Cari Blog Ini

Selasa, 16 September 2014

Tentang MENDATANGI DUKUN

Orang yang mendatangi dukun ada tiga keadaan:

1. Dia mendatangi dukun kemudian dia bertanya kepadanya dan percaya serta membenarkan ucapannya maka hal ini merupakan tindakan kufur kepada Allah Azza wa Jalla kerena mempercayai ucapan dukun berarti telah percaya dukun mengetahui ilmu ghoib sedangkan mempercayai orang yang mengaku tahu ilmu ghoib merupakan pendustaan terhadap firman Allah ta ‘ala
ﻗﻞ ﻻ ﻳﻌﻠﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﻮﺍﺕ ﻭﺍﻷﺭﺽ ﺍﻟﻐﻴﺐ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ
“Katakanlah bahwa tidak ada yang mengetahui perkara ghoib kecuali Allah.” (An Naml: 60)
Oleh kerena inilah datang dalam hadits yang shohih
ﻣﻦ ﺃﺗﻰ ﻛﺎﻫﻨﺎ ﻓﺼﺪﻗﻪ ﺑﻤﺎ ﻳﻘﻮﻝ ﻓﻘﺪ ﻛﻔﺮ ﺑﻤﺎ ﺃﻧﺰﻝ ﻋﻠﻰ ﻣﺤﻤﺪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ
”Barang siapa yang mendatangi dukun kemudian dia mempercayai ucapannya maka dia telah mengkufuri apa yang diturunkan kepada Muhammad Sholallahu ‘alaihi wa Sallam.” (HR At Tirmidzi no. 130 dishohihkan Asy Syaikh Al Albani dalam kitab Irwa’ no. 6817)

2. Dia mendatangi dukun lalu dia bertanya kepadanya namun dia tidak percaya terhadap ucapannya maka hal demikian harom, dan pelakunya mendapat hukuman tidak diterima sholatnya selama empat puluh hari sebagaimana telah disebutkan dalam hadits shohih Muslim no. 2230 bahwa nabi Sholallah alaihi wa Sallam bersabda:
ﻣﻦ ﺃﺗﻰ ﻋﺮﺍﻓﺎ ﻓﺴﺄﻟﻪ ﻟﻢ ﺗﻘﺒﻞ ﻟﻪ ﺻﻼﺓ ﺃﺭﺑﻌﻴﻦ ﻳﻮﻣﺎ
“Barang siapa yang mendatangi tukang ramal kemudian dia bertanya padanya maka sholatnya tidak diterima selama 40 hari.” [1]
Dalam riwayat ini Rosul menyatakan bahwa hanya bertanya saja telah membuat sholatnya tidak diterima selama 40 hari, sehingga tidak selayakya kita mendatangi dukun atau tukang ramal lalu bertanya kepadanya walaupun hanya iseng-iseng saja.
ﺍﻟﻠﻪ ﻣﺴﺘﻌﺎﻥ ﻭ ﻋﻠﻴﻪ ﺗﻜﻼﻥ
3. Dia mendatangi dukun kemudian dia bertanya kepadanya dalam rangka membongkar kedok kebohonganya kepada manusia, maka yang demikian tidak mengapa. Hal ini berdasarkan tindakan Nabi Sholallahu alaihi wa sallam mendatangi Ibnu Shoyyad yang merupakan seorang dukun. Beliau bertanya padanya untuk menunjukkan kelamahannya bahwa dia tidak mengetahui perkara ghoib sebagaimana dalam riwayat Bukhori no. 1354 dan Muslim no. 2923.
ﻭ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺃﻋﻠﻢ ﺑﺎﻟﺼﻮﺍﺏ
(Disadur dari kitab Fatwa Arkaanul Islam kumpulan fatwa Asy Syaikh Al Utsaimin Rohimahulla ta’ala no. 75)

Faidah dari: Ustadz Abu Sufyan Sedayu Gresik
________________________________________
Catatan Kaki
[1] Tentang hadits ini, al-Imam an-Nawawi rahimahullah menukilkan adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa dia tidak diperintahkan mengulangi shalatnya, namun pahalanya hilang (yakni shalat yang dilakukan tidak berpahala selama 40 hari).

Tentang BERZIKIR, BERSALAWAT DAN BERDOA KETIKA MENDENGAR MUAZIN MENGUMANDANGKAN AZAN

Bismillah
Dalam menjawab adzan, terdapat lima sunnah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiga di antaranya terdapat dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma:
ﺇِﺫَﺍ ﺳَﻤِﻌْﺘُﻢُ ﺍﻟْﻤُﺆَﺫِّﻥَ ﻓَﻘُﻮﻟُﻮﺍ ﻣِﺜْﻞَ ﻣَﺎ ﻳَﻘُﻮﻝُ ﺛُﻢَّ ﺻَﻠُّﻮﺍ ﻋَﻠَﻰَّ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻣَﻦْ ﺻَﻠَّﻰ ﻋَﻠَﻰَّ ﺻَﻼَﺓً ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺑِﻬَﺎ ﻋَﺸْﺮًﺍ ﺛُﻢَّ ﺳَﻠُﻮﺍ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻋَﺰَّ ﻭَﺟَﻞَّ ﻟِﻰَ ﺍﻟْﻮَﺳِﻴﻠَﺔَ ﻓَﺈِﻧَّﻬَﺎ ﻣَﻨْﺰِﻟَﺔٌ ﻓِﻰ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﻻَ ﺗَﻨْﺒَﻐِﻰ ﺇِﻻَّ ﻟِﻌَﺒْﺪٍ ﻣِﻦْ ﻋِﺒَﺎﺩِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻭَﺃَﺭْﺟُﻮ ﺃَﻥْ ﺃَﻛُﻮﻥَ ﺃَﻧَﺎ ﻫُﻮَ ﻓَﻤَﻦْ ﺳَﺄَﻝَ ﺍﻟﻠﻪَ ﻟِﻰَ ﺍﻟْﻮَﺳِﻴﻠَﺔَ ﺣَﻠَّﺖْ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺸَّﻔَﺎﻋَﺔ
“Apa bila kamu mendengar muadzdzin mengumandangkan adzan,
(1) Ucapkanlah seperti yang dia ucapkan (kecuali hayya ‘alashshalat, dan hayya ‘alalfalah),
(2) Kemudian bershalawatlah untukku, karena siapa yang bershalawat untukku satu kali, niscaya Allah bershalawat untuknya sepuluh kali.
(3) Kemudian, mintalah kepada Allah ‘Azza wa Jalla wasilah untukku, yaitu sebuah tempat di jannah yang tidak pantas kecuali hanya untuk salah seorang dari hamba-hamba Allah Ta’ala, dan aku berharap akulah hamba (yang memperoleh tempat) itu. Karena itu, siapa yang memintakan kepada Allah wasilah untukku, niscaya halal baginya syafaatku.”
(4) Dia mengucapkan sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Sa’d bin Abi Waqqash:
ﻣَﻦْ ﻗَﺎﻝَ ﺣِﻴْﻦَ ﻳَﺴْﻤَﻊُ ﺍﻟﻤُﺆَﺫِّﻥَ: ﺃﺷْﻬَﺪُ ﺃﻥْ ﻻَ ﺇﻟَﻪ ﺇِﻻَّ ﺍﻟﻠﻪُ ﻭَﺣْﺪَﻩُ ﻻَ ﺷَﺮِﻳﻚَ ﻟَﻪُ، ﻭَﺃﻥَّ ﻣُﺤَﻤَّﺪﺍً ﻋَﺒْﺪُﻩُ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟُﻪُ، ﺭَﺿِﻴﺖُ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﺭَﺑّﺎً، ﻭَﺑِﻤُﺤَﻤَّﺪٍ ﺭَﺳُﻮﻻً، ﻭَﺑِﺎﻹﺳْﻼﻡِ ﺩِﻳﻨﺎً، ﻏُﻔِﺮَ ﻟَﻪُ ﺫَﻧْﺒُﻪُ
“Siapa yang mengucapkan –ketika mendengar muadzdzin (tasyahhud): ”Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang haq melainkan Allah, satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad itu adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Aku ridha Allah itu Rabbku, Aku ridha Muhammad itu sebagai Rasul, dan Aku ridha Islam sebagai agama,” niscaya diampuni dosanya.”
(5) Berdoa kepada Allah, setelah menjawab azan dan bershalawat untuk Rasul-Nya, memintakan wasilah untuk beliau.

Faedah Dari:
Ustadz Idral Harits

###

Disunnahkan bagi orang yang mendengar adzan menirukan setiap potongan kalimat yang dilantunkan muadzin kecuali lafaz hayya alal falah dan hayya alash sholah. Ketika muadzin melantunkan dua lafadz ini orang yang mendengarnya menjawab dengan la haula wala quwwata illa billah.

Disunnahkan juga bersholawat kepada nabi shallallahu alaihi wasallam setelahnya.

Disunnahkan bagi kita mengucapkan dzikir:
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺭَﺏَّ ﻫَﺬِﻩِ ﺍﻟﺪَّﻋْﻮَﺓِ ﺍﻟﺘَّﺎﻣَّﺔِ، ﻭَﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ﺍﻟْﻘَﺎﺋِﻤَﺔِ، ﺁﺕِ ﻣُﺤَﻤَّﺪﺍً ﺍﻟْﻮَﺳِﻴﻠَﺔَ ﻭَﺍﻟْﻔَﻀِﻴﻠَﺔَ، ﻭَﺍﺑْﻌَﺜْﻪُ ﻣَﻘَﺎﻣﺎً ﻣَﺤْﻤُﻮﺩﺍً ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻭَﻋَﺪْﺗَﻪُ
Jika adzan telah selesai dikumandangkan.

Disunnahkan pula membaca dzikir berikut ketika muadzin mengucapkan dua kalimat syahadat:
Dari Sa’ad bin Abi Waqash, dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, artinya:
“Barang siapa ketika mendengar adzan menucapkan:
ﺃﺷْﻬَﺪُ ﺃﻥْ ﻻَ ﺇﻟَﻪ ﺇِﻻَّ ﺍﻟﻠﻪُ ﻭَﺣْﺪَﻩُ ﻻَ ﺷَﺮِﻳﻚَ ﻟَﻪُ، ﻭَﺃﻥَّ ﻣُﺤَﻤَّﺪﺍً ﻋَﺒْﺪُﻩُ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟُﻪُ، ﺭَﺿِﻴﺖُ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﺭَﺑّﺎً، ﻭَﺑِﻤُﺤَﻤَّﺪٍ ﺭَﺳُﻮﻻً، ﻭَﺑِﺎﻹﺳْﻼﻡِ ﺩِﻳﻨﺎً
Maka Allah akan mengampuni dosanya.” (HR. Muslim)

Disunnahkan memperbanyak doa di antara waktu adzan dan iqomat berdasarkan hadits yang artinya tidak akan ditolak suatu doa yang dipanjatkan di antara adzan dan iqomat.

Faedah dari:
ummuyusuf .com

###

Syaikh Muqbil bin Hadi

Tanya:
ﻣﺎ ﺻﺤﺔ ﺍﻟﺰﻳﺎﺩﺓ: ‏(ﺇﻧﻚ ﻻ ﺗﺨﻠﻒ ﺍﻟﻤﻴﻌﺎﺩ‏) ﻓﻲ ﺍﻟﺬﻛﺮ ﺑﻌﺪ ﺍﻷﺫﺍﻥ ﻋﻠﻤﺎ ﺃﻥ ﻫﻨﺎﻙ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻣﻦ ﺻﺤﺤﻬﺎ ﻭﻗﺎﻝ: ﺇﻥ ﺳﻨﺪﻫﺎ ﺻﺤﻴﺢ ﺣﻴﺚ ﺃﺧﺮﺟﻬﺎ ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ ﺑﺴﻨﺪ ﺻﺤﻴﺢ
Apa shahih tambahan:
ﺇﻧﻚ ﻻ ﺗﺨﻠﻒ ﺍﻟﻤﻴﻌﺎﺩ
di dalam dzikir setelah adzan? Karena ada ulama yang menshahihkannya dan berkata: sanadnya shahih, sebab Al Baihaqy mengeluarkan (tambahan tersebut) dengan sanad yang shahih?

