Cari Blog Ini

Senin, 15 September 2014

Tentang WABAH DAN PENYAKIT MENULAR

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

Pertanyaan: Saya ingin pergi ke Mekkah untuk melaksanakan umroh, hanya saya takut terhadap penyakit MERS yang sedang mewabah. Apakah ini merupakan kelemahan iman ataukah termasuk usaha menempuh sebab?

Jawaban:

Ini merupakan kelemahan tawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bertawakallah kepada Allah, pergilah untuk melaksanakan umroh, kerjakanlah shalat di Al-Masjid Al-Haram, dan jangan takut kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala! [1]

Tetapi kalau memang keluar larangan untuk datang ke sebuah negeri berdasarkan ketetapan secara medis, maka tidak masalah (untuk membatalkan kepergian ke negeri tersebut). Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda tentang penyakit tha’un:
ﺇِﺫَﺍ ﺳَﻤِﻌْﺘُﻢْ ﺑِﻪِ ﻓِﻲْ ﺑَﻠَﺪٍ ﻓَﻼَ ﺗَﻘْﺪَﻣُﻮﺍ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ، ﻭَﺍﻟَّﺬِﻱْ ﻓِﻴْﻬﺎَ ﻟَﺎ ﻳَﺨْﺮُﺝْ ﻣِﻨْﻬَﺎ
"Jika kalian mendengarnya sedang mewabah di sebuah negeri maka kalian jangan pergi ke sana, dan yang sedang berada di negeri tersebut jangan keluar meninggalkannya.” [2]

Jadi jika keluar larangan yang berdasarkan ilmu yang benar, maka engkau jangan pergi! Adapun selama izin masih terbuka, orang-orang yang ingin umroh dipersilahkan untuk umroh dan mengunjungi Al-Masjid An-Nabawy, maka jangan sampai pada dirimu ada ketakutan yang berlebihan seperti ini!

__________
Footnote:

[1] Ada keyakinan yang tersebar di tengah-tengah kaum muslimin berupa penetapan adanya penyakit yang menular dengan sendirinya tanpa takdir dan izin dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Padahal Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menafikan keyakinan seperti ini dan bersabda:
ﻻَ ﻋَﺪْﻭَ ﻭَﻻَ ﻃِﻴَﺮَﺓَ ﻭَﻻَ ﻫَﺎﻣَّﺔَ ﻭَﻻَ ﺻَﻔَﺮَ
"Tidak ada 'adwa (penularan penyakit), tidak ada thiyarah, tidak ada hammah dan tidak ada shafar.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim)
Makna 'adwa adalah anggapan bahwa penyakit (yang mereka anggap menular) yang menimpa orang sakit itu menular dengan sendirinya tanpa takdir dan izin dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Beliau juga telah bersabda:
ﻻَ ﻳُﻌْﺪِﻱ ﺷَﻲْﺀٌ ﺷَﻴْﺌًﺎ
"Sesuatu tidak bisa menulari sesuatu yang lain”. (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)
Yakni sesuatu penyakit tidak menular kepada yang lainnya dengan sendirinya akan tetapi dengan takdir dan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hal ini diperkuat oleh hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu tentang seorang lelaki yang berkata kepada Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bahwa onta yang berpenyakit kudis ketika berada di antara onta-onta yang sehat tiba-tiba semua onta tersebut terkena kudis, maka beliau bersabda:
ﻓَﻤَﻦْ ﺃَﻋْﺪَﻯ ﺍﻟْﺄَﻭَّﻝَ ؟
"Kalau begitu siapa yang menulari (onta) yang pertama?” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Yakni penyakit yang menimpa onta pertama (yang sakit) itu tanpa adanya penularan tetapi terjadi karena kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka demikian pula jika penyakit itu berpindah, maka ia berpindah karena kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala.

[2] Hadits ini dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, riwayat al-Bukhari (10/179) dan Muslim (4/1740).
Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu pernah berangkat menuju Syam. Setibanya di wilayah Sargh, beliau disambut oleh para panglima perang, Abu Ubaidah bin al-Jarrah beserta sahabat-sahabat lainnya. Mereka menyampaikan berita kepada Umar bahwa di negeri Syam sedang terjangkiti satu wabah. Umar lalu memerintahkan untuk mengundang para sahabat dalam rangka bermusyawarah. Mulai dari kalangan Muhajirin, lalu kalangan Anshar, kemudian kaum Quraisy. Dari musyawarah tersebut, Umar memutuskan untuk kembali pulang. Lalu Umar Radhiyallahu ‘anhu mengumumkan, “Sesungguhnya aku akan kembali besok pagi, bersiap-siaplah besok.” Abu Ubaidah bin al-Jarrah Radhiyallahu ‘anhu bertanya, “Apakah untuk lari dari takdir Allah?” Umar menjawab,
ﻟَﻮْ ﻏَﻴْﺮُﻙَ ﻗَﺎﻟَﻬَﺎ، ﻳَﺎ ﺃَﺑَﺎ ﻋُﺒَﻴْﺪَﺓَ ﻧَﻌَﻢْ، ﻧَﻔِﺮُّ ﻣِﻦْ ﻗَﺪَﺭِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺇِﻟَﻰ ﻗَﺪَﺭِ ﺍﻟﻠﻪِ، ﺃَﺭَﺃَﻳْﺖَ ﻟَﻮْ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﻟَﻚَ ﺇِﺑِﻞٌ ﻓَﻬَﺒَﻄَﺖْ ﻭَﺍﺩِﻳًﺎ ﻟَﻪُ ﻋُﺪْﻭَﺗَﺎﻥِ ﺇِﺣْﺪَﺍﻫُﻤَﺎ ﺧَﺼْﺒَﺔٌ ﻭَﺍﻟْﺄُﺧْﺮَﻯ ﺟَﺪْﺑَﺔٌ، ﺃَﻟَﻴْﺲَ ﺇِﻥْ ﺭَﻋَﻴْﺖَ ﺍﻟْﺨَﺼْﺒَﺔَ ﺭَﻋَﻴْﺘَﻬَﺎ ﺑِﻘَﺪَﺭِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺇِﻥْ ﺭَﻋَﻴْﺖَ ﺍﻟْﺠَﺪْﺑَﺔَ ﺭَﻋَﻴْﺘَﻬَﺎ ﺑِﻘَﺪَﺭِ ﺍﻟﻠﻪِ؟
"Andai saja bukan kamu yang mengatakannya, wahai Abu Ubaidah. Ya, kita lari dari takdir Allah Subhanahu wa ta’ala menuju takdir Allah Subhanahu wa ta’ala yang lain. Apa pendapatmu, jika engkau mempunyai ternak unta lalu singgah di sebuah lembah yang memiliki dua sisi. Satu sisi yang subur, sisi yang lain gersang. Bukankah dengan takdir Allah juga jika engkau menggiringnya ke sisi yang subur? Bukankah dengan takdir Allah juga engkau menggiringnya ke sisi yang gersang?”
Setelah itu, datanglah Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu yang sebelumnya tidak hadir karena ada keperluan. Ia berkata, “Sesungguhnya aku memiliki ilmu tentang masalah ini. Aku pernah mendengar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Jika kalian mendengar terjadi wabah di suatu daerah, janganlah mendatanginya. Jika kalian berada di suatu daerah yang sedang terjangkiti wabah, janganlah meninggalkannya untuk lari’.”
Umar pun memuji Allah Subhanahu wa ta’ala, lalu bertolak (kembali ke Madinah).

Tentang BATASAN SAFAR

Al-Imam Al-Albani rahimahullah

Tentang safar, tidak ada batasan jarak tertentu dengan ukuran kilometer atau marahil. Karena ketika Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan safar dalam Al-Qur`an berkaitan dengan qashar shalat ataupun kebolehan berbuka (tidak puasa) di.bulan Ramadhan, Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan safar secara mutlak, tanpa menetapkan batasannya. Bisa kita lihat hal ini dalam firman-Nya:
“Apabila kalian melakukan perjalanan di muka bumi (safar) maka tidak ada dosa atas kalian untuk kalian mengqashar shalat.” (An-Nisa`: 101)
Lafadz: merupakan ungkapan dari safar, di mana Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkannya secara mutlak (tanpa pembatasan ini dan itu -pent.)
Demikian pula dalam firman-Nya:
“Siapa di antara kalian yang sakit atau dalam keadaan safar, maka (ia boleh meninggalkan puasa) dengan menggantinya pada hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah: 184)

Dengan demikian yang benar dari pendapat yang ada di kalangan ulama tentang pembatasan jarak safar adalah tidak ada batasannya. Setiap itu disebut safar, menurut kebiasaan (‘urf) dan menurut pengertian syar’i, berarti itulah safar, baik jaraknya jauh ataupun dekat. Perjalanan tersebut safar menurut kebiasaan yang dikenali di tengah manusia. Dari sisi syar’i memang orang yang menempuhnya bertujuan untuk safar. Karena terkadang kita dapati ada orang yang menempuh jarak jauh bukan untuk safar, seperti kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Terkadang seseorang keluar dari negerinya untuk berburu. Lalu ia tidak mendapatkan buruannya hingga ia terus berjalan mencari-cari sampai akhirnya ia tiba di tempat yang sangat jauh. Ternyata di akhir pencariannya ia telah menempuh jarak yang panjang, ratusan kilometer. Kita menganggap orang ini bukanlah musafir, padahal bila orang yang keluar berniat safar dengan jarak yang kurang daripada yang telah ditempuhnya telah teranggap musafir. Tapi pemburu ini keluar dari negerinya bukan bertujuan safar sehingga ia bukanlah musafir. Berarti yang namanya safar harus menurut ‘urf (adat masyarakat) dan sesuai pengertian syar’i."

[Al-Hawi min Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 227]

Tentang SALAT DI ATAS KENDARAAN

Al-Imam Al-Albani rahimahullah

Tentang shalat di atas pesawat, orang yang biasa naik pesawat di zaman sekarang ini akan menyaksikan bahwa pesawat memiliki kelebihan dari sisi kenyamanan di mana penumpangnya tidak merasa sedang terbang di antara langit dan bumi. Beda halnya dengan kapal laut, di mana terkadang memberikan goncangan kepada penumpangnya, lebih besar daripada goncangan pesawat. Karena itu orang yang mengendarai pesawat, bila memang pesawatnya besar, luas dan lapang, ia akan mendapati tempat kosong yang di situ ia bisa berdiri dan duduk saat mengerjakan shalat.
Inilah yang wajib berdasarkan kaidah yang telah lewat penyebutannya:
ﺍﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪَ ﻣَﺎ ﺍﺳْﺘَﻄَﻌْﺘُﻢْ
“Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian.”
Termasuk kewajiban yang harus diperhatikan oleh orang yang ingin shalat di atas pesawat adalah memperhatikan pada awal shalatnya di mana arah kiblat, bila memang memungkinkan untuk mengetahuinya, kemudian ia shalat menghadap kiblat tersebut. Setelah itu tidak menjadi masalah pesawatnya menghadap ke mana saja, mengarah ke kiri atau kanan. Ia tetap melanjutkan shalatnya sesuai dengan arah awal ia menghadap (walaupun ternyata tidak lagi menghadap kiblat karena arah pesawat telah berubah).
Yang penting, ada dua perkara yang harus diperhatikan oleh penumpang pesawat, penumpang kapal, atau penunggang hewan.
Pertama: Bila mampu untuk berdiri dan duduk dalam shalat, hendaklah ia melakukannya. Bila memungkinkan baginya untuk turun dari kendaraannya seperti orang yang mengendarai mobil, hendaknya ia turun dan shalat sebagaimana biasanya.
Kedua: Ia memulai shalatnya di atas kendaraan yang ditumpanginya dengan menghadap kiblat, setelah itu tidak menjadi masalah bila mobil, pesawat, atau kapal yang ditumpanginya, ataupun hewan (yang ditungganginya) itu bergerak sehingga arah kiblat berpindah. Kecuali bila memungkinkan baginya untuk turun dari kendaraannya, maka ia shalat seperti biasanya.

Sumber:
Al-Hawi min Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 227

###

Al Ustadz Abu Abdillah Luqman Ba'abduh hafizhahullah

Tanya:
Jika seorang safar lebih dari sehari di atas kendaraan secara terus-menerus (yakni perjalanannya lebih dari waktu 24 jam di atas mobil), bagaimana cara shalatnya? Apakah boleh shalat di atas kendaraan? Ataukah boleh shalat tiga atau empat waktu dalam satu waktu?

Jawab:
Pertama, saya ulang dari bawah, saya mulai dari bawah.
Tidak boleh melakukan shalat lebih dari dua waktu pada satu waktu kecuali yang memang diperbolehkan untuk dijama', seperti dhuhur dengan ashar, maghrib dengan isya. Sementara misalkan ashar dengan maghrib, tidak boleh dijama'. Isya dengan subuh, tidak boleh dijama'. Dijama' hanya boleh pada dhuhur dan ashar, kemudian maghrib dengan isya, ini penting. Apalagi digabung, dhuhur, ashar, maghrib, isya jadi satu, ini juga tidak boleh.
Kemudian bagaimana caranya? Apakah boleh shalat di atas kendaraan?
Jika darurat, boleh. Tapi pertanyaannya sekarang apakah sudah tergolong darurat apa tidak? Misalkan kita naik kendaraannya bus. Kalau kendaraan sendiri kan tidak darurat itu, bisa dia berhenti di mana saja, kalau kendaraan pribadi. Bus, misalkan kita naik salah satu bus dari sini ke Jakarta, memakan waktu 20 sampai 24 jam. Berangkat dari sini dhuhur misalkan, maka kita shalat dhuhur dan ashar di Jember sebelum berangkat. Tinggal maghrib dan isya. Biasanya berhenti di salah satu tempat, pom bensin atau rumah makan, dan diberi kesempatan untuk shalat. Dan alhamdulillah banyak rumah makan dan pom bensin yang sudah disediakan di sana mushalla atau tempat shalat. Kita berhenti di sana.
Kalau tidak berhenti? Kita bilang sama supirnya:
"Minta maaf pak, saya muslim. Nanti saya diberikan kesempatan untuk shalat sebentar saja!"
Bisa, tidak apa-apa, dan harus dibudayakan seperti itu. Usahakan untuk tidak shalat di atas kendaraan, usahakan untuk tidak shalat fardhu di atas kendaraan. Kenapa? Karena rasulillah shallallahu 'alaihi wasallam mencontohkan kepada kita tentang bolehnya melakukan shalat sunnah di atas kendaraan, tetapi ketika hendak melakukan shalat fardhu beliau turun dari kendaraannya, berhenti dan shalat. Maka atas dasar itu, dia turun dari kendaraan. Kecuali sangat darurat, misalnya apa darurat? Dia tidak bisa turun karena sakit. Maka tetap shalat di atas kendaraan. Apalagi kereta, sekarang itu sangat mudah.

Tanya:
Shalat di atas kendaraan, tidak memungkinkan menghadap kiblat?

Jawab:
Kalau memungkinkan mengarah ke kiblat, maka tetap mengarah ke kiblat. Seperti misalnya kereta api, itu sangat mudah sekali kita mengetahui mana arah kiblat.
"Nanti kan belok ustadz?"
Ya terserah sudah, kalau sudah belok. Yang penting kita berupaya.
"Oh ini sekarang kereta sedang menghadap ke timur, maka kiblatnya sebelah barat kalau Indonesia."
"Oh sekarang kereta sedang berjalan ke arah selatan, berarti kiblatnya sebelah kanannya."
Menghadap ke kiblat (kemudian shalat). Permisi, minta izin. Insya Allah diizinkan. Lha wong orang mau merokok, minta izin saja diizinkan kok. Bayangkan antum, sekarang di bus-bus itu ada ruangan khusus smoking area. Disiapkan khusus, kenapa? Karena pihak pemilik bus tidak ingin rugi. Tidak ingin ada penumpang yang perokok tidak mau naik gara-gara dilarang merokok. Akhirnya disiapkan tempat khusus untuk merokok. Bayangkan! Kenapa tidak bisa menyiapkan tempat khusus untuk shalat? Padahal itu lebih penting daripada merokok. Ya bukan lebih penting, memang tidak bisa dibandingkan, tidak boleh dibandingkan.
Paham ya ikhwan? Berupaya di kereta, shalat menghadap kiblat. Pesawat, juga tidak sulit. Di pesawat itu dibantu, di kursi ada alat yang menunjukkan di mana arah barat, di mana kiblat, ditunjukkan (GPS), lebih enak lagi.
Atau kita, kalau naik bus, diperkirakan. Dari sini mau berangkat ke Jogja, berangkat misalkan jam sembilan malam, sampai Jogja otomatis kurang lebih jam enam/jam tujuh pagi. Kalau jam enam, jam tujuh pagi itu sudah terbit matahari. Ya jangan beli tiket Jogja, beli tiketnya Solo. Sampai Solo sekitar setengah lima, jam lima masih nututi shalat subuh.
"Lho nanti repot."
Masya Allah, bus sak banyak-banyaknya. Mau memilih yang kuning apakah yang hijau busnya, banyak bus. Jogja-Solo itu luar biasa banyak sekarang. Barakalahufiik, banyak bus, alhamdulillah jam berapa saja di Indonesia ini tidak pernah kekurangan bus, alhamdulilah. Beli tiketnya Jogja, diperkirakan seorang itu.
"Lha mosok sampai begitu?"
Lha iya, lha kamu kalau berangkat kadang-kadang membawa satu bungkus nasi kan tadi, persiapan kalau lapar. Bayangkan! Untuk kepentingan fisiknya, dia siap-siap. Untuk kepentingan imannya, dan ibadahnya tidak siap-siap. Hakadza barakallahufiik! Siapkan dari rumah.
"Oh ana kalau berangkat bus yang jam sekian tidak nututi."
"Oh ndak ustadz, ingin langsung."
Kalau langsung ikut bus yang setelah maghrib itu, jangan yang jam sembilan malam. Sampai Jogja, pagi masih setengah lima, jam lima. Begitu caranya, seorang:
فاتقوا الله ما استطعتم
"Bertakwalah kalian kepada Allah semaksimal kemampuan kalian." (QS At-Taghabun: 16)
Maksimalkan, takwa itu dimaksimalkan, jangan dientengkan, fahimtum ya ikhwan? Itu jawabannya.

Tanya:
Pertanyaan berikutnya terkait dengan ini (shalat di atas kendaraan), kalau kita di kendaraan, shalatnya duduk apakah berdiri?

Jawab:
Hukum asalnya wajib untuk berdiri, hukum asalnya shalat itu wajib untuk berdiri. Karena posisi berdiri dalam shalat hukumnya wajib, kecuali ada udzur, boleh untuk duduk. Kecuali ada udzur, misalnya apa? Sakit, atau shalat di bus. Tidak mungkin dia turun sudah, dan tidak mungkin dia berdiri di atas bus. Dalam kondisi seperti ini, sangat tidak mungkin, sangat berat. Apalagi medannya seperti di Indonesia ini, jalan sebentar ngerem, sebentar ngerem, na'am, itu sulit.
Kalau kereta, biasanya cenderung lebih mudah, maka upayakan semaksimal mungkin selama tidak sampai pada tingkat takalluf, tidak sampai pada tingkat memaksakan diri yang mendatangkan dharar, mendatangkan bahaya bagi dirinya, maka usahakan shalat dalam keadaan berdiri (di kereta).
"Wah, ndak enak ustadz!"
"Enakkan! Jadikan enak, barakallahufiikum."
"Gimana ustadz?"
Banyak, siap dari rumah. Sebagaimana kita kalau mau safar kadang-kadang kita siap bawa termos isinya kopi, bawa nasi sekian bungkus. Untuk apa? Nanti supaya di jalan enak kalau mau makan. Siap tisu, siap obat, kalau mau mabuk, bawa obat antimo. Dipersiapkan! Kenapa untuk shalat tidak dipersiapkan? Misalkan dari rumah dia membawa kain yang bersih, persiapan untuk sajadah nanti di kereta, saya mau shalat nanti. Berdiri ustadz? Iya berdiri, minta izin sama sebelahnya.
"Assalamu'alaykum, baik pak?"
"Baik."
"Mau shalat pak."
Siapa tahu jadi teguran buat dia. Akhirnya si bapak tadi tidak mau shalat, malu. Si mas tadi sebenarnya tidak mau shalat, malu kan? Akhirnya satu kereta bisa shalat, satu gerbong bisa shalat. Barakallahufiikum. Maka kita bilang (Allahu Akbar) shalat. Boleh berjama'ah, boleh, minta ijin.
Tidak apa-apa harus dihargai, karena secara undang-undang dihargai dan dilindungi setiap warga negara untuk menjalankan keyakinannya masing-masing, iya kan? Jadi tidak apa-apa. Pesawat, bisa berdiri, boleh.
"Uh sungkan ustadz, orang-orang anu ustadz, yang naik…"
Justru karena orang-orang anu itu tadi, kita tunjukkan sekalian dakwah. Jadi pernah saya pulang dari Saudi, naik pesawat. Mau shalat, bagaimana ini? Akhirnya sudah saya berwudhu, ada satu tempat di belakang sana, shalat saya (Allahu akbar). Selesai shalat, kembali ke sebelahnya. Tadi saya bersama ustadz Usamah, karena masih tidur saya biarkan. Setelah bangun, mau shalat dia. Di mana tadi? Di belakang. Di sebelah sini ada orang Yaman dan orang Saudi.
"Assalamu'alayk, sudah shalat? Di mana shalatnya?"
"Di belakang sebelah sana."
Dilihat masya Allah, berjama'ah tiga orang, yang satu jadi imam, yang dua jadi makmum. Pesawatnya pesawat Singapura ini, bukan pesawat Saudi, pesawatnya orang nashara. Shalat. Kalau setiap muslim berupaya seperti ini, setiap muslim berupaya untuk seperti ini, inysa Allah maskapai-maskapai kafir akan menyiapkan tempat shalat, insya Allah. Karena mereka orang bisnis. Apalagi pakai adzan segala, adzan tidak apa-apa, sunnah. Karena rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan.
إذا حضرت الصلاة فليؤذن لكم
"Jika telah datang waktu shalat, maka beradzan." (HR Bukhari dan Muslim)
"Oh nanti dianggap sama orang, orang gila."
Kalau semakin orang muslim minder, maka orang melakukan ibadah dianggap orang gila. Lama-lama sampai orang ke masjid pun dianggap gila. Maka dari itu jangan minder ummat islam, jangan kecil hati. Tunjukkan saya ini muslim. Padahal walaupun pesawatnya pesawat (punya orang) kafir itu, itu mayoritasnya hampir 95% muslim.
Juga kemarin waktu berangkat juga. Bingung mau shalat dimana, akhirnya saya minta izin, kebetulan pesawatnya dari negara muslim, dari Yordania. Tapi semua orang sungkan, saya melihat ada orang shalat di kursinya, waduh repot ini. Padahal pesawat itu tidak pakai rem, tidak ada remnya. Atau ada sedikit kendaraan di depan, belok sedikit? Tidak ada, barakallahufiikum. Yang bisa ngerem di atas itu hanya pesawat buatan Hadramaut, barakallahufiikum.
Jadi saya minta izin, diizinkan sama awak kapal. Pakai sajadahnya, pakai selimutnya itu. Pakai, shalat di sana. Masya Allah setelah itu, muslimin, dan muslimah berbondong-bondong shalat di sana. Masya Allah coba! Jadi harus ditunjukkan, ahlussunnah harus memberi contoh. Sekali lagi kembali bahwa hukum berdiri di dalam shalat, wajib tidak boleh meninggalkan berdiri dengan duduk atau tidur (sambil berbaring), kecuali darurat. Darurat itu apa? Misalkan penyakitnya tambah jadi, atau terganggu karena sakit, ini darurat. Maka di saat itu boleh untuk melakukan shalat secara duduk, itu jawabannya.

