Cari Blog Ini

Selasa, 16 September 2014

Tentang BERLAKU BAIK KEPADA ISTRI

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Pergaulilah mereka (para istri) dengan cara yang baik.” [an-Nisa: 19]

Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya), ” Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf.” [al-Baqarah: 228]

Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashr as-Sa’di mengatakan, “Wajib bagi setiap suami istri, satu dengan yang lainnya untuk bergaul dengan cara yang baik dengan pergaulan yang indah, menahan diri untuk saling menyakiti dan tidak menunda-nunda dalam menunaikan haknya masing-masing.” (Minhajus Salikin hlm. 130)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berbuat baiklah kalian kepada istri.” [Muttafaqun 'alaihi]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﺍﺳْﺘَﻮْﺻُﻮﺍ ﺑِﺎﻟﻨِّﺴَﺎﺀِ ﺧَﻴْﺮًﺍ، ﻓَﺈِﻧَّﻬُﻦَّ ﻋِﻨْﺪَﻛُﻢْ ﻋَﻮَﺍﻥٍ
“Berbuat baiklah kepada wanita. Sesungguhnya istrimu ibarat tawanan di sisimu.” (HR. Ibnu Majah, dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berbuat baiklah kalian kepada istri. Sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Jika engkau ingin meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Tapi jika dibiarkan, akan selalu bengkok. Oleh karena itu, berbuat baiklah (berlemah-lembutlah) kalian kepada istri.” [Bukhari dan Muslim]

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
ﺧَﻴْﺮُﻛُﻢْ ﺧَﻴْﺮُﻛُﻢْ ﻟِﺄَﻫْﻠِﻪِ ﻭَﺃَﻧَﺎ ﺧَﻴْﺮُﻛُﻢْ ﻟِﺄَﻫْﻠِﻲْ
“Yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya, dan aku adalah yang terbaik di antara kalian terhadap istriku.” (Lihat: Silsilah Ash-Shahihah no. 285)

Aisyah radhiyallahu anha mengatakan:
ﻣَﺎ ﺿَﺮَﺏَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓً ﻗَﻂُّ ﻭَﻟَﺎ ﺧَﺎﺩِﻣًﺎ، ﻭﻟَﺎ ﺍﻧْﺘَﻘَﻢَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻟِﻨَﻔْﺴِﻪِ ﻗَﻂُّ ﺇِﻟَّﺎ ﺃَﻥْ ﺗُﻨْﺘَﻬَﻚَ ﺣُﺮْﻣَﺔُ ﺍﻟﻠﻪِ، ﻓَﻴَﻨْﺘَﻘِﻢُ ﻟِﻠَّﻪِ
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah memukulkan tangannya kepada istri maupun pelayan beliau sama sekali, dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga tidak pernah membalas karena pribadi beliau sama sekali, kecuali jika apa yang haramkan oleh Allah dilanggar, maka ketika itu beliau membalas karena Allah.” (Lihat: Shahih Muslim no. 2328)

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
ﻻَ ﻳَﺠْﻠِﺪُ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢُ ﺍﻣْﺮَﺃَﺗَﻪُ ﺟَﻠْﺪَﻩُ ﺍﻟﻌَﺒْﺪَ ﺛُﻢَّ ﻳُﻀَﺎﺟِﻌُﻬَﺎ
“Janganlah salah seorang dari kalian memukul istrinya seperti memukul budaknya, lalu setelah itu dia menggaulinya.”
Dalam riwayat lain disebutkan:
ﻓِﻲْ ﺃَﻭَّﻝِ ﺍﻟﻨَّﻬَﺎﺭِ ﺛُﻢَّ ﻳُﻀَﺎﺟِﻌُﻬَﺎ ﻣِﻦْ ﺁﺧِﺮِﻩِ
“Dia memukulnya di awal siang lalu pada akhirnya dia menggaulinya.” (Lihat: Shahih Al-Bukhary no. 4942, 5204, 6042, dan Shahih Muslim no. 2855)

Mu’awiyah al-Qusyairi, beliau berkata, “Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apa hak istri atas kita?" Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, "Engkau memberinya makan, jika engkau makan; dan engkau memberinya pakaian, jika engkau berpakaian; janganlah engkau memukul wajah, jangan mencelanya, dan jangan memboikot istri kecuali di rumah." (HR. Abu Dawud, Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻟَﺎ ﻳَﻔْﺮَﻙْ ﻣُﺆْﻣِﻦٌ ﻣُﺆْﻣِﻨَﺔً ﺇِﻥْ ﻛَﺮِﻩَ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﺧُﻠُﻘًﺎ ﺭَﺿِﻲَ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﺁﺧَﺮَ
“Janganlah sampai seorang mukmin (suami) membenci mukminah (istri); jika dia tidak suka kepada (beberapa) perangainya, pasti dia akan suka terhadap perangai yang lain.” [HR. Muslim]

Al-Aswad bertanya kepada Aisyah, “Apa kesibukan Rasululloh selama berada di rumah?” Aisyah menjawab, “Beliau biasa membantu pekerjaan rumah.” (HR. al-Bukhori no. 676)

###

SUNAH-SUNAH BERGAUL DENGAN ISTRI

1. Memberikan Senyuman Manis Dihadapan Istri

Rasulullah bersabda:
تبسمك في وجه أخيك لك صدقة
"Senyummu dihadapan saudaramu bernilai shodaqoh untukmu."
Hadits riwayat Tirmidzi.
ini dengan saudaramu, lalu bagaimana pahalanya jika dengan istrimu sendiri?

2. Menyuapi Istri

Rasulullah bersabda:
ﺇِﻧَّﻚَ ﻟَﻦْ ﺗُﻨْﻔِﻖَ ﻧَﻔَﻘَﺔً ﺗَﺒْﺘَﻐِﻲ ﺑِﻬَﺎ ﻭَﺟْﻪَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺇِﻟَّﺎ ﺃُﺟِﺮْﺕَ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﺣَﺘَّﻰ ﻣَﺎ ﺗَﺠْﻌَﻞُ ﻓِﻲ ﻓِﻲ ﺍﻣْﺮَﺃَﺗِﻚَ
"Sesungguhnya tidaklah engkau berinfak sesuatupun dengan berharap wajah Allah (ikhlash) kecuali engkau akan diberi ganjaran, bahkan sampai makanan yang engkau suapkan ke mulut istrimu."
[HR Al-Bukhari no 56 dan Muslim no 1628]

3. Bersikap Romantis, Dengan Meminum Bekas Minuman Istri Yang Ada Liurnya

Dari 'Aisyah -رضي الله عنه- :
ﻛُﻨْﺖُ ﺃَﺷْﺮَﺏُ ﻭَﺃَﻧَﺎ ﺣَﺎﺋِﺾٌ، ﺛُﻢَّ ﺃُﻧَﺎﻭِﻟُﻪُ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻓَﻴَﻀَﻊُ ﻓَﺎﻩُ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻮْﺿِﻊِ ﻓِﻲَّ، ﻓَﻴَﺸْﺮَﺏُ، ﻭَﺃَﺗَﻌَﺮَّﻕُ ﺍﻟْﻌَﺮْﻕَ ﻭَﺃَﻧَﺎ ﺣَﺎﺋِﺾٌ، ﺛُﻢَّ ﺃُﻧَﺎﻭِﻟُﻪُ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻓَﻴَﻀَﻊُ ﻓَﺎﻩُ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻮْﺿِﻊِ ﻓِﻲَّ
Artinya:
"Aisyah berkata: 'Ketika saya haid, saya pernah minum, lalu sisa minuman saya berikan kepada Rasulullah. Rasul kemudian meletakkan bibirnya persis di tempat bibir saya menempel, kemudian beliau minum. Saya juga pernah menggigit daging ketika saya sedang haidh, kemudian saya berikan sisanya kepada Rasulullah, dan beliau meletakkan bibirnya persis di mana bibir saya menempel." (HR. Muslim)

4. Bersandar Di Pangkuan Istri

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al Bukhari (297) dan Muslim (301) disebutkan:
ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻛَﺎﻥَ ﻳَﺘَّﻜِﺊُ ﻓِﻲ ﺣَﺠْﺮِﻱ ﻭَﺃَﻧَﺎ ﺣَﺎﺋِﺾٌ ﺛُﻢَّ ﻳَﻘْﺮَﺃُ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ
"Bahwasanya Nabi ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ bersandar di pangkuanku dan aku dalam keadaan haid, lantas beliau membaca Al Qur`an."

5. Mandi Bersama Dari Satu Bejana

Dalam hadits-hadits yang diriwayatkan oleh 'Aisyah, Ummu Salamah, Maimunah, dan Ibnu Umar -رضي الله عنهم- :
"Dahulu Nabi mandi bersama istrinya dari satu bejana, hingga suatu ketika Rasul bersabda:
أبقي لي
"Sisakan (air) untukku."
Dan istri beliau juga berkata: "Sisakan air juga untukku ya Rasul."
[hadits Muttafaqun 'alaih]

6. 'Bermain-main(ملاعبة)' Dengan Istri, Dan Menggoda Istri

Rasulullah berkata kepada Jabir:
ﻫَﻼَ ﺑِﻜْﺮًﺍ ﺗَﻼَ ﻋِﺒُﻬَﺎ ﻭَ ﺗُﻼَﻋِﺒُﻚَ
Mengapa bukan (yang masih) perawan, (hingga) engkau bisa bermain-main dengannya, dan ia pun bisa bermain-main denganmu?"

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu’anha ia berkata:
ﺃَﻧَّﻬَﺎ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﻣَﻊَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻓِﻲْ ﺳَﻔَﺮٍ ﻭَﻫِﻲَ ﺟَﺎﺭِﻳَﺔٌ، ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻷَﺻْﺤَﺎﺑِﻪِ: ﺗَﻘَﺪَّﻣُﻮْﺍ ﻓَﺘَﻘَﺪَّﻣُﻮْﺍ ﺛُﻢَّ ﻗَﺎﻝَ ﻟَﻬَﺎ: ﺗَﻌَﺎﻟَﻲْ ﺃُﺳَﺎﺑِﻘْﻚِ
“Bahwasanya dia pernah bersama Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam dalam sebuah perjalanan, sedangkan ketika itu Aisyah adalah seorang gadis (belum gemuk). Lalu Nabi berkata kepada para sahabatnya : “Majulah kalian.” Maka para sahabat bergegas maju. Kemudian Nabi berkata kepada Aisyah : “Kesinilah, ayo lomba lari.”
Indah bukan?

7. Membantunya Dalam Urusan-urusan Rumah Tangga

Dalam sebuah hadis sahih disebutkan bahwa:
ﻣﺎَ ﻳَﺼْﻨَﻊُ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻓِﻲْ ﺑَﻴْﺘِﻪِ، ﻳَﺨْﺼِﻒُ ﺍﻟﻨَّﻌْﻞَ ﻭَﻳَﺮْﻗَﻊُ ﺍﻟﺜَّﻮْﺏَ ﻭَﻳُﺨِﻴْﻂُ
“Beliau mengerjakan apa yang biasa dikerjakan salah seorang kalian di rumahnya. Beliau menambal sandalnya, menambal bajunya, dan menjahitnya.”
Masya Allah, contoh dari seorang Nabi yang mulia.

8. Membersihkan Mulut Untuk Sang Istri

Berkata 'Aisyah -رضي الله عنها-
كان رسول الله إذا دخل بيته بدأ بالسواك
"Dahulu Nabi jika hendak masuk rumah beliau, beliau mendahulukan bersiwak." [Riwayat Muslim]

Termasuk juga di sini adalah memakai minyak wangi dan berhias untuk istri.
Berkata Ibnu Abbas:
إني أحب أن أتزين لها كما أحب أن تتزين لي
"Sesungguhnya aku suka untuk aku berhias untuk istriku, sebagaimana aku suka dia berhias untukku."