Jawab:
ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺰﻳﺎﺩﺓ ﺗﻌﺘﺒﺮ ﺷﺎﺫﺓ ﺫﻟﻚ ﺃﻧﻪ ﺗﻔﺮﺩ ﺑﻬﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﻮﻑ ﺍﻟﻄﺎﺋﻲ ﻭﺧﺎﻟﻒ ﺗﺴﻌﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺤﺪﺛﻴﻦ ﻓﻴﻤﺎ ﺃﺫﻛﺮ ﻓﻬﻮ ﻳﻌﺘﺒﺮ ﺷﺎﺫﺍ ﻭﻻ ﻧﻐﺘﺮ ﺑﻔﻬﻢ ﻣﺎ ﻇﺎﻫﺮﺓ ﺍﻟﺼﺤﺔ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ ﻻ ﺑﺪ ﻣﻦ ﺟﻤﻊ ﺍﻟﻄﺮﻕ ﻓﻴﻘﻮﻝ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺍﻟﻤﺪﻳﻨﻲ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ: ﺍﻟﺒﺎﺏ ﺇﺫﺍ ﻟﻢ ﺗﺠﻤﻊ ﻃﺮﻗﻪ ﻟﻢ ﻳﺘﺒﻴﻦ ﺧﻄﺆﻩ. ﻓﻬﻲ ﺯﻳﺎﺩﺓ ﺷﺎﺫﺓ ﻭﻻ ﻳﻨﻔﻊ ﻛﻮﻥ ﺍﻟﺴﻨﺪ ﻇﺎﻫﺮﺓ ﺍﻟﺼﺤﺔ
Tambahan ini dianggap Syadzah (lemah), karena Muhammad bin 'Auf Ath Thaa-iy bersendirian (dengan riwayat tambahan tersebut), bahkan menyelisihi 9 ahli hadits yang saya sebutkan, maka (tambahan tersebut) dianggap syadz. Sehingga jangan terkecoh dengan zhahir shahih (tambahan tersebut) menurut Al Baihaqi. Karena harus dikompromikan jalan-jalan (riwayatnya). 'Ali ibnul Madini rahimahullah mengatakan: Bab (masalah tersebut) jika tidak dikompromikan jalan-jalan (riwayatnya), maka tidak nampak kekeliruannya. Sehingga ia merupakan tambahan syadzah, dan tidak manfaat keadaan sanad yang shahih secara zhahirnya.

Sumber: Ar Rihlatul Akhiroh hal. 151

Alih bahasa: Al Ustadz Abdul 'Aziz As Samarindy hafizhahullah

TIS (Thalab Ilmu Syar'i)

Tentang BERTAUBAT DAN BERISTIGHFAR

Dikatakan kepada Imam Al-Hasan Al-Bashri Rohimahulloh:
ﺃﻻ ﻳﺴﺘﺤﻴﻲ ﺃﺣﺪﻧﺎ ﻣﻦ ﺭﺑﻪ ! ﻳﺴﺘﻐﻔﺮ ﻣﻦ ﺫﻧﻮﺑﻪ ﺛﻢ ﻳﻌﻮﺩ ﺛﻢ ﻳﺴﺘﻐﻔﺮ ﺛﻢ ﻳﻌﻮﺩ
“Tidakkah malu salah satu dari kita terhadap Robb-nya! Dia istighfar (memohon ampun) dari dosa-dosa nya kemudian kembali (berbuat dosa) kemudian istighfar (kembali) kemudian kembali (lagi)?”
Maka Imam Al-Hasan Al-Bashri menjawab:
ﻭﺩ ﺍﻟﺸﻴﻄﺎﻥ ﻟﻮ ﻇﻔﺮ ﻣﻨﻜﻢ ﺑﻬﺬﻩ ﻓﻼ ﺗﻤﻠﻮﺍ ﺍﻻﺳﺘﻐﻔﺎﺭ
“Syaithan begitu berkeinginan kalau sekiranya dia bisa mengalahkan kalian dengan (cara) ini. MAKA JANGAN KALIAN BOSAN BERISTIGHFAR!”
(Jami' Al-'Ulum Wal Hikam, Ibnu Rojab, 1/415)

Alih Bahasa: Muhammad Sholehuddin Abu 'Abduh عَفَا اللّٰهُ عَنْهُ

WA Ahlus Sunnah Karawang | www.ahlussunnahkarawang.com

###

Berkata Al Imam Al Hasan Al Bashriy - رحمه الله - :
أكثروا من الإستغفار في بيوتكم، و على مواعدكم، و في طرقكم، و في أسواقكم، و في مجالسكم، أينما كنتم فإنكم ما تدرون متى تنزل المغفرة
"Perbanyaklah istighfar di rumah-rumah kalian, di meja-meja hidangan kalian, di jalanan kalian, di pasar-pasar kalian, di majelis-majelis kalian, dan dimanapun kalian berada, karena sesungguhnya kalian tidak tahu kapan turunnya ampunan."
(At Taubah Ibnu Abi Ad Dunya No. 158)

WA SaLaM

https://telegram.me/happyislamcom

###

Pertanyaan: Bila seorang muslim ingin terlepas dari dosa yang pernah dia lakukan, apa saja syarat yang wajib ditempuh terkait dengan orang yang bertaubat dari dosanya? Apa pula nasihat Anda bagi orang yang melakukan perbuatan maksiat, agar dia mau bertaubat sebelum ajal menjemputnya, sehingga dia akan rugi dan menyesal?

Jawab:

Pertama, dia bertaubat dengan taubat yang jujur dan murni, dan menyesali dosa yang telah dia lakukan, lalu bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, dan mengembalikan kezaliman (yang pernah dia ambil) kepada yang berhak. Yang terakhir ini terkait dengan hal-hal yang bisa dikembalikan, seperti harta. Kemudian dia meminta kerelaan dan maaf dalam hal-hal yang tidak bisa dikembalikan, sembari mendoakan kebaikan bagi yang dia zalimi dan memuji mereka atas kebaikan mereka yang dia ketahui.

Kedua, kami menasihati dia untuk membaca Al-Qur’an dan hadits-hadits tentang targhib wa tarhib (anjuran untuk melakukan kebaikan dan ancaman dari melakukan keburukan). Juga agar dia mengingat akhirat beserta kengeriannya. Juga agar dia bergaul dengan orang-orang yang baik sekaligus menjauhi orang-orang yang jelek. Semoga dia bisa bertaubat dari dosa-dosanya, memohon ampun kepada Rabbnya, dan mencerca dirinya sendiri atas maksiat yang dia lakukan.

Wabillahit taufiq, washallalahu ‘ala nabiyyina Muhammad, wa alihi wa shahbihi wa sallam.

Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-’Ilmiyyah wal Ifta`
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Wakil: Abdurrazzaq Afifi
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Qu’ud

(Fatawa Al-Lajnah, 24/297-298, Pertanyaan keenam dari fatwa no. 3866)

###

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah

Pertanyaan: Saya seorang pemuda, Allah telah memberi saya hidayah untuk meniti jalanNya yang lurus, saya memohon kepada Allah keteguhan hati. Akan tetapi saya masih memiliki sisa-sisa dosa yang saya belum mampu terbebas darinya. Hanya saja, saya bertaubat kepada Allah dari dosa-dosa ini, saya memohon ampun kepadaNya, akan tetapi saya mengulanginya dan saya terjatuh padanya. Setelah hal itu terjadi, saya menyesal dan bertaubat kepada Allah akan tetapi tanpa faedah. Maka saya mengharap bimbingan apa yang mesti saya lakukan agar saya bisa mendidik jiwaku untuk beribadah kepada Allah, dan mantaati-Nya, dan bermaksiat terhadap nafsuku yang sangat mengajak kepada kejelekan. Apakah saya berdosa dengan taubatku dari suatu dosa kemudian kembali diriku mengulangi dosa tersebut?

Jawaban:

Segala pujian kesempurnaan milik Allah yang telah memberimu petunjuk untuk bertaubat, dan mengkaruniakanmu untuk kembali kepada Allah subhanahu wata’aala. Ketahuilah wahai saudara, bahwasanya taubat itu menghapus dosa yang lalu. Sebagaimana islam juga menghapus dosa yang lalu. Selama engkau -bihamdillah- setiap kali terjatuh pada sebuah dosa, engkau bersegera bertaubat dengan jujur, maka engkau di atas kebaikan insyaa Allah.

Maka taubat itu menghapus dosa yang lalu, engkau tidak akan disiksa atas dosa yang engkau telah bertaubat darinya, karena sebab engkau mengulangi dosa tersebut sekali lagi. Engkau hanya akan disiksa dengan dosa yang engkau ulangi yang engkau lakukan. Kemudian jika engkau bertaubat dari hal itu, akan dihapus darimu dosa itu juga, dan demikian seterusnya. Ini adalah karunia dan kebaikanNya Jalla wa’ala. Jika engkau jujur dalam bertaubat, dan engkau menyesali atas apa telah lalu, engkau bertekad dengan tekad yang jujur untuk tidak mengulangi dan engkau meninggalkan dosa itu. Kemudian ternyata engkau diuji lagi dengannya setelah itu, maka Allah memaafkan atas apa yang telah lewat dengan taubat yang telah lalu.

Dan engkau mesti melawan nafsumu untuk tidak terjatuh dalam dosa lagi, hal ini dengan beberapa cara, di antaranya:
Pertama: Bersandar penuh kepada Allah dan memohon hidayah, taufik dan penjagaan padaNya. Agar Allah menolong dirimu menghadapi nafsumu dan melawannya. Agar Allah menolongmu menghadapi syaitanmu sampai engkau selamat darinya. Dan Allah Yang Maha Suci berfirman
ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺳَﺄَﻟَﻚَ ﻋِﺒَﺎﺩِﻱ ﻋَﻨِّﻲ ﻓَﺈِﻧِّﻲ ﻗَﺮِﻳﺐٌ ﺃُﺟِﻴﺐُ ﺩَﻋْﻮَﺓَ ﺍﻟﺪَّﺍﻉِ ﺇِﺫَﺍ ﺩَﻋَﺎﻥِ
”Dan apabila hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah, bahwasanya Aku ini dekat. Aku mengkabulkan doanya orang yang berdoa jika dia berdoa padaKu.” (QS. Al-Baqarah: 186)
Dialah yang berfirman Yang Maha Suci:
ﺍﺩْﻋُﻮﻧِﻲ ﺃَﺳْﺘَﺠِﺐْ ﻟَﻜُﻢْ
”Berdoalah kepadaKu, niscaya Aku akan kabulkan untuk kalian.” (QS. Al-Ghafir: 60)

Yang kedua: Engkau harus menjauhi sebab-sebab yang bisa menyeretmu kepada maksiat. Jika engkau berteman dengan orang-orang yang melakukannya, maka mesti engkau jauhi mereka sehingga mereka tidak menyeretmu kepada maksiat. Jika engkau masuk rumah-rumah yang bisa menyeretmu kepada maksiat, maka jauhilah rumah-rumah tersebut dan berhati-hatilah darinya. Demikian, lihatlah sebab-sebab (maksiat) dan jauhilah.

Perkara ketiga: Melihat kepada akibat buruk maksiat, renungilah akibat-akibat tadi, bahwasanya akibatnya itu sangat buruk, akibatnya sangat buruk. Kadang engkau akan tertimpa tidak bisa bertaubat, maka engkau akan merugi, wal’iyadzu billah. Maka hati-hatilah engkau dari akibat buruk dosa-dosa. Dan fikirkanlah sering-sering, bahwasanya engkau terkadang mendapat taufik untuk bisa taubat, kadang tidak mendapat taufik untuk bertaubat. Hati-hatilah dari maksiat dan jauhilah. Teruslah bertaubat dan jangan engkau tinggalkan. Maka ketika engkau diberi taufik untuk perkara-perkara ini, maka Allah akan menjagamu dari kejelekan nafsumu, dari syaitanmu.

Hanya Allahlah pemilik taufik.

Sumber: binbaz .org .sa

Alih Bahasa:
Ustadz Abu Hafs Umar al Atsary

###

Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin رحمه الله

Pertanyaan:
فضيلة الشيخ أنا شاب تبت توبة صادقة -ولله الحمد- ولكن بعد مدة إذ بي أقع في معصية ثم أتوب ثم أشتاق للمعصية ثم أندم وأتوب.. وهكذا أفدني جزاك الله خيرا ماذا أفعل مع بداية هذا العام
Yang Mulia Asy-Syaikh (Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin), saya adalah seorang pemuda yang telah bertaubat dengan taubat yang jujur walhamdulillah. Namun setelah beberapa waktu tiba-tiba saya terjatuh kedalam kemaksiatan lagi lalu sayapun bertaubat kemudian saya kembali terjatuh lagi kedalam kemaksiatan tersebut lalu sayapun menyesal dan bertaubat dan demikianlah keadaannya, berilah saya faidah semoga Allah membalas anda dengan kebaikan, apa yang semestinya saya lakukan seiring permulaan tahun ini?

Jawab:
أسأل الله أن يتوب علينا جميعا ونهنئ أخانا بالتوبة ونسأله تعالى أن يثبت عليها. عليه أن يحمي نفسه من هذه المعصية بقدر المستطاع لكن إذا غلبته نفسه ثم ندم وتاب توبة نصوحا عازما على ألا يفعل في المستقبل فإن الله يتوب عليه لأن هذا مسرف على نفسه بلا شك في إصراره على هذه المعصية وقد قال الله تعالى: قل يا عبادي الذين أسرفوا على أنفسهم لا تقنطوا من رحمة الله إن الله يغفر الذنوب جميعا إنه هو الغفور الرحيم
فنحن نهنئ أخانا بما من الله عليه من التوبة ونوصيه بأن يصمد أمام نزعات الشيطان وهوى النفس وأن يتصبر وهو إذا عسف نفسه وتصبر هان عليه ترك المعصية التي كان يألفها من قبل
Aku meminta kepada Allah Ta'ala agar menerima taubat kita semuanya, dan kita bersyukur kepada saudara kita dengan taubatnya, dan kita memohon kepada Allah Ta'ala agar mengokohkan di atas taubatnya, wajib atasnya untuk menjaga dirinya dari kemaksiatan tersebut dengan kadar kemampuannya, akan tetapi apabila ia terkalahkan oleh kemaksiatannya kemudian menyesal dan bertaubat dengan taubat nashuha, dan bertekad kuat untuk tidak lagi melakukannya di masa yang akan datang maka sesungguhnya Allah akan menerima taubatnya.
Karena yang demikian itu tidak diragukan lagi telah melampaui batas (kemampuan) dirinya karena adanya gejolak yang kuat untuk melakukan kemaksiatan tersebut, dan sungguh Allah Ta'ala telah berfirman:
قل يا عبادي الذين أسرفوا على أنفسهم لا تقنطوا من رحمة الله إن الله يغفر الذنوب جميعا إنه هو الغفور الرحيم
Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Azzumar 53)
Maka kita bersyukur kepada saudara kita dengan apa yang telah Allah anugerahkan kepadanya dari pertaubatannya.
Dan kami menasehatkan kepadanya untuk berpegang kuat dalam menghadapi godaan syaithan dan hawa nafsu serta untuk berusaha tetap bersabar, dalam keadaan apabila ia mengontrol dirinya serta tetap berusaha bersabar niscaya akan mudah atasnya untuk meninggalkan kemaksiatan yang dahulu ia senangi.

Sumber:
Silsilatu Al-liqoi Asysyahri / Al-Liqau Asysyahri 44

Alih Bahasa:
Abu 'Alifah Ayyub Balikpapan حفظه الله -[FBF 4]

WA Forum Berbagi Faidah [FBF]

###

Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah

P E R T A N Y A A N :
إنسانأصيب بمرض الإيدز وقرر الأطباء أن عمره في هذه الحياة قصير جدا فما الحكم في توبتهفي هذا الوقت
Seseorang yang terkena penyakit AIDS dan para dokter menetapkan bahwa umurnya sangatlah pendek, apa hukum taubat di waktu tersebut?

J A W A B :
عليه أن يبادر بالتوبة ولو في لحظة الموت لأن باب التوبة مفتوح مهما كان ما دام عقله معه وعليه أن يبادر بالتوبة والحذر من المعاصي ولو قالوا : إن عمرك قصير فالأعمار بيد الله وقد يخطئ ظنهم فيعيش طويلا وعلى كل تقدير فالواجب البدار بالتوبة والصدق في ذلك حتى يتوب الله عليه لقول الله تعالى: وتوبوا إلى الله جميعا أيها المؤمنون لعلكم تفلحون
وقوله سبحانه: وإني لغفار لمن تاب وآمن وعمل صالحا ثم اهتدى
وقول النبي صلى الله عليه وسلم: إن الله يقبل توبة العبد ما لم يغرغر والمعنى ما لم يتغرغر بها الإنسان ويزول شعوره
والله المستعان
Wajib baginya untuk segera bertaubat, meskipun pada masa mendekati kematian, karena pintu taubat masih terbuka bagaimanapun juga kondisinya, selama ia masih berakal (sadar dan bisa berpikir).
Wajib baginya untuk menjauhi kemaksiatan meskipun para dokter menyatakan bahwa umurnya pendek. Umur-umur makhluq itu ada di Tangan Allah, bisa jadi prasangka dokter tersebut salah sehingga dia bisa hidup dalam waktu yang lama.
Intinya, WAJIB bagi setiap orang untuk SEGERA BERTAUBAT kepada Allah dengan jujur sehingga Allah akan menerima taubatnya, berdasarkan Firman Allah:
وتوبوا إلى الله جميعا أيها المؤمنون لعلكم تفلحون
Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah wahai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
Dan juga Firman Allah:
وإني لغفار لمن تاب وآمن وعمل صالحا ثم اهتدى
Dan Sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar.
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إن الله يقبل توبة العبد ما لم يغرغر
Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba selama nyawanya belum di kerongkongan.
Yakni: sebelum nyawanya berada di kerongkongan (sakaratul maut) dan hilang kesadarannya.
Dan Allahlah tempat memohon pertolongan.

Sumber: Kitab Al-Fatawa al-Mutaalliqah bith-thibbi Wa ahkamil-mardha | Kumpulan fatwa yang ditulis oleh Asy-Syaikh Allamah Doktor Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafidzahullah

alifta .net/Fatawa/FatawaChapters .aspx?languagename=arView=PagePageID=396PageNo=1BookID=16

Alih Bahasa: Al-Ustadz Abu Abdillah Al-watesy (Jember) حفظه الله

WA Forum Berbagi Faidah [FBF] | www .alfawaaid .net

###

Al Ustadz Abdul Haq Balikpapan hafizhahullah

Tanya:
Apakah dosa syirik akan diampuni Allah jika bertaubat sebelum meninggal?

Jawab:
Iya, jadi apabila seorang bertaubat kepada Allah Subhanahu Wata'ala dengan memenuhi kriteria dengan syarat-syarat diterimanya taubat, maka insya Allahu Ta'ala diterima sebesar apapun dosanya.
قل يا عبادي الذين أسرفوا على أنفسهم لا تقنطوا من رحمة الله إن الله يغفر الذنوب جميعا
Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya." (QS Az-Zumar: 53)
Allah itu maha pengampun, apabila seorang ingin bertaubat kepada Allah dengan taubatan nasuha yang memiliki persyaratan diterimanya taubat. Yang pertama apa?
(1) Ikhlas, ini modal utama, ikhlas meninggalkan kesyirikan. Bukan karena orderan sudah kurang, bukan karena sudah bosen dengan kesyirikan. Tapi betul-betul tulus, menyesali perbuatannya. Ingin taat kepada Allah, mengganti kemaksiatannya dengan ketaatan kepada Allah, ikhlas, dia niatkan ibadah.
Yang kedua,
(2) an nadm, dia harus ada sifat, sikap penyesalan, nyesal.
Yang ketiga adalah,
(3) al iqla', meninggalkan kemaksiatan. Jangan meninggalkan praktek syirik, amalan kesyirikan.
Yang keempat,
(4) bertekad untuk tidak mengulangi lagi.
Ini syarat-syarat diterimanya taubat. Demikian pula bertaubat di waktu masih diterimanya taubat, yaitu sebelum meninggal.
إن الله يقبل توبة العبد ما لم يغرغر
Allah Jalla Wa 'Ala masih saja akan menerima taubat seorang hamba selama ruh belum sampai kepada kerongkongan. (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma, dihasankan Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami no. 1903)
Sehingga kalau misalkan awalnya dia kafir, musyrik, ingin taubat, laa bas. Bertaubat dengan taubatan nasuha. Adapun makna dari firman Allah Subhanahu Wata'ala:
إن الله لا يغفر أن يشرك به ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء
"Sesungguhnya Allah itu tidak akan mengampuni dosa kesyirikan, dan mengampuni dosa di bawah kesyirikan." (QS An-Nisa: 48)
Maka maksudnya di sini yaitu ketika seorang belum ataupun meninggal dalam keadaan belum bertaubat kepada Allah dari kesyirikannya. Tidak akan diampuni dosanya sampai dia bertaubat kepada Allah Subhanahu Wata'ala. Wallahu ta'ala a'lamu bishawab.

TIS (Thalab Ilmu Syar'i)

###

Asy-Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahim al-Bukhari hafizhahullah

Semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya serta para shahabatnya.

Barusan saja pembawa acara menghimbau kepada saudara sekalian untuk berkumpul dan bermajlis bersama para tholabah untuk saling mengingatkan satu sama lain, semoga Allah memberikan manfaat pada beberapa kalimat yang akan disampaikan.

Pertama kami ucapkan semoga Allah menerima amal shalih kita semua dan memberikan barakah padanya, serta kita memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla terkabulnya amalan kita, sesungguhnya Dia Dzat yang Maha Pemurah dan Maha Mulia. Tidak diragukan lagi bahwa mengucapkan kalimat selamat hari ‘Id merupakan salah satu sunnah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan telah berjalan di atasnya para shahabat radhiyallahu ‘anhum. Hanya saja, ucapan selamat tersebut akan menjadi sempurna jika seorang hamba menyempurnakan amalan shalih yang telah diamalkannya, kemudian mengiringinya dengan amalan shalih yang dia kerjakan pada hari-hari penuh barakah tersebut. Aku katakan, dia mengiringinya dengan amal-amal shalih lainnya. Karena sesungguhnya di antara nikmat Allah kepada seorang hamba, Allah memberikan kepadanya taufiq untuk amal shalihnya berkesinambungan dan senantiasa mengiringi amalan-amalan shalih, serta terus menerus kembali bertaubat kepada Allah. Karena sesungguhnya seluruh pemberian ini dan musim-musim ini adalah musim-musim kebaikan dan musim menanam. Barang siapa yang padanya menanam kebaikan maka dia akan memperoleh kebaikan pula, dan barang siapa yang tidak (menanam kebaikan) maka janganlah dia mencela kecuali dirinya sendiri karena dia adalah orang yang menggampangkan.

Allah telah memerintahkan kepada para hamba-Nya untuk bertaubat kepada-Nya, Allah berfirman:
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁَﻣَﻨُﻮﺍ ﺗُﻮﺑُﻮﺍ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺗَﻮْﺑَﺔً ﻧَﺼُﻮﺣًﺎ
“Wahai orang-orang yang beriman bertaubatlah kalian kepada Allah dengan taubat nashuha.”
Makna taubat nashuha adalah berlepas diri dari dosa dengan penuh rasa penyesalan serta tekad untuk tidak mengulanginya kembali. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu sebagaimana dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah (berkata), “Taubat nashuh adalah bertekat untuk tidak kembali,” yakni: kepada dosa.

Tidak diragukan lagi wahai segenap saudara bahwa ayat-ayat dan hadits-hadits dalam permasalahan taubat kepada Allah sangatlah banyak, dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, serta yang lainnya, bahwa beliau beristigfar dalam satu majelis lebih dari seratus kali, dalam riwayat lain disebutkan lebih dari tujuh puluh kali. Padahal Allah telah mengampuni dosa-dosa beliau yang lalu maupun yang akan datang. Disebutkan pula dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim bahwa ketika beliau shalat malam hingga kaki beliau bengkak, maka Ummul mukminin ash-Shiddiqoh putri ash-Shiddiq mengatakan kepada beliau, “Masihkah engkau lakukan hal ini padahal dosa anda telah diampuni yang lalu maupun yang akan datang?” Maka jawaban beliau adalah: “Tidakkah boleh aku menjadi hamba yang selalu bersyukur?”

Maka wajib atas seorang hamba untuk membalas apa yang telah Allah berikan kepadanya dengan bersyukur kepada-Nya, terus menyebut-nyebutnya, dan mengakui keutamaan-Nya, serta mengarahkan anggota tubuhnya, hatinya, dan lisannya untuk bersyukur kepada-Nya, berdzikir kepada-Nya, dan beribadah kepada-Nya dengan sebaik-baiknya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits shahih riwayat al-Imam at-Tirmidzi dan yang lainnya:
‏ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻳَﻘْﺒَﻞُ ﺗَﻮْﺑَﺔَ ﺍﻟْﻌَﺒْﺪِ ﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﻳُﻐَﺮْﻏِﺮْ‏
“Sesunguhnya Allah menerima taubat seorang hamba selama nyawa belum sampai ke tenggorokan.”
Maknanya: selama kematian belum datang menjemputnya.
Juga di antara penghalang diterimanya taubat, atau tidak akan diterima taubat seorang hamba jika matahari telah terbit dari barat.

Maka hendaknya seorang hamba bersegera pada musim-musim ini, di mana Allah telah menganugrahkannya kepadanya, hendaknya dia benar-benar memanfaatkannya dan senantiasa memperbarui taubatnya kepada Allah, serta memperbanyak istighfar (mohon ampunan) dan memperbanyak pula amalan-amalan ketaatan, karena sungguh merupakan tanda diterimanya taubat dan amalan shalih seorang hamba adalah dengan ditunjukkannya hamba tersebut kepada amalan shalih berikutnya dan dia mengiringi amalannya dengan amalan sholih yang berikutnya, maka ini merupakan taufiq dari Allah ‘Azza wa Jalla untuknya dan anugrah Allah untuknya. Diriwayatkan oleh al-Imam Ibnu Abi Syaibah dalam kitabnya “al-Mushannaf” dengan sanad yang hasan dari Hisyam bin ‘Urwah bahwa ayah beliau 'Urwah bin az-Zubair berkata kepadanya, “Wahai putraku apabila engkau melihat seorang melakukan amal ketaatan, maka ketahuilah bahwa amalan tersebut di sisinya ada saudara-saudaranya. Dan apabila engkau melihat seorang melakukan kemaksiatan maka ketahuilah bahwa kemaksiatan tersebut di sisinya juga ada saudara-saudaranya. Amal ketaatan akan menunjukkan kepada saudaranya dan kemaksiatan juga akan menunjukkan kepada saudaranya.”

Maka hendaknya seorang hamba bersemangat dan mempergunakan kesempatan yang telah dianugrahkan kepadanya ini, sungguh engkau dalam masa hidupmu ini -segala puji bagi Allah- Allah masih memberimu umur hingga jam ini, maka jadilah seorang hamba yang dekat dengan Allah dan jauh dari kemaksiatan kepada-Nya. Tatkala seorang hamba semakin dekat dengan Allah maka maka semakin jauh pula dia dari kemurkaan Allah. Akan tetapi kerugian dan penyesalan adalah bagi seorang yang terluput darinya kesempatan ini. ‘Abdullah bin al-Mu’taz sebagaimana dalam kitab al Jami' al Khothib berkata, “Sebuah kesempatan itu sangat cepat hilangnya dan sangat lambat kembalinya.”

Di sana ada beberapa orang dahulu bersama kita pada beberapa waktu yang lalu, kemudian mereka telah mendapati dan melakukan ibadah Haji pada tahun lalu dan berhari raya bersama manusia pada tahun lalu, namun sebagian mereka tidak lagi bertemu dan melakukan ibadah haji di tahun ini tidak pula hari raya di tahun ini, demikianlah hari ini terus berputar.
Setiap anak Adam walaupun panjang
keselamatannya
Tetap pada suatu hari nanti dengan
keranda mayat dia akan dipikul

Maka seseorang tidak akan mendapati kecuali apa yang dahulu ia amalkan. Hendaknya seorang hamba bersegera dan memperbarui tekadnya, serta senantiasa meneliti dan mengoreksi dirinya, karena “hari ini adalah hari untuk beramal dan tidak ada hisab padanya, sedangkan esok adalah hari hisab dan tidak ada amal padanya.”

Jadilah engkau wahai hamba Allah seorang yang memiliki semangat yang tinggi dalam mengoreksi dan melihat dirimu, kembali kepada Allah dari apa yang kamu kurang atau berlebihan, dan ingatlah bahwa apabila seorang hamba melakukan sebuah kemaksiatan dan dosa karena dia lalai atau lupa kemudian dia segera memperbarui taubatnya kepada Allah maka ini merupakan kebaikan yang Allah inginkan untuknya. Allah membantunya dan mengingatkannya serta memberi kepadanya ilham dengan membimbingnya untuk segera taubat dan kembali kepada Allah. Allah berfirman mengingatkan hambanya:
ﻧِﻌْﻢَ ﺍﻟْﻌَﺒْﺪُ ﺇِﻧَّﻪُ ﺃَﻭَّﺍﺏٌ
“Sebaik-baik hamba, sesungguhnya dia adalah hamba yang selalu kembali kepada Allah.”
Yakni senantiasa kembali.

Pintu taubat masih terbuka, dan engkau wahai orang mukmin masih bisa untuk memperbaiki amalan, baik yang lalu ataupun yang akan datang. Akan tetapi yang terpenting adalah engkau memperbaiki amalan yang sedang engkau kerjakan, pada waktu yang engkau ada padanya.

Al-Imam Ibnul Qoyyim dalam kitab “al-Fawaid” tatkala beliau berbicara tentang seseorang memperbaiki kondisinya, “Seseorang memperbaiki keadaan yang telah lalu, memungkinkan bagi dia memperbaiki apa yang telah berlalu. Memungkinkan juga bagi dia memperbaiki apa yang akan datang, dan memperbaiki keadaan yang dia sedang ada padanya, tanpa rasa berat dan rasa capek. Adapun memperbaiki keadaan yang telah lalu adalah dengan penyesalan dan bertaubat serta kembali kepada Allah dari apa yang telah diperbuatnya dan yang telah dilanggarnya pada hari-hari yang yang lalu, memohon ampun kepada Allah dari yang telah berlalu dan bertekad untuk tidak mengulanginya serta menyesal dari amalan yang telah diperbuatnya.”
Riwayat dari al-Imam Ahmad dan lainnya dengan sanad yang hasan, yaitu sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Penyesalan adalah taubat.”

Ibnul Qayyim rahimahullah melanjutkan, “Maka ini adalah bentuk perbaikan dari keadaan yang telah lalu.” Yakni engkau memperbaiki keadaan yang telah lalu dengan bertaubat kepada Allah dan bertekad serta menyesal atas apa yang telah engkau langgar dan lakukan. Engkau beristighfar (meminta ampun) kepada Allah ‘Azza wa Jalla atas apa yang telah engkau perbuat, maka inilah bentuk perbaikan keadaan yang telah lalu.
ﻓَﺄُﻭﻟَـٰﺌِﻚَ ﻳُﺒَﺪِّﻝُ ﺍﻟﻠَّـﻪُ ﺳَﻴِّﺌَﺎﺗِﻬِﻢْ ﺣَﺴَﻨَﺎﺕٍ
“Maka mereka akan Allah ganti kesalahan mereka dengan kebaikan.”
Perbaikan ini padanya tidak perlu ada kesungguhan, yakni engkau bekerja dengan kedua tanganmu dan padanya ada kecapekan pada fisik. Namun, cukup engkau mulai sementara engkau tetap pada tempat dan posisimu, maka Allah akan melihat dari dirimu kebaikan, kejujuran, taubat, dan kembali kepada Allah. Inilah bentuk perbaikan keadaan yang lalu.

Kemudian Ibnul Qayyim melanjutkan, “Adapun memperbaiki keadaan yang akan datang adalah dengan mengkokohkan tekad agar seorang hamba tidak melakukan yang dimurkai Allah.” Dia bertekad jika Allah masih memberinya umur maka dia tidak akan bermaksiat kepada Allah dan dia bersungguh-sungguh untuk tidak bermaksiat kepada Allah. Ini juga tidak butuh amal dan kecapekan. Karena dia bisa memperbarui janji dia kepada Allah ‘Azza wa Jalla, bersikap jujur kepada-Nya, dan memohon kepada-Nya pertolongan dan bantuan. Apabila dia telah menerapkannya maka dia telah memperbaiki hari-harinya yang akan datang.

Kemudian Ibnul Qayyim melanjutkan, “Adapun memperbaiki hari yang engkau ada padanya sekarang, atau waktu yang engkau ada padanya sekarang, maka ini lebih berat dari kedua jenis perbaikan sebelumnya.” Karena perbaikan yang pertama dan kedua sebagaimana yang aku katakan tadi, tidak perlu ada kecapekan pada badan. Adapun perbaikan waktu yang engkau ada padanya atau hari yang engkau ada padanya, maka inilah permasalahan yang sesungguhnya. Karena perbaikan ini butuh ada darimu kesungguhan dan keseriusan. Engkau harus menahan dirimu dan mengajaknya untuk sabar agar tidak melakukan sesuatu yang tidak diridhai-Nya. Engkau berupaya serius melakukan perkara yang
diperintahkan. Jadi engkau butuh terhadap apa? Engkau butuh kepada kesungguhan yang besar dan menahan diri serta mengekang hawa nafsu. Karena hawa nafsu itu liar, jika engkau tidak mengekangnya dengan tali kekang taqwa maka dia akan lepas kembali. Oleh karena itu Allah berfirman:
ﻭَﻟِﺒَﺎﺱُ ﺍﻟﺘَّﻘْﻮَﻯٰ ﺫَٰﻟِﻚَ ﺧَﻴْﺮٌ
“Dan pakaian taqwa itu adalah lebih baik.”
Dan Allah berfirman:
ﻭَﺗَﺰَﻭَّﺩُﻭﺍ ﻓَﺈِﻥَّ ﺧَﻴْﺮَ ﺍﻟﺰَّﺍﺩِ ﺍﻟﺘَّﻘْﻮَﻯٰ
“Berbekallah kalian, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa.”

Jadi, mungkin bagi seorang hamba untuk memperbaiki dirinya terkait dengan yang telah lalu, yang akan datang, dan di hari yang dia ada padanya. Maka bersungguh-sungguhlah wahai saudara yang saya cintai, untuk mempergunakan kesempatan ini, yang telah Allah anugrahkan kepadamu, dengan memperbarui janji kepada Allah Ta’ala, dan kembali serta taubat kepada-Nya. Al-Imam Ibnul Qayyim dalam kitab “al Wabil ash Shayyib“ berkata, “Terkadang amalan ketaatan bisa memasukkan pelakunya ke dalam an-Naar (neraka) dan terkadang kemaksiatan bisa memasukkan pelakunya ke dalam al-Jannah (surga).”

Kemudian beliau berkata: Maknanya adalah, bisa jadi sebagian orang melakukan ketaatan kepada Allah, kemudian dia mengungkit-ungkitnya kepada Allah dan merasa bahwa dia sudah melakukan apa yang wajib atasnya. Dia terus berada pada keadaan ini dan musibah ini, sampai dia tidak lagi melaksanakan apa yang Allah wajibkan atasnya. Sehingga tiba-tiba an-Naar datang menghampirinya –kita berlindung kepada Allah darinya–. Sifat riya’ dan pamer ini akan menghapuskan amalan.
ﻳَﻤُﻨُّﻮﻥَ ﻋَﻠَﻴْﻚَ ﺃَﻥْ ﺃَﺳْﻠَﻤُﻮﺍ ﻗُﻞ ﻟَّﺎ ﺗَﻤُﻨُّﻮﺍ ﻋَﻠَﻲَّ ﺇِﺳْﻠَﺎﻣَﻜُﻢ ﺑَﻞِ ﺍﻟﻠَّـﻪُ ﻳَﻤُﻦُّ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺃَﻥْ ﻫَﺪَﺍﻛُﻢْ ﻟِﻠْﺈِﻳﻤَﺎﻥِ
“Mereka mengungkit-ungkit kepadamu keislaman mereka. Katakanlah: janganlah kalian mengungkit-ungkit kepadaku keislaman kalian, bahkan Allah lah yang telah menganugrahkan kepada kalian untuk mendapatkan hidayah iman.” (al-Hujurat : 17)

Kemudian beliau berkata: Dan terkadang kemaksiatan memasukkan pelakunya ke dalam al-Jannah. Maknanya: bahwa seorang hamba terkadang melakukan sebuah dosa, namun dia senantiasa ingat bahwa itu dosa. Kemudian dia segera bertaubat dan memperbaruinya, serta menambah dengan berbagai amalan shalih dengan harapan semoga Allah menghapus dosa yang telah diperbuatnya. Maka dia senantiasa berada dalam ketaatan menuju ketaatan berikutnya dari sikap kembali kepada Allah kepada yang berikutnya. Dengan sebab dosa ini akan terbuka pintu-pintu kebaikan yang sangat banyak dari berbagi amalan shaleh, sehingga akan menjadi sebab masuknya dia ke dalam al-Jannah.

Oleh karena itu, wahai yang saya cintai, ketahuilah dengan yakin bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Pengasih, Dzat yang Maha Memberi Ampun, Dzat yang Maha Menyayangi, akan tetapi Dia juga Maha dahsyat.hukumannya dan mencintai dari hamba-Nya taubat.
ﺇﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻳَﺒْﺴُﻂُ ﻳَﺪَﻩُ ﺑِﺎﻟﻠَّﻴْﻞِ ﻟِﻴَﺘُﻮﺏَ ﻣُﺴِﻲﺀُ ﺍﻟﻨَّﻬَﺎﺭِ ﻭَﻳَﺒْﺴُﻂُ ﻳَﺪَﻩُ ﺑِﺎﻟﻨَّﻬَﺎﺭِ ﻟِﻴَﺘُﻮﺏَ ﻣُﺴِﻲﺀُ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﻄْﻠُﻊَ ﺍﻟﺸَّﻤْﺲُ ﻣِﻦْ ﻣُﻐْﺮِﺑِﻬَﺎ
“Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya di malam hari agar bertaubat orang yang melakukan dosa di siang hari, dan membentangkan tangan-Nya di siang hari agar bertaubat orang yang berbuat dosa di malam hari. (Demikian seterusnya), sampai matahari terbit dari arah barat.”
Sebagaimana sabda Rosululloh dalam kitab ash-Shahih dalam riwayat al-Bukhari dan yang lainnya.

Kami memohon kepada Allah agar menjadikan kita semua termasuk hamba-hamba-Nya yang senantiasa kembali dan bertaubat. Semoga Allah memberikan kita semua amalan yang baik dan niat yang jujur. Sesungguhnya Dia adalah Dzat yang Maha Pemurah dan Maha Mulia. Semoga shalawat, salam, dan barakah Allah tercurah kepada Rasulullah, keluarganya dan para shahabatnya.

Sumber:
Ceramah berjudul “Apa setelah Haji?”

ar .miraath .net

Tentang KELUAR BEKERJA MENCARI NAFKAH YANG HALAL

Suatu hari ada seorang lelaki lewat di depan rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, dan para shahabat radhiyallahu `anhum melihat kondisi lelaki tersebut dari kulit tubuhnya dan semangatnya (seperti lelaki pekerja yang tangguh- pen), maka rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam berkata:
ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺧﺮﺝ ﻳﺴﻌﻰ ﻋﻠﻰ ﻭﻟﺪﻩ ﺻﻐﺎﺭًﺍ ﻓﻬﻮ ﻓﻲ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﻪ، ﻭ ﺇﻥ ﺧﺮﺝ ﻳﺴﻌﻰ ﻋﻠﻰ ﺁﺑﻮﻳﻦ ﺷﻴﺨﻴﻦ ﻛﺒﻴﺮﻳﻦ ﻓﻬﻮ ﻓﻲ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﻪ، ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻳﺴﻌﻰ ﻋﻠﻰ ﻧﻔﺴﻪ ﻳﻌﻔّﻬﺎ ﻓﻬﻮ ﻓﻲ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﻪ، ﻭ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺧﺮﺝ ﺭﻳﺎﺀً ﻭﺗﻔﺎﺧﺮًﺍ ﻓﻬﻮ ﻓﻲ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﺸﻴﻄﺎﻥ
“Jika dia keluar bekerja untuk anaknya yang masih kecil, maka dia terhitung di jalan Allah, dan jika dia keluar bekerja untuk kedua orang tuanya, maka dia terhitung di jalan Allah, dan jika dia keluar bekerja untuk dirinya sendiri dalam rangka `iffah (menjaga kehormatan diri- pen) maka dia terhitung di jalan Allah, dan jika keluar dalam rangka riya` dan berbangga diri maka dia terhitung di jalan syaithon.”
Hadits tersebut di bawakan Al-Imam Thabrani (13/491).

Sa`id ibnul Musayib Rahimahullahu tatkala meninggalkan beberapa dinar untuk keluarganya. Beliau rahimahullahu berkata:
ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺇﻧﻚ ﺗﻌﻠﻢ ﺃﻧﻲ ﻟﻢ ﺃﺟﻤﻌﻬﺎ ﺇﻻ ﻵﺻﻮﻥ ﺩﻳﻨﻲ ﻭﺣﺴﺒﻲ
“Yaa Allah, sungguh diriMu mengetahui bahwa diriku tidaklah mengumpulkan (harta yang halal -pen), kecuali dalam rangka menjaga agamaku dan keturunanku.”
Yakni beliau rahimahullah mengumpulkan mencari harta dan membelanjakannya semua di jalan yang halal dan dengan tujuan untuk menjaga agama dan keturunannya.
[Abu Nu`aim dalam Al-Hilyah 2/173 dan Al-Baihaqi dalam Asyu`ab 2/449]

Diriwayatkan pula dari jalan Ad-Dainury dalam Al-Mujaalasah nomer 2479 dari Ibnu Hudzaifah berkata:
Orang-orang bertanya kepada Sufyan Ats-Tsaury rahimahullahu: “Yaa Aba Abdillah, sungguh manusia mengingkari perbuatanmu ketika keluar ke yaman." Maka beliau Rahimahullahu menjawab: "Yaa Subhaanalloh! Mereka mengingkari diriku sesuatu yang bukan kemungkaran yang aku lakukan (sikap terheran-heran -pen), keluarku ke negeri yaman adalah rangka mencari sesuatu yang halal (bekerja -pen), dan mencari perkara yang halal itu berat, dan seseorang keluar dalam rangka mencari yang halal itu lebih utama daripada ibadah haji dan perang.”

Berkata Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam hafizhahullah: "Dan di antara bentuk keutamaan jihad, ialah mencari perkara yang halal (bekerja- pen), bahwasannya bekerja itu termasuk jihad dalam perkara umurnya, dirinya bekerja bukan satu hari, atau setahun, atau sepuluh tahun, akan tetapi seluruh hidupnya (teranggap jihad -pen) sampai dirinya meninggal dunia. Allah memuliakan dan memberi karunia kepadanya dengan jihadnya (bekerja -pen), dan berapa banyak seseorang jihad melawan orang-orang kafir, akan tetapi dirinya lalai dari jihad (bekerja -pen) dari sesuatu yang halal."

Tentang BERSABAR, BERDOA, DAN BERBAIK SANGKA KEPADA ALLAH KETIKA TERTIMPA MUSIBAH

Allah berfirman:
ﻭَﺑَﺸِّﺮِ ﺍﻟﺼَّﺎﺑِﺮِﻳْﻦَ . ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﺇِﺫَﺍ ﺃَﺻَﺎﺑَﺘْﻬُﻢْ ﻣُﺼِﻴْﺒَﺔٌ ﻗَﺎﻟُﻮْﺍ ﺇِﻧَّﺎ ﻟِﻠَّﻪِ ﻭَﺇِﻧَّﺎ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﺭَﺍﺟِﻌُﻮْﻥَ . ﺃُﻭﻟَﺌِﻚَ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﺻَﻠَﻮَﺍﺕٌ ﻣِﻦْ ﺭَﺑِّﻬِﻢْ ﻭَﺭَﺣْﻤَﺔٌ ﻭَﺃُﻭﻟَﺌِﻚَ ﻫُﻢُ ﺍﻟْﻤُﻬْﺘَﺪُﻭْﻥَ
“Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang jika ditimpa musibah mereka mengatakan: ‘Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kami akan kembali.’ Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan shalawat dan rahmat dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat hidayah.” (QS. Al-Baqarah: 155-157‏)

Ummu Salamah radhiyallahu 'anha pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﺎ ﻣِﻦْ ﻋَﺒْﺪٍ ﺗُﺼِﻴْﺒُﻪُ ﻣُﺼِﻴْﺒَﺔٌ، ﻓَﻴَﻘُﻮْﻝُ: ﺇِﻧَّﺎ ﻟِﻠَّﻪِ ﻭَﺇِﻧَّﺎ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﺭَﺍﺟِﻌُﻮْﻥَ، ﺍﻟﻠﻬُﻢَّ ﺃْﺟُﺮْﻧِﻲْ ﻓِﻲ ﻣُﺼِﻴْﺒَﺘِﻲْ، ﻭَﺃَﺧْﻠِﻒْ ﻟِﻲْ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻣِﻨْﻬَﺎ، ﺇِﻟَّﺎ ﺃَﺟَﺮَﻩُ ﺍﻟﻠﻪُ ﻓِﻲْ ﻣُﺼِﻴْﺒَﺘِﻪِ، ﻭَﺃَﺧْﻠَﻒَ ﻟَﻪُ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻣِﻨْﻬَﺎ
“Tidaklah seorang hamba ditimpa musibah lalu dia mengatakan: ‘Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kami akan kembali. Ya Allah, berilah pahala kepada atas musibahku ini dan gantilah untukku yang lebih baik darinya.’ Kecuali Allah akan memberinya pahala atas musibahnya dan mengganti yang lebih bagi dibandingkan musibahnya itu.”
Lalu Ummu Salamah berkata:
“Ketika Abu Salamah meninggal maka saya mengucapkan sebagaimana yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepadaku, lalu Allah pun menggantikan untukku yang lebih baik darinya, yaitu dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menikahiku.” (HR. Muslim no. 918)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya pahala yang besar menyertai musibah yang berat. Dan sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menimpakan musibah kepada mereka. Barangsiapa yang ridho, maka baginya keridhoan Allah. Barangsiapa yang murka, maka baginya kemurkaan Allah.” (HR. Ibnu Majah no. 4031)

Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ۗ ﻭَﻣَﻦ ﻳُﺆْﻣِﻦ ﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ ﻳَﻬْﺪِ ﻗَﻠْﺒَﻪُ ۚ
“Barang siapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberinya petunjuk di dalam hatinya.” (at-Taghabun: 11)
Telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Abu Hatim dari Alqamah, ia berkata, “Yaitu seseorang yang ditimpa oleh sebuah musibah dan dia mengetahui bahwa semuanya datangnya dari Allah Subhanahu wata’ala, lalu dia ridha dan menerimanya.”

Dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻋَﺠَﺒًﺎ ﻟِﺄَﻣْﺮِ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻦِ، ﺇِﻥَّ ﺃَﻣْﺮَﻩُ ﻛُﻠَّﻪُ ﻟَﻪُ ﺧَﻴْﺮٌ ﻭَﻟَﻴْﺲَ ﺫَﺍﻙَ ﻟِﺄَﺣَﺪٍ ﺇِﻻَّ ﻟِﻠْﻤُﺆْﻣِﻦِ، ﺇِﻥْ ﺃَﺻَﺎﺑَﺘْﻪُ ﺳَﺮَّﺍﺀُ ﺷَﻜَﺮَ ﻓَﻜَﺎﻥَ ﺧَﻴْﺮٌ ﻟَﻪُ، ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺃَﺻَﺎﺑَﺘْﻪُ ﺿَﺮَّﺍﺀُ ﺻَﺒَﺮَ ﻓَﻜَﺎﻥَ ﺧَﻴْﺮٌ ﻟَﻪُ
“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya baik baginya, dan sikap ini tidak dimiliki kecuali oleh seorang mukmin. Apabila kelapangan hidup dia dapatkan, dia bersyukur, maka hal itu kebaikan baginya. Apabila kesempitan hidup menimpanya, dia bersabar, maka hal itu juga baik baginya.” (HR. Muslim)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﻳُﺮِﺩِ ﺍﻟﻠﻪُ ﺑِﻪِ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻳُﺼِﺐْ ﻣِﻨْﻪُ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, Allah akan timpakan musibah padanya.” (HR. Al Bukhari no. 5321)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
ﺇِﺫَﺍ ﺃَﺭَﺍﺩَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺑِﻌَﺒْﺪِﻩِ ﺍﻟْﺨَﻴْﺮَ ﻋَﺠَّﻞَ ﻟَﻪُ ﺍﻟْﻌُﻘُﻮﺑَﺔَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺃَﺭَﺍﺩَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺑِﻌَﺒْﺪِﻩِ ﺍﻟﺸَّﺮَّ ﺃَﻣْﺴَﻚَ ﻋَﻨْﻪُ ﺑِﺬَﻧْﺒِﻪِ ﺣَﺘَّﻰ ﻳُﻮَﺍﻓِﻲَ ﺑِﻪِ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ
“Apabila Allah menghendaki kebaikan pada hamba-Nya, disegerakanlah hukuman baginya di dunia. Jika Allah menghendaki kejelekan pada hamba-Nya, Allah akan menahan dia lantaran dosa-dosanya hingga (dibalas) secara sempurna kelak pada hari kiamat.” (HR. at-Tirmidzi, no. 2396)

Allah berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang besar (di akhirat), mudah-mudahan mereka kembali (kepada ketaatan).” (as-Sajdah: 21)
Dalam Tafsir-nya, as-Suyuthi menyebutkan riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Mardawaih dari Ibnu Idris al-Khaulani, ia berkata:
Aku bertanya kepada Ubadah bin ash-Shamit radhiallahu anhu tentang ayat ini. Beliau menjawab:
Aku pernah menanyakan ayat ini kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda, "Itu adalah musibah, sakit, dan kesusahan, sebagai azab di dunia bagi orang yang melampaui batas sebelum datang azab akhirat." Aku bertanya kembali kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, "Wahai Rasulullah, apa yang kita peroleh jika semua itu menimpa kita?" Beliau menjawab, "Suci dan bersih.”

Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:
ﻣَﺎ ﻳُﺼِﻴﺐُ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠﻢَ ﻣِﻦْ ﻧَﺼَﺐٍ ﻭَﻻَ ﻭَﺻَﺐٍ ﻭَﻻَ ﻫَﻢٍّ ﻭَﻻَ ﺣُﺰْﻥٍ ﻭَﻻَ ﺃَﺫًﻯ ﻭَﻻَ ﻏَﻢٍّ ﺣَﺘَّﻰ ﺍﻟﺸَّﻮْﻛَﺔِ ﻳُﺸَﺎﻛُﻬَﺎ ﺇِﻻَّ ﻛَﻔَّﺮَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺑِﻬَﺎ ﻣِﻦْ ﺧَﻄَﺎﻳَﺎﻩُ
“Tidaklah menimpa seorang muslim kelelahan, sakit, kekhawatiran, kesedihan, gangguan dan duka, sampai pun duri yang mengenai dirinya, kecuali Allah akan menghapus dengannya dosa-dosanya.” (Muttafaqun alaih)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya, Majmu’ Fatawa (10/48), menjelaskan, “Musibah-musibah adalah nikmat. Sebab, ia akan menghapus dosa-dosa dan mendorong seseorang untuk bersabar sehingga mendapatkan ganjaran. Musibah akan mengajak seseorang untuk bertobat kepada Allah Subhanahu wata’ala dan merendah diri di hadapan-Nya, berpaling dari makhluk, dan berbagai maslahat lain. Cobaan itu sendiri berfungsi menghapuskan segala dosa dan kesalahan, dan ini sendiri sudah termasuk nikmat yang sangat besar.”

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata dalam Syarh Riyadhish Shalihin (1/94), “Apabila engkau ditimpa musibah maka janganlah engkau berkeyakinan bahwa kesedihan atau rasa sakit yang menimpamu, sampaipun duri yang mengenai dirimu, akan berlalu tanpa arti. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menggantikan dengan yang lebih baik (pahala) dan menghapuskan dosa-dosamu dengan sebab itu, sebagaimana pohon menggugurkan daun-daunnya. Ini merupakan nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga, bila musibah itu terjadi dan orang yang tertimpa musibah itu:
- mengingat pahala dan mengharapkannya, maka dia akan mendapatkan dua balasan, yaitu menghapus dosa dan tambahan kebaikan (sabar dan ridha terhadap musibah).
- lupa (akan janji Allah Subhanahu wa Ta’ala), maka akan sesaklah dadanya sekaligus menjadikannya lupa terhadap niat mendapatkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dari penjelasan ini, ada dua pilihan bagi seseorang yang tertimpa musibah: beruntung dengan mendapatkan penghapus dosa dan tambahan kebaikan, atau merugi, tidak mendapatkan kebaikan bahkan mendapatkan murka Allah Subhanahu wa Ta’ala karena dia marah dan tidak sabar atas taqdir tersebut.”

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata:
"Allah tidaklah memberi cobaan untuk membinasakan hambanya, namun untuk menguji kesabaran dan keimanan hamba. Jika hamba ini bersabar, maka musibah menjadi anugerah dan petaka berbuah pahala. Sabar ini ada tiga macam, yaitu menahan jiwa dari amarah kepada apa yang Allah takdirkan, menahan lisan dari berkeluh kesah, dan menahan anggota badan dari perbuatan yang menunjukkan ketidak relaan kepada takdir. Sabar berporos pada tiga perkara ini. Barangsiapa yang bisa memenuhinya maka baginya pahala yang tiada batas yang Allah janjikan dalam firman-Nya,
ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻳُﻮَﻓَّﻰ ﺍﻟﺼَّﺎﺑِﺮُﻭﻥَ ﺃَﺟْﺮَﻫُﻢْ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﺣِﺴَﺎﺏٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahalanya tanpa batas.” (Az Zumar: 10‏)

Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam mengingatkan kita dalam sabdanya:
ﻭَﺍﻋْﻠَﻢْ ﺃَﻥَّ ﻓِﻲ ﺍﻟﺼَّﺒْﺮِ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ ﺗَﻜْﺮَﻩُ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻛَﺜِﻴﺮًﺍ ﻭَﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺼْﺮَ ﻣَﻊَ ﺍﻟﺼَّﺒْﺮِ ﻭَﺃَﻥَّ ﺍﻟْﻔَﺮَﺝَ ﻣَﻊَ ﺍﻟْﻜَﺮْﺏِ ﻭَﺃَﻥَّ ﻣَﻊَ ﺍﻟْﻌُﺴْﺮِ ﻳُﺴْﺮًﺍ
“Dan ketahuilah bahwa dalam kesabaran terhadap apa yang tidak engkau senangi terdapat kebaikan yang sangat banyak. Ketahuilah pula, bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, dan jalan keluar (kelapangan) ada bersama kesempitan/kesulitan, dan bahwasanya bersama kesulitan itu pasti ada kemudahan.” (HR. Ahmad)

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
”Kesabaran adalah cahaya.” (HR. Muslim dari sahabat Abu Malik Al Harits bin ‘Ashim Al Asy’ary radhiallahu anhu)

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
”Tidaklah seorang hamba diberikan dengan suatu pemberian yang lebih baik dan luas dari pada sabar.” (Mutafaqun ‘alaih dari sahabat Abu Sa’id Al Khudry radhiallahu anhu)

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Jika engkau bersabar maka bagimu adalah surga.” (Mutafaqun ‘alaih dari sahabat Ibnu Abbas radhiallahu anhu)

Allah berfirman:
“Apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (asy-Syura: 30)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah (musibah yang menimpa pada seorang hamba) berupa goresan kayu (yang melukai badan), salah urat, terkena batu, terkilir, melainkan karena dosa, dan apa yang Dia maafkan dari dosa itu lebih banyak.” (Diriwayatkan oleh Hannad secara mursal pada kitab az-Zuhud melalui al-Hasan al-Bashri)
Dalam lafadz lain, “Tidaklah suatu musibah berat atau ringan, menimpa seorang hamba melainkan karena dosa, dan yang Dia maafkan lebih banyak.” (HR. At-Tirmidzi dari Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu anhu)
Ibnu Sa’d meriwayatkan dari Abu Mulaikah, dari Asma’ bintu Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu anhuma, beliau pernah pusing kemudian meletakkan tangannya di kepala seraya berkata, “Ini karena dosaku dan apa yang Allah ampuni lebih banyak.”
Al-Imam ath-Thabari rahimahullah memaparkan ucapan Ibnu Abbas tentang tafsir ayat ini, “Allah menjadikan hukuman bagi orang-orang mukmin karena dosa-dosa mereka (di dunia) dan tidak akan menyiksa mereka di akhirat karena dosa.”

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻻَ ﻳَﻤُﻮﺗَﻦَّ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﺇِﻻَّ ﻭَﻫُﻮَ ﻳُﺤْﺴِﻦُ ﺍﻟﻈَّﻦَّ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ
“Janganlah salah seorang di antara kalian itu mati, kecuali dalam keadaan dia berbaik sangka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Muslim)

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻻَ ﻳَﺘَﻤَﻨَّﻴَﻦَّ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﺍﻟْﻤَﻮْﺕَ ﻟِﻀُﺮٍّ ﺃَﺻَﺎﺑَﻪُ، ﻓَﺈِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﻻَ ﺑُﺪَّ ﻓَﺎﻋِﻠًﺎ ﻓَﻠْﻴَﻘُﻞْ : ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺃَﺣْﻴِﻨِﻲ ﻣَﺎ ﻛَﺎﻧَﺖِ ﺍﻟْﺤَﻴَﺎﺓُ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻟِﻲ ﻭَﺗَﻮَﻓَّﻨِﻲ ﺇِﺫَﺍ ﻛَﺎﻧَﺖِ ﺍﻟْﻮَﻓَﺎﺓُ ﺧَﻴْﺮﺍً ﻟِﻲ
“Janganlah salah seorang kalian mengharapkan kematian karena musibah yang menimpanya. Apabila memang harus melakukannya, maka hendaknya dia berdoa:
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺃَﺣْﻴِﻨِﻲ ﻣَﺎ ﻛَﺎﻧَﺖِ ﺍﻟْﺤَﻴَﺎﺓُ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻟِﻲ ﻭَﺗَﻮَﻓَّﻨِﻲ ﺇِﺫَﺍ ﻛَﺎﻧَﺖِ ﺍﻟْﻮَﻓَﺎﺓُ ﺧَﻴْﺮﺍً ﻟِﻲ
(Ya Allah, hidupkanlah aku bila kehidupan itu adalah kebaikan bagiku dan wafatkanlah aku bila kematian itu adalah kebaikan bagiku).” (Muttafaqun ‘alaih)

Allah dan Rasul-Nya melarang siapa yang tertimpa musibah untuk berucap atau berbuat sesuatu yang menunjukkan ketidak-ridhaan kepada keputusan Allah, seperti merobek baju, menampar pipi, menjambak rambut, menangis histeris, apalagi menyayat kepala dan dahi seperti yang dilakukan sebagian orang-orang syi’ah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Bukan dari golongan kami barang siapa yang menampar pipi, merobek baju, atau meratap dengan ratapan jahiliyah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)

Tentang BERLAKU BAIK KEPADA ISTRI

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Pergaulilah mereka (para istri) dengan cara yang baik.” [an-Nisa: 19]

Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya), ” Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf.” [al-Baqarah: 228]

Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashr as-Sa’di mengatakan, “Wajib bagi setiap suami istri, satu dengan yang lainnya untuk bergaul dengan cara yang baik dengan pergaulan yang indah, menahan diri untuk saling menyakiti dan tidak menunda-nunda dalam menunaikan haknya masing-masing.” (Minhajus Salikin hlm. 130)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berbuat baiklah kalian kepada istri.” [Muttafaqun 'alaihi]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﺍﺳْﺘَﻮْﺻُﻮﺍ ﺑِﺎﻟﻨِّﺴَﺎﺀِ ﺧَﻴْﺮًﺍ، ﻓَﺈِﻧَّﻬُﻦَّ ﻋِﻨْﺪَﻛُﻢْ ﻋَﻮَﺍﻥٍ
“Berbuat baiklah kepada wanita. Sesungguhnya istrimu ibarat tawanan di sisimu.” (HR. Ibnu Majah, dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berbuat baiklah kalian kepada istri. Sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Jika engkau ingin meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Tapi jika dibiarkan, akan selalu bengkok. Oleh karena itu, berbuat baiklah (berlemah-lembutlah) kalian kepada istri.” [Bukhari dan Muslim]

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
ﺧَﻴْﺮُﻛُﻢْ ﺧَﻴْﺮُﻛُﻢْ ﻟِﺄَﻫْﻠِﻪِ ﻭَﺃَﻧَﺎ ﺧَﻴْﺮُﻛُﻢْ ﻟِﺄَﻫْﻠِﻲْ
“Yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya, dan aku adalah yang terbaik di antara kalian terhadap istriku.” (Lihat: Silsilah Ash-Shahihah no. 285)

Aisyah radhiyallahu anha mengatakan:
ﻣَﺎ ﺿَﺮَﺏَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓً ﻗَﻂُّ ﻭَﻟَﺎ ﺧَﺎﺩِﻣًﺎ، ﻭﻟَﺎ ﺍﻧْﺘَﻘَﻢَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻟِﻨَﻔْﺴِﻪِ ﻗَﻂُّ ﺇِﻟَّﺎ ﺃَﻥْ ﺗُﻨْﺘَﻬَﻚَ ﺣُﺮْﻣَﺔُ ﺍﻟﻠﻪِ، ﻓَﻴَﻨْﺘَﻘِﻢُ ﻟِﻠَّﻪِ
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah memukulkan tangannya kepada istri maupun pelayan beliau sama sekali, dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga tidak pernah membalas karena pribadi beliau sama sekali, kecuali jika apa yang haramkan oleh Allah dilanggar, maka ketika itu beliau membalas karena Allah.” (Lihat: Shahih Muslim no. 2328)

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
ﻻَ ﻳَﺠْﻠِﺪُ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢُ ﺍﻣْﺮَﺃَﺗَﻪُ ﺟَﻠْﺪَﻩُ ﺍﻟﻌَﺒْﺪَ ﺛُﻢَّ ﻳُﻀَﺎﺟِﻌُﻬَﺎ
“Janganlah salah seorang dari kalian memukul istrinya seperti memukul budaknya, lalu setelah itu dia menggaulinya.”
Dalam riwayat lain disebutkan:
ﻓِﻲْ ﺃَﻭَّﻝِ ﺍﻟﻨَّﻬَﺎﺭِ ﺛُﻢَّ ﻳُﻀَﺎﺟِﻌُﻬَﺎ ﻣِﻦْ ﺁﺧِﺮِﻩِ
“Dia memukulnya di awal siang lalu pada akhirnya dia menggaulinya.” (Lihat: Shahih Al-Bukhary no. 4942, 5204, 6042, dan Shahih Muslim no. 2855)

Mu’awiyah al-Qusyairi, beliau berkata, “Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apa hak istri atas kita?" Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, "Engkau memberinya makan, jika engkau makan; dan engkau memberinya pakaian, jika engkau berpakaian; janganlah engkau memukul wajah, jangan mencelanya, dan jangan memboikot istri kecuali di rumah." (HR. Abu Dawud, Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻟَﺎ ﻳَﻔْﺮَﻙْ ﻣُﺆْﻣِﻦٌ ﻣُﺆْﻣِﻨَﺔً ﺇِﻥْ ﻛَﺮِﻩَ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﺧُﻠُﻘًﺎ ﺭَﺿِﻲَ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﺁﺧَﺮَ
“Janganlah sampai seorang mukmin (suami) membenci mukminah (istri); jika dia tidak suka kepada (beberapa) perangainya, pasti dia akan suka terhadap perangai yang lain.” [HR. Muslim]

Al-Aswad bertanya kepada Aisyah, “Apa kesibukan Rasululloh selama berada di rumah?” Aisyah menjawab, “Beliau biasa membantu pekerjaan rumah.” (HR. al-Bukhori no. 676)

###

SUNAH-SUNAH BERGAUL DENGAN ISTRI

1. Memberikan Senyuman Manis Dihadapan Istri

Rasulullah bersabda:
تبسمك في وجه أخيك لك صدقة
"Senyummu dihadapan saudaramu bernilai shodaqoh untukmu."
Hadits riwayat Tirmidzi.
ini dengan saudaramu, lalu bagaimana pahalanya jika dengan istrimu sendiri?

2. Menyuapi Istri

Rasulullah bersabda:
ﺇِﻧَّﻚَ ﻟَﻦْ ﺗُﻨْﻔِﻖَ ﻧَﻔَﻘَﺔً ﺗَﺒْﺘَﻐِﻲ ﺑِﻬَﺎ ﻭَﺟْﻪَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺇِﻟَّﺎ ﺃُﺟِﺮْﺕَ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﺣَﺘَّﻰ ﻣَﺎ ﺗَﺠْﻌَﻞُ ﻓِﻲ ﻓِﻲ ﺍﻣْﺮَﺃَﺗِﻚَ
"Sesungguhnya tidaklah engkau berinfak sesuatupun dengan berharap wajah Allah (ikhlash) kecuali engkau akan diberi ganjaran, bahkan sampai makanan yang engkau suapkan ke mulut istrimu."
[HR Al-Bukhari no 56 dan Muslim no 1628]

3. Bersikap Romantis, Dengan Meminum Bekas Minuman Istri Yang Ada Liurnya

Dari 'Aisyah -رضي الله عنه- :
ﻛُﻨْﺖُ ﺃَﺷْﺮَﺏُ ﻭَﺃَﻧَﺎ ﺣَﺎﺋِﺾٌ، ﺛُﻢَّ ﺃُﻧَﺎﻭِﻟُﻪُ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻓَﻴَﻀَﻊُ ﻓَﺎﻩُ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻮْﺿِﻊِ ﻓِﻲَّ، ﻓَﻴَﺸْﺮَﺏُ، ﻭَﺃَﺗَﻌَﺮَّﻕُ ﺍﻟْﻌَﺮْﻕَ ﻭَﺃَﻧَﺎ ﺣَﺎﺋِﺾٌ، ﺛُﻢَّ ﺃُﻧَﺎﻭِﻟُﻪُ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻓَﻴَﻀَﻊُ ﻓَﺎﻩُ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻮْﺿِﻊِ ﻓِﻲَّ
Artinya:
"Aisyah berkata: 'Ketika saya haid, saya pernah minum, lalu sisa minuman saya berikan kepada Rasulullah. Rasul kemudian meletakkan bibirnya persis di tempat bibir saya menempel, kemudian beliau minum. Saya juga pernah menggigit daging ketika saya sedang haidh, kemudian saya berikan sisanya kepada Rasulullah, dan beliau meletakkan bibirnya persis di mana bibir saya menempel." (HR. Muslim)

4. Bersandar Di Pangkuan Istri

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al Bukhari (297) dan Muslim (301) disebutkan:
ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻛَﺎﻥَ ﻳَﺘَّﻜِﺊُ ﻓِﻲ ﺣَﺠْﺮِﻱ ﻭَﺃَﻧَﺎ ﺣَﺎﺋِﺾٌ ﺛُﻢَّ ﻳَﻘْﺮَﺃُ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ
"Bahwasanya Nabi ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ bersandar di pangkuanku dan aku dalam keadaan haid, lantas beliau membaca Al Qur`an."

5. Mandi Bersama Dari Satu Bejana

Dalam hadits-hadits yang diriwayatkan oleh 'Aisyah, Ummu Salamah, Maimunah, dan Ibnu Umar -رضي الله عنهم- :
"Dahulu Nabi mandi bersama istrinya dari satu bejana, hingga suatu ketika Rasul bersabda:
أبقي لي
"Sisakan (air) untukku."
Dan istri beliau juga berkata: "Sisakan air juga untukku ya Rasul."
[hadits Muttafaqun 'alaih]

6. 'Bermain-main(ملاعبة)' Dengan Istri, Dan Menggoda Istri

Rasulullah berkata kepada Jabir:
ﻫَﻼَ ﺑِﻜْﺮًﺍ ﺗَﻼَ ﻋِﺒُﻬَﺎ ﻭَ ﺗُﻼَﻋِﺒُﻚَ
Mengapa bukan (yang masih) perawan, (hingga) engkau bisa bermain-main dengannya, dan ia pun bisa bermain-main denganmu?"

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu’anha ia berkata:
ﺃَﻧَّﻬَﺎ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﻣَﻊَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻓِﻲْ ﺳَﻔَﺮٍ ﻭَﻫِﻲَ ﺟَﺎﺭِﻳَﺔٌ، ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻷَﺻْﺤَﺎﺑِﻪِ: ﺗَﻘَﺪَّﻣُﻮْﺍ ﻓَﺘَﻘَﺪَّﻣُﻮْﺍ ﺛُﻢَّ ﻗَﺎﻝَ ﻟَﻬَﺎ: ﺗَﻌَﺎﻟَﻲْ ﺃُﺳَﺎﺑِﻘْﻚِ
“Bahwasanya dia pernah bersama Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam dalam sebuah perjalanan, sedangkan ketika itu Aisyah adalah seorang gadis (belum gemuk). Lalu Nabi berkata kepada para sahabatnya : “Majulah kalian.” Maka para sahabat bergegas maju. Kemudian Nabi berkata kepada Aisyah : “Kesinilah, ayo lomba lari.”
Indah bukan?

7. Membantunya Dalam Urusan-urusan Rumah Tangga

Dalam sebuah hadis sahih disebutkan bahwa:
ﻣﺎَ ﻳَﺼْﻨَﻊُ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻓِﻲْ ﺑَﻴْﺘِﻪِ، ﻳَﺨْﺼِﻒُ ﺍﻟﻨَّﻌْﻞَ ﻭَﻳَﺮْﻗَﻊُ ﺍﻟﺜَّﻮْﺏَ ﻭَﻳُﺨِﻴْﻂُ
“Beliau mengerjakan apa yang biasa dikerjakan salah seorang kalian di rumahnya. Beliau menambal sandalnya, menambal bajunya, dan menjahitnya.”
Masya Allah, contoh dari seorang Nabi yang mulia.

8. Membersihkan Mulut Untuk Sang Istri

Berkata 'Aisyah -رضي الله عنها-
كان رسول الله إذا دخل بيته بدأ بالسواك
"Dahulu Nabi jika hendak masuk rumah beliau, beliau mendahulukan bersiwak." [Riwayat Muslim]

Termasuk juga di sini adalah memakai minyak wangi dan berhias untuk istri.
Berkata Ibnu Abbas:
إني أحب أن أتزين لها كما أحب أن تتزين لي
"Sesungguhnya aku suka untuk aku berhias untuk istriku, sebagaimana aku suka dia berhias untukku."

WA Berbagi Faedah [WBF] |  https://jendelasunnah.com

###

Tiba saatnya bagimu untuk mengetahui bahwasanya wanita itu memiliki kecemasan dan kesedihan yang melebihi kecemasan dan kesedihanmu. Dia begitu halus perasaannya, butuh orang yang mengobati kesedihannya dan membantunya menyediakan waktu untuknya. Maka jika engkau —wahai suami yang penyayang— jauh darinya, enggan membantunya dan mengobatinya, lalu kepada siapa ia kan menuju? Sementara ia tidak ridho selainmu sebagai teman dan ia tidak ingin selainmu sebagai dokter yang mengobati keresahannya.
Ketahuilah, tinggalnya ia di rumah tidak memberinya kesempatan untuk beristirahat dan menikmati ketenangan, karena di sisinya ada anak-anak yang harus diasuhnya dan dididiknya agar mereka dapat tumbuh dengan baik. Semua itu membutuhkan kesungguhan diri, hati dan jasmani darinya yang lebih besar dari kesungguhan yang engkau curahkan di kantormu atau di pabrikmu.
Andai engkau bergantian tugas dengannya, engkau tidak akan
mampu mengembannya walau hanya sesaat di siang hari.
Bagaimana tidak? Sedangkan Rasulullah menyamakan tugasnya dalam rumah tangga dengan jihad di jalan Allah, padahal jihad adalah puncaknya Islam.
(Dari kitab: Sirri wa Lirrijal Faqad, Najla' Ahmad Az Zahar, hal. 10)

FORUM SALAFY INDONESIA

###

asy-Syaikh Muhammad bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah

Seorang penanya berkata:
Nabi -shallallahu alaihi wa sallam- telah berwasiat untuk memperlakukan/mempergauli para wanita (istri-istri kita) dengan baik. Maka bagaimanakah bentuk pergaulan yang baik kepada mereka (para istri) dalam kondisi mereka juga banyak kesalahannya?

Jawaban:
Bentuk pergaulan yang baik kepada mereka (isteri) :
Yang pertama, adalah dengan bersabar terhadap mereka, mengajari mereka, mendidik mereka adab yang baik, dan menghasung mereka untuk berpegang teguh dengan syariat, yaitu Al Quran dan Sunnah.
Kemudian setelah itu, dengan menunjukkan kasih sayang kita kepada mereka. Dengan perkataan yang indah pergaulan yang baik memberikan hadiah, dan yang semisalnya. Kemudian juga dengan berlemah lembut kepada mereka ketika muncul dari mereka sebuah kesalahan, karena wanita (isteri itu) memikul tanggung jawab pekerjaan rumah tangga yang terkadang menimbulkan rasa tertekan pada diri mereka sehingga menyebabkan mereka terjatuh pada kesalahan.
Maka yang wajib atas kalian (para suami) adalah berbuat baik kepada mereka, karena Allah -Jalla wa Ala- memerintahkan hal ini, Allah berfirman:
Dan pergaulilah mereka dengan baik! (An-Nisa': 19)
Allah memerintahkan untuk mempergauli/memperlakukan mereka dengan baik.
Dan hendaknya engkau menjauhkan diri dari memukul wanita walaupun dia berbuat kesalahan dengan tidak menunaikan hakmu. Sesungguhnya Aisyah, ibunda kaum mukminin, -radhiyallahu anha- berkata:
Tidak pernah sekalipun Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- memukul wanita (isterinya) maupun pelayan dengan tangan beliau. Dahulu beliau -alaihi ash-sholatu wa as-salaamu- terkadang memberikan hukuman kepada istri-istri beliau (dalam rangka mendidik, pen) dalam bentuk hajr (boikot) jika mereka berbuat kesalahan.
Maka engkau -wahai saudara penanya-, wajib atasmu untuk bersikap baik dengan perkataan maupun perbuatan, maka engkau akan mendapati kebaikan dari istrimu -insya Allah Tabaraka wa Taala-.
Jika engkau bersabar, engkau akan bisa bersenang-senang dengan wanita di atas kebengkokan yang ada pada dirinya. Jika engkau tidak mampu bersabar, engkau gelisah dan marah lalu engkau berusaha untuk meluruskannya, maka bisa jadi engkau akan mematahkannya yang itu bermakna menceraikannya.
Nabi -shallallahu alaihi wa sallam- bersabda:
Janganlah seorang mumin membenci seorang muminah. Jika dia membenci dari dirinya suatu akhlak, dia akan ridha akhlak yang lain yang ada padanya.
Maka yang wajib atasmu, jika engkau melihat dari istrimu sesuatu yang membuatmu tidak suka/benci, maka ingatlah amalan-amalan baiknya, sesungguhnya hal itu bisa menghilangkan kesedihanmu dengan izin Allah -Tabaraka wa Taala-.
Kesimpulan dari ini semua, hubungan suami istri akan bisa langgeng dengan baiknya pergaulan di antara keduanya.

Sumber:
ar .miraath .net/fatwah/10966

Alih bahasa : Abu Luqman

Majmuah Manhajul Anbiya

###

Asy-Syaikh Muhammad bin Hady Al-Madkhaly hafizhahullah

Wahai segenap ikhwah, memukul istri walaupun diperbolehkan tetapi hal itu bukan perkara yang disukai oleh para suami yang mulia dan memiliki keutamaan. Oleh karena inilah Aisyah radhiyallahu anha mengatakan:
مَا ضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ امْرَأَةً قَطُّ وَلَا خَادِمًا، ولَا انْتَقَمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ قَطُّ إِلَّا أَنْ تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللهِ، فَيَنْتَقِمُ لِلَّهِ
“Rasulullah shallallahu alaihi was sallam tidak pernah memukulkan tangannya kepada istri maupun pelayan beliau sama sekali, dan Rasulullah shallallahu alaihi was sallam juga tidak pernah membalas karena pribadi beliau sama sekali, kecuali jika apa yang haramkan oleh Allah dilanggar, maka ketika itu beliau membalas karena Allah.” (Lihat: Shahih Muslim no. 2328 –pent)

Rasulullah shallallahu alaihi was sallam tidak pernah memukul istri. Jadi memukul istri dibenci oleh para pria yang berakal, cerdas, mulia, dan memiliki keutamaan. Perkara ini mereka benci. Oleh karena inilah Nabi shallallahu alaihi was sallam lebih menekankan makna ini padahal hukumnya mubah. Beliau shallallahu alaihi was sallam bersabda:
لاَ يَجْلِدُ أَحَدُكُمُ امْرَأَتَهُ جَلْدَهُ العَبْدَ ثُمَّ يُضَاجِعُهَا
“Janganlah salah seorang dari kalian memukul istrinya seperti memukul budaknya, lalu setelah itu dia menggaulinya.”

Dalam riwayat lain disebutkan:
فِيْ أَوَّلِ النَّهَارِ ثُمَّ يُضَاجِعُهَا مِنْ آخِرِهِ
“Dia memukulnya di awal siang lalu pada akhirnya dia menggaulinya.” (Lihat: Shahih Al-Bukhary no. 4942, 5204, 6042, dan Shahih Muslim no. 2855 –pent)

Bagaimana engkau memukulnya dan mencambuknya seperti memukul budak, dan setelah itu engkau ingin dirinya melayanimu di ranjangmu dengan senang hati, tidak mungkin. Maka Nabi shallallahu alaihi was sallam memperingatkan dari akhlak yang tercela semacam ini.

Walaupun boleh memberi hukuman terhadap istri, sebagaimana firman Allah:
وَاللَّاتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِيْ الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ
“Dan para istri yang kalian khawatirkan sikap nusyuz (tidak mentaati suami dalam perkara yang ma’ruf –pent), maka nasehatilah mereka, tinggalkan mereka di tempat tidur mereka sendirian, dan pukullah mereka.” (QS. An-Nisa’: 34)

Namun Allah menjadikan pukulan sebagai jalan terakhir. Di samping itu pukulan ini disyaratkan oleh para ulama bahwa hal itu hanya berupa dorongan ringan ke dada dan tamparan yang tidak sampai mematahkan tulang dan tidak menyebabkan luka. Tidak boleh misalnya engkau memukul bagian matanya hingga bengkak, atau memukul telinganya hingga terlepas anting-antingnya, semacam ini tidak boleh. Dan memukul wajah hukumnya haram dan Nabi shallallahu alaihi was sallam telah melarangnya.

Walaupun demikian di pengadilan engkau masih mendengar banyak pengaduan para suami memukul istri, dan ini merupakan akhlak yang tercela yang telah diperingatkan darinya oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan apa yang telah kalian dengar, yaitu: “Janganlah salah seorang dari kalian memukul istrinya seperti memukul budaknya, lalu setelah itu dia menggaulinya.”

Sumber:
http://forumsalafy.net/memukul-istri-bukan-sifat-suami-yang-baik/

###

Pertanyaan: 

Saya membaca majalah Asy-Syariah dalam rubrik “Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah” tentang istri yang rajin beribadah, namun enggan taat kepada suami. Yang saya ingin tanyakan, bagaimana jika suami yang taat ibadah namun tak peduli dengan istri, tiap malam istri tidur sendirian. Bagaimana jika istri juga tidak ridha, diterimakah amal ibadah suami, sedangkan istri tersakiti batinnya? Bukankah berumah tangga itu termasuk ibadah?

Jawab: 
(Dijawab oleh al-Ustadz Qomar Suaidi)

Soal suami yang taat ibadah namun kurang perhatian terhadap istri; tentang ibadahnya, apabila memang terpenuhi syarat, rukun, dan kewajibannya, maka tetap diterima. Namun, sikapnya yang tidak memerhatikan istri juga tidak dibenarkan. Coba perhatikan riwayat berikut ini.

Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma ia berkata, “Ayahku menikahkan aku dengan seorang wanita yang bernasab mulia, maka ayah senantiasa mengontrol menantunya. Ayah menanyakan tentang suaminya (yakni anaknya). Menantunya pun menjawab, “Dia sebaik-baik pria, tidak pernah meniduri kasur kami, dan tidak pernah membuka-buka tutup sejak kami datang.” Maka setelah hal itu berlangsung lama pada dirinya, ayah melaporkan hal itu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka beliau berkata, “Pertemukan aku dengannya.” Setelah itu aku bertemu dengan beliau. 
Beliau bertanya kepadaku, “Bagaimana kamu berpuasa?” 
“Setiap hari,” jawabku. 
“Bagaimana kamu mengkhatamkan al-Qur’an?” tanya beliau. 
“Tiap malam,” jawabku. 
“Kalau begitu puasalah tiap bulan tiga hari dan khatamkan al-Qur’an tiap bulan.” 
Aku menjawab,“Aku mampu lebih banyak dari itu.” 
“Puasalah tiga hari setiap sepekan,” perintah beliau. 
“Aku mampu lebih banyak dari itu,” jawabku. 
“Berbukalah dua hari dan berpuasalah satu hari.” 
“Aku mampu lebih banyak dari itu,” jawabku. 
“Puasalah dengan puasa yang paling utama, puasa Dawud, puasa satu hari dan tidak puasa satu hari, dan khatamkanlah al-Qur’an tiap tujuh malam satu kali.” 
Dalam riwayat yang lain beliau berkata,
ﺃَﻟَﻢْ ﺃُﺧْﺒَﺮْ ﺃَﻧَّﻚَ ﺗَﺼُﻮﻡُ ﻭَﻻَ ﺗُﻔْﻄِﺮُ، ﻭَﺗُﺼَﻠِّﻰ ﻭَﻻَ ﺗَﻨَﺎﻡُ، ﻓَﺼُﻢْ ﻭَﺃَﻓْﻄِﺮْ، ﻭَﻗُﻢْ ﻭَﻧَﻢْ، ﻓَﺈِﻥَّ ﻟِﻌَﻴْﻨِﻚَ ﻋَﻠَﻴْﻚَ ﺣَﻈًّﺎ، ﻭَﺇِﻥَّ ﻟِﻨَﻔْﺴِﻚَ ﻭَﺃَﻫْﻠِﻚَ ﻋَﻠَﻴْﻚَ ﺣَﻈًّﺎ 
"Tidakkah disampaikan berita kepadaku bahwa kamu puasa terus dan tidak pernah tidak puasa, shalat malam terus dan tidak pernah tidur? Maka (sekarang) puasalah kamu dan juga tidak puasa (di hari lain), shalat malamlah dan juga tidurlah. Sesungguhnya matamu punya hak atas dirimu, tubuhmu dan keluargamu juga punya hak atas dirimu.”

Dalam kejadian yang lain diriwayatkan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mempersaudarakan antara Salman dan Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhuma. Suatu saat, Salman mengunjungi Abu Darda’. Maka Salman melihat Ummu Darda’ berpakaian lusuh. Salman pun mengatakan kepadanya, “Mengapa kamu demikian?” Ia menjawab, “Saudaramu Abu Darda’ tiada hasrat kepada dunia.” Maka Abu Darda’ datang lalu membuatkan makanan untuk Salman. Salman mengatakan kepada Abu Darda’, “Makanlah!” “Aku berpuasa,” jawabnya. Salman menukas, ”Aku tidak akan makan sampai engkau mau makan.” Akhirnya dia makan. Maka ketika malam harinya, Abu Darda bangun, Salman mengatakan kepadanya, “Tidurlah!” Maka Abu Darda’ tidur lagi, lalu bangun lagi, maka Salman mengatakan lagi kepadanya, “Tidurlah.” Maka ketika pada akhir malam Salman mengatakan, “Bangunlah sekarang,” lalu keduanya melakukan shalat. Selanjutnya Salman mengatakan kepadanya,
ﺇِﻥَّ ﻟِﺮَﺑِّﻚَ ﻋَﻠَﻴْﻚَ ﺣَﻘًّﺎ، ﻭَﻟِﻨَﻔْﺴِﻚَ ﻋَﻠَﻴْﻚَ ﺣَﻘًّﺎ، ﻭَﻷَﻫْﻠِﻚَ ﻋَﻠَﻴْﻚَ ﺣَﻘًّﺎ، ﻓَﺄَﻋْﻂِ ﻛُﻞَّ ﺫِﻯ ﺣَﻖٍّ ﺣَﻘَّﻪُ. ﻓَﺄَﺗَﻰ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰَّ ﺻﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓَﺬَﻛَﺮَ ﺫَﻟِﻚَ ﻟَﻪُ، ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰُّ ﺻﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ﺻَﺪَﻕَ ﺳَﻠْﻤَﺎﻥُ 
"Sesungguhnya Rabbmu punya hak atas dirimu, dirimu sendiri punya hak atas dirimu, dan keluargamu punya hak atas dirimu, maka berikan hak kepada tiap-tiap yang memilikinya.” 
Lantas Abu Darda datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan menyebutkan hal itu kepadanya, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Salman benar.” (Sahih, HR. al-Bukhari) 
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Dalam riwayat Daraquthni ada tambahan,
ﻓَﺼُﻢْ ﻭَﺃَﻓْﻄِﺮْ ﻭَﺻَﻞِّ ﻭَﻧَﻢْ ﻭَﺍﺋْﺖِ ﺃَﻫْﻠَﻚَ 
"Puasalah dan juga jangan puasa (di hari lain), shalatlah dan juga tidurlah, serta gauli istrimu.”

Lalu Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan bahwa dalam kisah tersebut ada pelajaran: 
- Disyariatkannya seorang wanita berhias untuk suaminya. 
- Ada hak wanita atas suaminya yaitu kebaikan dalam hal bergaul. 
- Bisa diambil pula dari kisah tersebut, adanya hak bagi istri untuk digauli. Sebab, Salman radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Keluargamu juga punya hak atas dirimu.” Lalu Salman mengatakan, “gauli istrimu.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pun menyetujui penegasan Salman tersebut.

Dari kisah di atas berikut sejumlah faedah yang dipetik, menunjukkan bahwa seorang suami punya kewajiban untuk menunaikan hak istrinya dalam hal “mencampurinya”. Tidak dibenarkan ia menyepelekan hak tersebut walaupun dengan alasan sibuk dengan ibadah, apalagi dengan alasan yang lain. Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah rahimahullah berpandangan, wajib atas suami untuk menggauli istrinya seukuran kebutuhannya dan selama hal itu tidak memayahkan fisik suami, serta tidak menyibukkannya dari mencari rezeki.

Beliau ditanya tentang seorang suami yang tahan untuk tidak menggauli istrinya satu atau dua bulan, apakah ia berdosa atau tidak? Apakah seorang suami dituntut untuk melakukannya? Jawab beliau, “Wajib atas seorang suami untuk menggauli istrinya dengan baik, dan itu termasuk hak istri yang paling ditekankan atas suami, melebihi hak makannya. Dan menggauli itu wajib. Ada pendapat yang mengatakan wajibnya adalah di tiap empat bulan satu kali. Pendapat lain, ‘Sesuai dengan kebutuhan istrinya dan sesuai dengan kemampuan suami,’ dan ini yang lebih sahih dari dua pendapat ini.” (Majmu’ Fatawa , 32/271)

Beliau juga mengatakan, “… Maka wajib atas masing-masing suami dan istri untuk menunaikan haknya kepada pihak lain dengan penuh kerelaan dan lapang dada. Karena sesungguhnya istri punya hak atas suami dalam hartanya yaitu mahar dan nafkah yang baik, serta hak pada tubuhnya yaitu percampuran dan kenikmatan, yang kalau suami bersumpah untuk tidak menggaulinya, (istri) berhak untuk pisah dengan kesepakatan muslimin. Demikian pula bila suami terputus “alatnya” atau impoten, dan tidak mungkin menggaulinya, maka wanita boleh meminta pisah. Dan menggaulinya itu wajib menurut mayoritas para ulama. Ada juga pendapat lain, itu tidak wajib, cukup hal itu sesuai dorongan nafsu manusiawinya saja. Yang benar, menggauli adalah wajib sebagaimana ditunjukkan oleh al-Qur’an, as-Sunnah, dan pokok-pokok agama. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri pernah mengatakan kepada Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma -ketika beliau memperbanyak puasa dan shalat-, “Sesungguhnya istrimu punya hak atas dirimu.” Kemudian ada yang berpendapat, “Yang wajib atasnya untuk menggaulinya adalah satu kali dalam empat bulan.” Pendapat lain mengatakan, “Wajib menggaulinya dengan cara yang baik sesuai dengan kekuatan suami dan kebutuhan istri, sebagaimana wajibnya menafkahi dengan cara yang baik juga demikian.” Pendapat ini yang lebih benar. Suami boleh menikmatinya kapan suami mau selama tidak mencelakakannya dan tidak menyibukkannya dari yang wajib, maka wajib bagi wanita untuk mempersilakannya juga…. (Majmu’ Fatawa , 28/383-384)

Ada juga beberapa pendapat yang lain, tapi itu lemah. Yang perlu diingat bahwa suatu perbuatan yang wajib, bila kita mengamalkan sebagai ketundukan kita kepada kewajiban tersebut, hal itu adalah ibadah kepada Allah Subhanahu wata’ala, dan tentu mendapatkan pahala. Sebaliknya bila kita meninggalkannya kita akan mendapatkan dosa. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
ﻭَﻓِﻲ ﺑُﻀْﻊِ ﺃَﺣَﺪِﻛُﻢْ ﺻَﺪَﻗَﺔً، ﻓَﻘَﺎﻟُﻮﺍ: ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪ؛ ﺃَﻳَﺄْﺗِﻲ ﺃَﺣَﺪُﻧﺎ ﺷَﻬﻮَﺗَﻪُ، ﻭَﻳَﻜُﻮﻥُ ﻟَﻪُ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺃَﺟْﺮٌ؟! ﻗَﺎﻝَ: ﺃَﺭَﺃَﻳْﺘُﻢْ ﻟَﻮْ ﻭَﺿَﻌَﻬَﺎ ﻓِﻲ ﺣَﺮَﺍﻡٍ؛ ﺃَﻛَﺎﻥَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭِﺯْﺭٌ؟ ﻓَﻜَﺬَﻟِﻚَ ﺇﺫَﺍ ﻭَﺿَﻌﻬَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺤَﻼَﻝِ ﻛَﺎﻥَ ﻟَﻪُ ﺃَﺟْﺮٌ 
"Dan pada ‘percampuran’ seseorang dari kalian ada sedekahnya.” Maka para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah seseorang dari kita yang mendatangi syahwatnya lalu dia dapat pahala karenanya?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Bagaimana menurut kalian, bila ia meletakkannya pada tempat yang haram, bukankah ia akan mendapatkan dosa? Maka demikian pula bila ia meletakkannya pada yang halal maka ia akan mendapatkan pahala.” (Sahih, HR. Muslim)

Semoga kita semua menjadi suami yang bertanggung jawab di hadapan Allah Subhanahu wata’ala sebelum di hadapan manusia. Allah Subhanahu wata’ala sajalah yang memberi taufik.

Sumber : Majalah Asy Syariah