TIS (Thalab Ilmu Syar'i)

Tentang MERASA JIJIK PADA MAKANAN TERTENTU DAN MENOLAK UNTUK MEMAKANNYA

Disebutkan dalam hadits Khalid bin al-Walid Radhiyallahu ‘anhu:
ﺃَﻧَّﻪُ ﺩَﺧَﻞَ ﻣَﻊَ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ  ﺑَﻴْﺖَ ﻣَﻴْﻤُﻮﻧَﺔَ، ﻓَﺄُﺗِﻲَ ﺑِﻀَﺐٍّ
ﻣَﺤْﻨُﻮﺫٍ، ﻓَﺄَﻫْﻮَﻯ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ  ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺑَﻌْﺾُ
ﺍﻟﻨِّﺴْﻮَﺓِ: ﺃَﺧْﺒِﺮُﻭﺍ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ  ﺑِﻤَﺎ ﻳُﺮِﻳﺪُ ﺃَﻥْ ﻳَﺄْﻛُﻞَ. ﻓَﻘَﺎﻟُﻮﺍ:
ﻫُﻮَ ﺿَﺐٌّ، ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ. ﻓَﺮَﻓَﻊَ ﻳَﺪَﻩُ، ﻓَﻘُﻠْﺖُ: ﺃَﺣَﺮَﺍﻡٌ ﻫُﻮَ، ﻳَﺎ
ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪ؟ِ ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﻻَ، ﻭَﻟَﻜِﻦْ ﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦْ ﺑِﺄَﺭْﺽِ ﻗَﻮْﻣِﻲ ﻓَﺄَﺟِﺪُﻧِﻲ
ﺃَﻋَﺎﻓُﻪُ . ﻗَﺎﻝَ ﺧَﺎﻟِﺪٌ: ﻓَﺎﺟْﺘَﺮَﺭْﺗُﻪُ ﻓَﺄَﻛَﻠْﺘُﻪُ ﻭَﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ  ﻳَﻨْﻈُﺮُ.
“Ia masuk bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam ke rumah Maimunah, lalu disajikan daging dhab panggang. Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjulurkan tangannya (untuk mengambilnya). Berkatalah sebagian wanita (yang ada di dalam rumah), ‘Beritahu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam apa yang akan dimakannya.’ Mereka lantas berkata, ‘Wahai Rasulullah, itu adalah daging dhab.’ Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam pun menarik kembali tangannya. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah binatang ini haram?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, tetapi binatang ini tidak ada di tanah kaumku sehingga aku merasa jijik padanya’.” Khalid berkata, “Aku pun mencuilnya dan memakannya sementara Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam memerhatikanku.” (HR. al-Bukhari dan Muslim serta lainnya)

Tentang DAGING BIAWAK

Biawak dalam bahasa Arab disebut waral. Binatang ini adalah jenis binatang melata, termasuk golongan kadal besar dan sangat dikenal di negeri ini. Hidupnya di tepi sungai dan berdiam dalam lubang di tanah, bisa berenang di air serta memanjat pohon. Binatang ini tergolong hewan pemangsa dengan gigi taringnya yang memangsa ular, ayam, dan lainnya. Ada biawak yang lebih besar dan lebih buas, disebut komodo.
Dengan demikian, biawak haram dimakan berdasarkan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam :
ﻛُﻞُّ ﺫِﻱ ﻧَﺎﺏٍ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺴِّﺒَﺎﻉِ ﻓَﺄَﻛْﻠُﻪُ ﺣَﺮَﺍﻡٌ
“Seluruh binatang pemangsa dengan gigi taringnya maka haram memakannya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu )
Terdapat hadits-hadits lainnya yang semakna dengan ini dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim serta lainnya.

