Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin
Ash-sharf secara bahasa berarti memindah dan mengembalikan. Sedangkan secara istilah fuqaha, definisi ash-sharf adalah jual beli alat bayar (emas, perak dan mata uang) dengan alat bayar sejenis atau beda jenis.
Ulama Syafi’iyyah dan yang lainnya membedakan: bila sejenis (emas dengan emas, perak dengan perak) disebut murathalah dan bila beda jenis (emas dengan perak atau sebaliknya) disebut ash-sharf.
Adapun mata uang dengan mata uang lebih dominan disebut ash-sharf.
Telah dijelaskan bahwa naqd (alat bayar) adalah salah satu bagian dari dua bagian hasil klasifikasi barang-barang jenis riba. Telah dijelaskan pula bahwa bila terjadi jual beli sesama jenis maka harus tamatsul (kesamaan timbangan) dan taqabudh (serah terima di tempat), dan bila lain jenis harus taqabudh boleh tafadhul (selisih timbangan).
[Untuk lebih jelasnya, silakan baca postingan sebelumnya: Tentang RIBA DALAM JUAL BELI]
Yang perlu dipahami adalah bahwa masing-masing mata uang yang beredar di dunia ini adalah jenis tersendiri (rupiah jenis tersendiri, real jenis tersendiri, dst). Sehingga bila terjadi tukar-menukar uang sejenis haruslah taqabudh dan tamatsul. Misalnya, uang Rp. 100.000,00 ditukar dengan pecahan Rp. 10.000,00, maka nominalnya harus sama. Bila tidak, berarti terjatuh dalam riba fadhl. Selain itu juga harus serah terima di tempat. Bila tidak, berarti terjatuh dalam riba nasi`ah. Bila tidak tamatsul dan tidak taqabudh, berarti terjatuh dalam riba fadhl dan riba nasi`ah sekaligus.
Namun bila mata uangnya berlainan jenis (misal dolar ditukar dengan rupiah), maka harus taqabudh dan boleh tafadhul. Misalnya, 1 dolar bernilai Rp. 10.000,00, bisa ditukar Rp. 9.500,00 atau Rp. 10.500,00, namun harus serah terima di tempat. Wallahu a’lam.
Masalah 1: Taqabudh (serah terima di tempat) dalam bab ash-sharf adalah syarat sah.
Ini adalah pendapat mayoritas besar ulama, bahkan dinukilkan adanya ijma’. Namun Ibnu ‘Ulayyah berpendapat boleh berpisah tanpa taqabudh, sebagaimana dinukil oleh Al-Imam An-Nawawi.
Dalil jumhur ulama adalah:
1. Hadits Al-Bara` bin ‘Azib dan Zaid bin Arqam:
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang jual beli emas dengan perak secara hutang.” (Muttafaqun ‘alaih)
2. Hadits Abu Bakrah, dia berkata:
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan kami untuk membeli perak dengan emas sekehendak kami dan membeli emas dengan perak sekehendak kami, bila tangan dengan tangan (taqabudh/serah terima di tempat).” (Muttafaqun ‘alaih)
Dengan dasar di atas, maka tidak boleh jual beli emas dengan perak dengan sistem tempo bila alat bayarnya adalah mata uang. Begitu pula tidak boleh jual beli mata uang secara tempo bila alat bayarnya adalah emas atau perak. Ini adalah fatwa para ulama kontemporer. Wallahul muwaffiq.
Masalah 2: Apakah taqabudh harus segera ataukah boleh ada masa jeda?
Yang rajih dari pendapat para ulama adalah pendapat jumhur bahwa taqabudh itu boleh tarakhi (ada masa jeda setelah akad), walaupun sehari, dua hari, atau tiga hari, ataupun berpindah tempat, selama kedua pihak masih belum berpisah. Dalilnya adalah sebagai berikut:
1. Disebutkan dalam Ash-Shahihain bahwa Malik bin Aus bin Hadatsan datang sambil berkata: “Siapa yang mau menukar dirham?” Maka Thalhah bin Ubaidillah berkata –dan ‘Umar berada di sisinya–: “Tunjukkan kepadaku emasmu, kemudian nanti engkau datang lagi setelah pembantuku datang, lalu aku berikan perak kepadamu.” ‘Umar pun menimpali: “Tidak boleh. Demi Allah, engkau berikan perak kepadanya atau engkau kembalikan emasnya.”
Dalam lafadz Al-Bukhari disebutkan: Thalhah pun mengambil emas tersebut, lalu dia bolak-balikkan di telapak tangannya dan berkata: “Nanti hingga pembantuku datang dari hutan.” ‘Umar lalu berkata: “Demi Allah, engkau tidak boleh berpisah dengannya sampai engkau mengambil (perak dari pembantumu).” ‘Umar kemudian menyebutkan hadits:
“Emas dengan emas adalah riba, kecuali ha` (berikan) dengan ha` (ambil).”
2. Ucapan ‘Umar dengan sanad yang shahih: “Bila salah seorang dari kalian melakukan ash-sharf dengan temannya, maka janganlah berpisah dengannya hingga dia mengambilnya. Bila dia meminta tunggu hingga masuk rumahnya, jangan beri dia masa tunggu tadi. Sebab saya khawatir engkau terkena riba.”
Pendapat ini dirajihkan oleh Al-Imam Asy-Syaukani dalam An-Nail. Wallahu a’lam.
Yang dimaksud dengan majelis akad adalah tempat jual beli, baik keduanya berjalan, berdiri, duduk atau dalam kendaraan. Sementara yang dimaksud dengan berpisah di sini adalah pisah badan, dan hal itu kembali kepada kebiasaan masyarakat setempat (‘urf).
Bila pihak money changer tidak punya sisa uang dan harus pergi ke tempat lain, maka pihak penukar/pembeli wajib mengiringinya ke mana dia pergi hingga terjadi taqabudh (serah terima) di tempat yang dituju dan menyempurnakan sisa kekurangannya. Wallahul muwaffiq.
Masalah 3: Bila sebagian uang telah diterima dan sisanya tertunda, apakah sah akad tukar-menukarnya/akad ash-sharfnya?
Pendapat Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i dan kalangan Azh-Zhahiriyyah menyatakan: Bila sharf tidak dapat diserah terimakan seluruhnya, maka akadpun harus batal seluruhnya.
Sementara Abu Hanifah dan dua muridnya, serta satu sisi pendapat yang dikuatkan dalam madzhab Hanbali menyatakan: Yang sudah diterima akadnya sah, sementara yang belum diterima, akadnya tidak sah.
Yang rajih insya Allah adalah pendapat kedua, dan ini yang dikuatkan An-Nawawi serta Ar-Ruyani dari kalangan Syafi’iyyah. Sebab, hukum itu berjalan bersama dengan ‘illat (sebab-sebabnya). Bila terpenuhi persyaratan sahnya maka akadnya pun sah, wallahu a’lam. Pendapat ini juga dirajihkan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin.
Masalah 4: Apakah ada khiyar dalam bab ash-sharf?
Adapun khiyar majlis, jumhur ulama berpendapat bahwa khiyar majlis dalam bab ash-sharf itu ada. Selama dalam majlis akad, kedua belah pihak dapat menggagalkan akad hingga keduanya saling berpisah.
Mereka berhujjah dengan hadits Hakim bin Hizam:
“Penjual dan pembeli (punya) khiyar selama keduanya belum berpisah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisi.
Adapun tentang khiyar syarat, misalnya menukar dolar dengan rupiah lalu sang penukar mengatakan: “Dengan syarat, saya punya hak khiyar selama tiga hari. Bila tidak cocok maka saya kembalikan lagi,” maka jumhur berpendapat bahwa bila dalam perkara yang dipersyaratkan adanya taqabudh seperti bab ash-sharf, maka tidak boleh. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Qudamah.
Masalah ini perlu perincian:
1. Bila dia sudah melakukan akad jual-beli dengan sempurna lalu minta syarat, maka lebih baik dia tinggalkan walaupun secara dalil tidak ada yang melarang karena sudah ada taqabudh dalam akad.
2. Bila dia bawa barangnya terlebih dahulu sebelum terjadinya akad, lalu bermusyawarah dengan keluarga atau yang lainnya, setelah itu dia melakukan transaksi dengan taqabudh, maka tidak mengapa.
Ini adalah solusi terbaik yang disampaikan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Wallahu a’lam.
Masalah 5: Akad ash-sharf via telepon dan yang semisalnya.
Masalah ini perlu perincian:
1. Bila yang dimaukan hanya memesan barang atau semacam janji untuk membeli barang, tanpa akad yang sempurna, maka diperbolehkan. Karena ‘pesan’ atau ‘janji’ tidaklah termasuk akad jual beli. Sang penjual punya hak menjualnya kepada orang lain dan sang pembeli punya hak untuk membatalkan ‘janji’ itu. Demikian pendapat Ibnu Hazm, Ibnu Rusyd, dan fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah, dan inilah pendapat yang shahih. Sementara Al-Imam Malik memakruhkannya.
2. Bila yang dimaksud adalah akad jual beli secara sempurna, maka hukumnya haram, sebab tidak ada unsur taqabudh. Dan ini merupakan riba nasi`ah. Demikian fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah.
Masalah 6: Uang muka dalam bab ash-sharf.
Bila yang diinginkan dengan uang muka/downpayment (DP) adalah transaksi secara sempurna maka hukumnya haram karena tidak ada unsur taqabudh. Sedangkan bila yang diinginkan adalah amanah atau simpanan, lalu penyerahan pembayaran total dilakukan pada saat akad serah terima barang, maka hal ini tidak mengapa. Wallahu a’lam.
Masalah 7: Apakah disyaratkan adanya barang di tempat dalam bab ash-sharf?
Pendapat yang rajih adalah pendapat jumhur ulama yang menyatakan bahwa diperbolehkan akad ash-sharf walaupun tidak ada barang di tempat, atau barang dikirimkan setelah itu, atau dengan meminjam kepada orang lain, dan kemudian diserahkan. Yang penting adalah adanya taqabudh dalam majelis akad sebelum berpisah.
Hujjah mereka adalah bahwa yang dipersyaratkan dalam bab ash-sharf adalah taqabudh, dan hal itu telah terjadi dalam transaksi di atas. Wallahu a’lam.
Hiwalah Mashrafiyyah (Transfer Valas)
Gambarannya, seseorang datang ke money changer ingin mengirim sejumlah uang ke Yaman –misalnya–. Masalah ini mempunyai dua keadaan:
1. Orang yang dikirimi menerima mata uang yang sama. Misalnya, dari Indonesia mengirimkan uang 1000 dolar ke Yaman. Pihak penerima di Yaman menerimanya dengan mata uang yang sama.
Para ulama memasukkan keadaan ini ke dalam salah satu masalah berikut:
a. Masalah hiwalah secara fiqih
b. Masalah ijarah (sewa jasa)
c. Sesuatu yang dahulu dikenal dengan istilah saftajah.
Keadaan ini diperbolehkan.
2. Pihak yang dikirimi menerima dalam bentuk mata uang yang berbeda. Misalnya, dari Indonesia mengirim uang Rp. 10 juta ke Yaman. Sedangkan pihak penerima di Yaman menerimanya dalam bentuk uang 900 dolar (misalnya).
Masalah ini diperselisihkan oleh para ulama kontemporer:
- Sebagian mereka melarangnya, karena keadaan ini mengandung unsur hiwalah dan ash-sharf, padahal dalam ash-sharf disyaratkan adanya taqabudh. Sedangkan pada keadaan di atas tidak ada unsur taqabudh.
Ini adalah fatwa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, dan dzahir fatwa Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Ini juga fatwa Syaikhuna Yahya Al-Hajuri hafizhahullah.
- Mayoritas ulama kontemporer berfatwa tentang kebolehannya, karena kebutuhan dan keadaan darurat. [1]
Namun tidak diragukan lagi bahwa yang lebih selamat bagi agama seseorang dan sebagai upaya menghindari pintu riba adalah dia tidak melakukan transaksi seperti ini.
Para ulama memberikan beberapa solusi, di antaranya:
1. Mensyaratkan kepada pihak penyelenggara jasa transfer untuk mengirimkan mata uang yang sama ke tempat yang dituju. Dan ini mungkin dilakukan dengan cara memberikan uang jasa kepada mereka.
2. Menukar mata uangnya terlebih dahulu, baru dia kirim dengan mata uang yang diinginkan.
Misalnya seseorang mempunyai uang Rp. 10 juta hendak dikirim ke Arab Saudi dalam bentuk real. Maka dia tukar terlebih dahulu uang rupiahnya itu dengan real Saudi, baru dia minta pihak penyelenggara jasa (misal Western Union) mengirimkannya dalam bentuk real Saudi. Bila dia telah yakin akan sampai di Arab Saudi dalam bentuk real, namun ternyata sampai dalam bentuk rupiah, maka tidak mengapa bagi penerima untuk mengambil rupiah itu karena keadan darurat. Wallahu a’lam.
Masalah 8: Bagaimana bila sebuah mata uang tidak bisa keluar dari negerinya karena larangan pemerintah setempat, atau karena tidak ada nilainya di luar negeri?
Misalnya, seseorang mempunyai sejumlah uang real Saudi dan hendak mengirimkannya ke Indonesia dalam bentuk rupiah. Dia ingin menukar real Saudi dengan rupiah, namun karena rupiah jatuh, tidak ada satupun money changer yang mau. Solusinya adalah:
1. Dia langsung mengirim dalam bentuk real Saudi ke Indonesia. Penerima di Indonesia menerima real tersebut, kemudian ditukar dengan rupiah di Indonesia.
2. Atau, bila real Saudi tidak bisa keluar, maka dia tukar real dengan dolar –misalnya– lalu dia kirimkan dolar ke Indonesia. Penerima di Indonesia menerimanya dalam bentuk dolar, kemudian ditukar dengan rupiah di Indonesia.
Wallahul muwaffiq.
Penggunaan Cek dalam Ash-Sharf
Dari permasalahan hiwalah mashrafiyyah di atas, muncul masalah kontemporer yang sangat masyhur, yaitu menggunakan kertas cek dalam bab ash-sharf, baik dalam jual beli emas dan perak, maupun tukar menukar mata uang dengan cek.
Permasalahan ini dibahas oleh para ulama, khusus dalam hal cek resmi yang diakui atau dikeluarkan oleh pihak bank. Adapun cek palsu atau yang tidak diakui pihak bank, maka jelas larangannya.
Para ulama berbeda pandangan dalam masalah ini. Jumhur ulama berpendapat bahwa dalam masalah ash-sharf atau yang dipersyaratkan adanya taqabudh, tidak boleh ada hiwalah (kiriman barang dari satu pihak kepada pihak kedua).
Dalam masalah cek, apakah sudah terjadi taqabudh (serah terima) yang hakiki ataukah tidak?
Sebagian ulama masa kini semisal Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berpendapat bahwa muamalah jual beli emas dan perak atau mata uang menggunakan cek adalah tidak boleh. Karena, cek bukanlah taqabudh hakiki, melainkan hanya bukti hiwalah saja. Terbukti, bila cek tersebut hilang, dia bisa minta lagi cek dengan nominal yang sama. Namun beliau mengecualikan cek yang resmi dari bank maka tidak mengapa, asalkan sang penjual yang menerima cek dari pembeli langsung menghubungi bank dan mengatakan: “Biarkan uang itu sebagai simpanan di situ.”
Ulama yang melarang beralasan dengan beberapa hal sebagai berikut:
1. Bila cek itu rusak atau hilang sebelum uang dengan nominal yang tercantum itu diambil, maka sang pemegang cek akan kembali kepada yang memberi cek. Bila cek tersebut adalah serah terima hakiki layaknya mata uang, niscaya dia tidak akan kembali ketika hilang atau rusak.
2. Terkadang cek tersebut ditarik tanpa nominal (cek kosong), maka jelas tidak ada serah terima yang hakiki.
3. Terkadang pula orang yang menukar cek ditolak, sehingga juga tidak ada serah terima yang hakiki.
4. Cek tidak termasuk kertas alat bayar layaknya mata uang, namun hanya kertas yang berisikan nominal mata uang.
Sementara itu, mayoritas ulama dan fuqaha zaman ini serta para pakar ekonomi berpendapat bahwa cek mengandung qabdh (serah terima) yang sempurna lagi hakiki, sehingga dapat bertransaksi menggunakan cek dalam bab ash-sharf. Alasan mereka adalah sebagai berikut:
1. Sesungguhnya dalam syariat disebutkan masalah qabdh (serah terima), namun tidak ditentukan batasannya. Tidak pula diikat dengan kriteria tertentu. Rujukan hukum-hukum yang bersifat umum seperti ini adalah kebiasaan setempat. Sementara secara kebiasaan yang terjadi di kalangan pebisnis, cek adalah serah terima yang sempurna terhadap apa yang terkandung di dalamnya.
2. Cek yang resmi dan diakui tidaklah akan dikeluarkan kecuali setelah diyakini adanya debet-kredit pemilik cek pada sebuah bank. Dan ini yang dimaksud dengan hiwalah dalam fiqih Islami.
3. Keadaan darurat membuat cek tersebut dijadikan sebagai serah terima yang hakiki. Kaidah ini ada dalam syariat, yaitu: “Keadaan darurat membolehkan perkara yang haram”, “Kebutuhan yang umum memiliki hukum darurat”, “Kesulitan mendatangkan kemudahan”, “Bila perkaranya menjadi sempit maka datanglah keluasan.” Kaidah-kaidah seperti ini diambil dari kemudahan-kemudahan Islam yang tertuang dalam banyak dalil, di antaranya:
“Sesungguhnya bersama kesusahan ada kemudahan.” (Al-Insyirah: 6)
Juga ayat:
“Allah menghendaki untuk kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian.” (Al-Baqarah: 185)
4. Memudahkan perjalanan bisnis dan mengurangi resiko serta penjagaan terhadap harta benda yang dapat memotivasi para pebisnis untuk melangsungkan bisnisnya dan menunjukkan kemudahan-kemudahan Islam.
Pendapat ini adalah kesepakatan Majma’ Al-Fiqh Al-Islami pada Rabithah ‘Alam Islami, yang dipimpin oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz. Juga pada fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah yang diketuai Asy-Syaikh Ibnu Baz, yang beranggotakan Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi, Asy-Syaikh Ibnu Qu’ud, dan Asy-Syaikh Al-Ghudayyan. Mereka beralasan karena kebutuhan umum.
Bila menilik kepada dalil-dalil syar’i, maka yang rajih adalah pendapat yang melarang. Namun dari sisi kebutuhan dan keadaan yang darurat maka diperbolehkan. Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim tidak bermuamalah dengan cara ini kecuali dalam keadaan darurat saja. Wallahul muwaffiq.
Jual-beli Valas (Valuta Asing)
Dari uraian-uraian di atas, kita dapat memahami hukum jual beli valas secara syar’i dengan penjabaran sebagai berikut:
1. Bila jual beli valas dari mata uang sejenis, misalnya dolar dengan dolar, maka disyaratkan adanya tamatsul dan taqabudh.
2. Bila dari jenis mata uang yang berbeda, misalnya rupiah dengan dolar, atau dolar dengan poundsterling, hanya disyaratkan adanya taqabudh.
Dengan dasar kaidah di atas, maka:
a. Tidak mengapa menanti naik-turunnya kurs sebuah mata uang yang dikehendaki, bila terpenuhi persyaratannya secara syar’i di atas ketika transaksi.
b. Tidak diperbolehkan transaksi via transfer ATM atau sejenisnya, sebab tidak terjadi taqabudh yang disyaratkan.
c. Tidak boleh terjadi pertaruhan berbau judi dalam jual beli valas.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Catatan Kaki:
[1] Namun jumhur ulama melarang adanya hiwalah dalam bab ash-sharf.
Sumber: Asy Syariah Edisi 028
####
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah
Pertanyaan: Apa hukum membeli uang kertas dan menjualnya kembali jika nilainya naik?
Jawaban:
Muamalah dengan menjual dan membeli mata uang disebut penukaran mata uang. Penukaran mata uang harus dilakukan dengan serah terima secara langsung di tempat transaksi. Jika terjadi serah terima langsung di tempat transaksi maka hal itu tidak masalah. Maksudnya jika seseorang misalnya menukar Riyal Saudi dengan dollar Amerika maka hal ini tidak masalah, walaupun dia mengharapkan keuntungan di masa mendatang. Hanya saja dengan syarat dia mengambil dollar yang dia beli dan menyerahkan uang Saudi yang dia jual. Adapun tanpa serah terima secara langsung di tempat maka hal tersebut tidak sah, dan hal itu termasuk riba nasi’ah.
Sumber artikel:
Fataawaa Ulama Al-Balad Al-Haram, hal. 701