Fadhilah asy-Syaikh al-Allamah Shalih bin Fauzan al-Fauzan
Di antara hal-hal yang diada-adakan oleh umat manusia dari PERBUATAN-PERBUATAN BIDAH MUNKARAH adalah Perayaan Peringatan Maulid Nabi pada bulan Rabiul Awwal. Mereka dalam perayaan tersebut ada bermacam-macam:
Di antara mereka ada yang menjadikan perayaan itu dalam bentuk berkumpul, dibacakan padanya kisah Maulid, atau disajikan padanya khutbah-khutbah atau kasidah-kasidah pada kesempatan tersebut.
Di antara mereka ada yang membuat makanan, manisan, dll disuguhkan kepada siapa yang hadir.
Di antara mereka ada yang mengadakan perayaan Maulid di masjid-masjid.
Di antara mereka ada yang mengadakan perayaan Maulid di rumah-rumah.
Di antara mereka yang tidak sebatas pada apa yang telah disebut di atas, namun ada di antara mereka yang menjadikan acara perayaan ini dipenuhi dengan berbagai keharaman dan kemungkaran berupa ikhtilath (campur baur) antara pria dan wanita, raqsh (tarian), dan nyanyian. Atau bahkan amalan-amalan syirkiyyah, seperti beristighosah kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, memanggil-manggil dan memohon agar mendapat pertolongan dari musuh, dll.
Maka itu, dengan segala macam dan perbedaan bentuk, serta perbedaan dalam hal niat para pelakunya, semua itu adalah BIDAH, HARAM, dan PERKARA BARU YANG DIBUAT-BUAT, (yang muncul) pada masa yang sangat jauh berlalu setelah Kurun Yang Mulia (yaitu masa para Shahabat, Tabiin dan Tabi Tabiin)
WhatsApp Miratsul Anbiya Indonesia
###
Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu
Perayaan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seperti yang anda ketahui adalah perayaan yang:
1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mengamalkannya, begitu pula Al-Khulafa Ar-Rasyidun, para sahabat secara keseluruhan, tidak pula para tabiin sepeninggal mereka. Sedangkan mereka adalah orang yang paling mengerti dengan sunnah nabi-Nya, paling cinta kepada beliau, paling tunduk dan patuh terhadap syariat yang dibawanya, dibandingkan generasi setelahnya. Kalau seandainya perayaan maulid termasuk dari kebaikan tentunya mereka akan mendahului kita dalam amalan ini.
2. Seperti yang telah anda ketahui bahwa yang memulai perayaan ini adalah Pemerintah daulah Al-Fathimiyyah Al-Ubaidiyyah dari kalangan zindiq pada abad ke-empat hijriyah (memerintah tahun 357-567 H).
3. Perayaan ini memiliki keserupaan dengan nashara yang mereka merayakan kelahiran Isa bin Maryam alaihissalam. Sedangkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang ummatnya untuk meniru, mencontoh, dan menyerupai, serta mengikuti kebiasaan Ahlul Kitab dari kalangan Yahudi dan Nashara.
4. Sesungguhnya dengan adanya hal-hal baru dalam syariat, dengan adanya perayaan maulid, dipahami bahwa Allah subhanahu wata’ala belum menyempurnakan syariat-Nya bagi hamba-hamba-Nya, atau Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam belum menyampaikan semua risalah yang seharusnya diamalkan oleh umatnya, begitu pula para sahabat belum menyampaikan kepada generasi setelahnya yang ini tentunya merupakan bentuk pengagungan, kecintaan, serta ketundukan mereka kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
إنه لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ
“Tidaklah Allah mengutus seorang rasulpun, kecuali wajib baginya untuk mengarahkan (membimbing) umatnya kepada kebaikan yang mereka ketahui bagi mereka” (HR. Muslim)
Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam adalah sebaik-baik para nabi, serta khatimun nabiyyin (penutup para nabi), sekaligus nabi yang paling sempurna dalam menyampaikan risalah-Nya dan nasehat kepada umatnya. Kalau perayaan maulid termasuk bagian dari Islam, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pasti akan menjelaskan kepada umatnya, atau mengamalkannya semasa hidup beliau, demikian pula para shahabat radhiyallahu 'anhum pasti akan mengadakan perayaan tersebut.
Dan janganlah anda mengatakan: “Rasulullah tidak mengamalkan acara maulid karena tawadhu.” Ini adalah penghinaan serta pelecehan terhadap beliau shallallahu 'alaihi wasallam karena ucapan seperti ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah mengurangi atau menyembunyikan satu perkara kebaikan kepada ummatnya, sungguh ini adalah sesuatu yang mustahil ada pada diri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Di samping itu, ucapan seperti ini juga mengandung celaan kepada para shahabatnya yang telah Allah ta’ala berikan tazkiyah (pujian) sebagaimana dalam firman-Nya bahwa mereka telah mengurangi acara perayaan maulid atau mereka belum mengerti tentang amalan tersebut.
Maka bertakwalah kepada Allah, ambillah jalan-jalan (prinsip beragama) dari orang-orang sebelum kalian dari kalangan para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
5. Menghidupkan malam perayaan maulid tidaklah menunjukkan kecintaan seseorang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Berapa banyak anda saksikan dan anda dengar orang-orang yang menghidupkan malam perayaan ini, mereka adalah orang-orang yang sangat jauh dari petunjuk Al-Musthafa shallallahu 'alaihi wasallam, banyak di antara mereka adalah orang-orang fasiq, fajir, melakukan riba, bermudah-mudahan dalam meninggalkan shalat lima waktu, menyepelekan sunnah nabi-Nya, baik secara lahir (terang-terangan) maupun batin (tersembunyi), dan juga mereka dikenal banyak melakukan kemaksiatan dan dosa serta bergelimang dengan amalan keji dan membinasakan.
Tanda kecintaan seseorang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam harus dibuktikan dengan apa yang difirmankan Allah ta’ala dalam frman-Nya:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ
“Katakanlah (wahai Muhammad): Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi kalian.” (Ali ‘Imran: 31)
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
“Semua umatku akan masuk al-jannah (surga), kecuali orang yang enggan.” Para sahabat bertanya: “Siapa yang enggan, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Barang siapa yang yang menaatiku, maka dia akan masuk al-jannah, dan barangsiapa yang mendurhakaiku maka dia telah enggan.” (HR. Al-Bukhari)
Kecintaan yang jujur kepada beliau shallallahu 'alaihi wasallam harus dibuktikan dengan upaya untuk mengikuti dan berpegang teguh dengan petunjuknya, baik secara lahir maupun batin, menempuh jalannya, meneladani beliau dalam ucapan, perbuatan, sifat, dan akhlak beliau shallallahu 'alaihi wasallam.