Jangan disangka bahwa biawak (waral) adalah dhab (hewan mirip biawak) yang halal. Dhab dihalalkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam hadits Khalid bin al-Walid Radhiyallahu ‘anhu:
ﺃَﻧَّﻪُ ﺩَﺧَﻞَ ﻣَﻊَ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ  ﺑَﻴْﺖَ ﻣَﻴْﻤُﻮﻧَﺔَ، ﻓَﺄُﺗِﻲَ ﺑِﻀَﺐٍّ ﻣَﺤْﻨُﻮﺫٍ، ﻓَﺄَﻫْﻮَﻯ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ  ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺑَﻌْﺾُ ﺍﻟﻨِّﺴْﻮَﺓِ: ﺃَﺧْﺒِﺮُﻭﺍ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ  ﺑِﻤَﺎ ﻳُﺮِﻳﺪُ ﺃَﻥْ ﻳَﺄْﻛُﻞَ. ﻓَﻘَﺎﻟُﻮﺍ: ﻫُﻮَ ﺿَﺐٌّ، ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ. ﻓَﺮَﻓَﻊَ ﻳَﺪَﻩُ، ﻓَﻘُﻠْﺖُ: ﺃَﺣَﺮَﺍﻡٌ ﻫُﻮَ، ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪ؟ِ ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﻻَ، ﻭَﻟَﻜِﻦْ ﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦْ ﺑِﺄَﺭْﺽِ ﻗَﻮْﻣِﻲ ﻓَﺄَﺟِﺪُﻧِﻲ ﺃَﻋَﺎﻓُﻪُ . ﻗَﺎﻝَ ﺧَﺎﻟِﺪٌ: ﻓَﺎﺟْﺘَﺮَﺭْﺗُﻪُ ﻓَﺄَﻛَﻠْﺘُﻪُ ﻭَﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ  ﻳَﻨْﻈُﺮُ
“Ia masuk bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam ke rumah Maimunah, lalu disajikan daging dhab panggang. Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjulurkan tangannya (untuk mengambilnya). Berkatalah sebagian wanita (yang ada di dalam rumah), ‘Beritahu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam apa yang akan dimakannya.’ Mereka lantas berkata, ‘Wahai Rasulullah, itu adalah daging dhab.’ Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam pun menarik kembali tangannya. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah binatang ini haram?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, tetapi binatang ini tidak ada di tanah kaumku sehingga aku merasa jijik padanya’.” Khalid berkata, “Aku pun mencuilnya dan memakannya sementara Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam memerhatikanku.” (HR. al-Bukhari dan Muslim serta lainnya)
(Lihat tentang dhab pada kitab Fathul Bari kitab adz-Dzaba’ih wash-Shaid Bab adh-Dhabb, ash-Shahihah 5/505—507, dan Fatawa al-Lajnah 22/311)

Dhab adalah golongan kadal besar yang serupa dengan biawak dan sama-sama berdiam di dalam lubang di tanah. Berikut ini keterangan ahli bahasa Arab tentang dhab sekaligus perbandingannya dengan biawak.
- Binatang ini adalah jenis melata yang tergolong kadal besar, seperti halnya biawak.
- Bentuknya mirip biawak.
- Banyak ditemukan di gurun pasir (sahara) Arab. Lain halnya dengan biawak yang hidupnya di tepi-tepi sungai.
- Panjang tubuhnya lebih pendek dari biawak.
- Ekornya bersisik kasar seperti ekor buaya dengan bentuk yang lebar dan maksimal panjangnya hanya sejengkal. Berbeda halnya dengan ekor biawak yang tidak bersisik kasar dan berukuran panjang seperti ekor ular.
- Makanannya adalah rumput, belalang kecil (dabah), dan jenis belalang lainnya yang disebut jundub (jamaknya janaadib). Adapun biawak adalah predator (hewan pemangsa hewan lain) yang memangsa ular dan lainnya.
(Lihat Lisanul ‘Arab, al-Mu’jam al-
Wasith, dan Tajul ‘Arus)

Wallahu a’lam.

Sumber: Asy Syariah Edisi 071

Tentang MENCARI, MENGHIDUPKAN KEMBALI, ATAU MELESTARIKAN BEKAS-BEKAS PENINGGALAN

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullahu

Kemudian sesungguhnya bertepatan dengan diselenggarakannya seminar ilmiyah di Universitas Islam Madinah yang bertemakan “Hak-Hak Nabi shallallahu alaihi wa sallam Terhadap Manusia” saya berharap kepada moderator seminar ini untuk menjelaskan bahwa termasuk hak Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang paling besar adalah mengikuti dan meneladani beliau. Allah Ta’ala berfirman:
ﻓَﺎﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮْﺍ ﺑِﻪِ ﻭَﻋَﺰَّﺭُﻭْﻩُ ﻭَﻧَﺼَﺮُﻭْﻩُ ﻭَﺍﺗَّﺒَﻌُﻮْﺍ ﺍﻟﻨُّﻮْﺭَ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﺃُﻧْﺰِﻝَ ﻣَﻌَﻪُ ﺃُﻭﻟَﺌِﻚَ ﻫُﻢُ ﺍﻟْﻤُﻔْﻠِﺤُﻮْﻥَ
"Maka orang-orang yang beriman kepada beliau, membelanya, menolongnya, dan mengikuti cahaya yang diturunkan bersama beliau, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-A’raf: 157)
Juga firman-Nya:
ﻭَﻣَﺎ ﺁﺗَﺎﻛُﻢُ ﺍﻟﺮَّﺳُﻮْﻝُ ﻓَﺨُﺬُﻭْﻩُ ﻭَﻣَﺎ ﻧَﻬَﺎﻛُﻢْ ﻋَﻨْﻪُ ﻓَﺎﻧْﺘَﻬُﻮْﺍ
"Dan apa saja yang diberikan oleh Rasul maka ambillah, sedangkan apa saja yang beliau larang maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Juga firman-Nya:
ﻭَﺇِﻥْ ﺗُﻄِﻴْﻌُﻮْﻩُ ﺗَﻬْﺘَﺪُﻭْﺍ
"Dan jika kalian mentaati beliau, pasti kalian mendapatkan hidayah.” (QS. An-Nuur: 54)
Termasuk bentuk ketaatan dan sikap mengikuti beliau adalah meninggalkan sikap berlebihan dalam mengagungkan bekas-bekas peninggalan beliau berupa tempat-tempat di Madinah dan di tempat lain, dan tidak mencari-carinya serta tidak menghidupkannya kembali atau melestarikannya. Kecuali tempat-tempat yang memang disyariatkan untuk mengunjunginya dan mengerjakan shalat padanya, seperti Masjid Nabawi dan Masjid Quba’. Adapun selainnya yang tidak memiliki dalil pensyariatannya dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk diziyarahi maka ditinggalkan. Adapun komplek pekuburan maka diziyarahi untuk mengucapkan salam untuk orang-orang yang meninggal, mendoakan mereka, dan mengambil nasehat dan pelajaran darinya. Seperti ziyarah ke Baqi’ dan kuburan para syuhada’ di Uhud. Jadi agama dan kebaikan itu dengan cara mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, bukan dengan mengada-adakan bid’ah. Semoga Allah memberi taufik kepada semuanya agar bisa mentaati-Nya dan mengamalkan syari’at-Nya, serta mengikuti Nabi-Nya dan mentaati beliau.
ﻭﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻠﻰ ﻧﺒﻴﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﻭﻋﻠﻰ ﺁﻟﻪ ﻭﺻﺤﺒﻪ
Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
Anggota Hai’ah Kibarul Ulama

###

Ibnu Wahdhah meriwayatkan bahwasanya Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk menebang sebuah pohon di tempat para sahabat membaiat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam di bawah naungannya (pohon dalam kisah Bai’at ar-Ridhwan). Alasannya, banyak manusia mendatangi tempat tersebut untuk melaksanakan shalat di bawah pohon itu. Beliau radhiyallahu ‘anhu mengkhawatirkan timbulnya fitnah pada mereka nantinya seiring perjalanan waktu. (al-Bida’ wan Nahyu ‘anha hlm. 42, al-I’tisham 1/346)

Al-Hafizh rahimahullahu berkata dalam Fathul Bari (7/448), “Aku menemukan dalam (kitab) Ibnu Sa’d dengan sanad yang sahih dari Nafi’ bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu mendengar berita tentang orang-orang yang mendatangi pohon tersebut untuk menunaikan shalat di sampingnya. Umar radhiyallahu ‘anhu kemudian mengancam mereka dan memerintahkan agar pohon tersebut ditebang. Pohon tersebut pun akhirnya ditebang.”

Al-Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata, “Pada tahun berikutnya, kami kembali ke tempat tersebut. Tidak ada seorang pun yang sepakat tentang letak pohon tempat kami berbaiat di bawahnya. Hal itu adalah rahmat dari Allah Subhanahu wa ta’ala.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hikmahnya adalah agar tidak terjadi fitnah karena pernah terjadi kebaikan di bawah pohon.tersebut. Andai saja pohon itu tetap ada, tentu tidak dirasa aman dari bentuk pengagungan terhadap pohon tersebut oleh sebagian orang-orang jahil. Bahkan, mungkin saja akan mendorong mereka untuk meyakini bahwa pohon tersebut dapat mendatangkan manfaat atau menolak mudarat, sebagaimana hal tersebut kita saksikan pada zaman ini terhadap sesuatu yang lebih rendah kedudukannya. Tentang hal inilah Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu memberikan isyarat, ‘Hal tersebut adalah rahmat.’ Artinya, tersembunyinya pohon tersebut adalah rahmat dari Allah Subhanahu wa ta’ala.”

###

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah berkata, “(Di antara perilaku jahiliah) adalah menjadikan jejak tempat para nabi sebagai tempat ibadah.”
Beliau juga berkata, “(Di antara perilaku jahiliah adalah) mencari berkah jejak peninggalan orang-orang besar mereka, seperti darun nadwah.”
Dan berbangga-bangganya orang yang memiliki peninggalan orang besar. Seperti dikatakan kepada Hakim bin Hizam, “Kamu menjual kemuliaan Quraisy.” Beliau menjawab, “Telah hilang semua (sebab) kemuliaan kecuali ketakwaan.” (Masail Jahiliah)

Tiga perbuatan jahiliah inilah yang sering dilakukan sekarang ini; menghidupkan dan mengenang jejak para nabi dan orang saleh serta mencari berkah dengannya. Akhirnya, orang-orang kafir berani memberikan dana yang banyak untuk melakukan proyek “jahiliah” ini. Sebab, mereka tahu ini adalah salah satu sarana menjauhkan muslimin dari agamanya. Yang dimaksud jejak di sini adalah tempat yang pernah didatangi oleh seorang nabi, orang saleh, tempat shalat, atau tempat-tempat persinggahan mereka. Sekarang ini sering dilakukan pencarian jejak (situs) para nabi dan orang shaleh kemudian dijadikan tempat kunjungan dengan niat beribadah kepada Allah Subhanahu wata’ala di tempat-tempat tersebut. Mereka beranggapan, shalat di tempat tersebut adalah satu keutamaan. Bahkan, akhirnya sebagian orang mencari-cari dan mendatangi tempat yang pernah didatangi oleh tokoh-tokoh dari negara tertentu; melakukan napak tilas untuk mencari berkah dengan kunjungan tersebut. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.

Di antara sekian tempat yang dijadikan tempat kunjungan dengan niat tabaruk adalah Gua Tsur dan Gua Hira. Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan berkata, “Sekarang ini seperti yang pergi ke Gua Hira dengan alasan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam beribadah di situ sebelum diangkat jadi nabi. Mereka pergi ke sana untuk shalat dan berdoa di sana, padahal nabi saja tidak mengunjungi gua tersebut setelah diangkat menjadi nabi, juga tak ada seorang sahabat pun yang pernah ke Gua Hira karena mereka tahu hal tersebut tidak disyariatkan. Demikian pula mereka pergi ke Gua Tsur, dengan alasan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersembunyi di sana sebelum hijrah. Namun orang-orang sekarang ini pergi ke Gua Tsur untuk shalat di sana, meletakkan wewangian di sana, dan kadang melemparkan uang ke sana. Ini semua adalah perbuatan jahiliah, jahiliahlah yang telah mengagung-agungkan jejak nabi mereka.” (Syarah Masail Jahiliah)

Tatkala di zaman Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu ada orang-orang yang berbolak-balik mengunjungi pohon tempat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membaiat para sahabat Anshar. Ketika Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengetahuinya beliau pun memerintahkan untuk menebang pohon tersebut. Dan beliau berkata, “Dengan amalan seperti inilah agama hancur.”
Di antara tempat yang dijadikan tempat cari berkah adalah Jabal Rahmah. Sebagian rombongan umrah dari Indonesia bahkan dianjurkan oleh pembimbing mereka untuk berdoa di Jabal Rahmah, minta jodoh atau poligami. Mudah-mudahan Allah memberikan taufik kepada kita dan kepada para pembimbing jamaah haji dan umrah, agar senantiasa beramal sesuai dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Di antara sebab kesyirikan yang saat ini gencar dilakukan adalah mencari-cari dan menghidupkan kembali peninggalan-peninggalan orang dahulu, walaupun peninggalan orang-orang kafir. Penelitian-penelitian dilakukan untuk menemukan peninggalan “bersejarah”, yang tentunya kebanyakannya adalah peninggalan orang-orang kafir, musyirikin, dan animisme. Bahkan, mereka mencari-cari dan membesar-besarkan peninggalan Fira’un. Innalillahi wainnailaihi raji’un.
Tidaklah kaum Nuh ‘Alaihissalam terjatuh kecuali melalui pintu ini. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ﻭَﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﻟَﺎ ﺗَﺬَﺭُﻥَّ ﺁﻟِﻬَﺘَﻜُﻢْ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﺬَﺭُﻥَّ ﻭَﺩًّﺍ ﻭَﻟَﺎ ﺳُﻮَﺍﻋًﺎ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﻐُﻮﺙَ ﻭَﻳَﻌُﻮﻕَ ﻭَﻧَﺴْﺮًﺍ
Mereka berkata, “Janganlah kalian meninggalkan sesembahan-sesembahan kalian; Wad, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.” (an-Nuh: 23)
Al-Imam Bukhari rahimahumallah membawakan ucapan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, “Ini adalah nama-nama orang saleh di kaum Nuh, ketika mereka meninggal maka setan pun memberikan wangsit kepada kaumnya, hendaknya kalian membuat gambar-gambar dan patung di majelis-majelis yang mereka bermajelis di sana dan berilah nama-nama mereka. Maka mereka pun membuatnya namun tidak menyembahnya. Hingga ketika mereka mati dan ilmu telah dilupakan, akhirnya gambar dan patung tersebut disembah.”
Ibnul Qayyim rahimahumallah berkata, “Berkata salaf: ketika orang-orang saleh tersebut meninggal maka kaum mereka beritikaf dikubur-kubur mereka kemudian membuat patung-patung mereka, hingga setelah berlangsung lama, patung-patung tadi pun kemudian disembah.”
Demikian juga kesyirikan di bangsa Arab adalah ketika setan memberikan wangsit kepada Amr bin Luhai untuk menggali dan membawa berhala-berhala tersebut ke Jazirah Arab.

