Cari Blog Ini

Selasa, 30 Desember 2014

Tentang PERAYAAN DAN PERINGATAN MAULID NABI

Fadhilah asy-Syaikh al-Allamah Shalih bin Fauzan al-Fauzan

Di antara hal-hal yang diada-adakan oleh umat manusia dari PERBUATAN-PERBUATAN BIDAH MUNKARAH adalah Perayaan Peringatan Maulid Nabi pada bulan Rabiul Awwal. Mereka dalam perayaan tersebut ada bermacam-macam:
Di antara mereka ada yang menjadikan perayaan itu dalam bentuk berkumpul, dibacakan padanya kisah Maulid, atau disajikan padanya khutbah-khutbah atau kasidah-kasidah pada kesempatan tersebut.
Di antara mereka ada yang membuat makanan, manisan, dll disuguhkan kepada siapa yang hadir.
Di antara mereka ada yang mengadakan perayaan Maulid di masjid-masjid.
Di antara mereka ada yang mengadakan perayaan Maulid di rumah-rumah.
Di antara mereka yang tidak sebatas pada apa yang telah disebut di atas, namun ada di antara mereka yang menjadikan acara perayaan ini dipenuhi dengan berbagai keharaman dan kemungkaran berupa ikhtilath (campur baur) antara pria dan wanita, raqsh (tarian), dan nyanyian. Atau bahkan amalan-amalan syirkiyyah, seperti beristighosah kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, memanggil-manggil dan memohon agar mendapat pertolongan dari musuh, dll.
Maka itu, dengan segala macam dan perbedaan bentuk, serta perbedaan dalam hal niat para pelakunya, semua itu adalah BIDAH, HARAM, dan PERKARA BARU YANG DIBUAT-BUAT, (yang muncul) pada masa yang sangat jauh berlalu setelah Kurun Yang Mulia (yaitu masa para Shahabat, Tabiin dan Tabi Tabiin)

WhatsApp Miratsul Anbiya Indonesia

###

Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu

Perayaan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seperti yang anda ketahui adalah perayaan yang:

1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mengamalkannya, begitu pula Al-Khulafa Ar-Rasyidun, para sahabat secara keseluruhan, tidak pula para tabiin sepeninggal mereka. Sedangkan mereka adalah orang yang paling mengerti dengan sunnah nabi-Nya, paling cinta kepada beliau, paling tunduk dan patuh terhadap syariat yang dibawanya, dibandingkan generasi setelahnya. Kalau seandainya perayaan maulid termasuk dari kebaikan tentunya mereka akan mendahului kita dalam amalan ini.

2. Seperti yang telah anda ketahui bahwa yang memulai perayaan ini adalah Pemerintah daulah Al-Fathimiyyah Al-Ubaidiyyah dari kalangan zindiq pada abad ke-empat hijriyah (memerintah tahun 357-567 H).

3. Perayaan ini memiliki keserupaan dengan nashara yang mereka merayakan kelahiran Isa bin Maryam alaihissalam. Sedangkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang ummatnya untuk meniru, mencontoh, dan menyerupai, serta mengikuti kebiasaan Ahlul Kitab dari kalangan Yahudi dan Nashara.