WA Berbagi Faedah [WBF] |  https://jendelasunnah.com

###

Tiba saatnya bagimu untuk mengetahui bahwasanya wanita itu memiliki kecemasan dan kesedihan yang melebihi kecemasan dan kesedihanmu. Dia begitu halus perasaannya, butuh orang yang mengobati kesedihannya dan membantunya menyediakan waktu untuknya. Maka jika engkau —wahai suami yang penyayang— jauh darinya, enggan membantunya dan mengobatinya, lalu kepada siapa ia kan menuju? Sementara ia tidak ridho selainmu sebagai teman dan ia tidak ingin selainmu sebagai dokter yang mengobati keresahannya.
Ketahuilah, tinggalnya ia di rumah tidak memberinya kesempatan untuk beristirahat dan menikmati ketenangan, karena di sisinya ada anak-anak yang harus diasuhnya dan dididiknya agar mereka dapat tumbuh dengan baik. Semua itu membutuhkan kesungguhan diri, hati dan jasmani darinya yang lebih besar dari kesungguhan yang engkau curahkan di kantormu atau di pabrikmu.
Andai engkau bergantian tugas dengannya, engkau tidak akan
mampu mengembannya walau hanya sesaat di siang hari.
Bagaimana tidak? Sedangkan Rasulullah menyamakan tugasnya dalam rumah tangga dengan jihad di jalan Allah, padahal jihad adalah puncaknya Islam.
(Dari kitab: Sirri wa Lirrijal Faqad, Najla' Ahmad Az Zahar, hal. 10)

FORUM SALAFY INDONESIA

###

asy-Syaikh Muhammad bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah

Seorang penanya berkata:
Nabi -shallallahu alaihi wa sallam- telah berwasiat untuk memperlakukan/mempergauli para wanita (istri-istri kita) dengan baik. Maka bagaimanakah bentuk pergaulan yang baik kepada mereka (para istri) dalam kondisi mereka juga banyak kesalahannya?

Jawaban:
Bentuk pergaulan yang baik kepada mereka (isteri) :
Yang pertama, adalah dengan bersabar terhadap mereka, mengajari mereka, mendidik mereka adab yang baik, dan menghasung mereka untuk berpegang teguh dengan syariat, yaitu Al Quran dan Sunnah.
Kemudian setelah itu, dengan menunjukkan kasih sayang kita kepada mereka. Dengan perkataan yang indah pergaulan yang baik memberikan hadiah, dan yang semisalnya. Kemudian juga dengan berlemah lembut kepada mereka ketika muncul dari mereka sebuah kesalahan, karena wanita (isteri itu) memikul tanggung jawab pekerjaan rumah tangga yang terkadang menimbulkan rasa tertekan pada diri mereka sehingga menyebabkan mereka terjatuh pada kesalahan.
Maka yang wajib atas kalian (para suami) adalah berbuat baik kepada mereka, karena Allah -Jalla wa Ala- memerintahkan hal ini, Allah berfirman:
Dan pergaulilah mereka dengan baik! (An-Nisa': 19)
Allah memerintahkan untuk mempergauli/memperlakukan mereka dengan baik.
Dan hendaknya engkau menjauhkan diri dari memukul wanita walaupun dia berbuat kesalahan dengan tidak menunaikan hakmu. Sesungguhnya Aisyah, ibunda kaum mukminin, -radhiyallahu anha- berkata:
Tidak pernah sekalipun Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- memukul wanita (isterinya) maupun pelayan dengan tangan beliau. Dahulu beliau -alaihi ash-sholatu wa as-salaamu- terkadang memberikan hukuman kepada istri-istri beliau (dalam rangka mendidik, pen) dalam bentuk hajr (boikot) jika mereka berbuat kesalahan.
Maka engkau -wahai saudara penanya-, wajib atasmu untuk bersikap baik dengan perkataan maupun perbuatan, maka engkau akan mendapati kebaikan dari istrimu -insya Allah Tabaraka wa Taala-.
Jika engkau bersabar, engkau akan bisa bersenang-senang dengan wanita di atas kebengkokan yang ada pada dirinya. Jika engkau tidak mampu bersabar, engkau gelisah dan marah lalu engkau berusaha untuk meluruskannya, maka bisa jadi engkau akan mematahkannya yang itu bermakna menceraikannya.
Nabi -shallallahu alaihi wa sallam- bersabda:
Janganlah seorang mumin membenci seorang muminah. Jika dia membenci dari dirinya suatu akhlak, dia akan ridha akhlak yang lain yang ada padanya.
Maka yang wajib atasmu, jika engkau melihat dari istrimu sesuatu yang membuatmu tidak suka/benci, maka ingatlah amalan-amalan baiknya, sesungguhnya hal itu bisa menghilangkan kesedihanmu dengan izin Allah -Tabaraka wa Taala-.
Kesimpulan dari ini semua, hubungan suami istri akan bisa langgeng dengan baiknya pergaulan di antara keduanya.