###

Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz  رحمه الله

Soal:
فضيلة الشيخ، بالنسبة لصحة مكان قبر يونس عليه السلام. هل هو فعلاً في العراق؟
Asy-Syaikh yang mulia, berkaitan dengan kebenaran posisi kubur Nabi Yunus alaihis salam, apakah benar terletak di Iraq?

Jawab:
أما نبي الله يونس عليه الصلاة والسلام فلا يعرف قبره، وليس لهذا صحة، بل جميع قبور الأنبياء لا تعرف ما عدا قبر نبينا عليه الصلاة والسلام فإنه معلوم في بيته في المدينة عليه الصلاة والسلام، وهكذا قبر الخليل إبراهيم معروف في المغارة هناك في الخليل في فلسطين، وأما سواهما فقد بين أهل العلم أنها لا تعلم قبورهم، ومن ادعى أن هذا قبر فلان أو قبر فلان فهو كذب لا أصل له ولا صحة له، ودعوى أن قبر يونس موجود في نينوى أو أنه في المحل المعين لا أصل له، فينبغي أن يعلم هذا، ولو علم لم يجز التبرك به ولا دعاؤه ولا النذر له ولا غير ذلك من أنواع العبادة؛ لأن العبادة حق الله وحده لا يجوز صرف شيء منها لغيره بإجماع المسلمين
Adapun Nabiyullah Yunus alaihis salaam maka tidak diketahui kuburnya, dan (berita) ini tidak benar. Bahkan seluruh kubur para Nabi itu tidak diketahui, selain kubur Nabi kita alaihish-shalaatu wassalam. Maka kubur beliau telah maklum ada di rumah beliau di Madinah alaihisha-shalaatu wassalam. Demikian juga kubur Al-Khalil Ibrahim juga sudah maklum berada di Gua di sana di kota Al-Khalil (Hebron) di Palestina.
Adapun selain keduanya, para Ulama telah menjelaskan kalau mereka (para Nabi) itu tidak diketahui kubur mereka. Dan barang siapa yang mengaku-ngaku kalau ini adalah kuburnya (nabi) fulan, atau kubur (nabi) fulan, maka itu adalah kedustaan yang tidak ada dalilnya dan tidak ada kebenarannya. Dan pengakuan kalau kubur Yunus itu ada di Nainawa atau di tempat tertentu, maka itu tidak ada dalilnya. Dan semestinya hal ini diketahui.
Seandainya diketahui posisinya, itupun tidak boleh menjadi tempat mencari barakah, berdoa atau nadzar untuknya dan yang lainnya dari macam-macam ibadah.  Karena ibadah itu adalah hak Allah semata, maka sedikitpun tidak boleh diselewengkan kepada selain Allah dengan kesepakatan kaum muslimin.

Sumber:
www .binbaz .org .sa/node/8608

Alih bahasa:
Ustadz Abu Hafs Umar al Atsary

Forum Salafy Indonesia

Tentang JIKA KOMPLEK PEMAKAMAN TELAH PENUH

Asy-Syaikh Shalih bin Al-Fauzan hafizhahullah

"Yang sesuai dengan syari’at adalah jika sebuah komplek pemakaman telah sempit dan padanya tidak tersisa lagi tempat untuk memakamkan, maka tempat tersebut dipagari, ditutup, dan tidak boleh lagi memakamkan di sana. Lalu mencari tempat lain yang baru yang digunakan hanya khusus untuk memakamkan orang yang meninggal.
Bumi Allah sangat luas, dan berapa banyak Shahabat dan Salaf dimakamkan di luar Baqi’. Yang menjadi tolak ukur adalah amal, dan Allah Jalla wa Alaa berfirman:
ﻭَﻣَﺎ ﺗَﺪْﺭِﻱْ ﻧَﻔْﺲٌ ﺑِﺄَﻱِّ ﺃَﺭْﺽٍ ﺗَﻤُﻮْﺕُ .
“Dan seorang jiwa tidak mengetahui di bumi mana dia akan mati.” (QS. Luqman: 34)
Jadi seorang muslim dimakamkan bersama kaum Muslimin yang lain di mana saja di bumi ini. Dan tidak boleh bersikap ghuluw atau berlebihan dalam meyakini keutamaan sebuah pemakaman atau tempat atau seseorang, karena hal ini merupakan sarana yang akan menyeret kepada perbuatan syirik. Siapa yang telah dimakamkan di sebuah tempat, maka dia lebih berhak di tempat tersebut. Dia tidak boleh dikeluarkan darinya dan juga tidak boleh memakamkan orang lain bersamanya dalam satu liang, kecuali jika di sana ada kebutuhan yang sifatnya darurat yang tidak ada solusi lainnya. Adapun di sini maka sifatnya belum darurat, karena tanah di Madinah masih luas dan daratan sekitarnya juga masih lapang, walhamdulillah. Jadi masih cukup luas untuk membuat komplek pekuburan baru untuk memakamkan orang-orang yang meninggal."

Tentang SALING BERKUNJUNG PADA HARI RAYA

Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany rahimahullah

Pertanyaan: Kami mendengar bahwa saling berkunjungnya manusia pada hari raya merupakan bid’ah. Maka kami berharap penjelasan hukum yang berkaitan dengan berkunjung kepada saudara dan apa yang dilakukan oleh manusia pada hari raya?

Jawaban:

Kami telah mengatakan berkali-kali dan berulang-ulang sehingga tidak butuh merinci apa yang telah berulang kali.
Maka kami katakan secara ringkas: Berkunjung yang dilakukan oleh orang yang hidup kepada orang yang telah meninggal (ziyarah kubur –pent) pada hari raya (atau sehari sebelumnya –pent) termasuk bid’ah, karena mengikat atau mengkhususkan sesuatu yang dimutlakkan oleh peletak syari’at (Allah Subhanahu wa Ta’ala).
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang shahih:
ﻛُﻨْﺖُ ﻧَﻬَﻴْﺘُﻜُﻢْ ﻋَﻦْ ﺯِﻳَﺎﺭَﺓِ ﺍﻟْﻘُﺒُﻮْﺭِ، ﺃَﻟَﺎ ﻓَﺰُﻭْﺭُﻭْﻫَﺎ؛ ﻓَﺈِﻧَّﻬَﺎ ﺗُﺬَﻛِّﺮُﻛُﻢْ
ﺍﻟْﺂﺧِﺮَﺓَ .
“Dahulu aku pernah melarang kalian dari ziyarah kubur, sekarang berziyarahlah karena hal itu akan mengingatkan kalian kepada kehidupan akherat.” (HR. Muslim no. 1977 dan selainnya –pent)
Jadi sabda beliau: “Berziyarahlah!” Ini adalah perintah yang sifatnya umum, sehingga tidak boleh mengkhususkannya dengan waktu atau tempat tertentu. Karena mengkhususkan nash (dalil) atau memutlakkannya bukan hak manusia, tetapi itu merupakan hak Rabbul Alamin yang telah memberikan beban syariat kepada Rasul-Nya yang mulia dengan berfirman:
ﻭَﺃَﻧْﺰَﻟْﻨَﺎ ﺇِﻟَﻴْﻚَ ﺍﻟﺬِّﻛْﺮَ ﻟِﺘُﺒَﻴِّﻦَ ﻟِﻠﻨَّﺎﺱِ ﻣَﺎ ﻧُﺰِّﻝَ ﺇِﻟَﻴْﻬِﻢْ .
“Dan Kami telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu agar engkau menjelaskan kepada manusia apa yang telah diturunkan untuk mereka itu.” (QS. An-Nahl: 44)
Jadi tidak ada sebuah nash pun yang bersifat mutlak (umum) padahal sebenarnya ada pengkhususan, pasti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam akan menjelaskannya. Dan ada sebuah nash pun yang bersifat umum padahal sebenarnya dikhususkan, pasti beliau khususkan, sedangkan yang tidak beliau khususkan berarti tidak bersifat khusus.
Jadi ketika beliau mengatakan “Berkunjunglah!” Maka ini bersifat mutlak bagi semua hari-hari dalam setahun, tidak ada perbedaan antara sebuah hari dengan hari yang lain, juga tidak ada perbedaan antara sebuah waktu dengan waktu yang lainnya dalam satu hari, jadi boleh pagi atau sore atau siang atau malam dan seterusnya.
Maka demikian juga kami katakan: sebagaimana berkunjung yang dilakukan oleh orang yang hidup-kepada orang yang telah meninggal (ziyarah kubur) pada hari raya secara khusus, demikian juga berkunjung yang dilakukan oleh orang yang hidup kepada orang yang hidup secara khusus, hukumnya sama seperti berkunjung yang dilakukan oleh orang yang hidup kepada orang yang telah meninggal (yaitu bid’ah).

