Cari Blog Ini

Senin, 15 September 2014

Tentang BATASAN SAFAR

Al-Imam Al-Albani rahimahullah

Tentang safar, tidak ada batasan jarak tertentu dengan ukuran kilometer atau marahil. Karena ketika Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan safar dalam Al-Qur`an berkaitan dengan qashar shalat ataupun kebolehan berbuka (tidak puasa) di.bulan Ramadhan, Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan safar secara mutlak, tanpa menetapkan batasannya. Bisa kita lihat hal ini dalam firman-Nya:
“Apabila kalian melakukan perjalanan di muka bumi (safar) maka tidak ada dosa atas kalian untuk kalian mengqashar shalat.” (An-Nisa`: 101)
Lafadz: merupakan ungkapan dari safar, di mana Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkannya secara mutlak (tanpa pembatasan ini dan itu -pent.)
Demikian pula dalam firman-Nya:
“Siapa di antara kalian yang sakit atau dalam keadaan safar, maka (ia boleh meninggalkan puasa) dengan menggantinya pada hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah: 184)

Dengan demikian yang benar dari pendapat yang ada di kalangan ulama tentang pembatasan jarak safar adalah tidak ada batasannya. Setiap itu disebut safar, menurut kebiasaan (‘urf) dan menurut pengertian syar’i, berarti itulah safar, baik jaraknya jauh ataupun dekat. Perjalanan tersebut safar menurut kebiasaan yang dikenali di tengah manusia. Dari sisi syar’i memang orang yang menempuhnya bertujuan untuk safar. Karena terkadang kita dapati ada orang yang menempuh jarak jauh bukan untuk safar, seperti kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Terkadang seseorang keluar dari negerinya untuk berburu. Lalu ia tidak mendapatkan buruannya hingga ia terus berjalan mencari-cari sampai akhirnya ia tiba di tempat yang sangat jauh. Ternyata di akhir pencariannya ia telah menempuh jarak yang panjang, ratusan kilometer. Kita menganggap orang ini bukanlah musafir, padahal bila orang yang keluar berniat safar dengan jarak yang kurang daripada yang telah ditempuhnya telah teranggap musafir. Tapi pemburu ini keluar dari negerinya bukan bertujuan safar sehingga ia bukanlah musafir. Berarti yang namanya safar harus menurut ‘urf (adat masyarakat) dan sesuai pengertian syar’i."

[Al-Hawi min Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 227]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar