Al-Imam Al-Albani rahimahullah
Tentang shalat di atas pesawat, orang yang biasa naik pesawat di zaman sekarang ini akan menyaksikan bahwa pesawat memiliki kelebihan dari sisi kenyamanan di mana penumpangnya tidak merasa sedang terbang di antara langit dan bumi. Beda halnya dengan kapal laut, di mana terkadang memberikan goncangan kepada penumpangnya, lebih besar daripada goncangan pesawat. Karena itu orang yang mengendarai pesawat, bila memang pesawatnya besar, luas dan lapang, ia akan mendapati tempat kosong yang di situ ia bisa berdiri dan duduk saat mengerjakan shalat.
Inilah yang wajib berdasarkan kaidah yang telah lewat penyebutannya:
ﺍﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪَ ﻣَﺎ ﺍﺳْﺘَﻄَﻌْﺘُﻢْ
“Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian.”
Termasuk kewajiban yang harus diperhatikan oleh orang yang ingin shalat di atas pesawat adalah memperhatikan pada awal shalatnya di mana arah kiblat, bila memang memungkinkan untuk mengetahuinya, kemudian ia shalat menghadap kiblat tersebut. Setelah itu tidak menjadi masalah pesawatnya menghadap ke mana saja, mengarah ke kiri atau kanan. Ia tetap melanjutkan shalatnya sesuai dengan arah awal ia menghadap (walaupun ternyata tidak lagi menghadap kiblat karena arah pesawat telah berubah).
Yang penting, ada dua perkara yang harus diperhatikan oleh penumpang pesawat, penumpang kapal, atau penunggang hewan.
Pertama: Bila mampu untuk berdiri dan duduk dalam shalat, hendaklah ia melakukannya. Bila memungkinkan baginya untuk turun dari kendaraannya seperti orang yang mengendarai mobil, hendaknya ia turun dan shalat sebagaimana biasanya.
Kedua: Ia memulai shalatnya di atas kendaraan yang ditumpanginya dengan menghadap kiblat, setelah itu tidak menjadi masalah bila mobil, pesawat, atau kapal yang ditumpanginya, ataupun hewan (yang ditungganginya) itu bergerak sehingga arah kiblat berpindah. Kecuali bila memungkinkan baginya untuk turun dari kendaraannya, maka ia shalat seperti biasanya.
Sumber:
Al-Hawi min Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 227
###
Al Ustadz Abu Abdillah Luqman Ba'abduh hafizhahullah
Tanya:
Jika seorang safar lebih dari sehari di atas kendaraan secara terus-menerus (yakni perjalanannya lebih dari waktu 24 jam di atas mobil), bagaimana cara shalatnya? Apakah boleh shalat di atas kendaraan? Ataukah boleh shalat tiga atau empat waktu dalam satu waktu?
Jawab:
Pertama, saya ulang dari bawah, saya mulai dari bawah.
Tidak boleh melakukan shalat lebih dari dua waktu pada satu waktu kecuali yang memang diperbolehkan untuk dijama', seperti dhuhur dengan ashar, maghrib dengan isya. Sementara misalkan ashar dengan maghrib, tidak boleh dijama'. Isya dengan subuh, tidak boleh dijama'. Dijama' hanya boleh pada dhuhur dan ashar, kemudian maghrib dengan isya, ini penting. Apalagi digabung, dhuhur, ashar, maghrib, isya jadi satu, ini juga tidak boleh.
Kemudian bagaimana caranya? Apakah boleh shalat di atas kendaraan?
Jika darurat, boleh. Tapi pertanyaannya sekarang apakah sudah tergolong darurat apa tidak? Misalkan kita naik kendaraannya bus. Kalau kendaraan sendiri kan tidak darurat itu, bisa dia berhenti di mana saja, kalau kendaraan pribadi. Bus, misalkan kita naik salah satu bus dari sini ke Jakarta, memakan waktu 20 sampai 24 jam. Berangkat dari sini dhuhur misalkan, maka kita shalat dhuhur dan ashar di Jember sebelum berangkat. Tinggal maghrib dan isya. Biasanya berhenti di salah satu tempat, pom bensin atau rumah makan, dan diberi kesempatan untuk shalat. Dan alhamdulillah banyak rumah makan dan pom bensin yang sudah disediakan di sana mushalla atau tempat shalat. Kita berhenti di sana.
Kalau tidak berhenti? Kita bilang sama supirnya:
"Minta maaf pak, saya muslim. Nanti saya diberikan kesempatan untuk shalat sebentar saja!"