4. Sesungguhnya dengan adanya hal-hal baru dalam syariat, dengan adanya perayaan maulid, dipahami bahwa Allah subhanahu wata’ala belum menyempurnakan syariat-Nya bagi hamba-hamba-Nya, atau Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam belum menyampaikan semua risalah yang seharusnya diamalkan oleh umatnya, begitu pula para sahabat belum menyampaikan kepada generasi setelahnya yang ini tentunya merupakan bentuk pengagungan, kecintaan, serta ketundukan mereka kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
إنه لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ
“Tidaklah Allah mengutus seorang rasulpun, kecuali wajib baginya untuk mengarahkan (membimbing) umatnya kepada kebaikan yang mereka ketahui bagi mereka” (HR. Muslim)
Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam adalah sebaik-baik para nabi, serta khatimun nabiyyin (penutup para nabi), sekaligus nabi yang paling sempurna dalam menyampaikan risalah-Nya dan nasehat kepada umatnya. Kalau perayaan maulid termasuk bagian dari Islam, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pasti akan menjelaskan kepada umatnya, atau mengamalkannya semasa hidup beliau, demikian pula para shahabat radhiyallahu 'anhum pasti akan mengadakan perayaan tersebut.
Dan janganlah anda mengatakan: “Rasulullah tidak mengamalkan acara maulid karena tawadhu.” Ini adalah penghinaan serta pelecehan terhadap beliau shallallahu 'alaihi wasallam karena ucapan seperti ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah mengurangi atau menyembunyikan satu perkara kebaikan kepada ummatnya, sungguh ini adalah sesuatu yang mustahil ada pada diri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Di samping itu, ucapan seperti ini juga mengandung celaan kepada para shahabatnya yang telah Allah ta’ala berikan tazkiyah (pujian) sebagaimana dalam firman-Nya bahwa mereka telah mengurangi acara perayaan maulid atau mereka belum mengerti tentang amalan tersebut.
Maka bertakwalah kepada Allah, ambillah jalan-jalan (prinsip beragama) dari orang-orang sebelum kalian dari kalangan para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.

5. Menghidupkan malam perayaan maulid tidaklah menunjukkan kecintaan seseorang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Berapa banyak anda saksikan dan anda dengar orang-orang yang menghidupkan malam perayaan ini, mereka adalah orang-orang yang sangat jauh dari petunjuk Al-Musthafa shallallahu 'alaihi wasallam, banyak di antara mereka adalah orang-orang fasiq, fajir, melakukan riba, bermudah-mudahan dalam meninggalkan shalat lima waktu, menyepelekan sunnah nabi-Nya, baik secara lahir (terang-terangan) maupun batin (tersembunyi), dan juga mereka dikenal banyak melakukan kemaksiatan dan dosa serta bergelimang dengan amalan keji dan membinasakan.
Tanda kecintaan seseorang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam harus dibuktikan dengan apa yang difirmankan Allah ta’ala dalam frman-Nya:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ ۝
“Katakanlah (wahai Muhammad): Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi kalian.” (Ali ‘Imran: 31)
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
“Semua umatku akan masuk al-jannah (surga), kecuali orang yang enggan.” Para sahabat bertanya: “Siapa yang enggan, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Barang siapa yang yang menaatiku, maka dia akan masuk al-jannah, dan barangsiapa yang mendurhakaiku maka dia telah enggan.” (HR. Al-Bukhari)
Kecintaan yang jujur kepada beliau shallallahu 'alaihi wasallam harus dibuktikan dengan upaya untuk mengikuti dan berpegang teguh dengan petunjuknya, baik secara lahir maupun batin, menempuh jalannya, meneladani beliau dalam ucapan, perbuatan, sifat, dan akhlak beliau shallallahu 'alaihi wasallam.
Seorang penyair berkata:
لَوْ كَانَ حُبُّكَ صَادِقًا لأَطَعْتَهُ  
لأَنَّ الْمُحِبَّ لِمَنْ يُحَبُّ مُطِيْعٌ
Kalau kecintaanmu jujur, niscaya kamu akan menaatinya
Karena orang yang mencintai akan tunduk dan patuh kepada yang dicintai

6. Para ulama menyebutkan banyaknya kejelekan dan kemungkaran yang terjadi dari acara perayaan ini. Ini pun diakui pula oleh orang yang ikut dan hadir acara tersebut. Dan di antara kemungkaran yang terjadi pada perayaan ini adalah ucapan-ucapan yang mengandung kesyirikan dan ghuluw (berlebihan/melampaui batas) dalam menyanjung Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, mereka melantunkan beberapa bait syair yang diharamkan, meminta pertolongan, berdoa dan memohon kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, meyakini bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengetahui ilmu ghaib seperti apa yang disebutkan dalam kitab Qashidah Al-Bushiri
يَا أَكْرَمَ الْخَلْقِ مَالِيْ مَنْ أَلُوْذُ بِهِ              
سِوَاكَ عِنْدَ حُدُوْثِ الْحَادِثِ الْعَمِمِ
فَإِنَّ مِنْ جُوْدِكَ الدُّنْيَا وَضَرَّاتِهَا              
وَمِنْ عُلُوْمِكَ عِلْمُ اللَّوْحِ وَالْقَلَمِ
Wahai sebaik-baik manusia, kepada siapa lagi aku berlindung
Kecuali kepadamu, ketika terjadi musibah yang merata
Sesungguhnya di antara kedermawananmu adalah adanya dunia dan isinya
Dan sebagian pengetahuanmu, adalah ilmu Al-Lauh dan pena (taqdir)

Pada acara tersebut juga terjadi ikhtilat (campur baur) antara laki-laki dan perempuan, permainan alat musik, merokok, berlebihan dalam menyanjung wali-wali, dan banyak kemungkaran yang lainnya, sampai-sampai ada yang mengutamakan malam tersebut daripada malam Lailatul Qadar. Bahkan sebagian mereka mengkafirkan orang-orang yang tidak ikut merayakan perayaan maulid.

(Diterjemahkan secara ringkas dari Kitab Ash-Shufiyyah Fi Mizanil Kitabi Was Sunnah, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, hal. 44-47)

Situs Resmi Mahad As-Salafy
2015/1435 H

###

Fadhilatusy-Syaikh al-Allamah Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah

• Pernyataan mereka bahwa di dalam perayaan Maulid Nabi tersebut terkandung nilai pengagungan terhadap Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Jawaban terhadap hal ini (syubhat ini) kita katakan:
Sikap pengagungan terhadap Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah dengan menaati beliau, menjalankan perintah beliau, menjauhi larangan beliau, dan mencintai beliau shallallahu alaihi wa sallam. Pengagungan terhadap beliau bukanlah dengan amalan-amalan bidah, khurafat, dan kemaksiatan. Dan perayaan maulid (hari kelahiran) masuk ke dalam bagian yang tercela ini, karena termasuk kemaksiatan. Manusia yang paling kuat sikap pengagungannya kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah para sahabat radhiyallahu anhum.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Urwah bin Masud kepada kaum Quraisy:
“Wahai sekalian kaum! Demi Allah, aku pernah berjumpa dengan kisra, kaisar, dan juga raja-raja yang lainnya, akan tetapi aku tidak pernah melihat seorang raja diagungkan oleh para pengikutnya sebagaimana Muhammad shallallahu alihi wa sallam diagungkan oleh para sahabatnya. Demi Allah, mereka tidak berani mengangkat pandangan mereka ke arahnya sebagai bentuk pengagungan terhadap dirinya.”
Bersamaan dengan kuatnya sikap pengagungan para sahabat yang seperti ini, mereka tidak pernah menjadikan hari kelahiran beliau sebagai hari id dan perayaan. Kalau seandainya hal itu disyariatkan, tentu mereka tidak akan meninggalkannya.

• Berdalih bahwasanya perayaan Maulid Nabi ini diamalkan oleh kebanyakan manusia di berbagai negeri.

Jawaban dari syubhat ini, kita katakan:
Hujjah (yang bisa diterima) adalah keterangan yang telah pasti datangnya dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Keterangan yang telah pasti dari Rasul shallallahu alaihi wa sallam adalah LARANGAN terhadap amalan-amalan bidah secara umum, dan (amalan Maulid ini) termasuk salah satunya. Amalan manusia, jika menyelisihi dalil, maka bukanlah hujjah, walaupun banyak yang mengamalkannya.
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang ada di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (al-Anam: 116)
Senantiasa ada —segala puji hanya bagi Allah— pada setiap masa orang-orang yang mengingkari amalan bidah ini dan menjelaskan kebatilannya. Maka tidak ada lagi hujjah yang tersisa bagi mereka-mereka yang masih terus melakukan bidah ini setelah jelas kebenaran bagi mereka.
Di antara para ulama yang mengingkari perayaan bidah ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di dalam kitab Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim, al-Imam asy-Syathiby di kitab al-Ithisham, Ibnu al-Hajj di al-Madkhal, asy-Syaikh Tajuddin Ali bin Umar al-Lakhmy menulis pengingkaran beliau pada satu kitab tersendiri, asy-Syaikh Muhammad Basyir as-Sahsuwany al-Hindy di kitab beliau Shiyanat al-Insan, Sayyid Muhammad Rasyid Ridho (salah satu tokoh mutazilah di zaman ini) menulis sebuah risalah tersendiri, asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh menulis sebuah risalah tersendiri pula, Samahatu asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, dan yang selain mereka dari para ulama yang tak henti-hentinya menulis pengingkaran terhadap bidah ini setiap tahunnya di berbagai surat kabar dan majalah pada waktu dilakukannya perayaan bidah ini.

• Mereka berkata: Sesungguhnya dengan mengadakan perayaan Maulid Nabi itu, kita menghidupkan upaya mengingat/menyebut nama Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Jawaban dari syubhat ini, kita katakan:
Menghidupkan upaya untuk mengingat/menyebut (nama) Nabi shallallahu alaihi wa sallam haruslah sesuai dengan apa yang Allah syariatkan, seperti menyebut nama (mengingat nama beliau) dalam adzan, iqomah, khutbah-khutbah, dalam shalat-shalat, ketika tasyahhud, ketika bershalawat atas beliau, membaca sunnah (hadits-hadits) beliau, dan dengan mengikuti ajaran yang beliau diutus dengannya. Amalan-amalan tersebut terus-menerus terulang siang dan malam, bukan hanya sekali dalam setahun.

• Mungkin mereka mengatakan:
Perayaan Maulid Nabi ini, pertama kali yang mengadakannya adalah seorang raja yang adil dan berilmu dalam rangka untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah!

Jawaban dari syubhat ini, kita katakan:
Amalan bidah tidak akan diterima dari siapapun yang mengamalkannya. Niat yang baik tidak bisa menjadi dalih untuk membolehkan amalan yang jelek. Kondisi orang yang mengamalkannya itu berilmu dan adil bukanlah jaminan bahwa dia terjaga dari kesalahan.

• Mereka mengatakan, Sesungguhnya Perayaan Maulid Nabi itu termasuk jenis bidah hasanah. Karena dengan perayaan tersebut, kita bisa mengungkapkan rasa syukur kita kepada Allah atas nikmat berupa diutusnya Nabi yang mulia ini!

Syubhat ini dijawab :
TIDAK ADA KEBAIKAN sedikitpun dalam amalan-amalan bidah. Nabi shallallahu alihi wa sallam telah bersabda:
“Barangsiapa membuat-buat amalan baru di dalam agama ini yang bukan bagian darinya, maka amalan tersebut tertolak.”
Kita katakan juga:
Mengapa perayaan yang terkandung padanya ungkapan rasa syukur ini, menurut persangkaan kalian, baru diadakan di akhir-akhir abad ke-6 hijriyah?! Dan tidak pernah diadakan oleh generasi utama umat Islam dari kalangan sahabat, tabiin, dan atba at-tabiin. Padahal mereka itu lebih kuat kecintaannya kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan lebih semangat di dalam mengamalkan kebaikan dan merealisasikan rasa syukur. Apakah mungkin orang-orang yang membuat-buat bidah perayaan Maulid itu lebih terbimbing dan lebih bisa bersyukur kepada Allah daripada mereka (sahabat, tabiin, dan atba at-tabiin)?! Hal ini tidaklah mungkin, dan sekali-kali tidak!

WhatsApp Miratsul Anbiya Indonesia

Tentang MENJAGA PENAMPILAN DAN MENYEBUT-NYEBUT NIKMAT DALAM RANGKA BERSYUKUR

Allah Subhanahu wata'ala berfirman:
“Dan adapun nikmat Rabbmu maka ceritakanlah.” (adh-Dhuha: 11)
Apabila seseorang memiliki kekayaan yang digunakannya untuk hidup nyaman dan senang, apakah bersesuaian dengan apa yang dimaukan oleh ayat di atas?

Jawab:

Samahatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullah menjawab, “Makna ayat tersebut adalah Allah Subhanahu wata'ala memerintah Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam untuk menyebut-nyebut berbagai nikmat-Nya sehingga beliau bisa bersyukur kepada-Nya dengan ucapan sebagaimana beliau mensyukuri-Nya dengan amalan.
Menyebut-nyebut nikmat misalnya seorang muslim berkata, “Sungguh kita dalam keadaan baik, alhamdulillah.”
“Di sisi kita ada kebaikan yang banyak.”
“Kita beroleh nikmat yang sangat banyak, kita harus bersyukur kepada Allah Subhanahu wata'ala atas nikmat tersebut.”
Ia tidak boleh berkata, “Kita orang miskin.”
“Kita tidak punya apa-apa,” dsb.
Tidak pantas ia berkata demikian padahal ia mendapat kecukupan dari Allah Subhanahu wata'ala. Semestinya, ia bersyukur kepada Allah Subhanahu wata'ala dan menyebut-nyebut berbagai nikmat-Nya. Ia harus mengakui kebaikan yang Dia berikan kepadanya.
Ia tidak boleh menyebut-nyebut kefakirannya, seperti mengatakan, “Kami tidak punya harta, tidak punya pakaian.”
“Tidak punya ini, tidak punya itu.”
Akan tetapi, ia harus menyebut nikmat Allah Subhanahu wata'ala yang diterimanya dan mensyukuri Rabbnya.
Apabila Allah Subhanahu wata'ala memberikan kenikmatan kepada hamba-Nya, Dia senang pengaruh nikmat tersebut terlihat pada si hamba, dalam pakaian yang dikenakan, makanan, dan minumannya. Jangan malah ia tampil sebagaimana penampilan seorang fakir (makan minumnya seperti seorang fakir). Allah Subhanahu wata'ala telah memberinya harta dan melapangkan hidupnya, tidak semestinya pakaian dan makanannya seperti seorang fakir. Seharusnya ia menampakkan nikmat-nikmat Allah Subhanahu wata'ala tersebut dalam hal makanan, minuman, dan pakaiannya.
Akan tetapi, tidak boleh dipahami bahwa hal ini berarti membolehkan hidup berlebih-lebihan yang melampaui batas hingga mencapai ghuluw, sebagaimana tidak bolehnya israf (berlebih-lebihan) dan tabdzir (boros).”
(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 4/118—119)

Sumber: Asy Syariah Edisi 074

Tentang MENGADAKAN PESTA SYUKURAN ATAU ACARA MAKAN-MAKAN

Ditulis Oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman

Walimah adalah sebutan untuk undangan makan. Secara bahasa walimah menurut Ibnul A’robiy adalah berkumpulnya orang-orang untuk makanan yang dihidangkan dalam suasana kegembiraan. Definisi ini dinisbatkan kepada asy-Syafi’i dan para Sahabatnya, Ibnu Abdil Bar dari para Ahli Bahasa (Arab) (al-Majmu’ syarhul Muhadzdzab karya anNawawiy (16/393)).
Walimah itu ada 3 macam:

1. Walimah yang terkait dengan syariat, karena ada perintah khusus untuk mengerjakannya. Maka ini adalah Sunnah.
Contoh: Walimah Urs (pernikahan) dan walimah yang terkait dengan kelahiran, yaitu ‘aqiqoh.
Konotasi kata walimah secara asal adalah utk hidangan makanan pada pernikahan.
Nabi memerintahkan kepada Abdurrohman bin Auf untuk menyelenggarakan walimah setelah beliau menikah:
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
Adakan walimah meski dengan seekor kambing. (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik)
Memang walimah tidak terkait dengan keabsahan pernikahan. Artinya, jika karena suatu sebab hanya akad nikah namun tidak ada walimah maka yang demikian pernikahannya tetap sah. Sebagaimana dijelaskan dalam salah satu Fatwa al-Lajnah ad-Daimah.
Tentang aqiqah, Nabi shollallahu alaihi wasallam menyatakan:
الْغُلَامُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُسَمَّى وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ
Anak (yang baru lahir) tergadaikan dengan aqiqahnya. Ia disembelihkan (kambing) pada hari ketujuh (kelahiran), diberi nama, dan dipotong rambutnya. (H.R atTirmidzi, Ibnu Majah)

2. Walimah yang tidak terkait dengan syariat, hanya adat.
Maka yang demikian boleh dilaksanakan selama:
a) Tidak memberatkan
b) Tidak ada keyakinan tertentu bahwa walimah itu bisa menyebabkan hal tertentu (menolak musibah, dsb).
c) Orang yang meninggalkan atau tidak mengerjakannya tidak dicela.
d) Tidak ada acara-acara pendukung di dalamnya yang mengandung kesyirikan, kebid’ahan, atau kemaksiatan.
e) Tidak dijadikan sebagai sunnah (kebiasaan terus menerus dan dijadikan syiar).
Contoh walimah yang tidak terkait dengan syariat ini adalah: walimah untuk yang menempati rumah baru. Selama tidak diiringi keyakinan yang batil bahwa walimah itu bisa mencegah datangnya keburukan dan tidak dijadikan sebagai hal yang terkait syariat, maka tidak mengapa. Tapi kalau itu dijadikan sebagai sunnah, sehingga kalau menempati rumah baru kemudian tidak ada walimah-nya terasa tidak afdhal, maka yang demikian tidak boleh.
Terdapat Fatwa Syaikh Sholih al-Fauzan dalam hal ini:
لقد انتقلنا إلى بيت جديد ونريد أن نعد وليمة بقصد التعريف بالمنزل وجمع الجيران والأقارب والأصدقاء، فما حكم ذلك؟ لا بأس بعمل الوليمة بمناسبة النزول في بيت جديد لجمع الأصدقاء والأقارب إذا كان هذا من باب الفرح والسرور، أما إن صاحب ذلك اعتقاد أن هذه الوليمة تدفع شر الجن، فهذا العمل لا يجوز، لأنه شرك واعتقاد فاسد، أما إذا كان من باب العادات فلا بأس به
Pertanyaan:
Kami telah berpindah ke rumah baru. Kami ingin mempersiapkan walimah dengan tujuan mengenalkan rumah baru dan mengumpulkan tetangga-tetangga, saudara, dan teman-teman. Apa hukum yang demikian?
Jawaban:
Tidak mengapa mengadakan walimah karena menempati rumah baru dengan mengumpulkan teman dan kaum kerabat jika hal ini termasuk memberikan kegembiraan. Sedangkan orang yang meyakini bahwa walimah ini bisa mencegah keburukan Jin, maka amalan ini tidak diperbolehkan. Karena itu adalah kesyirikan dan i’tiqod yang buruk. Adapun jika termasuk hal yang terkait adat (bukan ibadah, pent) maka yang demikian tidak mengapa (al-Muntaqa min Fataawa al-Fauzan (94/16)).
Contoh lain walimah yang masuk kategori ini adalah walimatul khitan. Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fataawa membolehkannya.
Demikian juga dengan walimah yang diadakan oleh seseorang yang baru mendapatkan keselamatan dari musibah.
Terdapat Fatwa Syaikh Ibn Sholih al-Utsaimin rahimahullah dalam hal tersebut:
السؤال: فضيلة الشيخ! ما حكم إقامة الوليمة بمناسبة سلامة الشخص من الحادث؟
الجواب: لا حرج على الإنسان إذا سلم من حادث أن يصنع طعاماً ويوزعه على الفقراء شكراً لله تعالى على هذه النعمة، ولهذا قال كعب بن مالك: (إن من توبتي أن أنخلع من مالي صدقة إلى الله ورسوله). وأما أن يصنع طعام ويدعى إليه الأحباب والأقارب والجيران فهذا ليس بقربة، ولكنه ليس ببدعة؛ لأنه لا يتخذ على أنه عبادة، ولكنه من باب الفرح، فلا بأس به
Pertanyaan:
Fadhilatusy Syaikh! Apa hukum menegakkan walimah karena keselamatan seseorang dari suatu kecelakaan?
Jawaban:
Tidak mengapa bagi seseorang jika selamat dari suatu kecelakaan untuk membuat makanan dan membagikannya kepada fakir miskin sebagai bentuk syukur kepada Allah Ta’ala atas kenikmatan tersebut. (Sahabat Nabi) Ka’ab bin Malik berkata: Sesungguhnya termasuk bagian dari taubatku adalah aku menyerahkan hartaku sebagai shodaqoh kepada Allah dan RasulNya. Adapun membuat makanan dan mengundang orang-orang tercinta, karib kerabat, dan tetangga maka ini bukanlah qurbah (ibadah). Hal ini bukan bid’ah. Karena ia tidak menjadikannya sebagai ibadah. Tetapi karena bergembira. Maka yang demikian tidak mengapa. (Liqo’ al-Baab al-Maftuh (102/7))
Contoh lain walimah yang masuk kategori ini adalah walimah karena baru pulang dari safar. Ungkapan syukur karena diberi keselamatan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menyatakan:
ومثل ذلك ما يفعله بعض الناس عند القدوم من السفر يدعو أقاربه وجيرانه شكرا لله على السلامة فإن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا قدم من سفر نحر جزورا ودعا الناس لذلك عليه الصلاة والسلام
Dan semisal dengan itu adalah apa yang dilakukan sebagian orang ketika baru datang dari safar mengundang para kerabat dan tetangga sebagai bentuk syukur kepada Allah karena diberi keselamatan. Karena Nabi alaihishholaatu was salaam jika beliau pulang dari safar beliau menyembelih unta dan mengundang manusia untuk hidangan itu. (Nuurun alad Darb, kaset no 837)

3. Walimah yang terlarang.
Contoh: walimah yang diadakan dalam suasana duka meninggalnya seseorang. Para Sahabat Nabi menganggapnya sebagai niyahah (meratap).
عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ كُنَّا نَرَى الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنْ النِّيَاحَةِ
Dari Jarir bin Abdillah al-Bajaliy beliau berkata: Kami menganggap berkumpulnya orang-orang di tempat keluarga mayit dan mereka membuatkan makanan adalah termasuk meratap (niyahah). (riwayat Ibnu Majah dan Ahmad)
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah menyatakan:
وَأَكْرَهُ النِّيَاحَةَ على الْمَيِّتِ بَعْدَ مَوْتِهِ وَأَنْ تَنْدُبَهُ النَّائِحَةُ على الِانْفِرَادِ لَكِنْ يُعَزَّى بِمَا أَمَرَ اللَّهُ عز وجل من الصَّبْرِ وَالِاسْتِرْجَاعِ وَأَكْرَهُ الْمَأْتَمَ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ وَإِنْ لم يَكُنْ لهم بُكَاءٌ فإن ذلك يُجَدِّدُ الْحُزْنَ
Saya membenci meratapi mayit setelah kematiannya dan aku tidak suka untuk menganggap baik bagi orang yang meratap dibiarkan sendiri. Akan tetapi semestinya dilakukan takziyah terhadapnya (dikuatkan hatinya) sesuai dengan yang Allah perintahkan berupa kesabaran dan istirja’ (mengucapkan inna lillaahi wa innaa ilahi rooji’un). Dan saya tidak menyukai al-Ma’tam, yaitu berkumpulnya orang-orang (di tempat mayit) meskipun di sana tidak ada tangisan. Karena yang demikian akan memperbaharui perasaan sedih. (al-Umm (1/279))
Walimah pada dasarnya dilakukan dalam suasana kegembiraan, bukan karena duka cita.

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam walimah adalah jangan hanya mengundang orang kaya saja, tapi yang perlu mendapat perhatian khusus adalah orang-orang fakir/miskin.
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى لَهَا الْأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ
Seburuk-buruk makanan adalah makanan walimah, yang diundang padanya adalah para orang kaya dan ditinggalkan orang-orang fakirnya. (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Salafy.or.id