺴﺎﺑﻖ: ﻓﻠﻴﺨﻠﻘﻮﺍ ﺫﺭﺓ ﻓﻠﻴﺨﻠﻘﻮﺍ ﺷﻌﻴﺮﺓ
Maka pada hadits ini terdapat dalil bahwa gambar yang tidak memiliki bayangan juga haram sebagaimana yang memiliki bayangan, dikarenakan gambar yang ada pada tirai tersebut tidak memiliki bayangan, dan pendapat inilah yang benar.
Barang siapa yang berpaling dari pendapat ini maka sesungguhnya dia melakukannya semata karena hawa nafsu.
Para ulama berselisih tentang makhluk yang tidak bernyawa seperti gunung, pohon-pohon, lembah-lembah dan semisalnya, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu membolehkannya yaitu ketika beliau ditanya maka beliau berkata; “Kalau engkau terpaksa harus menggambar maka gambarlah sesuatu yang tidak memiliki ruh.”
Adapun pendapat yang tidak membolehkan gambar makhluk secara mutlak mereka berhujjah dengan hadits qudsi di atas yang berbunyi, “Maka hendaklah mereka menciptakan dzarroh (biji atom) atau menciptakan biji gandum.”
ﻭﺍﻷﻭﻟﻰ ﺃﻥ ﻳﻘﺎﻝ ﺑﺠﻮﺍﺯ ﺗﺼﻮﻳﺮ ﻣﺎ ﻳﺼﻨﻌﻪ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﻛﺎﻟﺒﻴﻮﺕ ﻭﺍﻟﺴﻴﺎﺭﺍﺕ ﻭﺍﻟﻄﺎﺋﺮﺍﺕ ﻭﺍﻟﺴﻼﺡ ﻭﻏﻴﺮ ﺫﻟﻚ. ﻭﻳﺠﺘﻨﺐ ﻣﺨﻠﻮﻗﺎﺕ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﻤﺎ ﻻ ﺭﻭﺡ ﻓﻴﻪ ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ
Akan tetapi yang lebih utama kita katakan: Boleh menggambar mahkluk yang merupakan hasil karya manusia seperti gambar rumah, mobil, pesawat, senjata dan semisalnya, dan hendaknya kita menjauhi (tidak menggmbar) makhluk-mahkluk ciptaan Allah walaupun makhluk tersebut tidak memiliki ruh. Wallohu a’lam.

Sumber:
www .sahab .net/forums/index .php?showtopic=108042

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Kamis, 30 Juli 2015

Tentang OLAHRAGA BAGI WANITA

Fatwa Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’iy -rahimahullah

Pertanyaan : Apa hukumnya secara syariat tentang wanita yang melakukan olahraga,baik di dalam rumahnya atau di luar rumah ?

jawaban :

apabila di dalam rumah,maka tidak mengapa yang demikian itu,bahkan kami menasehatkan untuk (melakukan) hal ini. Dan apabila ia memiliki pekerjaan,maka pekerjaannya lebih didahulukan,dan yang aku maksud dengan pekerjaan adalah pekerjaan di rumah dan di tempat tinggalnya. Sepantasnya untuk mengawali dengan pekerjaannya.

Demikian pula apabila bersama para wanita dan tidak dilihat oleh para lelaki lelaki asing maka tidak mengapa insya Allah,bahkan kami menasehatkan hal ini,karena tidak bergerak/kurang bergerak terkadang menyebabkan kebosanan dan lemahnya hafalan,dan ceking (kurus)nya badan. Maka olahraga dibutuhkan oleh muslim dan muslimah DALAM BATAS-BATAS SYARIAT.

Fatawa almar’atul muslimah lil imaamil wadi’iy no.418

ummu hudzaifah as samarindiyyah -ghofarallahu laha-

Rabu, 29 Juli 2015

Tentang JUAL BELI KAMERA DAN HP ATAU ALAT ELEKTRONIK LAINNYA YANG MEMILIKI FITUR KAMERA

Ada pertanyaan yang diajukan kepada Fadhilatu Asy-Syaikh Shalih bin ‘Abdillah Ad-Duwaisy –qadhi (hakim) di Mahkamah Al-Qathif– seputar HP yang menyediakan fasilitas alat gambar (pemotret/kamera)?

Jawaban:
1. Fasilitas-fasilitas yang ada pada HP, di antaranya adalah fasilitas alat penggambar (alat pemotret) teknologi tinggi, merupakan alat gambar tersembunyi. Menggambar itu ada hukum-hukumnya sendiri dalam syariat. Pada asalnya, hukum menggambar (makhluk bernyawa) adalah haram. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُضَاهُونَ بِخَلْقِ اللهِ
Orang yang paling keras siksaannya pada hari kiamat adalah orang-orang yang membuat sesuatu yang serupa dengan makhluk Allah. (Muttafaqun ‘alaihi dari Aisyah)
Dari Ibnu Abbas, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
كُلُّ مُصَوِّرٍ فِي النَّارِ يَجْعَلُ اللهُ لَهُ بِكُلِّ صُورَةٍ صَوَّرَهَا نَفْسًا يُعَذَّبُ بِهَا فِي جَهَنَّمَ
“Semua tukang gambar tempatnya di an-nar (neraka). Setiap yang dia gambar akan dijadikan ruh untuknya yang kemudian (gambar yang sudah memiliki ruh tersebut) akan mengadzabnya di jahannam.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Dalil-dalil ini bersifat umum, para ulama mengecualikannya pada kondisi tertentu selama ada kebutuhan.
2. Dalam fasilitas tersebut terdapat kemudahan untuk memerangi kaum muslimin dan muslimat serta kemudahan untuk menghinakan kehormatan mereka ketika gambar (foto-foto) mereka diambil dalam keadaan mereka tidak sadar. Hal itu akan mengakibatkan munculnya kerusakan yang besar. Allah menjadikan hal itu termasuk dosa besar. Allah berfirman:
“Dan barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata.” (An-Nisa’: 112)
Allah juga berfirman:
“Orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (Al-Ahzab: 58)
3. Orang-orang yang memiliki jiwa berpenyakit dan penuh syahwat itu akan menempuh segala cara untuk merusak rumah tangga seseorang, di antaranya adalah dengan gambar ini. Ini sangat banyak terjadi. Aku mengatakan ini berdasarkan fakta yang aku ketahui secara langsung berupa problem-problem rumah tangga dan penyimpangan-penyimpangan akhlak, bahkan pernah terjadi peristiwa pembunuhan disebabkan ‘gambar’. Cukuplah bagi engkau (sebagai peringatan) kejadian talak (perceraian), pemukulan, boikot, tuduhan (fitnah), laknat, dan kezaliman yang terlalu panjang untuk diceritakan.
Dari penjelasan yang lalu, akan tampak jelas bagi Anda tentang hukum syar’i tentang fasilitas ini, yakni hukumnya haram. Tidak boleh menjual dan membelinya. Seseorang wajib melarang orang yang berada di bawah tanggung jawabnya dan senantiasa mengontrol mereka. Karena keberadaannya merupakan kerusakan yang tidak tersamarkan lagi. Wallahu a’lam.

Penerjemah: Al-Ustadz Abu Abdillah Kediri

Sumber:
www .sahab .net/forums/showthread .php?t=368419

Sumber: Asy Syariah Edisi 057

Tentang BEROBAT DENGAN SESUATU YANG HARAM SEPERTI MINUMAN KERAS, KATAK, SEMUT, DAN CACING

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah

Pertanyaan:
Bolehkah berobat dengan khamer?

Jawaban:
Berobat dengan khamer haram hukumnya berdasarkan nash Rasulullah shallallahu ‘alaihi was salam dan jumhur ulama berpendapat demikian. Telah tetap dari beliau di dalam kitab Ash-Shahih bahwa beliau ditanya tentang khamer yang digunakan untuk obat, maka beliau menjawab:
‏إِنَّهَا دَاءٌ وَلَيْسَتْ بِدَوَاءِ
Sesungguhnya itu adalah penyakit dan bukan obat. (HR. Muslim no. 1984 dengan lafazh mudzakkar)
Dan di dalam kitab As-Sunan disebutkan dari beliau bahwa beliau melarang berobat dengan sesuatu yang buruk. (Abu Dawud no. 3870 dan Al-Albany menilainya shahih, juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzy dan Ibnu Majah)
Dan Ibnu Mas’ud berkata: “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat untuk kalian pada hal-hal yang Dia haramkan atas kalian.”
Dan Ibnu Hibban meriwayatkan di dalam Shahih-nya dari Nabi shallallahu alaihi was salam beliau bersabda:
‏إِنَّ اللهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَ أُمَّتِّي فِيْمَا حَرَّمَ عَلَيْهَا
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan umatku pada apa-apa yang Dia haramkan atas mereka.”
Dan di dalam As-Sunan disebutkan bahwa beliau ditanya tentang katak yang digunakan untuk obat, maka beliau melarangnya (Abu Dawud no. 3871 dan Al-Albany menilainya shahih) dan beliau bersabda:
إَنَّ نَقِيْقَهَا تَسْبِيْحٌ
“Sesungguhnya suaranya adalah tasbih.”
Dan hukumnya tidaklah sama seperti orang yang terpaksa makan bangkai, karena dengannya tujuan pasti tercapai. Sementara dia tidak mendapatkan ganti selainnya, dan memakan bangkai dalam kondisi seperti ini hukumnya wajib. Barangsiapa yang terpaksa harus memakan bangkai namun dia tidak mau memakannya hingga menyebabkan dia mati, maka dia masuk neraka. Sedangkan berobat di sini tidak diketahui kesembuhannya secara pasti dan dia tidak harus berobat dengan obat ini, bahkan Allah Ta’ala menyembuhkan seorang hamba dengan sebab yang banyak. Berobat sendiri hukumnya tidak wajib menurut jumhur ulama, sehingga tidak bisa ini diqiyaskan dengan itu, wallahu a’lam.