Seorang penyair berkata:
لَوْ كَانَ حُبُّكَ صَادِقًا لأَطَعْتَهُ
لأَنَّ الْمُحِبَّ لِمَنْ يُحَبُّ مُطِيْعٌ
Kalau kecintaanmu jujur, niscaya kamu akan menaatinya
Karena orang yang mencintai akan tunduk dan patuh kepada yang dicintai
6. Para ulama menyebutkan banyaknya kejelekan dan kemungkaran yang terjadi dari acara perayaan ini. Ini pun diakui pula oleh orang yang ikut dan hadir acara tersebut. Dan di antara kemungkaran yang terjadi pada perayaan ini adalah ucapan-ucapan yang mengandung kesyirikan dan ghuluw (berlebihan/melampaui batas) dalam menyanjung Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, mereka melantunkan beberapa bait syair yang diharamkan, meminta pertolongan, berdoa dan memohon kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, meyakini bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengetahui ilmu ghaib seperti apa yang disebutkan dalam kitab Qashidah Al-Bushiri
يَا أَكْرَمَ الْخَلْقِ مَالِيْ مَنْ أَلُوْذُ بِهِ
سِوَاكَ عِنْدَ حُدُوْثِ الْحَادِثِ الْعَمِمِ
فَإِنَّ مِنْ جُوْدِكَ الدُّنْيَا وَضَرَّاتِهَا
وَمِنْ عُلُوْمِكَ عِلْمُ اللَّوْحِ وَالْقَلَمِ
Wahai sebaik-baik manusia, kepada siapa lagi aku berlindung
Kecuali kepadamu, ketika terjadi musibah yang merata
Sesungguhnya di antara kedermawananmu adalah adanya dunia dan isinya
Dan sebagian pengetahuanmu, adalah ilmu Al-Lauh dan pena (taqdir)
Pada acara tersebut juga terjadi ikhtilat (campur baur) antara laki-laki dan perempuan, permainan alat musik, merokok, berlebihan dalam menyanjung wali-wali, dan banyak kemungkaran yang lainnya, sampai-sampai ada yang mengutamakan malam tersebut daripada malam Lailatul Qadar. Bahkan sebagian mereka mengkafirkan orang-orang yang tidak ikut merayakan perayaan maulid.
(Diterjemahkan secara ringkas dari Kitab Ash-Shufiyyah Fi Mizanil Kitabi Was Sunnah, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, hal. 44-47)
Situs Resmi Mahad As-Salafy
2015/1435 H
###
Fadhilatusy-Syaikh al-Allamah Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah
• Pernyataan mereka bahwa di dalam perayaan Maulid Nabi tersebut terkandung nilai pengagungan terhadap Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Jawaban terhadap hal ini (syubhat ini) kita katakan:
Sikap pengagungan terhadap Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah dengan menaati beliau, menjalankan perintah beliau, menjauhi larangan beliau, dan mencintai beliau shallallahu alaihi wa sallam. Pengagungan terhadap beliau bukanlah dengan amalan-amalan bidah, khurafat, dan kemaksiatan. Dan perayaan maulid (hari kelahiran) masuk ke dalam bagian yang tercela ini, karena termasuk kemaksiatan. Manusia yang paling kuat sikap pengagungannya kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah para sahabat radhiyallahu anhum.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Urwah bin Masud kepada kaum Quraisy:
“Wahai sekalian kaum! Demi Allah, aku pernah berjumpa dengan kisra, kaisar, dan juga raja-raja yang lainnya, akan tetapi aku tidak pernah melihat seorang raja diagungkan oleh para pengikutnya sebagaimana Muhammad shallallahu alihi wa sallam diagungkan oleh para sahabatnya. Demi Allah, mereka tidak berani mengangkat pandangan mereka ke arahnya sebagai bentuk pengagungan terhadap dirinya.”
Bersamaan dengan kuatnya sikap pengagungan para sahabat yang seperti ini, mereka tidak pernah menjadikan hari kelahiran beliau sebagai hari id dan perayaan. Kalau seandainya hal itu disyariatkan, tentu mereka tidak akan meninggalkannya.
• Berdalih bahwasanya perayaan Maulid Nabi ini diamalkan oleh kebanyakan manusia di berbagai negeri.
Jawaban dari syubhat ini, kita katakan:
Hujjah (yang bisa diterima) adalah keterangan yang telah pasti datangnya dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Keterangan yang telah pasti dari Rasul shallallahu alaihi wa sallam adalah LARANGAN terhadap amalan-amalan bidah secara umum, dan (amalan Maulid ini) termasuk salah satunya. Amalan manusia, jika menyelisihi dalil, maka bukanlah hujjah, walaupun banyak yang mengamalkannya.
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang ada di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (al-Anam: 116)
Senantiasa ada —segala puji hanya bagi Allah— pada setiap masa orang-orang yang mengingkari amalan bidah ini dan menjelaskan kebatilannya. Maka tidak ada lagi hujjah yang tersisa bagi mereka-mereka yang masih terus melakukan bidah ini setelah jelas kebenaran bagi mereka.