Bisa, tidak apa-apa, dan harus dibudayakan seperti itu. Usahakan untuk tidak shalat di atas kendaraan, usahakan untuk tidak shalat fardhu di atas kendaraan. Kenapa? Karena rasulillah shallallahu 'alaihi wasallam mencontohkan kepada kita tentang bolehnya melakukan shalat sunnah di atas kendaraan, tetapi ketika hendak melakukan shalat fardhu beliau turun dari kendaraannya, berhenti dan shalat. Maka atas dasar itu, dia turun dari kendaraan. Kecuali sangat darurat, misalnya apa darurat? Dia tidak bisa turun karena sakit. Maka tetap shalat di atas kendaraan. Apalagi kereta, sekarang itu sangat mudah.
Tanya:
Shalat di atas kendaraan, tidak memungkinkan menghadap kiblat?
Jawab:
Kalau memungkinkan mengarah ke kiblat, maka tetap mengarah ke kiblat. Seperti misalnya kereta api, itu sangat mudah sekali kita mengetahui mana arah kiblat.
"Nanti kan belok ustadz?"
Ya terserah sudah, kalau sudah belok. Yang penting kita berupaya.
"Oh ini sekarang kereta sedang menghadap ke timur, maka kiblatnya sebelah barat kalau Indonesia."
"Oh sekarang kereta sedang berjalan ke arah selatan, berarti kiblatnya sebelah kanannya."
Menghadap ke kiblat (kemudian shalat). Permisi, minta izin. Insya Allah diizinkan. Lha wong orang mau merokok, minta izin saja diizinkan kok. Bayangkan antum, sekarang di bus-bus itu ada ruangan khusus smoking area. Disiapkan khusus, kenapa? Karena pihak pemilik bus tidak ingin rugi. Tidak ingin ada penumpang yang perokok tidak mau naik gara-gara dilarang merokok. Akhirnya disiapkan tempat khusus untuk merokok. Bayangkan! Kenapa tidak bisa menyiapkan tempat khusus untuk shalat? Padahal itu lebih penting daripada merokok. Ya bukan lebih penting, memang tidak bisa dibandingkan, tidak boleh dibandingkan.
Paham ya ikhwan? Berupaya di kereta, shalat menghadap kiblat. Pesawat, juga tidak sulit. Di pesawat itu dibantu, di kursi ada alat yang menunjukkan di mana arah barat, di mana kiblat, ditunjukkan (GPS), lebih enak lagi.
Atau kita, kalau naik bus, diperkirakan. Dari sini mau berangkat ke Jogja, berangkat misalkan jam sembilan malam, sampai Jogja otomatis kurang lebih jam enam/jam tujuh pagi. Kalau jam enam, jam tujuh pagi itu sudah terbit matahari. Ya jangan beli tiket Jogja, beli tiketnya Solo. Sampai Solo sekitar setengah lima, jam lima masih nututi shalat subuh.
"Lho nanti repot."
Masya Allah, bus sak banyak-banyaknya. Mau memilih yang kuning apakah yang hijau busnya, banyak bus. Jogja-Solo itu luar biasa banyak sekarang. Barakalahufiik, banyak bus, alhamdulillah jam berapa saja di Indonesia ini tidak pernah kekurangan bus, alhamdulilah. Beli tiketnya Jogja, diperkirakan seorang itu.
"Lha mosok sampai begitu?"
Lha iya, lha kamu kalau berangkat kadang-kadang membawa satu bungkus nasi kan tadi, persiapan kalau lapar. Bayangkan! Untuk kepentingan fisiknya, dia siap-siap. Untuk kepentingan imannya, dan ibadahnya tidak siap-siap. Hakadza barakallahufiik! Siapkan dari rumah.
"Oh ana kalau berangkat bus yang jam sekian tidak nututi."
"Oh ndak ustadz, ingin langsung."
Kalau langsung ikut bus yang setelah maghrib itu, jangan yang jam sembilan malam. Sampai Jogja, pagi masih setengah lima, jam lima. Begitu caranya, seorang:
فاتقوا الله ما استطعتم
"Bertakwalah kalian kepada Allah semaksimal kemampuan kalian." (QS At-Taghabun: 16)
Maksimalkan, takwa itu dimaksimalkan, jangan dientengkan, fahimtum ya ikhwan? Itu jawabannya.
Tanya:
Pertanyaan berikutnya terkait dengan ini (shalat di atas kendaraan), kalau kita di kendaraan, shalatnya duduk apakah berdiri?
Jawab:
Hukum asalnya wajib untuk berdiri, hukum asalnya shalat itu wajib untuk berdiri. Karena posisi berdiri dalam shalat hukumnya wajib, kecuali ada udzur, boleh untuk duduk. Kecuali ada udzur, misalnya apa? Sakit, atau shalat di bus. Tidak mungkin dia turun sudah, dan tidak mungkin dia berdiri di atas bus. Dalam kondisi seperti ini, sangat tidak mungkin, sangat berat. Apalagi medannya seperti di Indonesia ini, jalan sebentar ngerem, sebentar ngerem, na'am, itu sulit.
Kalau kereta, biasanya cenderung lebih mudah, maka upayakan semaksimal mungkin selama tidak sampai pada tingkat takalluf, tidak sampai pada tingkat memaksakan diri yang mendatangkan dharar, mendatangkan bahaya bagi dirinya, maka usahakan shalat dalam keadaan berdiri (di kereta).
"Wah, ndak enak ustadz!"
"Enakkan! Jadikan enak, barakallahufiikum."
"Gimana ustadz?"
Banyak, siap dari rumah. Sebagaimana kita kalau mau safar kadang-kadang kita siap bawa termos isinya kopi, bawa nasi sekian bungkus. Untuk apa? Nanti supaya di jalan enak kalau mau makan. Siap tisu, siap obat, kalau mau mabuk, bawa obat antimo. Dipersiapkan! Kenapa untuk shalat tidak dipersiapkan? Misalkan dari rumah dia membawa kain yang bersih, persiapan untuk sajadah nanti di kereta, saya mau shalat nanti. Berdiri ustadz? Iya berdiri, minta izin sama sebelahnya.
"Assalamu'alaykum, baik pak?"
"Baik."
"Mau shalat pak."
Siapa tahu jadi teguran buat dia. Akhirnya si bapak tadi tidak mau shalat, malu. Si mas tadi sebenarnya tidak mau shalat, malu kan? Akhirnya satu kereta bisa shalat, satu gerbong bisa shalat. Barakallahufiikum. Maka kita bilang (Allahu Akbar) shalat. Boleh berjama'ah, boleh, minta ijin.
Tidak apa-apa harus dihargai, karena secara undang-undang dihargai dan dilindungi setiap warga negara untuk menjalankan keyakinannya masing-masing, iya kan? Jadi tidak apa-apa. Pesawat, bisa berdiri, boleh.
"Uh sungkan ustadz, orang-orang anu ustadz, yang naik…"
Justru karena orang-orang anu itu tadi, kita tunjukkan sekalian dakwah. Jadi pernah saya pulang dari Saudi, naik pesawat. Mau shalat, bagaimana ini? Akhirnya sudah saya berwudhu, ada satu tempat di belakang sana, shalat saya (Allahu akbar). Selesai shalat, kembali ke sebelahnya. Tadi saya bersama ustadz Usamah, karena masih tidur saya biarkan. Setelah bangun, mau shalat dia. Di mana tadi? Di belakang. Di sebelah sini ada orang Yaman dan orang Saudi.
"Assalamu'alayk, sudah shalat? Di mana shalatnya?"
"Di belakang sebelah sana."
Dilihat masya Allah, berjama'ah tiga orang, yang satu jadi imam, yang dua jadi makmum. Pesawatnya pesawat Singapura ini, bukan pesawat Saudi, pesawatnya orang nashara. Shalat. Kalau setiap muslim berupaya seperti ini, setiap muslim berupaya untuk seperti ini, inysa Allah maskapai-maskapai kafir akan menyiapkan tempat shalat, insya Allah. Karena mereka orang bisnis. Apalagi pakai adzan segala, adzan tidak apa-apa, sunnah. Karena rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan.
إذا حضرت الصلاة فليؤذن لكم
"Jika telah datang waktu shalat, maka beradzan." (HR Bukhari dan Muslim)
"Oh nanti dianggap sama orang, orang gila."
Kalau semakin orang muslim minder, maka orang melakukan ibadah dianggap orang gila. Lama-lama sampai orang ke masjid pun dianggap gila. Maka dari itu jangan minder ummat islam, jangan kecil hati. Tunjukkan saya ini muslim. Padahal walaupun pesawatnya pesawat (punya orang) kafir itu, itu mayoritasnya hampir 95% muslim.
Juga kemarin waktu berangkat juga. Bingung mau shalat dimana, akhirnya saya minta izin, kebetulan pesawatnya dari negara muslim, dari Yordania. Tapi semua orang sungkan, saya melihat ada orang shalat di kursinya, waduh repot ini. Padahal pesawat itu tidak pakai rem, tidak ada remnya. Atau ada sedikit kendaraan di depan, belok sedikit? Tidak ada, barakallahufiikum. Yang bisa ngerem di atas itu hanya pesawat buatan Hadramaut, barakallahufiikum.
Jadi saya minta izin, diizinkan sama awak kapal. Pakai sajadahnya, pakai selimutnya itu. Pakai, shalat di sana. Masya Allah setelah itu, muslimin, dan muslimah berbondong-bondong shalat di sana. Masya Allah coba! Jadi harus ditunjukkan, ahlussunnah harus memberi contoh. Sekali lagi kembali bahwa hukum berdiri di dalam shalat, wajib tidak boleh meninggalkan berdiri dengan duduk atau tidur (sambil berbaring), kecuali darurat. Darurat itu apa? Misalkan penyakitnya tambah jadi, atau terganggu karena sakit, ini darurat. Maka di saat itu boleh untuk melakukan shalat secara duduk, itu jawabannya.
TIS (Thalab Ilmu Syar'i)