Sumber:
ar .miraath .net/fatwah/10966

Alih bahasa : Abu Luqman

Majmuah Manhajul Anbiya

###

Asy-Syaikh Muhammad bin Hady Al-Madkhaly hafizhahullah

Wahai segenap ikhwah, memukul istri walaupun diperbolehkan tetapi hal itu bukan perkara yang disukai oleh para suami yang mulia dan memiliki keutamaan. Oleh karena inilah Aisyah radhiyallahu anha mengatakan:
مَا ضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ امْرَأَةً قَطُّ وَلَا خَادِمًا، ولَا انْتَقَمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ قَطُّ إِلَّا أَنْ تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللهِ، فَيَنْتَقِمُ لِلَّهِ
“Rasulullah shallallahu alaihi was sallam tidak pernah memukulkan tangannya kepada istri maupun pelayan beliau sama sekali, dan Rasulullah shallallahu alaihi was sallam juga tidak pernah membalas karena pribadi beliau sama sekali, kecuali jika apa yang haramkan oleh Allah dilanggar, maka ketika itu beliau membalas karena Allah.” (Lihat: Shahih Muslim no. 2328 –pent)

Rasulullah shallallahu alaihi was sallam tidak pernah memukul istri. Jadi memukul istri dibenci oleh para pria yang berakal, cerdas, mulia, dan memiliki keutamaan. Perkara ini mereka benci. Oleh karena inilah Nabi shallallahu alaihi was sallam lebih menekankan makna ini padahal hukumnya mubah. Beliau shallallahu alaihi was sallam bersabda:
لاَ يَجْلِدُ أَحَدُكُمُ امْرَأَتَهُ جَلْدَهُ العَبْدَ ثُمَّ يُضَاجِعُهَا
“Janganlah salah seorang dari kalian memukul istrinya seperti memukul budaknya, lalu setelah itu dia menggaulinya.”

Dalam riwayat lain disebutkan:
فِيْ أَوَّلِ النَّهَارِ ثُمَّ يُضَاجِعُهَا مِنْ آخِرِهِ
“Dia memukulnya di awal siang lalu pada akhirnya dia menggaulinya.” (Lihat: Shahih Al-Bukhary no. 4942, 5204, 6042, dan Shahih Muslim no. 2855 –pent)

Bagaimana engkau memukulnya dan mencambuknya seperti memukul budak, dan setelah itu engkau ingin dirinya melayanimu di ranjangmu dengan senang hati, tidak mungkin. Maka Nabi shallallahu alaihi was sallam memperingatkan dari akhlak yang tercela semacam ini.

Walaupun boleh memberi hukuman terhadap istri, sebagaimana firman Allah:
وَاللَّاتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِيْ الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ
“Dan para istri yang kalian khawatirkan sikap nusyuz (tidak mentaati suami dalam perkara yang ma’ruf –pent), maka nasehatilah mereka, tinggalkan mereka di tempat tidur mereka sendirian, dan pukullah mereka.” (QS. An-Nisa’: 34)

Namun Allah menjadikan pukulan sebagai jalan terakhir. Di samping itu pukulan ini disyaratkan oleh para ulama bahwa hal itu hanya berupa dorongan ringan ke dada dan tamparan yang tidak sampai mematahkan tulang dan tidak menyebabkan luka. Tidak boleh misalnya engkau memukul bagian matanya hingga bengkak, atau memukul telinganya hingga terlepas anting-antingnya, semacam ini tidak boleh. Dan memukul wajah hukumnya haram dan Nabi shallallahu alaihi was sallam telah melarangnya.

Walaupun demikian di pengadilan engkau masih mendengar banyak pengaduan para suami memukul istri, dan ini merupakan akhlak yang tercela yang telah diperingatkan darinya oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan apa yang telah kalian dengar, yaitu: “Janganlah salah seorang dari kalian memukul istrinya seperti memukul budaknya, lalu setelah itu dia menggaulinya.”