Di antara para ulama yang mengingkari perayaan bidah ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di dalam kitab Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim, al-Imam asy-Syathiby di kitab al-Ithisham, Ibnu al-Hajj di al-Madkhal, asy-Syaikh Tajuddin Ali bin Umar al-Lakhmy menulis pengingkaran beliau pada satu kitab tersendiri, asy-Syaikh Muhammad Basyir as-Sahsuwany al-Hindy di kitab beliau Shiyanat al-Insan, Sayyid Muhammad Rasyid Ridho (salah satu tokoh mutazilah di zaman ini) menulis sebuah risalah tersendiri, asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh menulis sebuah risalah tersendiri pula, Samahatu asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, dan yang selain mereka dari para ulama yang tak henti-hentinya menulis pengingkaran terhadap bidah ini setiap tahunnya di berbagai surat kabar dan majalah pada waktu dilakukannya perayaan bidah ini.
• Mereka berkata: Sesungguhnya dengan mengadakan perayaan Maulid Nabi itu, kita menghidupkan upaya mengingat/menyebut nama Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Jawaban dari syubhat ini, kita katakan:
Menghidupkan upaya untuk mengingat/menyebut (nama) Nabi shallallahu alaihi wa sallam haruslah sesuai dengan apa yang Allah syariatkan, seperti menyebut nama (mengingat nama beliau) dalam adzan, iqomah, khutbah-khutbah, dalam shalat-shalat, ketika tasyahhud, ketika bershalawat atas beliau, membaca sunnah (hadits-hadits) beliau, dan dengan mengikuti ajaran yang beliau diutus dengannya. Amalan-amalan tersebut terus-menerus terulang siang dan malam, bukan hanya sekali dalam setahun.
• Mungkin mereka mengatakan:
Perayaan Maulid Nabi ini, pertama kali yang mengadakannya adalah seorang raja yang adil dan berilmu dalam rangka untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah!
Jawaban dari syubhat ini, kita katakan:
Amalan bidah tidak akan diterima dari siapapun yang mengamalkannya. Niat yang baik tidak bisa menjadi dalih untuk membolehkan amalan yang jelek. Kondisi orang yang mengamalkannya itu berilmu dan adil bukanlah jaminan bahwa dia terjaga dari kesalahan.
• Mereka mengatakan, Sesungguhnya Perayaan Maulid Nabi itu termasuk jenis bidah hasanah. Karena dengan perayaan tersebut, kita bisa mengungkapkan rasa syukur kita kepada Allah atas nikmat berupa diutusnya Nabi yang mulia ini!
Syubhat ini dijawab :
TIDAK ADA KEBAIKAN sedikitpun dalam amalan-amalan bidah. Nabi shallallahu alihi wa sallam telah bersabda:
“Barangsiapa membuat-buat amalan baru di dalam agama ini yang bukan bagian darinya, maka amalan tersebut tertolak.”
Kita katakan juga:
Mengapa perayaan yang terkandung padanya ungkapan rasa syukur ini, menurut persangkaan kalian, baru diadakan di akhir-akhir abad ke-6 hijriyah?! Dan tidak pernah diadakan oleh generasi utama umat Islam dari kalangan sahabat, tabiin, dan atba at-tabiin. Padahal mereka itu lebih kuat kecintaannya kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan lebih semangat di dalam mengamalkan kebaikan dan merealisasikan rasa syukur. Apakah mungkin orang-orang yang membuat-buat bidah perayaan Maulid itu lebih terbimbing dan lebih bisa bersyukur kepada Allah daripada mereka (sahabat, tabiin, dan atba at-tabiin)?! Hal ini tidaklah mungkin, dan sekali-kali tidak!
WhatsApp Miratsul Anbiya Indonesia