###

Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah

Penanya: Apa hukum mencium pipi pada hari tersebut (hari raya) dan ucapan sebagian orang: “Kulla aamin wa antum bikhair (semoga engkau dalam keadaan baik sepanjang tahun)” dan “Taqaballahu…” dan yang semisalnya?

Jawaban:

Adapun mencium pipi maka hal ini tidak ada riwayatnya, namun jika khawatir fitnah maka wajib meninggalkan, yaitu hukumnya haram jika khawatir fitnah, seperti mencium anak muda yang belum tumbuh jenggotnya dan dia khawatir terfitnah dengannya, sehingga wajib untuk meninggalkannya. Yang memungkinkan adalah berjabatan tangan. Rasul shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﺮَّﺟُﻠَﻴْﻦِ ﺇِﺫَﺍ ﺍﻟْﺘَﻘَﻴَﺎ ﻭَﺗَﺼَﺎﻓَﺤَﺎ ﻭَﺻَﻠَّﻴَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ
ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺳَﻘَﻄَﺖْ ﺫُﻧُﻮْﺑُﻬُﻤَﺎ ﻭَﻣُﺤِﻴَﺖْ ﺫُﻧُﻮْﺑُﻬُﻤَﺎ .
“Sesungguhnya dua orang jika bertemu, berjabat tangan, dan bershalawat untuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam, maka gugurlah dosa keduanya dan dihapus.”
Ini perkara pertama. Perkara yang lain adalah bahwasanya tidak ada dalil tentang pengkhususan hari raya dengan mencium wajah atau tangan. Dan juga tidak ada pengkhususan ziyarah dari Nabi shallallahu alaihi was sallam pada hari raya.
Yang jelas ya ikhwah, hari raya khususnya Idul Adha adalah hari yang penuh barakah. Rasul shallallahu alaihi wa sallam bersabda tentang hari-hari tasyriq:
ﺃَﻳَّﺎﻡُ ﺃَﻛْﻞٍ ﻭَﺷُﺮْﺏٍ ﻭَﺫِﻛْﺮِ ﺍﻟﻠﻪِ .
“Hari-hari untuk makan, minum dan berdzikir mengingat Allah.”
Yaitu hari kedua, ketiga, dan keempat setelah Idhul Adha. Jadi hari-hari ini adalah hari-hari untuk makan, minum dan berdzikir mengingat Allah. Hanya saja sebagian manusia ada yang pergi dari rumah ke rumah. Dan yang lebih buruk dari hal semacam ini adalah terkadang ada yang berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram.

###

Asy-Syaikh DR. Muhammad bin Hadi Al-Madkhali

Pertanyaan:
Apa hukum mengkhususkan berkunjung kepada sanak famili dan teman-teman pada hari raya?

Jawab:
Ini adalah amalan yang baik. Sanak famili adalah orang-orang yang wajib bagi kita untuk menyambung silaturrahmi dengan mereka. Karena mereka adalah orang-orang yang memiliki hubungan keluarga. Mereka adalah orang yang paling utama untuk dikunjungi dari pada yang lainnya. Maka dengan mengunjungi mereka, kemudian baru setelah itu orang-orang yang selain mereka. Ini merupakan perkara yang diharapkan, yaitu hendaknya seseorang memulai kunjungan dengan mengunjungi karib kerabat. Karena karib kerabat adalah orang yang paling berhak dikunjungi dibanding selainnya. Maka ketika itu, hendaknya berbuat baik kepada mereka dulu. Lalu setelah itu, jika masih ada waktu, maka bisa mengunjungi saudara-saudaranya yang lain. Jika itu bisa terwujud, maka alhamdulillah. Jika tidak terwujud, maka itu perkara ini bukanlah perkara yang disunnahkan. Bisa saja dia mencukupkan bertemu mereka di lapangan shalat ‘Id, atau bisa juga dengan bertemu dengan mereka di masjid, ketika shalat lima waktu. Jika terlaksana, maka ini sudah cukup, walhamdulillah. Tidak diharuskan engkau pergi ke rumahnya. Akan tetapi kunjungan seperti ini telah menjadi tradisi. Dan tradisi, tidak semuanya menyelisihi syariat. Mereka tidaklah meyakini ini sebagai ibadah. Hal itu karena hari raya adalah hari kegembiraan dan kebahagiaan. Maka itu semua tidak mengapa.
Wallahu a’lam. Semoga Allah melimpahkan shalawat, salam, serta keberkahan-Nya kepada hamba dan rasul-Nya, Muhammad serta kepada keluarga, sahabat serta para pengikut beliau dengan baik.

Tentang MENGUNGKIT-UNGKIT KEBAIKAN

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda di dalam hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim (no. 106) dan lainnya,
“Ada tiga golongan manusia pada hari kiamat nanti, Allah Subhanahu wata’ala tidak berbicara kepada mereka, tidak memandang ke arah mereka, juga tidak menyucikan mereka. Untuk mereka azab yang pedih.”
Kata-kata ini diulang sebanyak tiga kali oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sampai-sampai para sahabat bertanya, “Siapakah ketiga golongan tersebut, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,
ﺍﻟْﻤُﺴْﺒِﻞُ ﻭَﺍﻟْﻤَﻨَّﺎﻥُ ﻭَﺍﻟْﻤُﻨَﻔِّﻖُ ﺳِﻠْﻌَﺘَﻪُ ﺑِﺎﻟْﺤَﻠِﻒِ ﺍﻟْﻜَﺎﺫِﺏِ
"Orang musbil (orang yang memakai pakaian yang menutupi mata kaki), orang yang selalu mengungkit-ungkit kebaikan, dan orang yang menjual barang dagangan dengan sumpah palsu.” 

Allah Ta’ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menggugurkan pahala shadaqah kalian dengan cara mengungkit-ungkitnya dan menyakiti hati pihak yang menerimanya.” (QS. Al-Baqarah: 264)