Sumber:
http://forumsalafy.net/memukul-istri-bukan-sifat-suami-yang-baik/

###

Pertanyaan: 

Saya membaca majalah Asy-Syariah dalam rubrik “Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah” tentang istri yang rajin beribadah, namun enggan taat kepada suami. Yang saya ingin tanyakan, bagaimana jika suami yang taat ibadah namun tak peduli dengan istri, tiap malam istri tidur sendirian. Bagaimana jika istri juga tidak ridha, diterimakah amal ibadah suami, sedangkan istri tersakiti batinnya? Bukankah berumah tangga itu termasuk ibadah?

Jawab: 
(Dijawab oleh al-Ustadz Qomar Suaidi)

Soal suami yang taat ibadah namun kurang perhatian terhadap istri; tentang ibadahnya, apabila memang terpenuhi syarat, rukun, dan kewajibannya, maka tetap diterima. Namun, sikapnya yang tidak memerhatikan istri juga tidak dibenarkan. Coba perhatikan riwayat berikut ini.

Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma ia berkata, “Ayahku menikahkan aku dengan seorang wanita yang bernasab mulia, maka ayah senantiasa mengontrol menantunya. Ayah menanyakan tentang suaminya (yakni anaknya). Menantunya pun menjawab, “Dia sebaik-baik pria, tidak pernah meniduri kasur kami, dan tidak pernah membuka-buka tutup sejak kami datang.” Maka setelah hal itu berlangsung lama pada dirinya, ayah melaporkan hal itu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka beliau berkata, “Pertemukan aku dengannya.” Setelah itu aku bertemu dengan beliau. 
Beliau bertanya kepadaku, “Bagaimana kamu berpuasa?” 
“Setiap hari,” jawabku. 
“Bagaimana kamu mengkhatamkan al-Qur’an?” tanya beliau. 
“Tiap malam,” jawabku. 
“Kalau begitu puasalah tiap bulan tiga hari dan khatamkan al-Qur’an tiap bulan.” 
Aku menjawab,“Aku mampu lebih banyak dari itu.” 
“Puasalah tiga hari setiap sepekan,” perintah beliau. 
“Aku mampu lebih banyak dari itu,” jawabku. 
“Berbukalah dua hari dan berpuasalah satu hari.” 
“Aku mampu lebih banyak dari itu,” jawabku. 
“Puasalah dengan puasa yang paling utama, puasa Dawud, puasa satu hari dan tidak puasa satu hari, dan khatamkanlah al-Qur’an tiap tujuh malam satu kali.” 
Dalam riwayat yang lain beliau berkata,
ﺃَﻟَﻢْ ﺃُﺧْﺒَﺮْ ﺃَﻧَّﻚَ ﺗَﺼُﻮﻡُ ﻭَﻻَ ﺗُﻔْﻄِﺮُ، ﻭَﺗُﺼَﻠِّﻰ ﻭَﻻَ ﺗَﻨَﺎﻡُ، ﻓَﺼُﻢْ ﻭَﺃَﻓْﻄِﺮْ، ﻭَﻗُﻢْ ﻭَﻧَﻢْ، ﻓَﺈِﻥَّ ﻟِﻌَﻴْﻨِﻚَ ﻋَﻠَﻴْﻚَ ﺣَﻈًّﺎ، ﻭَﺇِﻥَّ ﻟِﻨَﻔْﺴِﻚَ ﻭَﺃَﻫْﻠِﻚَ ﻋَﻠَﻴْﻚَ ﺣَﻈًّﺎ 
"Tidakkah disampaikan berita kepadaku bahwa kamu puasa terus dan tidak pernah tidak puasa, shalat malam terus dan tidak pernah tidur? Maka (sekarang) puasalah kamu dan juga tidak puasa (di hari lain), shalat malamlah dan juga tidurlah. Sesungguhnya matamu punya hak atas dirimu, tubuhmu dan keluargamu juga punya hak atas dirimu.”

Dalam kejadian yang lain diriwayatkan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mempersaudarakan antara Salman dan Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhuma. Suatu saat, Salman mengunjungi Abu Darda’. Maka Salman melihat Ummu Darda’ berpakaian lusuh. Salman pun mengatakan kepadanya, “Mengapa kamu demikian?” Ia menjawab, “Saudaramu Abu Darda’ tiada hasrat kepada dunia.” Maka Abu Darda’ datang lalu membuatkan makanan untuk Salman. Salman mengatakan kepada Abu Darda’, “Makanlah!” “Aku berpuasa,” jawabnya. Salman menukas, ”Aku tidak akan makan sampai engkau mau makan.” Akhirnya dia makan. Maka ketika malam harinya, Abu Darda bangun, Salman mengatakan kepadanya, “Tidurlah!” Maka Abu Darda’ tidur lagi, lalu bangun lagi, maka Salman mengatakan lagi kepadanya, “Tidurlah.” Maka ketika pada akhir malam Salman mengatakan, “Bangunlah sekarang,” lalu keduanya melakukan shalat. Selanjutnya Salman mengatakan kepadanya,
ﺇِﻥَّ ﻟِﺮَﺑِّﻚَ ﻋَﻠَﻴْﻚَ ﺣَﻘًّﺎ، ﻭَﻟِﻨَﻔْﺴِﻚَ ﻋَﻠَﻴْﻚَ ﺣَﻘًّﺎ، ﻭَﻷَﻫْﻠِﻚَ ﻋَﻠَﻴْﻚَ ﺣَﻘًّﺎ، ﻓَﺄَﻋْﻂِ ﻛُﻞَّ ﺫِﻯ ﺣَﻖٍّ ﺣَﻘَّﻪُ. ﻓَﺄَﺗَﻰ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰَّ ﺻﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓَﺬَﻛَﺮَ ﺫَﻟِﻚَ ﻟَﻪُ، ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰُّ ﺻﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ﺻَﺪَﻕَ ﺳَﻠْﻤَﺎﻥُ 
"Sesungguhnya Rabbmu punya hak atas dirimu, dirimu sendiri punya hak atas dirimu, dan keluargamu punya hak atas dirimu, maka berikan hak kepada tiap-tiap yang memilikinya.” 
Lantas Abu Darda datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan menyebutkan hal itu kepadanya, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Salman benar.” (Sahih, HR. al-Bukhari) 
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Dalam riwayat Daraquthni ada tambahan,
ﻓَﺼُﻢْ ﻭَﺃَﻓْﻄِﺮْ ﻭَﺻَﻞِّ ﻭَﻧَﻢْ ﻭَﺍﺋْﺖِ ﺃَﻫْﻠَﻚَ 
"Puasalah dan juga jangan puasa (di hari lain), shalatlah dan juga tidurlah, serta gauli istrimu.”

Lalu Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan bahwa dalam kisah tersebut ada pelajaran: 
- Disyariatkannya seorang wanita berhias untuk suaminya. 
- Ada hak wanita atas suaminya yaitu kebaikan dalam hal bergaul. 
- Bisa diambil pula dari kisah tersebut, adanya hak bagi istri untuk digauli. Sebab, Salman radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Keluargamu juga punya hak atas dirimu.” Lalu Salman mengatakan, “gauli istrimu.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pun menyetujui penegasan Salman tersebut.

Dari kisah di atas berikut sejumlah faedah yang dipetik, menunjukkan bahwa seorang suami punya kewajiban untuk menunaikan hak istrinya dalam hal “mencampurinya”. Tidak dibenarkan ia menyepelekan hak tersebut walaupun dengan alasan sibuk dengan ibadah, apalagi dengan alasan yang lain. Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah rahimahullah berpandangan, wajib atas suami untuk menggauli istrinya seukuran kebutuhannya dan selama hal itu tidak memayahkan fisik suami, serta tidak menyibukkannya dari mencari rezeki.