Sumber: Kitab Al-Janaiz dalam Majmu’ Al-Fatawa- (Juz 24/147-148)

###

Al Ustadz Abu Karimah Askari hafizhahullah

Tanya:
Apakah boleh memakan kutu jepang, atau semut jepang sebagai obat dalam. Apakah hukumnya sama seperti membunuh semut? Dan apakah boleh ataukah tidak?

Jawab:
Sudah kehabisan kutu kah di Indonesia ini? Koq harus nyari di Jepang? Indonesia ini masya Allah, macam-macam pengobatan di Indonesia ini, dari berbagai macam jenis tumbuh-tumbuhan, macam macam. Ada yang bisa di jus, ada yang bisa di...(diolah dengan berbagai cara), macam-macam pengobatan. Saya pernah punya buku pengobatan dengan jus Dr. Hembing rahimahullah (muslim ya?), itu subhanallah sakit ini ada (obatnya), macam-macam penyakit dari atas sampai bawah, penyakit dalam, penyakit kulit, macam-macam.
Koq yang dicari kutu dari Jepang itu kehabisan obat? Cari yang aneh-aneh. Padahal mungkin yang di dekat kita itu banyak. Al Habbatus sauda,
ﺷِﻔَﺎﺀٌ ﻣِﻦْ ﻛُﻞِّ ﺩَﺍﺀٍ
Minyak zaitun masya Allah, yang lain, madu, atau pengobatan-pengobatan yang biasa saja. Supaya kita tidak terjatuh ke dalam perkara yang menjadi sebab munculnya polemik, munculnya permasalahan.
Semut Jepang? Saya belum pernah lihat ini semut Jepang. Bedanya dengan semut Indonesia itu dari sisi mana? Apakah karena matanya lebih sipit, saya belum tahu. Wallahu a'lam. Memang kita ini sering terbawa, apa yang ramai dibicarakan. Dulu ada yang pahit sekali itu, mengkudu, macam-macam. Akhirnya orang yang tidak punya pohonnya tanam pohon mengkudu. Saking terlalu banyaknya, tidak laku sudah. Pindah lagi ke yang lain.
Cari yang tidak ada khilaf. Kalau disebut semut Jepang, wallahu a'lam apakah termasuk ke dalam an naml, jenis namlah, wallahu a'lam. Kalau dia termasuk dalam jenis namlah, berarti tidak diperbolehkan, tidak boleh dibunuh dan tidak boleh dijadikan sebagai obat. Sama seperti cacing, pengobatan pakai cacing, dikapsulkan lagi, yang shahih dari pendapat para ulama, cacing haram.

TIS

Minggu, 26 Juli 2015

Tentang DEMONSTRASI DAN UNJUK RASA

DEMONTRASI ADALAH TERMASUK PERKARA BID’AH

Menjawab pertanyaan yang ditujukan kepada yang mulia Al-Allaamah Zaid bin Muhammad Al-Madkhali rahimahullah tentang masalah demonstrasi yang terjadi di negeri-negeri islam, dan anggapan bolehnya demo oleh sebagian orang, khususnya jika demonya itu damai tanpa membawa senjata. Maka beliau rahimahullah berkata:
المظاهرات من الأمور المحدثة، وكل أمر محدث فهو بدعة، وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار، ذلك أن شرع الله كامل-كتاب وسنة-، ولم نعرف في شيء من أدلة الكتاب والسنة تبيح لثلة من الناس أن يجتمعوا ويقوموا بالمظاهرات التي فيها التشويش على الناس وقتل الأوقات
Demonstrasi termasuk perkara yang baru dalam agama, dan setiap perkara yang baru dalam agama itu adalah bidah dan setiap bidah itu sesat dan setiap kesesatan itu di neraka. Yang demikian itu karena syariat Allah itu telah sempurna, kitab dan sunnah. Dan kita tidak mengetahui sedikitpun dari dalil al-kitab dan as-sunnah yang membolehkan sekelompok manusia untuk berkumpul lalu melakukan demontrasi yang terdapat di dalamnya pengacauan terhadap manusia menghabiskan waktu.
وأكبر من ذلك: تترك فيها الصلوات، ويحصل فيها القتل، فلو قتل في المظاهرة الواحدة مسلم يتحمل إثمه من دعا إلى القيام بالمظاهرات، سواء فرد أو مجتمعين أو مشتركين، وفي الأثر الصحيح: لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
Dan lebih parah dari itu adalah ditinggalkan shalat-shalat, terjadi di dalamnya pembunuhan. Maka seandainya dalam satu demo terbunuh satu orang muslim, yang menanggung dosanya adalah orang yang mengajak melakukan demo-demo tersebut. Sama saja, apakah seorang pribadi, sekelompok masyarakat ataupun komunitas. Dan dalam sebuah hadits yang shahih disebutkan:
Sungguh hilangnya dunia ini lebih ringan di sisi Allah daripada pembunuhan terhadap seorang muslim. (HR. Sunan An-Nasaa’i, bab Ta’zhiimu Ad-dami 7-87 dan At-Tirmidzi dalam bab Maa jaa’a ‘an Tasydiid qatlil mukmin, 4-16)
فكم نفوس تقتل في المظاهرات؟ بشهادة العقل والنقل والعرف والحس والمشاهدة. فإحداث هذه المظاهرات إنما هي من البدع والضلالات يدعو إليها الشيطان والنفس الأمارة بالسوء والهوى، وما اجتمعت هذه الأعداء في شيء إلا دمِّر دين ودنيا كما هو المعروف في هذه المظاهرات
Maka betapa banyak terbunuh nyawa-nyawa di dalam demontrasi-demontrasi? Dengan disaksikan oleh akal, dalil naqli, adat, perasaan indrawi dan kenyataan yang disaksikan. Maka diada-adakannya demontrasi hanyalah bidah yang sesat, menyeru kepadanya syaithon, nafsu yang mengajak pada kejelekkan dan hawa. Dan tidaklah berkumpul musuh-musuh ini pada suatu perkara kecuali akan hancurlah agama dan dunia, sebagaimana sudah diketahui dalam demo-demo ini.
ونتائج المظاهرات: كلها تقتيل، وتدمير، وتضييع للأموال وللأوقات، وإرهاب للآمنين، وكم فيها من مساوئ، وكفى بها شؤمًا أنها لم تفعل في عهد الرسل الكرام والأنبياء العظام الذين امتحنوا وأوذوا من أقوامهم، وآمن بهم من آمن ولم يعملوا مظاهرة ولم يعملوا تفجيرًا ولا اغتيالًا، بل نهى الإسلام عن كل ذلك
Dan buah dari demontrasi-demontrasi semuanya adalah pembunuhan, kehancuran, menyia-nyiakan harta dan waktu mencemaskan orang-orang yang aman. Dan betapa banyak kejelekkan di dalamnya. Cukuplah demo itu tergolong keburukan tatkala demo tidak pernah dikerjakan di zaman para Rasul yang mulia, para nabi yang agung, yang mana mereka telah dicoba dan disakiti oleh kaumnya. Dan berimanlah kepada mereka orang-orang yang beriman, dalam keadaan mereka tidak mengenal demontrasi dan tidak melakukan peledakan dan pembunuhan, bahkan islam melarang dari itu semua.
فهؤلاء الذين يدعون إلى المظاهرات ويرون أن فيها النجاح غلطوا الطريق وأخطئوا الطريق وخير لهم أن يرجعوا إلى صوابهم، وتعالج الأمور على ضوء الكتاب والسنة على فهم العلماء -الراسخين في العلم-. فمن دعا الناس إلى هذه الفوضى فقد تسبب في فساد البلاد والعباد، وما حصل من قبل وحاليًا شاهد على ذلك
Dan mereka-mereka yang mengajak demo itu dan berpendapat kalau padanya ada keselamatan telah salah jalan dan keliru jalan dan sebaiknya mereka kembali kepada kebenaran, mengatasi problema-problema dengan Al-kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman para ulama yang kokoh dalam keilmuannya. Maka barang siapa yang mengajak manusia kepada kekacauan ini, maka dia telah menyebabkan kerusakan negeri dan para hamba. Dan apa yang telah terjadi dahulu dan sekarang itu menjadi saksi akan hal itu.
فنحذر طلاب العلم: أن يقتنعوا في قول من يبيح المظاهرات ويرى أن المظاهرات السلمية كما يقولون! قَسَّمُوْهَا هذا التقسيم بدون برهان أنها جائزة! بدون دليل يعتمد عليه لا من الكتاب ولا من السنة ولا من فعل الرسول ولا من الصحابة الكرام ولا من الأئمة الأعلام، وإنما هي كما أسلفت، وكما كتب غيري
Maka saya mengingatkan para penuntut ilmu, hendaknya mereka tidak memperdulikan pendapat yang membolehkan demontrasi damai, sebagaimana yang mereka katakan! Mereka membuat pembagian ini dengan tanpa dalil, bahwasanya (demo) itu boleh! Tanpa dalil yang dijadikan sandaran, tidak dari Al-Kitab, tidak pula dari As-Sunnah, tidak dari perbuatan Rasul, tidak dari para sahabat yang mulia, tidak pula dari para imam, sebagaimana yang telah lalu, sebagaimana selain diriku telah menulis.
وكفى بكتابة هيئة كبار العلماء بيانًا ووضوحًا لمن يريد الحق، واجتمعوا على ذلك: أن المظاهرات بكيفياتها المعروفة باطلة، وأنها ليس لها أصل في الشرع، وأنها تدعو إلى فساد في العباد والبلاد، وهذا هو القول الصحيح ووقع عليه أكثر من عشرين عالِمًا، بل وجميع العلماء المعتبرين ينادون الناس بأن هذه المظاهرات طريق لا طريق صلاح وإصلاح
Dan cukuplah dengan tulisan Hai’ah Kibaarul Ulama sebagai penjelasan dan keterangan bagi orang yang menginginkan kebenaran dan berkumpul di atas itu: Sesungguhnya demontrasi yang dengan tata cara yang telah kita ketahui itu batil, bahwasanya hal itu tidak memiliki dasar syariat, bahwasanya hal itu mengantarkan kepada kerusakan para hamba dan negeri. Dan ini adalah pendapat yang benar yang telah ditanda tangani oleh lebih dari dua puluh orang alim, bahkan seluruh ulama yang terpandang menyerukan kepada manusia, kalau demontrasi itu adalah sebuah jalan, bukan jalan kebaikan dan perbaikan.
وأن الطريق السليم هو المناصحة لمن تولى أمر إقليم من الأقاليم في الأرض إن أخطأ، ويدعى إليه بطريقة تليق بمستواه الذي هو فيه بدون إحداث هذه الفوضى التي أزهقت فيها أنفس، وروع فيها الآمنون وحصل فيها ما هو مشاهد للناس في هذا الزمن وقبل ذلك، والله أعلم
Dan sesungguhnya jalan yang selamat adalah dengan menasihati orang yang memegang urusan kekuasaan wilayah di bumi ini jika memang dia bersalah, diseru dengan cara yang tepat sesuai tingkatan yang ia ada padanya, tanpa menimbulkan kekacauan seperti ini yang bisa melenyapkan jiwa, membuat takut orang-orang yang aman, dan terjadi di dalamnya apa yang sudah disaksikan manusia di zaman ini dan sebelumnya. Wallahu a’lam.

Yang mulia As-Syaikh Al-Faqih Al-Allamah Zaid bin Muhammad Al-Madkhali rahimahullah Al-afnaan watauhiid Ibni Khuzaimah wa hadits an al-muzhaharah, 4-4-1432 H.

Sumber:
www .sahab .net/home/?p=1397

Alih bahasa: Ustadz Abu Hafs Umar al-Atsary hafizhahullah

Sabtu, 25 Juli 2015

Tentang MEMAKAI CELAK

Pertanyaan:
Bismillah. Afwan Ustadz, ada ikhwah yg bertanya: Kebiasaannya pada waktu sholat sunnah 'Iedul fitri dia selalu memakai celak dan surban. Apakah boleh menggunakan celak bagi laki-laki?
Baarokallahu fiikum.

Dijawab oleh Al Ustadz Syafi'i Al Idrus Ngawi hafidhohulloh:

Na'am, boleh, bahkan itu sunnah jika tujuannya adalah untuk menajamkan pandangan mata dan menumbuhkan rambut. Rasulullah Shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:
عليكم بالإثمد، فإنه يجلو البصر، وينبت الشعر
"(Pakailah) oleh kalian itsmid, karena sesungguhnya dia itu menajamkan pandangan dan menumbuhkan rambut." Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dari sahabat Ibnu Umar radhiyallahu 'anhumaa dan dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah.
Adapun jika tujuannya utk tajmiil (memperbagus penampilan) maka diperselisihkan oleh para ulama.
Madzhab Hanafiyyah memakruhkannya, sedangkan madzhab Malikiyyah mengharamkannya. Adapun madzhab Syafi'iyyah dan Hanabilah menyatakan mustahab secara mutlak.
Dan yang dhahir dari fatwa asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dan asy-Syaikh Fauzan rahimahulloh adalah boleh secara mutlak. Adapun asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah beliau tawaqquf dalam menghukumi celak yg digunakan dalam rangka ziinah (berhias). Berikut ana nukilkan fatwa beliau rahimahullah:
الاكتحال نوعان: أحدهما: اكتحال لتقوية البصر وجلاء الغشاوة من العين وتنظيفها وتطهيرها بدون أن يكون له جمال، فهذا لا بأس به، بل إنه مما ينبغي فعله، لأن النبي صلى الله عليه وسلم كان يكتحل في عينيه، ولاسيما إذا كان بالإثمد. النوع الثاني: ما يقصد به الجمال والزينة، فهذا للنساء مطلوب، لأن المرأة مطلوب منها أن تتجمل لزوجها. وأما الرجال فمحل نظر، وأنا أتوقف فيه، وقد يفرق فيه بين الشاب الذي يخشى من اكتحاله فتنه فيمنع، وبين الكبير الذي لا يخشى ذلك من اكتحاله فلا يمنع
"Bercelak itu ada dua keadaan (ditinjau dari tujuannya):
1. Bercelak dengan tujuan menguatkan pandangan dan menghilangkan kerabunan pada mata, membersihkan serta menjernihkan mata dengan tanpa ada (keinginan) untuk berhias. Maka ini tidak mengapa. Bahkan ini sepantasnya dilakukan, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu bercelak pada kedua mata beliau. Terlebih lagi jika menggunakan itsmid.
2. Untuk tujuan berpenampilan dan berhias. Maka hal ini dihasung bagi kaum wanita, karena kaum wanita tertuntut berhias untuk suaminya. Adapun untuk kaum pria maka perlu diteliti, sedangkan aku secara pribadi tawaqquf dalam masalah ini. Dan dibedakan antara seorang pemuda yang dikhawatirkan dengan bercelaknya dia akan mendatangkan fitnah, maka dicegah, dengan seorang yang sudah lanjut usia yang tidak lagi dikhawatirkan fitnah maka tidak mengapa."
Mashdar: Majmu' Fatawa wa Rasail al-Utsaimin, 11/116.
Wallahu a'lam.

Forum Ahlussunnah Ngawi

Jumat, 24 Juli 2015

Tentang MEMBANGUNKAN ORANG YANG TERTIDUR KETIKA KHOTBAH JUMAT

HUKUM MEMBANGUNKAN ORANG YANG TIDUR KALA KHUTBAH JUM'AT

🔬 Oleh: Asy-Syaikh Ibnu Baz Rohimahullohu ta'ala

✹✹✹

📞P E R T A N Y A A N :

Sebagian orang tertidur saat pertengahan khutbah Jum'at, apakah jika kami membangunkan mereka, perbuatan kami termasuk perbuatan yang sia-sia yang tidak ada pahala sholat Jum'at ?


🔓J A W A B A N :

يستحب إيقاظهم بالفعـــل لا بالكلام؛ لأن الكـــــلام في وقت الخطبــــــة لا يجوز

Disunnahkan untuk membangunkan orang yang tertidur tatkala pertengahan khutbah dengan perbuatan_ tidak dengan ucapan, karena berbicara tatkala khutbah Jum'at terlarang .

Hal yang demikian berdasarkan Sabda Rasululloh ﷺ,

إذا قلت لصــــاحبك أنصت يوم الجمعــــة والإمـــــام يخطب فقــــد لغـــــوت

" jika kamu berkata diamlah pada temanmu pada hari Jum'at ketika imam berkhutbah, maka sungguh kamu telah melakukan perbuatan yang sia-sia " [HR. Bukhori ]

Nabiﷺ menyebut perbuatan yang sia-sia walaupun dia menyuruh kepada perkara kebaikan, dari itulah menunjukan wajibnya diam dan larangan berbicara tatkala khutbah berlangsung والله الموفق.

ــــــــــــــــــــــــــــــ
📮حكم إيقاظ النائم أثناء الخطبة

 
🔻بعض الناس ينامون أثناء خطبة الجمعة فهل لو أيقظناهم نكون ممن لغى فلا جمعة له؟[1]

🔻يستحب إيقاظهم بالفعل لا بالكلام؛ لأن الكلام في وقت الخطبة لا يجوز؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم: ((إذا قلت لصاحبك أنصت يوم الجمعة والإمام يخطب فقد لغوت))[2] متفق على صحته، وسماه النبي صلى الله عليه وسلم لاغياً مع أنه آمر بالمعروف، فدل ذلك على وجوب الإنصات وتحريم الكلام حال الخطبة، والله الموفق.

ــــــــــــــــــــــ
[1] من ضمن الأسئلة الموجهة لسماحته من جريدة المسلمون، وقد أجاب عنه سماحته بتاريخ 20/5/1419هـ.

[2] أخرجه البخاري في كتاب الجمعة، باب الإنصات يوم الجمعة والإمام يخطب، برقم 934.


✲✹✲
🌐 Sumber:
www.Binbaz.org.sa/node/4697

__________________
🔍 مجموعـــــة توزيع الفـــــــوائد
📌❂ WA Forum Berbagi Faidah [FBF] dinukil dari FIK | www.alfawaaid.net

Kamis, 23 Juli 2015

Tentang WAKTU UNTUK MEMBACA SURAT AL-KAHFI PADA HARI JUMAT

Asy Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin Rahimahullohu

Pertanyaan:
Fadhilatusy Syaikh. Seseorang yang membaca surat al kahfi pada malam jum'at, apakah ada keutamaannya tersendiri?

Jawaban:
TIDAK. Membaca surat Al Kahfi pada hari jum'atnya, dan yang paling bagus adalah setelah matahari terbit.
Maka boleh bagimu untuk membacanya dari mulai terbitnya matahari sampai waktu terbenam.
Namun apabila engkau membacanya kapanpun waktunya, selama itu waktu antara terbitnya matahari sampai terbenam, maka ini sudah mencukupi.

Silsilah Liqousy Syahri (Liqo 69)

Forum Salafy Purbalingga

FAEDAH:
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﻦ ﻗﺮَﺃ ﺳﻮﺭﺓَ ﺍﻟﻜﻬﻒِ ﻓﻲ ﻳﻮﻡِ ﺍﻟﺠﻤُﻌﺔِ ﺃﺿﺎﺀ ﻟﻪ ﻣﻦَ ﺍﻟﻨﻮﺭِ ﻣﺎ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺠﻤُﻌﺘَﻴﻦ ﺻﺤﻴﺢ ﺍﻟﺠﺎﻣﻊ
Barang siapa membaca surat Al-Kahfi pada hari Jumat akan diterangi dengan cahaya selama di antara dua Jumat.
Hadits ini adalah hadits yang shahih. Lihat Shahihul Jami no. 6407.
Adapun hadits:
ﻣَﻦْ ﻗَﺮَﺃَ ﺳُﻮﺭَﺓَ ﺍﻟْﻜَﻬْﻒِ ﻟَﻴْﻠَﺔَ ﺍﻟْﺠُﻤُﻌَﺔِ ﺃَﺿَﺎﺀَ ﻟَﻪُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨُّﻮْﺭِ ﻓِﻴﻤَﺎ ﺑَﻴْﻨَﻪُ ﻭَﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟْﺒَﻴْﺖِ ﺍﻟْﻌَﺘِﻴﻖِ
Barangsiapa membaca surat Al Kahfi pada malam Jum’at, maka ia akan mendapat cahaya antara dirinya dan rumah yang mulia (Mekkah).
Hadits ini diriwayatkan oleh Ad Darimi, dan yang shahih hadits ini adalah mauquf kepada Abu Sa’id al-Khudri.
Wallahu alam.

Tentang MELAKSANAKAN SALAT ID DI LAPANGAN

Al-‘Allaamah asy-Syaikh al-Utsaimin rahimahullah

Soal: Hukum Mendirikan Shalat ‘Id di Masjid
Beliau menjawab: Mendirikan shalat Id di masjid adalah makruh kecuali jika ada udzur (alasan yang dibolehkan oleh syariat). Karena yang disunnahkan adalah mendirikannya di lapangan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu mendirikan shalat Id di lapangan. Kalaulah seandainya keluarnya beliau bukan perkara yang dituntut, niscaya beliau tidak akan melakukannya dan tidak membebani kaum msulimin untuk keluar ke lapangan. Dan juga shalat Id jika dilakukan di masjid, maka hal ini dapat menghilangkan penampakkan syiar-syiar Islam dan mempertunjukkannya. [Majmu’ Fatawa asy-Syaikh al-Utsaimin 16/230]

Beliau juga menjawab: Sunnahnya shalat Id adalah di lapangan, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu keluar untuk menuaikan shalat Id di lapangan. Padahal beliau mengkabarkan bahwa shalat di masjidnya (masjid Nabawi) lebih baik dari 1000 shalat (dimasjid lain), bersamaan dengan itu beliau meninggalkan shalat Id di masjidnya untuk keluar ke lapangan dan menunaikan shalat disana. Atas dasar ini, yang disunnahkan adalah kaum muslimin keluar ke lapangan untuk menunaikan shalat Id yang mana shalat tersebut termasuk dari syiar-syiar Islam (yang harus ditampakkan). Hanya saja memang Masjidil Haram sudah sejak lampau didirikan padanya shalat Id, dan juga di Masjid Nabawi, kaum muslimin sudah menunaikannya padanya sejak lampau. [Majmu’ Fatawa asy-Syaikh al-Utsaimin 16/230-231]

Soal: Apakah Shalat Id di Lapangan Lebih Utama daripada di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi?
Beliau menjawab: Shalat Id di lapangan lebih utama, hanya saja sudah menjadi kebiasaan sejak lampau bahwa kaum muslimin menunaikannya di Masjidil Haram dan juga di Masjid Nabawi. Akan tetapi di Madinah, tidaklah diragukan lagi bahwa shalatnya kaum muslimin di lapangan lebih utama, sebagaimana hal ini dilakukan di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga di zaman Khulafaur Rasyidin. Sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mendirikan shalat Id di lapangan. [Majmu’ Fatawa asy-Syaikh al-Utsaimin 16/231]

Tentang WAKTU SALAT ID

Al-‘Allaamah asy-Syaikh al-Utsaimin rahimahullah

Waktu shalat Idul Fitri adalah ketika matahari telah meninggi setinggi tombak sampai dengan tergelincirnya matahari (masuk waktu zhuhur). Hanya saja, disunnahkan untuk memajukan shalat Idul Adha dan mengakhirkan shalat Idul Fitri, hal ini berdasarkan apa yang telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau dahulu menunaikan shalat Idul Adha apabila matahari telah meninggi setinggi tombak, sedangkan shalat Idul Fitrinya apabila telah meninggi setinggi dua tombak. Hal ini dikarenakan karena kaum muslimin pada saat Idul Fitri butuh kelonggaran waktu, sehingga memiliki keluasan untuk mengeluarkan zakat fitrahnya. Adapun pada hari raya Idul Adha maka yang disyariatkan adalah bersegera ditunaikan (shalatnya) guna menyembelih hewan qurbannya. Dan hal ini tidaklah mungkin bisa dicapai kecuali dengan menyegerakan shalat dia awal waktunya. [Majmu’ Fatawa asy-Syaikh al-Utsaimin 16/229]

Rabu, 22 Juli 2015

Tentang PUASA ENAM HARI DI BULAN SYAWAL

Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang berpuasa ramadhan, lalu menyambungnya dengan enam hari di bulan syawwal, maka dia seperti berpuasa sepanjang tahun.” (HR. Muslim: 1164 )

Hadits ini merupakan nash yang jelas menunjukkan disunnahkannya berpuasa enam hari di bulan syawwal. Adapun sebab mengapa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam menyamakannya dengan puasa setahun lamanya, telah disebutkan oleh Imam Nawawi rahimahullah bahwa beliau berkata:

“Berkata para ulama: Sesungguhnya amalan tersebut sama kedudukannya dengan puasa sepanjang tahun, sebab satu kebaikannya nilainya sama dengan sepuluh kali lipat, maka bulan ramadhan sama seperti 10 bulan, dan enam hari sama seperti dua bulan.” (Syarah Nawawi: 8/56)

Hal ini dikuatkan dengan hadits Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
صيام شهر رمضان بعشرة أشهر وصيام ستة أيام بشهرين فذلك صيام سنة
“Berpuasa ramadhan seimbang dengan sepuluh bulan, dan berpuasa enam hari seimbang dengan dua bulan, maka yang demikian itu sama dengan berpuasa setahun.” (HR. Nasaai dalam Al-kubra (2860), Al-Baihaqi (4/293), dishahihkan Al-Albani dalam Al-Irwa’ (4/107))

###

Puasa Syawal, Ibadah Penyempurna Ramadhan

Di saat bulan Ramadhan telah usai, ada sebuah harapan yang tentu menjadi keinginan setiap hamba yang telah menjalani bulan ramadhan dengan penuh kesungguhan dalam beribadah, yaitu mendapatkan maghfirah dari Allah Azza Wajalla, sehingga terbebas dari segala dosa yang pernah ia lakukan, baik dosa kecil maupun dosa besar yaitu mendapatkan maghfirah dari Allah Azza Wajalla, sehingga terbebas dari segala dosa yang pernah ia lakukan, baik dosa kecil maupun dosa besar.

Sebab, jika dosa tidak juga terampuni, sungguh merupakan sebuah kerugian yang besar. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
"Sungguh merugi seseorang yang mendapati bulan Ramadhan, lalu ia keluar darinya sebelum ia diampuni (dosa-dosanya)."
(HR.Tirmidzi dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu)

Setelah kita memasuki bulan Syawal, termasuk di antara amalan sunnah yang dianjurkan oleh Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- kepada umatnya adalah berpuasa 6 hari di bulan tersebut. Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- bersabda:
"Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan lalu menyambungnya dengan enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti orang yang berpuasa sepanjang setahun."
(HR.Muslim dari Abu Ayyub Al-Anshari Radhiallahu Anhu)

Disebutkan dalam riwayat lain tambahan lafazh:
"Allah menjadikan satu kebaikan sama dengan sepuluh kebaikan, satu bulan sama dengan sepuluh bulan, dan (berpuasa) enam hari setelah berbuka adalah penyempurna setahun."
(HR. Ibnu Majah, Ad-Darimi, At-Thahawi, dan yang lainnya. lafazh hadits ini berdasarkan riwayat At-Thahawi. lihat kitab Irwa Al-Ghalil, karya Al-Albani: 4, hadits nomor:950)

Berkata Ibnu Qudamah Rahimahullah: "Berpuasa enam hari di bulan Syawal merupakan amalan yang disukai menurut pendapat mayoritas para ulama."
(al-mughni: 4/438)

Keutamaan Berpuasa Enam Hari di Bulan Syawal

Disebutkan Al-Hafiz Ibnu Rajab Al-Hambali Rahimahullah beberapa manfaat berpuasa enam hari di bulan Syawal:

1. Berpuasa enam hari di bulan Syawal menyempurnakan pahala puasa menjadi setahun.

2. Berpuasa di bulan Syawal dan juga Sya'ban kedudukannya seperti shalat sunnah rawatib sebelum dan sesudah shalat fardhu. Maka ia menyempurnakan sesuatu yang kurang yang terdapat pada amalan yang wajib. Sebab amalan-amalan yang wajib akan disempurnakan dengan amalan sunnah pada hari kiamat, dan mayoritas manusia tatkala berpuasa wajib, pasti mengalami kekurangan, sehingga perlu ada yang menyempurnakannya dari amalan- amalan yang lain.

3. Membiasakan diri berpuasa setelah Ramadhan merupakan tanda diterimanya amalan puasa Ramadhan, sebab Allah -Azza Wajalla- jika menerima amalan seorang hamba, maka Allah -Azza Wajalla- memberi taufik kepadanya untuk melakukan amalan saleh yang berikutnya, sebagaimana dikatakan: "balasan dari perbuatan kebaikan adalah dia mengamalkan kebaikan berikutnya". Maka barangsiapa yang mengamalkan satu kebaikan lalu dia menyertainya dengan kebaikan berikutnya, itu merupakan tanda diterimanya amalan kebaikan yang sebelumnya, sebagaimana pula orang yang melakukan sebuah kebaikan lalu menyertainya dengan keburukan, itu merupakan tanda ditolaknya amalan kebaikannya dan tidak diterima."

4. Berpuasa Ramadhan menyebabkan diampuninya dosa- dosa, dan mereka yang berpuasa Ramadhan disempurnakan pahalanya pada saat hari raya, dan itu merupakan hari kemenangan, sehingga membiasakan berpuasa setelah hari raya merupakan bentuk rasa syukur atas kenikmatan ini. Tidak ada kenikmatan yang lebih besar dari ampunan dosa yang Allah berikan kepada hamba-Nya.. Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- pernah mengerjakan shalat hingga menyebabkan bengkak kedua kaki beliau, lalu Beliau ditanya: mengapa Engkau melakukan hal ini, padahal Allah Ta'ala telah mengampuni dosa- dosamu yang terdahulu dan yang akan datang?, Beliau menjawab: Tidakkah pantas aku menjadi seorang hamba yang bersyukur?"
(Muttafaq Alaihi dari Mughirah bin Syu'bah radhiallahu anhu, juga datang dari hadits Aisyah Radhiallahu Anha)

5. Amalan-amalan yang dilakukan seorang hamba dalam mendekatkan diri kepada Rabb-nya di bulan Ramadhan, tidaklah terputus meskipun bulan Ramadhan telah usai. Maka selama seorang hamba masih hidup, maka amalan saleh tetap ada. Kebanyakan manusia merasa senang tatkala berlalunya bulan Ramadhan, disebabkan karena ia merasa berat dengan berpuasa, merasa bosan dan terasa terlalu lama. Orang yang demikian keadaannya, tidak akan kembali berpuasa setelah Ramadhan dalam waktu cepat. Maka orang yang kembali berpuasa setelah Ramadhan berlalu menunjukkan rasa senangnya dia berpuasa, dan dia tidak merasa bosan, berat dan tidak merasa terpaksa. Ada seseorang berkata kepada Bisyr: ada satu kaum yang mereka melakukan ibadah dan bersungguh- sungguh di bulan Ramadhan. Maka Beliau menjawab: seburuk- buruk kaum adalah mereka yang tidak mengenal hak Allah -Azza Wajalla- kecuali di bulan Ramadhan. Seorang yang saleh adalah yang beribadah dan bersungguh- sungguh sepanjang tahun.
(ringkasan dari kitab Lathaif al-ma'arif, Ibnu Rajab Al-Hambali: 393- 400)

BEBERAPA HUKUM SEPUTAR PUASA SYAWAL

Haram Berpuasa di Hari Raya

Pada tanggal satu Syawal, diharamkan bagi seorang muslim untuk berpuasa disebabkan karena hari tersebut merupakan hari raya, hari makan dan minum. Telah diriwayatkan dari Abu Ubaid Maula Bin Azhar berkata: “Aku menyaksikan hari raya bersama Umar bin Khattab -Radhiallahu Anhu- lalu Beliau berkata: dua hari ini adalah hari di mana Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- melarang berpuasa pada keduanya: hari kalian berbuka dari puasa kalian, dan hari yang kedua di saat kalian makan dari sembelihan kalian."
(Muttafaq alaihi)

Juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari hadits Abu Said Al-Khudri -Radhiallahu Anhu- bahwa beliau berkata: Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- melarang berpuasa pada hari raya Idul Fitri dan hari raya kurban.
Berkata Al-hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani Asy-syafi-i Rahimahullah: Hadits ini menunjukkan diharamkannya berpuasa pada dua hari raya, sama saja apakah itu puasa nazar, kaffarah, sunnah, puasa qadha dan tamattu', dan ini berdasarkan ijma' ulama.
(Fathul Bari: 4/281)

Maka jika anda hendak berpuasa syawal, hendaknya dimulai dari tanggal dua Syawal, dan seterusnya.

Apakah Puasa Syawal Harus Berurutan?

Berpuasa enam hari di bulan Syawal, tidak disyaratkan harus dilakukan secara berurutan, namun diperbolehkan dilakukan kapan saja dari hari- hari di bulan Syawal. Namun jika dia melakukannya secara berurutan, maka tentu hal ini lebih baik.

Berkata An-Nawawi Rahimahullah: Para ulama berkata: disukai melakukan puasa tersebut secara berurutan, di permulaan bulan Syawal. Namun jika melakukannya tanpa berurutan dan mengakhirkannya, hal tersebut diperbolehkan, dan dia telah melakukan sunnah ini, berdasarkan keumuman hadits.
(Al-majmu', syarhul muhadzdzab: 6/427)

Berkata pula Syaikh Bin Baaz Rahimahullah: "Diperbolehkan melakukannya secara berurutan dan secara terpisah, sebab Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- menyebutkannya secara mutlak tanpa penjelasan berurutan ataupun terpisah."
(Majmu' Fatawa ibn Baaz: 15/391)

Tidak Mengkhususkan Puasa di Hari Jum'at

Apabila berpuasa enam hari di bulan Syawal, hendaknya tidak menyendirikan puasa pada hari Jum'at, namun hendaknya berpuasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam:
"Janganlah salah seorang kalian berpuasa pada hari Jum'at, kecuali jika ia berpuasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya."
(HR. Bukhari dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu)

Diriwayatkan dari Juwairiyah Bintul Harits Radhiallahu Anha bahwa suatu ketika Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- masuk ke tempatnya pada hari Jumat dalam keadaan ia berpuasa. Maka Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- bertanya: apakah engkau berpuasa kemarin? Juwairiyah menjawab: tidak. Lalu Beliau bertanya: apakah engkau ingin berpuasa besok? Ia menjawab: tidak. Maka Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- berkata: "batalkanlah (puasamu)."
(HR. Bukhari)

Namun dikecualikan apabila seseorang berpuasa pada hari kebiasaan dia berpuasa, lalu bertepatan pada hari Jum'at, seperti jika dia hendak berpuasa Asyura, lalu bertepatan dengan hari Jum'at, maka boleh berpuasa di hari Jum'at, meskipun ia tidak berpuasa hari sebelum dan sesudahnya, sebagaimana yang diriwayatkan Imam Muslim bahwa Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- bersabda:
"Jangan kalian mengkhususkan malam Jumat dari malam- malam yang lainnya dengan qiyamul lail secara khusus, dan jangan pula kalian mengkhususkan hari Jumat dari hari-hari lainnya dengan puasa khusus, kecuali jika salah seorang kalian biasa melakukan puasa itu."
(HR. Muslim)

Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah setelah menyebutkan beberapa hadits tentang larangan mengkhususkan puasa pada hari Jum'at:
"Dan diambil faedah dari pengecualian dalam hadits tersebut bolehnya berpuasa jika ia berpuasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya, atau bertepatan waktunya dengan hari- hari yang ia biasa berpuasa pada hari tersebut, seperti jika ia berpuasa pada hari- hari putih (tanggal 13, 14, 15 Hijriyah dalam setiap bulan), atau seseorang punya kebiasaan untuk berpuasa di hari tertentu seperti hari Arafah, lalu bertepatan pada hari Jumat."
(Fathul Bari: 4/275)

Tidak Mengkhususkan Puasa Pada Hari Sabtu

Telah diriwayatkan pula dari Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- bahwa beliau bersabda:
"Jangan kalian berpuasa pada hari Sabtu, kecuali sesuatu yang diwajibkan atas kalian."
(HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, Al- Hakim, dari Abdullah bin Busr dari saudara perempuannya bernama Ash -Shamma'. Hadits ini diperselisihkan para ulama tentang keabsahannya)

Berkata At-Tirmidzi: Maknanya adalah seseorang mengkhususkan hari Sabtu dengan berpuasa, sebab kaum Yahudi memuliakan hari Sabtu.
(Jami' At-tirmidzi)

Hukum Puasa Syawal Bagi Yang Punya Hutang Puasa Ramadhan

Bagi seseorang yang memiliki hutang puasa di bulan Ramadhan, hendaknya ia menyempurnakan qadha' puasa Ramadhannya terlebih dahulu sebelum ia berpuasa sunnah enam hari di bulan Syawal, sebab Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- mengatakan, "barangsiapa yang berpuasa Ramadhan…", nampak bahwa yang dimaksud adalah menyempurnakan puasa Ramadhan, dan dikuatkan lagi dengan penjelasan bahwa satu kebaikan senilai sepuluh kebaikan, yang jika dihitung seluruhnya akan mencapai setahun, hal itu hanya mungkin bila seseorang berpuasa sebulan penuh.

Berkata Al-Haitami Rahimahullah:
"…sebab puasa tersebut (puasa enam hari di bulan Syawal) bersama dengan puasa Ramadhan, sebab jika tidak, maka tidak terdapat keutamaan tersebut, meskipun ia memiliki hutang puasa karena ada udzur)." (Tuhfatul Muhtaj: 3/457)

Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah:
"Berpuasa enam hari di bulan Syawal tidak akan diraih pahalanya kecuali apabila seseorang telah menyempurnakan puasa bulan Ramadhan. Maka barangsiapa yang memiliki hutang puasa, jangan dia berpuasa enam hari di bulan Syawal kecuali setelah meng-qadha puasa Ramadhan, sebab Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- mengatakan:
"Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan lalu menyertakannya dengan puasa enam hari di bulan Syawal…"
Oleh karenanya, kami mengatakan kepada yang memiliki hutang puasa: puasa qadha'- lah terlebih dahulu, lalu setelah itu berpuasa enam hari di bulan Syawal."
(Fatawa Ibnu Utsaimin: 20/18)

Semoga Allah -Azza Wajalla- memberi kemudahan kepada kita semua untuk bisa mengamalkannya dengan penuh keikhlasan, dan mengharapkan ridha Allah Azza Wajalla.

Ditulis oleh:
Abu Muawiyah Askari bin Jamal
Makkah Al-Mukarramah, kamis 28 ramadhan 1433 H

###

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan Hafizhahullahu Ta’ala

Dari Abu Ayyub Al-Anshari Radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
من صام رمضان ثم أتبعه بست من شوال كان كصيام الدهر
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian mengikutinya dengan (puasa) enam hari dari bulan Syawwal, maka ia seperti berpuasa selama setahun penuh.” (HR. Muslim)

Asy-Syaikh Menjelaskan, “Ini merupakan jenis lain dari jenis-jenis puasa sunnah, yaitu puasa enam hari di bulan syawwal. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian mengikutinya dengan puasa enam hari dari bulan Syawwal, maka ia seperti berpuasa selama setahun penuh.” Pada hadits ini terdapat keutamaan berpuasa enam hari dari bulan Syawwal, yaitu enam hari di bulan syawwal bagi orang yang telah berpuasa pada bulan ramadhan, ia menggabungkan antara dua kebaikan, yaitu (kebaikan) puasa ramadhan dan (kebaikan) puasa enam hari di bulan syawwal.

Maka dia seperti seorang yang berpuasa ad-dahr yakni satu tahun. Yang dimaksud dengan ad-dahr di sini ialah satu tahun. Dikarenakan satu kebaikan dilipatkan gandakan menjadi sepuluh kebaikan. Maka satu bulan ramadhan sama dengan sepuluh bulan, dan enam hari syawwal sama dengan dua bulan. Sehingga keseluruhannya dua belas bulan atau satu tahun. Maka orang yang berpuasa ramadhan kemudian mengikutinya dengan enam hari di bulan syawwal akan mendapatkan pahala orang yang berpuasa satu tahun penuh. Ini merupakan keutamaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dan ucapan beliau “enam hari dari bulan syawwal” menunjukkan bolehnya berpuasa secara berurutan atau terputus-putus dalam satu bulan tersebut (syawwal). Boleh juga dilakukan di awal bulan, pertengahan bulan, atau di akhir bulan, ini berdasarkan sabda beliau “enam hari dari bulan syawwal”.

Sebagaimana pula hadits ini menunjukkan, bahwasanya bagi orang yang tidak berpuasa ramadhan maka tidak disyariatkan baginya berpuasa enam hari di bulan syawwal. Dikarenakan beliau bersabda, “Barangsiapa berpuasa ramadhan kemudian mengikutinya dengan enam hari dari bulan syawwal.” Sehingga orang yang tidak berpuasa ramadhan disebabkan udzur (alasan syar’i) maka tidak perlu puasa enam hari syawwal, bahkan ia harus bersegera berpuasa (membayar hutang puasa) ramadhan.

Demikian juga orang yang berbuka beberapa hari di bulan ramadhan karena udzur syar’i, maka tidak disyari’atkan baginya puasa enam hari syawwal hingga ia mengqadha’ sejumlah hari yang ia berbuka padanya di bulan ramadhan, setelah itu ia berpuasa enam hari syawwal jika masih tersisa, hal ini berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Lalu ia mengikutinya dengan (puasa) enam hari dari bulan syawwal” di sini beliau menyandingkan puasa enam hari syawwal dengan puasa bulan ramadhan sebelumnya. Jika ia memiliki hutang puasa ramadhan satu bulan penuh atau beberapa hari saja maka hendaknya ia mulai dengan yang wajib (yaitu mengqadha ramadhan), karena (mendahulukan) yang wajib lebih utama daripada yang sunnah.

Dan hukum puasa enam hari di bulan syawwal menurut jumhul ahlul ilmi, mereka menyatakan puasa enam hari di bulan syawwal adalah mustahab (sunnah), kecuali Imam Malik rahimahullah. Sesungguhnya beliau tidak berpandangan sunnahnya puasa enam hari syawwal, beliau menyatakan, khawatir manusia menganggapnya bagian dari ramadhan.’ Beliau ingin menutup celah agar orang-orang tidak menganggapnya termasuk dari puasa ramadhan.

Akan tetapi bagaimana pun, dalil lebih didahulukan ketimbang ro’yu (pendapat manusia). Sedangkan dalil menunjukkan sunnah. Dan ucapan Ar-Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentu saja lebih didahulukan di atas ucapan siapa pun.

Perkara ini tidak disepakati oleh Al-Imam Malik Rahimahullah (yakni sunnahnya puasa enam hari syawwal), dan Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah memberikan udzur bahwasanya dimungkinkan Al-Imam Malik belum sampai kepada beliau hadits ini, belum sampai kepada beliau hadits ini… na’am.

Diterjemahkan dari Syabakah Ajurry

Sumber: Warisan salaf

Selasa, 21 Juli 2015

Tentang KELUAR MENUJU SALAT ID DAN MENUNGGU IMAM KELUAR SAMBIL MENGANGKAT SUARA BERTAKBIR DAN BERTAHLIL

Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma berkata,
ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻛَﺎﻥَ ﻳَﺨْﺮُﺝُ ﻓِﻲْ ﺍﻟْﻌِﻴْﺪَﻳْﻦِ ﻣَﻊَ ﺍﻟْﻔَﻀْﻞِ ﺑْﻦِ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ ﻭَﻋَﺒْﺪِﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﻟْﻌَﺒَّﺎﺱِ ﻭَﻋَﻠِﻲٍ ٍﻭَﺟَﻌْﻔَﺮٍ ﻭَﺃُﺳَﺎﻣَﺔَ ﺑْﻦِ ﺯَﻳْﺪٍ ﻭَﺯَﻳْﺪٍ ﺑْﻦِ ﺣَﺎﺭِﺛَﺔَ ﻭَﺃَﻳْﻤَﻦَ ﺑْﻦِ ﺃُﻡِّ ﺃَﻳْﻤَﻦَ ﺭَﺍﻓِﻌًﺎ ﺻَﻮْﺗَﻪُ ﺑِﺎﻟﺘَّﻬْﻠِﻴْﻞِ ﻭَﺍﻟﺘَّﻜْﺒِﻴْﺮِ
“Nabi shallallahu 'alaihi wasallam keluar di dua hari raya bersama Al-Fadhl bin Abbas, Abdullah, Al-Abbas, Ali, Ja’far, Al-Hasan, Al-Husain, Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah, dan Aiman bin Ummi Aiman sambil mengangkat suaranya bertahlil dan bertakbir.” (HR.Al-Baihaqy dalam As-Sunan Al-Kubro (3/279) dan dihasankan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa’ 3/123)
ﻭﺭﻭﻯ ﺍﻟﺪﺍﺭﻗﻄﻨﻲ ﻭﻏﻴﺮﻩ ﺃﻥ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻛﺎﻥ ﺇﺫﺍ ﻏﺪﺍ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﻭﻳﻮﻡ ﺍﻷﺿﺤﻰ ﻳﺠﺘﻬﺪ ﺑﺎﻟﺘﻜﺒﻴﺮ ﺣﺘﻰ ﻳﺄﺗﻲ ﺍﻟﻤﺼﻠﻰ، ﺛﻢ ﻳﻜﺒﺮ ﺣﺘﻰ ﻳﺨﺮﺝ ﺍﻹﻣﺎﻡ
Ad-Daruquthny dan selainnya meriwayatkan bahwa Ibnu Umar jika berangkat pagi hari melakukan sholat Iedul Fitri dan Iedul Adha bersungguh-sungguh dalam bertakbir sampai tiba di tempat sholat, kemudian terus bertakbir sampai keluarnya Imam.

“Adalah Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam keluar di Hari Raya Idul Fitri lalu beliau bertakbir sampai datang ke tempat shalat dan sampai selesai shalat. Apabila telah selesai shalat beliau memutus takbir.” (Shahih, Mursal Az-Zuhri, diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dengan syawahidnya dalam Ash-Shahihah no. 171)

Asy-Syaikh Al-Albani berkata: “Dalam hadits ini ada dalil disyariatkannya apa yang diamalkan kaum muslimin yaitu bertakbir dengan keras selama perjalanan menuju tempat shalat walaupun banyak di antara mereka mulai menggampangkan sunnah (ajaran) ini, sehingga hampir-hampir menjadi sekedar berita (apa yang dulu terjadi). Hal itu karena lemahnya mental keagamaan mereka dan karena rasa malu untuk menampilkan sunnah serta terang-terangan dengannya. Dan dalam kesempatan ini, amat baik untuk kita ingatkan bahwa mengeraskan takbir di sini tidak disyariatkan padanya berpadu dalam satu suara sebagaimana dilakukan sebagian manusia…” (Ash Shahihah: 1 bagian 1 hal. 331)

Tentang BERANGKAT MENUJU SALAT ID SETELAH MATAHARI TERBIT

Sesungguhnya telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Rafi’ bin Khadij dan sekelompok tabi’in bahwa mereka tidak keluar menuju Shalat Id kecuali bila matahari telah terbit. Bahkan sebagian mereka Shalat Dhuha di masjid sebelum keluar menuju Id. Ini menunjukkan bahwa Shalat Id dahulu dilakukan setelah lewatnya waktu larangan shalat. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105)

Tentang MAKAN SEBELUM SALAT ID PADA IDUL FITRI DAN MAKAN SESUDAH SALAT ID PADA IDUL ADHA

Hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:
ﻋﻦ ﺑُﺮَﻳْﺪَﺓَ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻗَﺎﻝَ: ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻻ ﻳَﻐْﺪُﻭ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺄْﻛُﻞَ، ﻭَﻻ ﻳَﺄْﻛُﻞُ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻷَﺿْﺤَﻰ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺮْﺟِﻊَ، ﻓَﻴَﺄْﻛُﻞَ ﻣِﻦْ ﺃُﺿْﺤِﻴَّﺘِﻪِ
Dari Buraidah radhiyallaahu ‘anhu beliau berkata: "Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam tidaklah berangkat menuju sholat Iedul Fitri sampai beliau makan (terlebih dahulu) dan beliau tidak makan pada hari Iedul Adha sampai kembali dan makan dari kurbannya." (HR. Ahmad)

Dari Anas bin Malik ia berkata: Adalah Rasulullah tidak keluar di hari fitri sebelum beliau makan beberapa kurma.
Murajja‘ bin Raja‘ berkata: Abdullah berkata kepadaku, ia mengatakan bahwa Anas berkata kepada-nya: “Nabi memakannya dalam jumlah ganjil.” (Shahih, HR Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Al-Akl Yaumal ‘Idain Qablal Khuruj)

Ibnu Rajab berkata: “Mayoritas ulama menganggap sunnah untuk makan pada Idul Fitri sebelum keluar menuju tempat Shalat Id, di antara mereka ‘Ali dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma.”

Al-‘Allaamah asy-Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata:
Disunnahkan pada hari raya Idul Fitri untuk makan kurma dengan mengganjilkan jumlahnya sebelum keluar menunaikan shalat Id. Adapun pada hari raya Idul Adha, maka disunnahkan untuk makan daging sembelihannya yang dia sembelih setelah shalat Id (artinya tidak makan apa-apa ketika keluar rumah sampai yang menjadi makanan pertamanya nanti adalah hewan qurbannya). [Majmu’ Fatawa asy-Syaikh al-Utsaimin 16/234-235]
Apakah ada Batasan Ganjilnya dalam Makan Kurma?
Beliau menjawab: Tidak ada batasan maksimal yang dituntut padanya, hanya saja minimalnya tiga, karena bilangan tiga adalah bilangan jamak yang terkecil. [Majmu’ Fatawa asy-Syaikh al-Utsaimin 16/233-234]

Di antara hikmah dalam aturan syariat ini, yang disebutkan oleh para ulama adalah:
- Menyelisihi Ahlul kitab, yang tidak mau makan pada hari raya mereka sampai mereka pulang.
- Untuk menampakkan perbedaan dengan Ramadhan.
- Karena sunnahnya Shalat Idul Fitri lebih siang (dibanding Idul Adha) sehingga makan sebelum shalat lebih menenangkan jiwa. Berbeda dengan Shalat Idul Adha, yang sunnah adalah segera dilaksanakan. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/89)

Tentang MEMELIHARA KEJUJURAN DAN MENJAUHI KEDUSTAAN

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ، فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيقًا، وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا
“Kalian harus berlaku jujur, karena kejujuran itu akan membimbing kepada kebaikan. Dan kebaikan itu akan membimbing ke surga. Seseorang yang senantiasa berlaku jujur dan memelihara kejujuran, maka ia akan dicatat sebagai orang yang jujur di sisi Allah. Dan hindarilah dusta, karena kedustaan itu akan menggiring kepada kejahatan dan kejahatan itu akan menjerumuskan ke neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan memelihara kedustaan, maka ia akan dicatat sebagai pendusta di sisi Allah.” [HR. Muslim]

Senin, 20 Juli 2015

Tentang MENJAGA PENDENGARAN

Sesungguhnya pendengaran ini akan dimintai pertanggung-jawabannya dihadapan Allah ‘Azza wa Jalla kelak;

Allah Ta’ala berfirman;

{وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا}

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” [QS. Al-Israa:36]

Oleh karena itu, hendaklah kau jaga pendengaranmu dari perkara-perkara yang diharamkan untuk didengarkan. Diantara perkara-perkara yang dilarang bagi kita mendengarkannya adalah mendengarkan segala bentuk perkataan-perkataan bathil, seperti celaan terhadap ayat-ayat Allah, celaan terhadap sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, perkataan ghibah dan yang lain-lainnya.

Allah Ta’ala berfirman;

{وَإِذا سَمِعُوا اللَّغْوَ أَعْرَضُوا عَنْهُ}

“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya.” [QS. Al-Qashash:55]

Tentang SURAT YANG DIBACA PADA SALAT ID DAN SALAT JUMAT

Al-‘Allaamah asy-Syaikh al-Utsaimin rahimahullah

Tata cara shalat Idul Fitri dan Adha adalah imam mengimami kaum muslimin dua rakaat, bertakbir pada rakaat pertama takbiratul Ihram, kemudian bertakbir setelahnya 6 kali takbir. *)
Setelah itu imam membaca al-Fatihah dan membaca surat ‘QAF’ pada rakaat pertama. Pada rakaat kedua, dia berdiri sambil bertakbir. Jika telah sempurna berdirinya, maka setelah itu bertakbir sebanyak 5 kali. Setelah itu membaca al-Fatihah dan dilanjutkan dengan membaca surat ‘IQTARABATIS SAA’ATU WANSYAQQAL QAMAR’. Dua surat ini dulu dibaca oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pada shalat Idul Fitri dan Adha. Jika ingin membaca surat ‘SABBIHIS’ (al-A’la) pada rakaat pertama dan surat ‘HAL ATAKA HADIITSUL GHAASYIYAH’ (al-Ghasyiyah) pada rakaat kedua (tidak mengapa).
Ketahuilah, bahwa shalat jumat dan shalat Id itu bersatu dalam dua surat dan berbeda dalam dua surat. Dua surat yang terkumpul pada dua shalat tersebut adalah surat al-A’la dan al’Ghasyiyah. Dan dua surat yang terbedakan pada dua shalat tersebut adalah pada shalat Id dibaca surat QAF dan ‘IQTARABAT’, adapun pada shalat jumat surat al-Jumah dan al-Munafiqun. Seyogyanya bagi kita untuk menghidupkan sunnah membaca surat-surat ini, sehingga kaum muslimin mengetahuinya dan tidak mengingkarinya ketika hal ini diamalkan.
Kemudian setelah itu berkhutbah, dan hendaknya (diakhir khutbah) khatib sedikit mengkhususkan nasehat dalam khutbahnya untuk ditujukan kepada para wanita dan memerintahkan mereka untuk menunaikan hal-hal yang sudah semestinya mereka tunaikan, serta melarang mereka dari perkara-perkara yang harus ditinggalkan, hal ini sebagaimana pernah dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. [Majmu’ Fatawa asy-Syaikh al-Utsaimin 16/238-239]

Diterjemahkan oleh Abu Ubaidah Iqbal bin Damiri al-Jawi di kota Ambon Manise,
29 Ramadhan 1436 H/16 Juli 2015

*) Lihat postingan sebelumnya Tentang TAKBIR TAMBAHAN PADA SALAT ID

Tentang MEMPELAJARI KISAH PERJALANAN HIDUP RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WASALLAM

Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah dalam Syarah Tsalatsatil Ushul berkata, "... Kenalilah sirah (perjalanan hidup) Rasul walau hanya ringkasannya saja!"

Beliau juga berkata, "Seorang muslim tidaklah pantas bodoh tentang Rasulnya.

Bagaimana engkau mau mentauladani seseorang jika engkau saja tidak tahu tentangnya.

Ini tidak masuk akal!"

(Dinukil dari Jami'usy Syuruh Tsalatsatil Ushul, hal. 37, cet. Dar Ibnil Jauzi 2012)

Tentang JUAL BELI PETASAN ATAU MERCON

💥 APA HUKUM JUAL BELI PETASAN/MERCON?
⏩As Syaikh Muhammad Sholeh Al 'utsaimin rohimahulloh
✅ JAWAB: Segala puji bagi Alloh Robb sekalian alam, sholawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga serta seluruh shohabat.
✅ Yang saya pandang bahwa menjual dan membelinya adalah HARAM, karena dua sisi:
1⃣ Sisi pertama: Penghamburan harta, dan menghamburkan harta itu diharamkan berdasarkan larangan Nabi sholallohu 'alaihi wa salam.
2⃣ Sisi yang kedua: Sesungguhnya petasan mengganggu manusia dengan suaranya yang sangat mengganggu,
💥Bahkan terkadang menimbulkan kebakaran apabila mengenai sesuatu yang mudah terbakar dan tidak bisa dipadamkan.
Maka dari dua sisi inilah saya berpendapat bahwa (petasan/mercon) itu Haram,
Dan tidak boleh di perjual belikan.
selesai
==============
📚Majmu' Al fatawa li fadhilatisy syaikh Muhammad bin sholeh Al 'utsaimin, cetakan markiz da'wah wal irsyad bi 'unaizah (3/3). tanggal fatwa 5-10-1413 h.
alih bhs: Abul fida' as silasafy

Tentang MALAM IDUL FITRI

Sangat Disesalkan, terjadi banyak kemungkaran pada malam Idul Fitri, antara lain:

1. Berkumpulnya karib kerabat, tanpa memperhatikan siapa yang mahram siapa yang bukan. Sehingga terjadi IKHTILATH.
2. Berhura-hura.
3. Takbir keliling.
4. Takbir berjamaah.
5. Membunyikan kaset Takbiran, lebih parah lagi takbiran yang diiringi musik, bahkan musik disko!!
6. Mercon, petasan, kembang api.
7. Ziarah kubur.
8. Selamatan.
9. Wanita berhias, bersolek. Kerudung modis, kerudung mini, baju dengan berbagai model dan motif, bahkan terawang.
dll

Majmu’ah Manhajul Anbiya

Tentang BUDHA

APA HUKUM ISLAM TERHADAP ORANG YANG MEYAKINI BAHWA BUDHA ADALAH NABI?

--------------------------------------------------------------------------------

Budha BUKAN nabi, namun dia adalah KAFIR FILOSOF, beragama dengan selain agama samawi. Barangsiapa meyakini Budha sebagai nabi, maka DIA KAFIR. Kaumnya telah bersikap ghuluw (ekstrim) terhadap Budha, mereka meyakini derajat ketuhanan bagi Budha, dan menyembah Budha. Banyak manusia memeluk agama Budha ini, baik dulu maupun sekarang. Maka WAJIB atas kaum muslimin untuk : MEMBENCI AGAMA INI, MEMBENCI PARA PEMELUK AGAMA INI, BERLEPAS DIRI DARI MEREKA, dan MEMUSUHI MEREKA Karena Allah.
Dari Fatwa al-Lajnah ad-Da’imah li al-Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta’, no. 21004

Majmu’ah Manhajul Anbiya

Sabtu, 18 Juli 2015

Tentang MENGUCAPKAN SELAMAT HARI RAYA SEBELUM MASUK HARI ID

Asy Syaikh Shalih Fauzan bin Abdillah al Fauzan حفظه الله

Pertanyaan:
انتشر بين الناس في هذه الأيام رسائل عبر الجوال تتضمن تحريم التهنئة بالعيد قبل العيد بيوم أو يومين وأنه من البدع، فما رأي فضيلتكم؟
Telah tersebar di antara muslimin pada akhir-akhir ini pesan-pesan singkat melalui ponsel. Yang isinya adalah mengharamkan ucapan selamat hari raya sebelum jatuh tanggal ied sehari atau dua hari sebelumnya. Dan dinyatakan bahwa perbuatan tersebut termasuk bidah. Bagaimanakah pendapat anda?

Syaikh menjawab:
لا أعلم هذا الكلام، هذه يروجوها ولا أعلم له أصلاً، فالتهنئة مباحة في يوم العيد، أو بعد يوم العيد مباحة، أما قبل يوم العيد فلا أعلم أنها حصلت من السلف وأنهم يهنئون قبل يوم العيد، كيف يُهَنَأ بشيء لم يحصل، التهنئة تكون يوم العيد أو بعد يوم العيد
Saya tidak mengetahui ucapan seperti ini. Hal ini mereka sebarluaskan dan saya tidak mengetahui adanya asal dari perkara ini. Ucapan selamat hari raya itu boleh pada hari ied.
Adapun jika diucapkan sebelum hari ied maka saya sama sekali tidak mengetahui asal muasalnya dari Salaf.
Dan saya tidak mengetahui mereka (salaf) mengucapkan selamat hari raya sebelum hari ied. Bagaimana bisa ucapan selamat disampaikan untuk sesuatu yang belum terjadi?
Ucapan selamat ini boleh diucapkan pada hari ied ataupun juga setelah hari ied.

Sumber: 
www .sahab .net/forums/index .php?showtopic=145740

Alih bahasa:
Ustadz Hamzah Rifai La Firlas hafizhahullah

Keterangan:
Hari ied ditandai dengan terlihatnya hilal bulan syawal dengan ketetapan waliyyul amr.

Forum Salafy Indonesia

Kamis, 16 Juli 2015

Tentang SALING MENGUCAPKAN SELAMAT PADA HARI RAYA IDUL FITRI DAN IDUL ADHA

Dari Jubair bin Nufair berkata, "Dulu para shahabat Nabi jika bertemu pada hari 'Id, yang satu mengucapkan pada lain: Taqabbalallahu minna wa minka
(Semoga Allah menerima (amalan) dari kami dan dari anda). (Diriwayatkan oleh Al-Muhamili)
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari (2/446), "Sanadnya hasan (baik)."

Asy-Syaikh Bin Baz berkata: "Tidak mengapa seorang muslim mengatakan kepada saudaranya sesama muslim (pada Hari Raya): Taqabbalallahu minna wa minka a'malana ash-shalihah (Semoga Allah menerima amal-amal shalih dari kami dan dari Anda), dan saya tidak mengetahui ada nash khusus. Seorang muslim mendoakan saudaranya dengan doa yang baik, berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak." (Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutanavwvi'ah Xlll/25)

Fadhilatu asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah pernah ditanya:
"Apa hukum mengucapkan selamat hari raya Ied? Apakah ada kalimat khusus tentangnya?"
Beliau menjawab,
"Mengucapkan selamat Hari Raya Ied hukumnya BOLEH, dan tidak ada ucapan yang bersifat khusus. Bahkan ucapan yang telah menjadi kebiasaan manusia itu boleh, selama tidak mengandung dosa."
(Majmu Fatawa wa Rasail al-Utsaimin 16/208-210)

Fadhilatu asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, apakah ada bentuk kalimat yang dihafal dari para salaf terkait ucapan selamat pada hari raya ied?
Beliau menjawab,
"Mengucapkan selamat hari raya Ied telah dilakukan oleh sebagian shahabat radhiyallaahu 'anhum.
Kalaupun dikatakan belum pernah terjadi pada masa shahabat, namun ini sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh manusia. Mereka saling mengucapkan selamat satu sama lain dengan sampainya mereka pada hari Ied dan sempurnanya puasa dan qiyamul lail.
Akan tetapi, satu perkara yang terkadang mengganggu dan tidak ada faktor pendorong untuk melakukannya adalah permasalahan mengecup. Sebagian orang, jika mengucapkan selamat hari raya Ied, mereka mengecup. Yang seperti ini tidak ada alasan yang mendukung, tidak ada kebutuhan padanya.
Jadi, cukup dengan berjabat tangan dan mengucap selamat."
(Majmu Fatawa wa Rasail al-Utsaimin 16/208)

Majmu'ah Manhajul Anbiya