Beliau ditanya tentang seorang suami yang tahan untuk tidak menggauli istrinya satu atau dua bulan, apakah ia berdosa atau tidak? Apakah seorang suami dituntut untuk melakukannya? Jawab beliau, “Wajib atas seorang suami untuk menggauli istrinya dengan baik, dan itu termasuk hak istri yang paling ditekankan atas suami, melebihi hak makannya. Dan menggauli itu wajib. Ada pendapat yang mengatakan wajibnya adalah di tiap empat bulan satu kali. Pendapat lain, ‘Sesuai dengan kebutuhan istrinya dan sesuai dengan kemampuan suami,’ dan ini yang lebih sahih dari dua pendapat ini.” (Majmu’ Fatawa , 32/271)

Beliau juga mengatakan, “… Maka wajib atas masing-masing suami dan istri untuk menunaikan haknya kepada pihak lain dengan penuh kerelaan dan lapang dada. Karena sesungguhnya istri punya hak atas suami dalam hartanya yaitu mahar dan nafkah yang baik, serta hak pada tubuhnya yaitu percampuran dan kenikmatan, yang kalau suami bersumpah untuk tidak menggaulinya, (istri) berhak untuk pisah dengan kesepakatan muslimin. Demikian pula bila suami terputus “alatnya” atau impoten, dan tidak mungkin menggaulinya, maka wanita boleh meminta pisah. Dan menggaulinya itu wajib menurut mayoritas para ulama. Ada juga pendapat lain, itu tidak wajib, cukup hal itu sesuai dorongan nafsu manusiawinya saja. Yang benar, menggauli adalah wajib sebagaimana ditunjukkan oleh al-Qur’an, as-Sunnah, dan pokok-pokok agama. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri pernah mengatakan kepada Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma -ketika beliau memperbanyak puasa dan shalat-, “Sesungguhnya istrimu punya hak atas dirimu.” Kemudian ada yang berpendapat, “Yang wajib atasnya untuk menggaulinya adalah satu kali dalam empat bulan.” Pendapat lain mengatakan, “Wajib menggaulinya dengan cara yang baik sesuai dengan kekuatan suami dan kebutuhan istri, sebagaimana wajibnya menafkahi dengan cara yang baik juga demikian.” Pendapat ini yang lebih benar. Suami boleh menikmatinya kapan suami mau selama tidak mencelakakannya dan tidak menyibukkannya dari yang wajib, maka wajib bagi wanita untuk mempersilakannya juga…. (Majmu’ Fatawa , 28/383-384)

Ada juga beberapa pendapat yang lain, tapi itu lemah. Yang perlu diingat bahwa suatu perbuatan yang wajib, bila kita mengamalkan sebagai ketundukan kita kepada kewajiban tersebut, hal itu adalah ibadah kepada Allah Subhanahu wata’ala, dan tentu mendapatkan pahala. Sebaliknya bila kita meninggalkannya kita akan mendapatkan dosa. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
ﻭَﻓِﻲ ﺑُﻀْﻊِ ﺃَﺣَﺪِﻛُﻢْ ﺻَﺪَﻗَﺔً، ﻓَﻘَﺎﻟُﻮﺍ: ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪ؛ ﺃَﻳَﺄْﺗِﻲ ﺃَﺣَﺪُﻧﺎ ﺷَﻬﻮَﺗَﻪُ، ﻭَﻳَﻜُﻮﻥُ ﻟَﻪُ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺃَﺟْﺮٌ؟! ﻗَﺎﻝَ: ﺃَﺭَﺃَﻳْﺘُﻢْ ﻟَﻮْ ﻭَﺿَﻌَﻬَﺎ ﻓِﻲ ﺣَﺮَﺍﻡٍ؛ ﺃَﻛَﺎﻥَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭِﺯْﺭٌ؟ ﻓَﻜَﺬَﻟِﻚَ ﺇﺫَﺍ ﻭَﺿَﻌﻬَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺤَﻼَﻝِ ﻛَﺎﻥَ ﻟَﻪُ ﺃَﺟْﺮٌ 
"Dan pada ‘percampuran’ seseorang dari kalian ada sedekahnya.” Maka para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah seseorang dari kita yang mendatangi syahwatnya lalu dia dapat pahala karenanya?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Bagaimana menurut kalian, bila ia meletakkannya pada tempat yang haram, bukankah ia akan mendapatkan dosa? Maka demikian pula bila ia meletakkannya pada yang halal maka ia akan mendapatkan pahala.” (Sahih, HR. Muslim)

Semoga kita semua menjadi suami yang bertanggung jawab di hadapan Allah Subhanahu wata’ala sebelum di hadapan manusia. Allah Subhanahu wata’ala sajalah yang memberi taufik.

Sumber : Majalah Asy Syariah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar