Cari Blog Ini

Selasa, 30 Desember 2014

Tentang PERAYAAN DAN PERINGATAN MAULID NABI

Fadhilah asy-Syaikh al-Allamah Shalih bin Fauzan al-Fauzan

Di antara hal-hal yang diada-adakan oleh umat manusia dari PERBUATAN-PERBUATAN BIDAH MUNKARAH adalah Perayaan Peringatan Maulid Nabi pada bulan Rabiul Awwal. Mereka dalam perayaan tersebut ada bermacam-macam:
Di antara mereka ada yang menjadikan perayaan itu dalam bentuk berkumpul, dibacakan padanya kisah Maulid, atau disajikan padanya khutbah-khutbah atau kasidah-kasidah pada kesempatan tersebut.
Di antara mereka ada yang membuat makanan, manisan, dll disuguhkan kepada siapa yang hadir.
Di antara mereka ada yang mengadakan perayaan Maulid di masjid-masjid.
Di antara mereka ada yang mengadakan perayaan Maulid di rumah-rumah.
Di antara mereka yang tidak sebatas pada apa yang telah disebut di atas, namun ada di antara mereka yang menjadikan acara perayaan ini dipenuhi dengan berbagai keharaman dan kemungkaran berupa ikhtilath (campur baur) antara pria dan wanita, raqsh (tarian), dan nyanyian. Atau bahkan amalan-amalan syirkiyyah, seperti beristighosah kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, memanggil-manggil dan memohon agar mendapat pertolongan dari musuh, dll.
Maka itu, dengan segala macam dan perbedaan bentuk, serta perbedaan dalam hal niat para pelakunya, semua itu adalah BIDAH, HARAM, dan PERKARA BARU YANG DIBUAT-BUAT, (yang muncul) pada masa yang sangat jauh berlalu setelah Kurun Yang Mulia (yaitu masa para Shahabat, Tabiin dan Tabi Tabiin)

WhatsApp Miratsul Anbiya Indonesia

###

Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu

Perayaan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seperti yang anda ketahui adalah perayaan yang:

1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mengamalkannya, begitu pula Al-Khulafa Ar-Rasyidun, para sahabat secara keseluruhan, tidak pula para tabiin sepeninggal mereka. Sedangkan mereka adalah orang yang paling mengerti dengan sunnah nabi-Nya, paling cinta kepada beliau, paling tunduk dan patuh terhadap syariat yang dibawanya, dibandingkan generasi setelahnya. Kalau seandainya perayaan maulid termasuk dari kebaikan tentunya mereka akan mendahului kita dalam amalan ini.

2. Seperti yang telah anda ketahui bahwa yang memulai perayaan ini adalah Pemerintah daulah Al-Fathimiyyah Al-Ubaidiyyah dari kalangan zindiq pada abad ke-empat hijriyah (memerintah tahun 357-567 H).

3. Perayaan ini memiliki keserupaan dengan nashara yang mereka merayakan kelahiran Isa bin Maryam alaihissalam. Sedangkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang ummatnya untuk meniru, mencontoh, dan menyerupai, serta mengikuti kebiasaan Ahlul Kitab dari kalangan Yahudi dan Nashara.

4. Sesungguhnya dengan adanya hal-hal baru dalam syariat, dengan adanya perayaan maulid, dipahami bahwa Allah subhanahu wata’ala belum menyempurnakan syariat-Nya bagi hamba-hamba-Nya, atau Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam belum menyampaikan semua risalah yang seharusnya diamalkan oleh umatnya, begitu pula para sahabat belum menyampaikan kepada generasi setelahnya yang ini tentunya merupakan bentuk pengagungan, kecintaan, serta ketundukan mereka kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
إنه لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ
“Tidaklah Allah mengutus seorang rasulpun, kecuali wajib baginya untuk mengarahkan (membimbing) umatnya kepada kebaikan yang mereka ketahui bagi mereka” (HR. Muslim)
Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam adalah sebaik-baik para nabi, serta khatimun nabiyyin (penutup para nabi), sekaligus nabi yang paling sempurna dalam menyampaikan risalah-Nya dan nasehat kepada umatnya. Kalau perayaan maulid termasuk bagian dari Islam, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pasti akan menjelaskan kepada umatnya, atau mengamalkannya semasa hidup beliau, demikian pula para shahabat radhiyallahu 'anhum pasti akan mengadakan perayaan tersebut.
Dan janganlah anda mengatakan: “Rasulullah tidak mengamalkan acara maulid karena tawadhu.” Ini adalah penghinaan serta pelecehan terhadap beliau shallallahu 'alaihi wasallam karena ucapan seperti ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah mengurangi atau menyembunyikan satu perkara kebaikan kepada ummatnya, sungguh ini adalah sesuatu yang mustahil ada pada diri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Di samping itu, ucapan seperti ini juga mengandung celaan kepada para shahabatnya yang telah Allah ta’ala berikan tazkiyah (pujian) sebagaimana dalam firman-Nya bahwa mereka telah mengurangi acara perayaan maulid atau mereka belum mengerti tentang amalan tersebut.
Maka bertakwalah kepada Allah, ambillah jalan-jalan (prinsip beragama) dari orang-orang sebelum kalian dari kalangan para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.

5. Menghidupkan malam perayaan maulid tidaklah menunjukkan kecintaan seseorang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Berapa banyak anda saksikan dan anda dengar orang-orang yang menghidupkan malam perayaan ini, mereka adalah orang-orang yang sangat jauh dari petunjuk Al-Musthafa shallallahu 'alaihi wasallam, banyak di antara mereka adalah orang-orang fasiq, fajir, melakukan riba, bermudah-mudahan dalam meninggalkan shalat lima waktu, menyepelekan sunnah nabi-Nya, baik secara lahir (terang-terangan) maupun batin (tersembunyi), dan juga mereka dikenal banyak melakukan kemaksiatan dan dosa serta bergelimang dengan amalan keji dan membinasakan.
Tanda kecintaan seseorang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam harus dibuktikan dengan apa yang difirmankan Allah ta’ala dalam frman-Nya:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ ۝
“Katakanlah (wahai Muhammad): Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi kalian.” (Ali ‘Imran: 31)
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
“Semua umatku akan masuk al-jannah (surga), kecuali orang yang enggan.” Para sahabat bertanya: “Siapa yang enggan, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Barang siapa yang yang menaatiku, maka dia akan masuk al-jannah, dan barangsiapa yang mendurhakaiku maka dia telah enggan.” (HR. Al-Bukhari)
Kecintaan yang jujur kepada beliau shallallahu 'alaihi wasallam harus dibuktikan dengan upaya untuk mengikuti dan berpegang teguh dengan petunjuknya, baik secara lahir maupun batin, menempuh jalannya, meneladani beliau dalam ucapan, perbuatan, sifat, dan akhlak beliau shallallahu 'alaihi wasallam.
Seorang penyair berkata:
لَوْ كَانَ حُبُّكَ صَادِقًا لأَطَعْتَهُ  
لأَنَّ الْمُحِبَّ لِمَنْ يُحَبُّ مُطِيْعٌ
Kalau kecintaanmu jujur, niscaya kamu akan menaatinya
Karena orang yang mencintai akan tunduk dan patuh kepada yang dicintai

6. Para ulama menyebutkan banyaknya kejelekan dan kemungkaran yang terjadi dari acara perayaan ini. Ini pun diakui pula oleh orang yang ikut dan hadir acara tersebut. Dan di antara kemungkaran yang terjadi pada perayaan ini adalah ucapan-ucapan yang mengandung kesyirikan dan ghuluw (berlebihan/melampaui batas) dalam menyanjung Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, mereka melantunkan beberapa bait syair yang diharamkan, meminta pertolongan, berdoa dan memohon kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, meyakini bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengetahui ilmu ghaib seperti apa yang disebutkan dalam kitab Qashidah Al-Bushiri
يَا أَكْرَمَ الْخَلْقِ مَالِيْ مَنْ أَلُوْذُ بِهِ              
سِوَاكَ عِنْدَ حُدُوْثِ الْحَادِثِ الْعَمِمِ
فَإِنَّ مِنْ جُوْدِكَ الدُّنْيَا وَضَرَّاتِهَا              
وَمِنْ عُلُوْمِكَ عِلْمُ اللَّوْحِ وَالْقَلَمِ
Wahai sebaik-baik manusia, kepada siapa lagi aku berlindung
Kecuali kepadamu, ketika terjadi musibah yang merata
Sesungguhnya di antara kedermawananmu adalah adanya dunia dan isinya
Dan sebagian pengetahuanmu, adalah ilmu Al-Lauh dan pena (taqdir)

Pada acara tersebut juga terjadi ikhtilat (campur baur) antara laki-laki dan perempuan, permainan alat musik, merokok, berlebihan dalam menyanjung wali-wali, dan banyak kemungkaran yang lainnya, sampai-sampai ada yang mengutamakan malam tersebut daripada malam Lailatul Qadar. Bahkan sebagian mereka mengkafirkan orang-orang yang tidak ikut merayakan perayaan maulid.

(Diterjemahkan secara ringkas dari Kitab Ash-Shufiyyah Fi Mizanil Kitabi Was Sunnah, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, hal. 44-47)

Situs Resmi Mahad As-Salafy
2015/1435 H

###

Fadhilatusy-Syaikh al-Allamah Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah

• Pernyataan mereka bahwa di dalam perayaan Maulid Nabi tersebut terkandung nilai pengagungan terhadap Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Jawaban terhadap hal ini (syubhat ini) kita katakan:
Sikap pengagungan terhadap Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah dengan menaati beliau, menjalankan perintah beliau, menjauhi larangan beliau, dan mencintai beliau shallallahu alaihi wa sallam. Pengagungan terhadap beliau bukanlah dengan amalan-amalan bidah, khurafat, dan kemaksiatan. Dan perayaan maulid (hari kelahiran) masuk ke dalam bagian yang tercela ini, karena termasuk kemaksiatan. Manusia yang paling kuat sikap pengagungannya kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah para sahabat radhiyallahu anhum.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Urwah bin Masud kepada kaum Quraisy:
“Wahai sekalian kaum! Demi Allah, aku pernah berjumpa dengan kisra, kaisar, dan juga raja-raja yang lainnya, akan tetapi aku tidak pernah melihat seorang raja diagungkan oleh para pengikutnya sebagaimana Muhammad shallallahu alihi wa sallam diagungkan oleh para sahabatnya. Demi Allah, mereka tidak berani mengangkat pandangan mereka ke arahnya sebagai bentuk pengagungan terhadap dirinya.”
Bersamaan dengan kuatnya sikap pengagungan para sahabat yang seperti ini, mereka tidak pernah menjadikan hari kelahiran beliau sebagai hari id dan perayaan. Kalau seandainya hal itu disyariatkan, tentu mereka tidak akan meninggalkannya.

• Berdalih bahwasanya perayaan Maulid Nabi ini diamalkan oleh kebanyakan manusia di berbagai negeri.

Jawaban dari syubhat ini, kita katakan:
Hujjah (yang bisa diterima) adalah keterangan yang telah pasti datangnya dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Keterangan yang telah pasti dari Rasul shallallahu alaihi wa sallam adalah LARANGAN terhadap amalan-amalan bidah secara umum, dan (amalan Maulid ini) termasuk salah satunya. Amalan manusia, jika menyelisihi dalil, maka bukanlah hujjah, walaupun banyak yang mengamalkannya.
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang ada di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (al-Anam: 116)
Senantiasa ada —segala puji hanya bagi Allah— pada setiap masa orang-orang yang mengingkari amalan bidah ini dan menjelaskan kebatilannya. Maka tidak ada lagi hujjah yang tersisa bagi mereka-mereka yang masih terus melakukan bidah ini setelah jelas kebenaran bagi mereka.
Di antara para ulama yang mengingkari perayaan bidah ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di dalam kitab Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim, al-Imam asy-Syathiby di kitab al-Ithisham, Ibnu al-Hajj di al-Madkhal, asy-Syaikh Tajuddin Ali bin Umar al-Lakhmy menulis pengingkaran beliau pada satu kitab tersendiri, asy-Syaikh Muhammad Basyir as-Sahsuwany al-Hindy di kitab beliau Shiyanat al-Insan, Sayyid Muhammad Rasyid Ridho (salah satu tokoh mutazilah di zaman ini) menulis sebuah risalah tersendiri, asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh menulis sebuah risalah tersendiri pula, Samahatu asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, dan yang selain mereka dari para ulama yang tak henti-hentinya menulis pengingkaran terhadap bidah ini setiap tahunnya di berbagai surat kabar dan majalah pada waktu dilakukannya perayaan bidah ini.

• Mereka berkata: Sesungguhnya dengan mengadakan perayaan Maulid Nabi itu, kita menghidupkan upaya mengingat/menyebut nama Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Jawaban dari syubhat ini, kita katakan:
Menghidupkan upaya untuk mengingat/menyebut (nama) Nabi shallallahu alaihi wa sallam haruslah sesuai dengan apa yang Allah syariatkan, seperti menyebut nama (mengingat nama beliau) dalam adzan, iqomah, khutbah-khutbah, dalam shalat-shalat, ketika tasyahhud, ketika bershalawat atas beliau, membaca sunnah (hadits-hadits) beliau, dan dengan mengikuti ajaran yang beliau diutus dengannya. Amalan-amalan tersebut terus-menerus terulang siang dan malam, bukan hanya sekali dalam setahun.

• Mungkin mereka mengatakan:
Perayaan Maulid Nabi ini, pertama kali yang mengadakannya adalah seorang raja yang adil dan berilmu dalam rangka untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah!

Jawaban dari syubhat ini, kita katakan:
Amalan bidah tidak akan diterima dari siapapun yang mengamalkannya. Niat yang baik tidak bisa menjadi dalih untuk membolehkan amalan yang jelek. Kondisi orang yang mengamalkannya itu berilmu dan adil bukanlah jaminan bahwa dia terjaga dari kesalahan.

• Mereka mengatakan, Sesungguhnya Perayaan Maulid Nabi itu termasuk jenis bidah hasanah. Karena dengan perayaan tersebut, kita bisa mengungkapkan rasa syukur kita kepada Allah atas nikmat berupa diutusnya Nabi yang mulia ini!

Syubhat ini dijawab :
TIDAK ADA KEBAIKAN sedikitpun dalam amalan-amalan bidah. Nabi shallallahu alihi wa sallam telah bersabda:
“Barangsiapa membuat-buat amalan baru di dalam agama ini yang bukan bagian darinya, maka amalan tersebut tertolak.”
Kita katakan juga:
Mengapa perayaan yang terkandung padanya ungkapan rasa syukur ini, menurut persangkaan kalian, baru diadakan di akhir-akhir abad ke-6 hijriyah?! Dan tidak pernah diadakan oleh generasi utama umat Islam dari kalangan sahabat, tabiin, dan atba at-tabiin. Padahal mereka itu lebih kuat kecintaannya kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan lebih semangat di dalam mengamalkan kebaikan dan merealisasikan rasa syukur. Apakah mungkin orang-orang yang membuat-buat bidah perayaan Maulid itu lebih terbimbing dan lebih bisa bersyukur kepada Allah daripada mereka (sahabat, tabiin, dan atba at-tabiin)?! Hal ini tidaklah mungkin, dan sekali-kali tidak!

WhatsApp Miratsul Anbiya Indonesia

Tentang MENJAGA PENAMPILAN DAN MENYEBUT-NYEBUT NIKMAT DALAM RANGKA BERSYUKUR

Allah Subhanahu wata'ala berfirman:
“Dan adapun nikmat Rabbmu maka ceritakanlah.” (adh-Dhuha: 11)
Apabila seseorang memiliki kekayaan yang digunakannya untuk hidup nyaman dan senang, apakah bersesuaian dengan apa yang dimaukan oleh ayat di atas?

Jawab:

Samahatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullah menjawab, “Makna ayat tersebut adalah Allah Subhanahu wata'ala memerintah Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam untuk menyebut-nyebut berbagai nikmat-Nya sehingga beliau bisa bersyukur kepada-Nya dengan ucapan sebagaimana beliau mensyukuri-Nya dengan amalan.
Menyebut-nyebut nikmat misalnya seorang muslim berkata, “Sungguh kita dalam keadaan baik, alhamdulillah.”
“Di sisi kita ada kebaikan yang banyak.”
“Kita beroleh nikmat yang sangat banyak, kita harus bersyukur kepada Allah Subhanahu wata'ala atas nikmat tersebut.”
Ia tidak boleh berkata, “Kita orang miskin.”
“Kita tidak punya apa-apa,” dsb.
Tidak pantas ia berkata demikian padahal ia mendapat kecukupan dari Allah Subhanahu wata'ala. Semestinya, ia bersyukur kepada Allah Subhanahu wata'ala dan menyebut-nyebut berbagai nikmat-Nya. Ia harus mengakui kebaikan yang Dia berikan kepadanya.
Ia tidak boleh menyebut-nyebut kefakirannya, seperti mengatakan, “Kami tidak punya harta, tidak punya pakaian.”
“Tidak punya ini, tidak punya itu.”
Akan tetapi, ia harus menyebut nikmat Allah Subhanahu wata'ala yang diterimanya dan mensyukuri Rabbnya.
Apabila Allah Subhanahu wata'ala memberikan kenikmatan kepada hamba-Nya, Dia senang pengaruh nikmat tersebut terlihat pada si hamba, dalam pakaian yang dikenakan, makanan, dan minumannya. Jangan malah ia tampil sebagaimana penampilan seorang fakir (makan minumnya seperti seorang fakir). Allah Subhanahu wata'ala telah memberinya harta dan melapangkan hidupnya, tidak semestinya pakaian dan makanannya seperti seorang fakir. Seharusnya ia menampakkan nikmat-nikmat Allah Subhanahu wata'ala tersebut dalam hal makanan, minuman, dan pakaiannya.
Akan tetapi, tidak boleh dipahami bahwa hal ini berarti membolehkan hidup berlebih-lebihan yang melampaui batas hingga mencapai ghuluw, sebagaimana tidak bolehnya israf (berlebih-lebihan) dan tabdzir (boros).”
(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 4/118—119)

Sumber: Asy Syariah Edisi 074

Tentang MENGADAKAN PESTA SYUKURAN ATAU ACARA MAKAN-MAKAN

Ditulis Oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman

Walimah adalah sebutan untuk undangan makan. Secara bahasa walimah menurut Ibnul A’robiy adalah berkumpulnya orang-orang untuk makanan yang dihidangkan dalam suasana kegembiraan. Definisi ini dinisbatkan kepada asy-Syafi’i dan para Sahabatnya, Ibnu Abdil Bar dari para Ahli Bahasa (Arab) (al-Majmu’ syarhul Muhadzdzab karya anNawawiy (16/393)).
Walimah itu ada 3 macam:

1. Walimah yang terkait dengan syariat, karena ada perintah khusus untuk mengerjakannya. Maka ini adalah Sunnah.
Contoh: Walimah Urs (pernikahan) dan walimah yang terkait dengan kelahiran, yaitu ‘aqiqoh.
Konotasi kata walimah secara asal adalah utk hidangan makanan pada pernikahan.
Nabi memerintahkan kepada Abdurrohman bin Auf untuk menyelenggarakan walimah setelah beliau menikah:
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
Adakan walimah meski dengan seekor kambing. (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik)
Memang walimah tidak terkait dengan keabsahan pernikahan. Artinya, jika karena suatu sebab hanya akad nikah namun tidak ada walimah maka yang demikian pernikahannya tetap sah. Sebagaimana dijelaskan dalam salah satu Fatwa al-Lajnah ad-Daimah.
Tentang aqiqah, Nabi shollallahu alaihi wasallam menyatakan:
الْغُلَامُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُسَمَّى وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ
Anak (yang baru lahir) tergadaikan dengan aqiqahnya. Ia disembelihkan (kambing) pada hari ketujuh (kelahiran), diberi nama, dan dipotong rambutnya. (H.R atTirmidzi, Ibnu Majah)

2. Walimah yang tidak terkait dengan syariat, hanya adat.
Maka yang demikian boleh dilaksanakan selama:
a) Tidak memberatkan
b) Tidak ada keyakinan tertentu bahwa walimah itu bisa menyebabkan hal tertentu (menolak musibah, dsb).
c) Orang yang meninggalkan atau tidak mengerjakannya tidak dicela.
d) Tidak ada acara-acara pendukung di dalamnya yang mengandung kesyirikan, kebid’ahan, atau kemaksiatan.
e) Tidak dijadikan sebagai sunnah (kebiasaan terus menerus dan dijadikan syiar).
Contoh walimah yang tidak terkait dengan syariat ini adalah: walimah untuk yang menempati rumah baru. Selama tidak diiringi keyakinan yang batil bahwa walimah itu bisa mencegah datangnya keburukan dan tidak dijadikan sebagai hal yang terkait syariat, maka tidak mengapa. Tapi kalau itu dijadikan sebagai sunnah, sehingga kalau menempati rumah baru kemudian tidak ada walimah-nya terasa tidak afdhal, maka yang demikian tidak boleh.
Terdapat Fatwa Syaikh Sholih al-Fauzan dalam hal ini:
لقد انتقلنا إلى بيت جديد ونريد أن نعد وليمة بقصد التعريف بالمنزل وجمع الجيران والأقارب والأصدقاء، فما حكم ذلك؟ لا بأس بعمل الوليمة بمناسبة النزول في بيت جديد لجمع الأصدقاء والأقارب إذا كان هذا من باب الفرح والسرور، أما إن صاحب ذلك اعتقاد أن هذه الوليمة تدفع شر الجن، فهذا العمل لا يجوز، لأنه شرك واعتقاد فاسد، أما إذا كان من باب العادات فلا بأس به
Pertanyaan:
Kami telah berpindah ke rumah baru. Kami ingin mempersiapkan walimah dengan tujuan mengenalkan rumah baru dan mengumpulkan tetangga-tetangga, saudara, dan teman-teman. Apa hukum yang demikian?
Jawaban:
Tidak mengapa mengadakan walimah karena menempati rumah baru dengan mengumpulkan teman dan kaum kerabat jika hal ini termasuk memberikan kegembiraan. Sedangkan orang yang meyakini bahwa walimah ini bisa mencegah keburukan Jin, maka amalan ini tidak diperbolehkan. Karena itu adalah kesyirikan dan i’tiqod yang buruk. Adapun jika termasuk hal yang terkait adat (bukan ibadah, pent) maka yang demikian tidak mengapa (al-Muntaqa min Fataawa al-Fauzan (94/16)).
Contoh lain walimah yang masuk kategori ini adalah walimatul khitan. Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fataawa membolehkannya.
Demikian juga dengan walimah yang diadakan oleh seseorang yang baru mendapatkan keselamatan dari musibah.
Terdapat Fatwa Syaikh Ibn Sholih al-Utsaimin rahimahullah dalam hal tersebut:
السؤال: فضيلة الشيخ! ما حكم إقامة الوليمة بمناسبة سلامة الشخص من الحادث؟
الجواب: لا حرج على الإنسان إذا سلم من حادث أن يصنع طعاماً ويوزعه على الفقراء شكراً لله تعالى على هذه النعمة، ولهذا قال كعب بن مالك: (إن من توبتي أن أنخلع من مالي صدقة إلى الله ورسوله). وأما أن يصنع طعام ويدعى إليه الأحباب والأقارب والجيران فهذا ليس بقربة، ولكنه ليس ببدعة؛ لأنه لا يتخذ على أنه عبادة، ولكنه من باب الفرح، فلا بأس به
Pertanyaan:
Fadhilatusy Syaikh! Apa hukum menegakkan walimah karena keselamatan seseorang dari suatu kecelakaan?
Jawaban:
Tidak mengapa bagi seseorang jika selamat dari suatu kecelakaan untuk membuat makanan dan membagikannya kepada fakir miskin sebagai bentuk syukur kepada Allah Ta’ala atas kenikmatan tersebut. (Sahabat Nabi) Ka’ab bin Malik berkata: Sesungguhnya termasuk bagian dari taubatku adalah aku menyerahkan hartaku sebagai shodaqoh kepada Allah dan RasulNya. Adapun membuat makanan dan mengundang orang-orang tercinta, karib kerabat, dan tetangga maka ini bukanlah qurbah (ibadah). Hal ini bukan bid’ah. Karena ia tidak menjadikannya sebagai ibadah. Tetapi karena bergembira. Maka yang demikian tidak mengapa. (Liqo’ al-Baab al-Maftuh (102/7))
Contoh lain walimah yang masuk kategori ini adalah walimah karena baru pulang dari safar. Ungkapan syukur karena diberi keselamatan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menyatakan:
ومثل ذلك ما يفعله بعض الناس عند القدوم من السفر يدعو أقاربه وجيرانه شكرا لله على السلامة فإن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا قدم من سفر نحر جزورا ودعا الناس لذلك عليه الصلاة والسلام
Dan semisal dengan itu adalah apa yang dilakukan sebagian orang ketika baru datang dari safar mengundang para kerabat dan tetangga sebagai bentuk syukur kepada Allah karena diberi keselamatan. Karena Nabi alaihishholaatu was salaam jika beliau pulang dari safar beliau menyembelih unta dan mengundang manusia untuk hidangan itu. (Nuurun alad Darb, kaset no 837)

3. Walimah yang terlarang.
Contoh: walimah yang diadakan dalam suasana duka meninggalnya seseorang. Para Sahabat Nabi menganggapnya sebagai niyahah (meratap).
عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ كُنَّا نَرَى الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنْ النِّيَاحَةِ
Dari Jarir bin Abdillah al-Bajaliy beliau berkata: Kami menganggap berkumpulnya orang-orang di tempat keluarga mayit dan mereka membuatkan makanan adalah termasuk meratap (niyahah). (riwayat Ibnu Majah dan Ahmad)
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah menyatakan:
وَأَكْرَهُ النِّيَاحَةَ على الْمَيِّتِ بَعْدَ مَوْتِهِ وَأَنْ تَنْدُبَهُ النَّائِحَةُ على الِانْفِرَادِ لَكِنْ يُعَزَّى بِمَا أَمَرَ اللَّهُ عز وجل من الصَّبْرِ وَالِاسْتِرْجَاعِ وَأَكْرَهُ الْمَأْتَمَ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ وَإِنْ لم يَكُنْ لهم بُكَاءٌ فإن ذلك يُجَدِّدُ الْحُزْنَ
Saya membenci meratapi mayit setelah kematiannya dan aku tidak suka untuk menganggap baik bagi orang yang meratap dibiarkan sendiri. Akan tetapi semestinya dilakukan takziyah terhadapnya (dikuatkan hatinya) sesuai dengan yang Allah perintahkan berupa kesabaran dan istirja’ (mengucapkan inna lillaahi wa innaa ilahi rooji’un). Dan saya tidak menyukai al-Ma’tam, yaitu berkumpulnya orang-orang (di tempat mayit) meskipun di sana tidak ada tangisan. Karena yang demikian akan memperbaharui perasaan sedih. (al-Umm (1/279))
Walimah pada dasarnya dilakukan dalam suasana kegembiraan, bukan karena duka cita.

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam walimah adalah jangan hanya mengundang orang kaya saja, tapi yang perlu mendapat perhatian khusus adalah orang-orang fakir/miskin.
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى لَهَا الْأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ
Seburuk-buruk makanan adalah makanan walimah, yang diundang padanya adalah para orang kaya dan ditinggalkan orang-orang fakirnya. (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Salafy.or.id

Kamis, 25 Desember 2014

Tentang BERLOMBA-LOMBA MERAIH DUNIA

Dalam sebuah riwayat disebutkan, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus Abu ‘Ubaidah ibnul Jarrah radhiyallahu `anhu ke Bahrain, kemudian dia pulang membawa jizyah penduduk negeri itu. Orang-orang Anshar pun mendengar kedatangan Abu ‘Ubaidah, lalu mereka menyengaja shalat subuh bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Seusai shalat, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam berpaling. Para sahabat Anshar menampakkan diri kepada beliau. Begitu melihat mereka, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum, lalu berkata,
“Saya kira kalian sudah mendengar bahwa Abu ‘Ubaidah datang membawa sesuatu dari Bahrain?”
“Betul, wahai Rasulullah,” jawab mereka.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,
ﺃَﺑْﺸِﺮُﻭﺍ ﻭَﺃَﻣِّﻠُﻮﺍ ﻣَﺎ ﻳَﺴُﺮُّﻛُﻢْ، ﻓَﻮَﺍﻟﻠﻪِ ﻣَﺎ ﺍﻟْﻔَﻘْﺮَ ﺃَﺧْﺸَﻰ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ، ﻭَﻟَﻜِﻨِّﻲ ﺃَﺧْﺸَﻰ ﺃﻥْ ﺗُﺒْﺴَﻂَ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻛَﻤَﺎ ﺑُﺴِﻄَﺖْ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻗَﺒْﻠَﻜُﻢْ، ﻓَﺘَﻨَﺎﻓَﺴُﻮﻫَﺎ ﻛَﻤَﺎ ﺗَﻨَﺎﻓَﺴُﻮﻫَﺎ، ﻓَﺘُﻬْﻠِﻜَﻜُﻢْ ﻛَﻤَﺎ ﺃَﻫْﻠَﻜَﺘْﻬُﻢ
“Gembiralah, dan bayangkanlah apa yang menyenangkan kalian. Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku khawatirkan menimpa kalian, melainkan aku khawatir dunia dibentangkan kepada kalian, sebagaimana dibentangkan terhadap orang-orang yang sebelum kalian, lalu kalian berlomba-lomba meraihnya. Kemudian dunia itu membinasakan kalian sebagaimana dia telah membinasakan mereka.”

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,
ﻣَﻦْ ﻛَﺎﻧَﺖِ ﺍﻟْﺂﺧِﺮَﺓُ ﻫَﻤَّﻪُ ﺟَﻌَﻞَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻏِﻨَﺎﻩُ ﻓِﻲ ﻗَﻠْﺒِﻪِ ﻭَﺟَﻤَﻊَ ﻟَﻪُ ﺷَﻤْﻠَﻪُ ﻭَﺃَﺗَﺘْﻪُ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﻫِﻲَ ﺭَﺍﻏِﻤَﺔٌ، ﻭَﻣَﻦْ ﻛَﺎﻧَﺖِ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻫَﻤَّﻪُ ﺟَﻌَﻞَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻓَﻘْﺮَﻩُ ﺑَﻴْﻦَ ﻋَﻴْﻨَﻴْﻪِ ﻭَﻓَﺮَّﻕَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺷَﻤْﻠَﻪُ ﻭَﻟَﻢْ ﻳَﺄْﺗِﻪِ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﺇِﻟَّﺎ ﻣَﺎ ﻗُﺪِّﺭَ ﻟَﻪُ
“Siapa yang akhirat menjadi tujuannya, Allah Subhanahu wa ta’ala pasti meletakkan rasa kaya (cukup) di dalam hatinya, menyatukan urusannya, dan dunia datang kepadanya padahal dia (dunia itu) tidak menyukainya. Sebaliknya, siapa yang dunia menjadi tujuannya, Allah pasti meletakkan kemiskinan di depan matanya, dan mencerai-beraikan urusannya, sementara itu dunia tidak mendatanginya selain apa yang sudah ditentukan baginya.”

Benarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda:
ﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﻟِﺎﺑْﻦِ ﺁﺩَﻡَ ﻭَﺍﺩِﻳَﺎﻥِ ﻣِﻦْ ﻣَﺎﻝٍ ﻟَﺎﺑْﺘَﻐَﻰ ﺛَﺎﻟِﺜًﺎ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﻤْﻠَﺄُ ﺟَﻮْﻑَ ﺍﺑْﻦِ ﺁﺩَﻡَ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟﺘُّﺮَﺍﺏُ ﻭَﻳَﺘُﻮﺏُ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻦْ ﺗَﺎﺏ
“Seandainya anak Adam itu memiliki harta sebanyak dua lembah, niscaya dia pasti mencari lembah yang ketiga. Tidak ada yang memenuhi mulut anak Adam itu selain tanah, dan Allah menerima taubat orang yang bertaubat.” (HR. Muslim)

Al-Kirmani mengatakan: “Seolah-olah makna sabda beliau adalah dia tidak akan puas dari dunia sampai dia mati.” (Fathul Bari 18/250)

Al-Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat celaan bagi orang yang rakus terhadap dunia, menumpuk-numpuknya, serta mencintainya. Makna ‘Tidak akan memenuhi tenggorokan anak Adam melainkan tanah’ yaitu terus-menerus sikap rakus terhadap dunia menyertainya sampai dia mati dan tanah kuburan menyumbat mulutnya. Hadits ini juga bercerita tentang mayoritas bani Adam dalam hal kerakusan terhadap dunia.” (Syarah Shahih Muslim 4/2)

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ﻟِﻜُﻞِّ ﺃُﻣَّﺔٍ ﻓِﺘْﻨَﺔٌ ﻭَﻓِﺘْﻨَﺔُ ﺃُﻣَّﺘِﻲ ﺍﻟْﻤَﺎﻝُ
“Bagi setiap umat ada fitnah (ujian/cobaan)nya dan fitnah umatku adalah harta benda.” (HR. at-Tirmidzi no. 2337, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 1905 dan dalam ash-Shahihah no. 594)

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ﻣَﺎ ﺫِﺋْﺒَﺎﻥِ ﺟَﺎﺋِﻌَﺎﻥِ ﺃُﺭْﺳِﻼَ ﻓِﻲ ﻏَﻨَﻢٍ ﺑِﺄَﻓْﺴَﺪَ ﻟَﻬَﺎ ﻣِﻦْ ﺣِﺮْﺹِ ﺍﻟْﻤَﺮْﺀِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤَﺎﻝِ ﻭَﺍﻟﺸَّﺮَﻑِ ﻟِﺪِﻳْﻨِﻪِ
“Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas pada sekelompok kambing akan lebih merusak daripada merusaknya seseorang terhadap agamanya karena ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan yang tinggi.” (HR. at-Tirmidzi no. 2377, al-Imam Ahmad, 3/406, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, 2/280 hadits no. 1935 dan dalam ar-Raudhatun Nadzir, 5-7. Juga disahihkan oleh asy-Syaikh Muqbil dalam al-Jami’ush Shahih, 1/42)

Artinya bahwa rakusnya seseorang terhadap harta benda dan kedudukan sangat besar kerusakannya bagi agamanya, yang diserupakan bagaikan binatang yang tidak berdaya dan lemah yang berada dalam terkaman dua serigala. (Tuhfatul Ahwadzi 6/162)

Aun bin 'Abdillah rahimahullah berkata:
Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian (para sahabat) menjadikan untuk dunia dari sisa Akherat mereka, sedangkan kalian menjadikan untuk Akherat kalian dari sisa dunia kalian. (Shifatus Shafwah, 3/71)

Malik bin Dinar rahimahullah berkata:
Mengherankan, sudah tahu bahwa kematian menantinya dan kuburan sebagai tempat kembalinya, bagaimana bisa masih senang dengan dunia dan merasa enak hidup di dalamnya? (Shifatus Shofwah, 3/198)

Al Hasan Al Bashri rahimahullah berkata:
Barang siapa yang cinta terhadap dunia dan dibahagiakan olehnya, maka hilanglah dari hatinya rasa takut dia terhadap Akherat. (Mausuah Ibnu Abid Dunya, 5/90)

Yahya bin Muadz rahimahullah berkata:
Wahai anak manusia, agamamu akan senantiasa tercerai-berai selama hatimu cinta terhadap dunia. (Shifatus Shofwah, 4/342)

Yahya bin Muadz rahimahullah juga berkata:
Dunia adalah araknya setan. Barangsiapa mabuk dunia maka dia tidak akan sadar kecuali jika sudah berada dalam detik-detik kematian penuh dengan penyesalan bersama orang-orang yang menyesal. (Shifatus Shofwah: 4/341)

###

Ambisi dunia dan kedudukan adalah sebab yang sangat besar seseorang keluar dari jalan istiqamah. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah menggambarkan betapa bahayanya ketika seorang manusia memiliki ambisi yang sangat besar pada dunia dan kedudukan. Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Tidaklah dua ekor serigala lapar yang dilepaskan dalam kawanan kambing lebih merusak terhadapnya daripada merusaknya ambisi seseorang terhadap harta dan kedudukan terhadap agamanya. (Shohih HR. Ahmad, at Tirmidzi, an-Nasai, dan Ibnu hibban)

Mencari pendapatan atau pekerjaan adalah hal yang diperbolehkan dalam islam. Namun bila dilandasi oleh ambisi yang berlebihan, keadaannya berubah menjadi tercela. Banyak orang dibuat lupa daratan, hingga menghalalkan segala cara demi tercapainya ambisi dunia atau kedudukan. Orang-orang yang tenggelam dalam kesibukan mengejar dunia, bila diingatkan biasanya akan berdalih bahwa apa yang dilakukan adalah perkara yang mubah atau boleh-boleh saja. Apa yang dicari adalah sesuatu yang halal dan tidak dilarang dalam islam. Memang benar demikian. Namun bila aktivitas mengejar dunia mulai disusupi ambisi, sedikit demi sedikit akan berubah keadaan agama seseorang. Tanpa disadari, sedikit demi sedikit ia akan menghalalkan apa yang diharamkan oleh agama. Hingga tanpa terasa ia telah keluar dari jalan yang lurus demikian jauh, namun merasa tetap di atas kebenaran. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Tiap-tiap ummat memiliki fitnah, dan fitnah yang menimpa ummatku adalah harta. (HR. Bukhari)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga telah mengingatkan ummatnya betapa bahayanya fitnah harta bagi agama seseorang. Dalam sebuah riwayat dikisahkan, dari Amr bin Auf al-Anshori rodhiyallahu anhu ia berkata: Rasulullah mengutus Abu Ubaidah ibnul Jarroh rodiyallahu anhu ke negeri Bahrain untuk mengambil jizyah (upeti) dan para shahabat al-anshor mengetahui hal ini. Usai shalat subuh bersama Rasulullah, para shahabat saling menjulurkan lehernya agar terlihat oleh Rasulullah (para shahabat berharap agar dirinya diketahui kehadirannya oleh Rasulullah dan nantinya mendapat bagian dari harta tersebut). Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun tersenyum dan berkata: Apakah telah sampai kepada kalian kabar tentang kedatangan Abu Ubaidah ibnu Jarroh yang membawa harta sangat banyak? Para shahabat menjawab: Betul, wahai Rasulullah. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata: Silahkan kalian bergembira dan berangan-angan dengan sesuatu yang membahagiakan. Sungguh demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan terjadi pada kalian. Namun yang aku khawatirkan adalah dilimpahkannya dunia kepada kalian, sebagaimana dunia telah dilimpahkan kepada ummat-ummat sebelum kalian. Sehingga kalian akan saling bersaing dalam memperebutkan dunia sebagaimana ummat-ummat sebelum kalian telah saling bersaing, dan akhirnya dunia akan membinasakan kalian sebagaimana membinasakan ummat-ummat sebelum kalian. (HR. Bukhari Muslim)

Dalam hadist ini Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengabarkan bahwa fitnah dunia adalah fitnah yang sangat besar. Saking dahsyatnya fitnah ini, banyak manusia yang mau menjual agamanya demi sesuatu yang sangat sedikit dari dunia. Kita tentu pernah mendengar kasus-kasus kristenisasi, yaitu adanya sebagian dari kaum muslimin yang mau menjual agamanya demi mendapatkan sebuah paket sembako, demi mendapat pengobatan gratis, atau yang lainnya yang dinilai sangat kecil dibanding dengan agamanya. Disebabkan kejahilan dan ambisi terhadap dunia, mereka rela menggadaikan agamanya.
Pada tingkat yang lebih tinggi, tak sedikit orang yang telah paham tentang agamanya juga rela menjual prinsip-prinsip agamanya demi harta atau kedudukan. Mereka menututup mata terhadap berbagai kesalahan dan penyimpangan yang ada pada pihak yang memberi harta, demi lancarnya bantuan yang ingin didapatkan. Ketika harta atau kedudukan sudah berhasil didapatkan dan sudah dirasakan kelezatannya, maka perlahan tapi pasti agamanya pun akan berubah. Prinsip-prinsip yang dipegangi satu per satu ditinggalkan, hingga tak tersisa satu pun. Keadannya kini tak ubahnya sama dengan lembaga atau yayasan hizbiyyah yang memberi harta atau jabatan kebadanya. Orang menyimpang dari jalan ahlussunnah kemudian pengikut hizbiyyah disebabkan dunia yang ingin diraihnya, bukan hal yang aneh lagi bagi kita. Teramat banyak hal ini terjadi disekitar kita. Bahkan mungkin terjadi pada orang-orang yang dekat dengan kita, entah itu saudara, teman, bahkan ustadz kita! Kita mohon keselamatan dan perlindungan kepada Allah dari yang demikian. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Bersegerahlah melakukan amalan sholih sebelum datang fitnah (musibah) seperti potongan malam yang gelap. Yaitu seseorang pada waktu pagi dalam keadaan beriman dan di sore hari dalam keadaan kafir. Ia menjual agamanya karena sedikit dari keuntungan dunia. (HR. Muslim no. 118)

Fitnah dunia bisa menimpa siapa saja. Tidak hanya yang jauh dari agama, bahkan orang yang dianggap berilmu seperti dai atau ustadz bahkan ulama. Allah subhanahu wa taala berfirman:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ
وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَٰكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ ۚ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ۚ ذَٰلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا ۚ فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.
(QS: Al-Araf Ayat: 176)
Imam Ibnul Qayyim berkata yang dimaksud dengan akhlada ilal ardhi (adalah) perasaan sangat cinta terhadap dunia.
Para ulama menjelaskan bahwa di antara faedah dari ayat ini adalah penjelasan tentang tahapan orang yang menyimpang, yaitu dimulai dari munculnya rasa cinta pada dunia yang menggebu-gebu dan kemudian diikuti hawa. Ketika seorang yang berilmu telah dirasuki syahwat atau ambisi pada dunia, maka ia akan mencari-cari syubhat untuk melandasi perbuatannya. Berbagai argumen dimunculkan, meskipun menyelisihi al-haq.
Allah menggambarkan orang seperti ini bagaikan anjing yang selalu menjulurkan lidahnya. Ia akan bersikap demikian hingga ambisinya tercapai. Diberi atau tidak, ia akan tetap menjalankan berbagai usahanya untuk meraih ambisi-ambisinya. Bahkan terkadang ia menantang orang yang memberikan nasihat kepadanya. Demikianlah keadaan orang yang telah dibutakan oleh dunia.

Imam Ibnul Qayyim rohimahulloh berkata: Semua orang berilmu namun lebih mementingkan dunia, maka pasti ia akan berbicara atas nama Allah taala tanpa landasan al-haq. Hal ini karena semua hukum-hukum Allah taala selalu menyelisihi kepentingan kebanyakan manusia.

Sumber: Majalah al Fawaid Edisi 09

ummuyusuf .com

Tentang MENGUTAMAKAN ATAU MENDAHULUKAN ORANG LAIN DI ATAS DIRI SENDIRI

Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Salah seorang kalian tidak (dikatakan) beriman (dengan sempurna) sampai dia cinta bagi saudaranya apa yang ia cinta bagi dirinya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Allah Subhanahu wata'ala berfirman:
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) mencintai orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9)

Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata: Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah dan mengatakan, Sungguh saya ditimpa kesulitan hidup. Maka Rasulullah menuju istri-istrinya, namun beliau tidak mendapatkan dari mereka sesuatu apapun (yang bisa diberikan kepadanya). Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan, Siapa yang mau menjamu orang ini pada malam ini? Berkata seorang Anshar, Saya, wahai Rasulullah. Orang Anshar tersebut datang kepada istrinya lalu mengatakan, (Ini adalah) tamu Rasulullah. Janganlah kamu menyimpan sesuatu (yang harus disuguhkan kepadanya). Istrinya mengatakan, Demi Allah, tidak ada padaku kecuali makanan untuk anak-anak. Suaminya berkata, Bila anak-anak ingin makan maka tidurkanlah mereka, dan kemarilah kamu (membawa hidangan) lalu matikan lampu. (Tidak mengapa) malam ini kita lapar. Istrinya menjalankan perintah suaminya. Pada keesokan harinya orang Anshar itu pergi kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam maka beliau bersabda, Sungguh Allah kagum/tertawa kepada fulan dan fulanah (seorang Anshar dan istrinya). Lalu Allah Subhanahu wata'ala menurunkan ayat-Nya:
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka dalam kesusahan. (Al-Hasyr: 9) [Shahih Al-Bukhari no. 4889]

Al-Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan,
“Dahulu kami menganggap bahwa orang yang bakhil di antara kami ialah orang yang meminjamkan dirham kepada saudaranya. Sebab, dahulu kami bermuamalah dengan kebersamaan dan mendahulukan kepentingan orang lain. Demi Allah, sungguh, salah seorang yang pernah aku lihat dan aku bersahabat dengannya, membelah izar (semacam sarung)nya lantas memberikannya kepada saudaranya.”
(Mawa’izh al-Hasan al-Bashri, hlm. 65—66)

Melebihkan orang lain atas dirinya sendiri terbagi mejadi tiga:
1. Dilarang. Hal ini seperti anda mengutamakan orang lain pada perkara yang syariat mewajibkan atas anda. Misalnya anda dan teman anda dalam keadaan batal wudhunya, anda mempunyai air yang hanya cukup untuk berwudhu satu orang. Bila anda berikan kepada teman anda, maka anda tidak punya air untuk berwudhu dan terpaksa tayammum. Dalam keadaan seperti ini tidak boleh memberikan air itu kepadanya, karena anda mendapatkan air dan air itu milik anda. Maka, melebihkan orang lain pada perkara yang diwajibkan oleh syariat adalah haram hukumnya. Karena hal tersebut berakibat menggugurkan kewajiban yang dibebankan atas anda.
2. Makruh, yaitu melebihkan orang lain pada perkara sunnah. Misalnya anda mampu berdiri di shaf pertama dalam shalat, namun anda justru mempersilakan orang lain untuk menempatinya. Hal ini makruh, karena menandakan anda kurang bersemangat terhadap kebaikan. Padahal berdiri di shaf pertama dalam shalat sangat besar keutamaannya. Maka bagaimana anda mendahulukan orang lain, padahal anda berhak mendapatkan keutamaan itu?
3. Boleh dan terkadang dianjurkan. Yaitu melebihkan orang lain pada perkara yang bukan ibadah. Seperti anda memberikan makanan kepada orang lain yang lapar padahal anda sendiri juga lapar. Perbuatan ini terpuji.
(Lihat Makarimul Akhlaq karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin hal. 54-55)

Tentang TAHUN BARU, NATAL, PASKAH, NYEPI, WAISAK, IMLEK, DAN PERAYAAN ORANG-ORANG KAFIR LAINNYA

Umar bin Khatthab Radhiyallahu 'anhu berkata:
“Jauhilah musuh-musuh Allah dalam acara hari raya mereka.” (Ahkamu Ahli Dzimmah 3/1247)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Tidak boleh bagi kaum muslimin untuk meniru-niru mereka (Yahudi, Nashrani atau orang-orang kafir lainnya) dalam hal-hal yang dikhususkan untuk perayaan-perayaan mereka (di antaranya Natal dan Tahun Baru Masehi). Tidak pula dalam bentuk makanan, pakaian, mandi, menyalakan api, meliburkan kebiasaan bekerja atau beribadah, atau yang selainnya. Dan tidak boleh mengadakan pesta, atau memberikan hadiah, atau menjual sesuatu yang membantu dan bertujuan untuk acara tersebut. Serta tidak boleh membiarkan anak-anak kecil atau yang seusianya untuk bermain-main yang kaitannya dengan perayaan tersebut dan tidak boleh memasang hiasan (menghiasi rumah/tempat tertentu dalam rangka untuk menyemarakkan perayaan tersebut).”
(Majmu' Fatawa 25/329)

Ibnul Qayyim mengatakan:
“Sebagaimana tidak boleh bagi ahlul kitab menampakkan hari raya (di negeri muslimin) maka tidak boleh pula bagi muslimin untuk membantu mereka dan atau menghadirinya bersama mereka dengan kesepakatan para ulama, yang mereka adalah ahlinya dalam hal ini.
Dan telah menegaskan demikian para ahli fikih dari para pengikut imam yang empat dalam kitab-kitab mereka.
Berkata Hibatullah bin al Hasan bin Manshur  at Thobari ahli fiqih dalam madzhab Syafii:
Tidak boleh bagi muslimin untuk menghadiri hari raya mereka karena mereka berada dalam kemungkaran dan kedustaan, dan bila orang-orang yang baik berbaur dengan orang-orang yang berbuat mungkar tanpa bentuk pengingkaran terhadap mereka maka mereka seperti orang-orang yang meridoinya dan memiliki peran terhadapnya maka kami khawatir akan turunnya murka Allah terhadap perkumpulan mereka sehingga kemurkaan itu menimpa mereka semua. Kami berlindung kepada Allah dari kemurkaan-Nya.”
(Ahkamu Ahli Dzimmah 3/1245)

Al-Lajnah ad-Da’imah (diketuai oleh al-‘Allamah ‘Abdul ‘Aziz Alu asy- Syaikh dengan anggota di antaranya al-‘Allamah Shalih al-Fauzan dan al-‘Allamah ‘Abdullah bin Ghudayyan) telah berfatwa dalam Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah (26/410),
“Seorang muslim tidak boleh mengucapkan selamat hari raya untuk perayaan ‘Id (hari raya) keagamaan orang-orang kafir. Sebab, hal itu termasuk bentuk keridhaan terhadap kebatilan mereka dan membuat mereka senang.
Kata Ibnul Qayyim rahimahullah, ‘Adapun ucapan selamat untuk syiar-syiar khusus kekafiran, hal itu haram menurut kesepakatan alim ulama. Misal: ucapan selamat kepada orang kafir dalam perayaan ‘Id (hari raya) mereka dan puasa mereka, dengan mengucapkan, ‘Semoga menjadi ‘Id yang penuh berkah atasmu,’ ‘Selamat buatmu dengan ‘Id ini,’ atau semisalnya.
Hal itu, andaikan orang yang mengucapkannya selamat dari kekufuran, setidaknya tergolong perkara haram. Sederajat dengan mengucapkan selamat atas perbuatan sujud kepada salib.
Hal itu lebih besar dosanya di sisi Allah dan lebih dimurkai daripada ucapan selamat atas minum khamr, pembunuhan, perzinaan, dan semisalnya. Banyak orang yang tidak menghargai agama ini terjatuh dalam hal semacam itu, tanpa tahu betapa buruk perbuatan tersebut.
Barang siapa mengucapkan selamat untuk seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah, atau kufur, sesungguhnya dirinya terancam dengan murka Allah ‘azza wa jalla.”

Al-Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata sebagaimana dalam Majmu’ al-Fatawa wa ar-Rasa’il (3/44—46),
“Ucapan selamat kepada orang kafir atas perayaan Hari Natal atau hari raya agama selainnya adalah perkara haram menurut kesepakatan ulama. Hal itu sebagaimana dinukil oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab Ahkam Ahli adz-Dzimmah (1/205).”
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah kemudian menukilkan ucapan Ibnul Qayyim sebagaimana yang tercanum dalam fatwa al-Lajnah di atas.
Setelah itu, beliau berkata, “Sesungguhnya, ucapan selamat kepada orang kafir atas hari raya keagamaan mereka hukumnya haram dan dosanya seperti kata Ibnul Qayyim, karena mengandung legitimasi atas apa yang mereka jalani dari syiar-syiar kufur dan keridhaan dengannya, kendati ia tidak ridha dengan kekufuran itu sendiri.
Akan tetapi, haram atas seorang muslim ridha dengan syiar-syiar kekafiran atau mengucapkan selamat kepada orang kafir dengan perayaan syiar-syiar itu, karena Allah tidak ridha dengannya.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
إِن تَكۡفُرُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ عَنكُمۡۖ وَلَا يَرۡضَىٰ لِعِبَادِهِ ٱلۡكُفۡرَۖ وَإِن تَشۡكُرُواْ يَرۡضَهُ لَكُمۡ
“Jika kalian kufur, sesungguhnya Allah Mahakaya (Tidak Butuh) dari kalian. Allah tidak ridha dengan kekufuran bagi hamba-hamba-Nya. Jika kalian bersyukur, Allah ridha bagi kalian.” (az-Zumar: 7)
Allah ‘azza wa jalla juga berfirman,
ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗا
“Hari ini aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, aku sempurnakan atas kalian nikmat-Ku, dan aku ridha Islam jadi agama kalian.” (al-Ma’idah: 3)
Haram hukumnya bagi seseorang mengucapkan selamat atas hari ‘Id (raya) keagamaan mereka, baik mereka satu pekerjaan dengannya atau tidak. Jika mereka mempersembahkan ucapan selamat hari ‘Id keagamaan mereka kepada kita, kita tidak boleh menjawabnya. Sebab, itu bukan ‘Id kita dan merupakan ‘Id yang tidak diridhai oleh Allah ‘azza wa jalla lantaran salah dari kemungkinan berikut:
- ‘Id itu adalah ‘Id yang dibuat-buat (bid’ah) dalam agama mereka.
- ‘Id itu asalnya disyariatkan dalam agama mereka, tetapi sekarang telah terhapus dengan syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seluruh manusia dan jin.
Allah ‘azza wa jalla berfirman tentangnya,
وَمَن يَبۡتَغِ غَيۡرَ ٱلۡإِسۡلَٰمِ دِينٗا فَلَن يُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٨٥
“Barang siapa mencari selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima darinya hal itu dan dia di akhirat termasuk orang-orang merugi.” (Ali ‘Imran: 85)
Haram bagi seorang muslim menjawab undangan mereka untuk menghadiri acara perayaan ‘Id mereka, karena hal itu lebih besar dosanya daripada sekadar memberi ucapan selamat.
Begitu pula, haram bagi kaum muslimin menyerupai (tasyabbuh) orang kafir dengan ikut-ikutan membuat acara perayaan pada hari ‘Id mereka, berbagi hadiah, membagi-bagikan kue, meliburkan pekerjaan, dan semisalnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.”
Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Iqtidha’ ash-Shirathil Mustaqim Mukhalafah Ashhabil Jahim, ‘Menyerupai orang-orang kafir pada sebagian perayaan ‘Id mereka akan membuat senang hati mereka lantaran kebatilan yang mereka jalani. Boleh jadi pula, hal itu akan menimbulkan ketamakan untuk mengambil peluang dan menghinakan orang-orang yang lemah.’
Barang siapa melakukan sesuatu dari hal-hal tersebut, ia berdosa, baik ia melakukannya dalam rangka basa-basi, saling mencintai, malu, atau sebab-sebab lainnya. Sebab, semua itu termasuk mudahanah (bermuka manis terhadap kemungkaran dalam rangka mengambil muka/menjilat kepada pelakunya) dalam agama Allah ‘azza wa jalla serta penyebab semakin kuatnya jiwa orang-orang kafir dan semakin bangga dengan agama mereka.
Hanya kepada Allah ‘azza wa jalla kita memohon agar memuliakan kaum muslimin dengan agama mereka, mengaruniai kekokohan di atas agama ini, menolong mereka menghadapi musuh-musuh mereka. Sesungguhnya Dialah yang Mahakuat dan Mahaperkasa.”

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin juga berkata: “Berbaurnya kaum muslimin dengan selain muslimin dalam acara hari raya mereka adalah haram, karena dalam perbuatan itu mengandung tolong menolong dalam hal perbuatan dosa dan permusuhan, sedangkan Allah berfirman: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al Maidah: 2)
Dan karena perayaan perayaan ini jika bertepatan dengan acara-acara keagamaan mereka maka ikut serta dalam hal itu berarti membenarkan agama mereka dan ridha dengan apa yang mereka ada padanya dari kekafiran. Adapun jika perayaan itu bukan karena bertepatan dengan acara keagamaan mereka, seandainya ini dilakukan oleh muslimin saja hal itu tidak boleh, bagaimana bila dilakukan oleh orang kafir?! Oleh karenanya para ulama mengatakan bahwa tidak boleh bagi kaum muslimin untuk ikut bersama non muslim dalam acara hari raya mereka, karena hal itu berarti persetujuan dan ridha terhadap agama mereka yang batil. Juga terkandung di dalamnya adanya saling membantu dalam perbuatan dosa dan permusuhan.
Para ulama berbeda pendapat tentang seseorang non muslim yang menghadiahkan kepadamu sebuah-hadiah berkaitan dengan hari raya mereka, apakah kamu boleh menerimanya atau tidak boleh. Di antara ulama ada yang mengatakan tidak boleh menerima hadiah dari mereka pada acara hari raya mereka, karena ini adalah tanda kerelaan. Sebagian ulama yang lain ada yang mengatakan tidak mengapa untuk menerimanya. Bagaimanapun, jika di sana tidak ada larangan yang syar’i yang menjadikan orang yang memberimu hadiah meyakini bahwa kamu ridha terhadap ajaran agama mereka, maka tidak mengapa kamu menerimanya. Kalau tidak seperti itu, maka lebih utama untuk tidak menerimanya.”
(Majmu' Fatawa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin jilid ketiga pada pembahasan Al-Wala wal Bara)

Samahatul Imam Al-Allamah Asy-Syaikh Abdulaziz bin Baz rahimahullah berkata:
“Tidak boleh bagi muslim dan muslimah untuk ikut serta dengan kaum Nashara, Yahudi, atau kaum kafir lainnya dalam acara perayaan-perayaan mereka. Bahkan wajib meninggalkannya. Karena barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk kaum tersebut. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memperingatkan kita dari sikap menyerupai mereka atau berakhlaq dengan akhlaq mereka. Maka wajib atas setiap mukmin dan mukminah untuk waspada dari hal tersebut, dan tidak boleh membantu untuk merayakan perayaan-perayaan orang-orang kafir tersebut dengan sesuatu apapun, karena itu merupakan perayaan yang menyelisihi syariat Allah dan dirayakan oleh para musuh Allah. Maka tidak boleh turut serta dalam acara perayaan tersebut, tidak boleh bekerja sama dengan orang-orang yang merayakannya, dan tidak boleh membantunya dengan sesuatu apapun, baik teh, kopi, atau perkara lainnya seperti alat-alat atau yang semisalnya.
Allah juga berfirman:
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketaqwaan, dan jangalah kalian tolong menolong dalam dosa dan permusuhan” [Al-Ma`idah: 2]
Ikut serta dengan orang-orang kafir dalam acara perayaan-perayaan mereka merupakan salah satu bentuk tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan. Maka wajib atas setiap muslim dan muslimah untuk meninggalkannya.
Tidak selayaknya bagi seorang yang berakal jernih untuk tertipu dengan perbuatan-perbuatan orang lain. Yang wajib atasnya adalah melihat kepada syariat dan aturan yang dibawa oleh Islam, merealisasikan perintah Allah dan Rasul-Nya, dan sebaliknya tidak menimbangnya dengan aturan manusia, karena kebanyakan manusia tidak mempedulikan syariat Allah. Sebagaimana firman Allah:
وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللهِ
“Kalau engkau mentaati mayoritas orang yang ada di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” [Al-Anam : 116]
Allah juga berfirman:
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ
“Kebanyakan manusia tidaklah beriman walaupun engkau sangat bersemangat (untuk menyampaikan penjelasan).” [Yusuf : 103]
Maka segala perayaan yang bertentangan dengan syari’at Allah tidak boleh dirayakan meskipun banyak manusia yang merayakannya. Seorang mukmin menimbang segala ucapan dan perbuatannya, juga menimbang segala perbuatan dan ucapan manusia, dengan timbangan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Segala yang sesuai dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah atau salah satu dari keduanya, maka diterima meskipun ditinggakan manusia. Sebaliknya, segala yang bertentangan dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah atau salah satunya, maka ditolak meskipun dilakukan oleh manusia.
(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah rahimahullah I/405)

Minggu, 21 Desember 2014

Tentang MUDAH MEMBERI MAAF

Allah Subhanahu wata'ala berfirman:
ﻭَﺳَﺎﺭِﻋُﻮﺍ ﺇِﻟَﻰ ﻣَﻐْﻔِﺮَﺓٍ ﻣِﻦْ ﺭَﺑِّﻜُﻢْ ﻭَﺟَﻨَّﺔٍ ﻋَﺮْﺿُﻬَﺎ ﺍﻟﺴَّﻤَﻮَﺍﺕُ ﻭَﺍﻟْﺄَﺭْﺽُ ﺃُﻋِﺪَّﺕْ ﻟِﻠْﻤُﺘَّﻘِﻴﻦَ. ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﻨْﻔِﻘُﻮﻥَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴَّﺮَّﺍﺀِ ﻭَﺍﻟﻀَّﺮَّﺍﺀِ ﻭَﺍﻟْﻜَﺎﻇِﻤِﻴﻦَ ﺍﻟْﻐَﻴْﻆَ ﻭَﺍﻟْﻌَﺎﻓِﻴﻦَ ﻋَﻦِ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻭَﺍﻟﻠَّﻪُ ﻳُﺤِﺐُّ ﺍﻟْﻤُﺤْﺴِﻨِﻴﻦَ
“Dan bersegeralah menuju ampunan dari Rabb kalian dan surga yang lebarnya (seluas) langit dan bumi yang disediakan bagi orang yang bertakwa, yaitu orang yang menginfakkan (hartanya) di waktu lapang atau susah, dan orang-orang yang menahan amarah, dan bersikap pemaaf kepada manusia, dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Ali Imran: 133-134)

Allah Tabaraka wata'ala berfirman:
“Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (At-Taghabun: 14)

Allah berfirman:
“Maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik.” (Al-Hijr: 85)
Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu berkata: “Yakni ridha, tanpa mencercanya.”

Adalah Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu dahulu biasa memberikan nafkah kepada orang-orang yang tidak mampu, di antaranya Mistah bin Usasah. Dia termasuk famili Abu Bakar dan muhajirin. Di saat tersebar berita dusta seputar Aisyah binti Abi Bakar istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, Mistah termasuk salah seorang yang menyebarkannya. Kemudian Allah Tabaraka wata'ala menurunkan ayat menjelaskan kesucian Aisyah dari tuduhan kekejian. Mistah pun dihukum dera dan Allah Tabaraka wata'ala memberi taubat kepadanya. Setelah peristiwa itu, Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu bersumpah untuk memutuskan nafkah dan pemberian kepadanya. Maka Allah Tabaraka wata'ala menurunkan firman-Nya:
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (An-Nur: 22)
Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu mengatakan: “Betul, demi Allah. Aku ingin agar Allah Tabaraka wata'ala mengampuniku.” Lantas Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu kembali memberikan nafkah kepada Mistah Radhiyallahu 'anhu. (Lihat Sahih Al-Bukhari no. 4750 dan Tafsir Ibnu Katsir 3/286-287)

Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
“Sayangilah –makhluk– maka kamu akan disayangi Allah Tabaraka wata'ala, dan berilah ampunan niscaya Allah Tabaraka wata'ala mengampunimu.” (Sahih Adabil Mufrad no. 293)

Berkata Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah:
Wahai anak Adam, sesungguhnya antara dirimu dan Allah ada dosa-dosa, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah. Maka jika kamu ingin agar Allah mengampuni dosa-dosa untukmu, hendaklah ampunilah dari hamba-hamba-Nya. Jika engkau ingin agar Allah memaafkan dosa-dosa untukmu, maka maafkanlah dari kalangan hamba-hamba-Nya. Karena balasan sesuai dengan perbuatan. (Badaiul Fawaid: 2/468)

Al-Munawi Rahimahullah berkata: “Allah Tabaraka wata'ala mencintai nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya yang di antaranya adalah (sifat) rahmah dan pemaaf. Allah Tabaraka wata'ala juga mencintai makhluk-Nya yang memiliki sifat tersebut.” (Faidhul Qadir 1/607)

Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللهُ
“Sedekah –hakikatnya– tidaklah mengurangi harta, dan tidaklah Allah Tabaraka wata'ala menambah seorang hamba karena memaafkan kecuali kemuliaan, dan tiada seorang yang rendah hati (tawadhu') karena Allah Tabaraka wata'ala melainkan diangkat oleh Allah Tabaraka wata'ala.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu)

Allah Tabaraka wata'ala berfirman:
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Asy-Syura: 40)

Ayat ini menyebutkan bahwa tingkat pembalasan ada tiga:
Pertama:
Adil, yaitu membalas kejelekan dengan kejelekan serupa, tanpa menambahi atau mengurangi. Misalnya jiwa dibalas dengan jiwa, anggota tubuh dengan anggota tubuh yang sepadan, dan harta diganti dengan yang sebanding.
Kedua:
Kemuliaan, yaitu memaafkan orang yang berbuat jelek kepadanya bila dirasa ada perbaikan bagi orang yang berbuat jelek. Ditekankan dalam pemaafan, adanya perbaikan dan membuahkan maslahat yang besar. Bila seorang tidak pantas untuk dimaafkan dan maslahat yang sesuai syariat menuntut untuk dihukum, maka dalam kondisi seperti ini tidak dianjurkan untuk dimaafkan.
Ketiga:
Zalim yaitu berbuat jahat kepada orang dan membalas orang yang berbuat jahat dengan pembalasan yang melebihi kejahatannya.
(Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman hal. 760, cet. Ar-Risalah)

Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata: “Tidaklah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam membalas atau menghukum karena dirinya (disakiti) sedikit pun, kecuali bila kehormatan Allah Subhanahu wata'ala dilukai. Maka beliau Shallallahu 'alaihi wasallam menghukum dengan sebab itu karena Allah Subhanahu wata'ala.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, tidaklah beliau Shallallahu 'alaihi wasallam disakiti pribadinya oleh orang-orang Badui yang kaku perangainya, atau orang-orang yang lemah imannya, atau bahkan dari musuhnya, kecuali beliau Shallallahu 'alaihi wasallam memaafkan. Ada orang yang menarik baju Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dengan keras hingga membekas pada pundaknya. Ada yang menuduh Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam tidak adil dalam pembagian harta rampasan perang. Ada pula yang hendak membunuh Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam namun gagal karena pedang terjatuh dari tangannya. Mereka dan yang berbuat serupa dimaafkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Ini semua selama bentuk menyakitinya bukan melukai kehormatan Allah Subhanahu wata'ala dan permusuhan terhadap syariat-Nya. Namun bila menyentuh hak Allah Subhanahu wata'ala dan agamanya, beliau Shallallahu 'alaihi wasallam pun marah dan menghukum karena Allah Subhanahu wata'ala serta menjalankan kewajiban amar maruf nahi mungkar. Oleh karena itu, beliau Shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan cambuk terhadap orang yang menuduh istri beliau Shallallahu 'alaihi wasallam yang suci berbuat zina. Ketika menaklukkan kota Makkah, beliau Shallallahu 'alaihi wasallam memvonis mati terhadap sekelompok orang musyrik yang dahulu sangat menyakiti Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam karena mereka banyak melukai kehormatan Allah Subhanahu wata'ala. (Disarikan dari Adabul Nabawi hal. 193 karya Muhammad Al-Khauli)

Dalam hadits yang sohih Rasulullah mengajarkan kepada kita sebuah doa,
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺇِﻧِّﻰ ﺃَﺳْﺄَﻟُﻚَ ﺍﻟْﻬُﺪَﻯ ﻭَﺍﻟﺘُّﻘَﻰ ﻭَﺍﻟْﻌَﻔَﺎﻑَ ﻭَﺍﻟْﻐِﻨَﻰ
Allahumma inni as`alukal huda wat tuqo wal ‘afafa wal ghina
(Ya Allah, aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf dan ghina). (HR. Muslim no. 2721)

Berkata Syaikh Abdurrahman bin Nasir As Sa'di rahimahullah:
Makna الهدى (al huda) adalah: Ilmu yang bermanfaat.
Makna التقى (at tuqo) adalah: Amal yang sholih serta meninggalkan segala bentuk keharaman.
Dan ini adalah perkara yang menunjuk baiknya agama. Dan bisa bertambah sempurna dengan baiknya hati seseorang, tenangnya dia dengan adanya:
- sifat al 'afaf (memaafkan) dari makhluk, dan
- sifat al ghina (merasa cukup) kepada Allah.
Siapa saja yang dia merasa cukup dengan Allah, maka dialah orang yang kaya sesungguhnya meskipun sedikit penghasilannya.
Bukanlah kaya itu dengan banyaknya perbendaharaan, sesungguhnya kaya yang sesunhuhnya adalah kaya hatinya.
Dengan sifat 'afaf dan ghina, akan menyempurnakan kehidupan yang baik, kenikmatan dunia, bagi seorang hamba, serta dia juga merasa cukup (qona'ah) dengan apa yang Allah berikan padanya.
[Bahjah Qulubul Abror: 88]

Kemudian, pemaafan dikatakan terpuji bila muncul darinya akibat yang baik, karena ada pemaafan yang tidak menghasilkan perbaikan. Misalnya, ada seorang yang terkenal jahat dan suka membuat kerusakan di mana dia berbuat jahat kepada anda. Bila anda maafkan, dia akan terus berada di atas kejahatannya. Dalam keadaan seperti ini, yang utama tidak memaafkan dan menghukumnya sesuai kejahatannya sehingga dengan ini muncul kebaikan, yaitu efek jera. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah menegaskan: “Melakukan perbaikan adalah wajib, sedangkan memaafkan adalah sunnah. Bila pemaafan mengakibatkan hilangnya perbaikan berarti mendahulukan yang sunnah atas yang wajib. Tentunya syariat ini tidak datang membawa hal yang seperti ini.” (Lihat Makarimul Akhlaq karya Syeikh Ibnu Usaimin hal. 20)

Tentang MEMBALAS KEJELEKAN DENGAN KEBAIKAN

Allah Subhanahu wata'ala berfirman:
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
“Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah kejahatan itu dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan, seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (Fushshilat: 34)

Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan:
إذا أحسنت إلى من أساء إليك قادته تلك الحسنة إليه إلى مصافاتك ومحبتك، والحنو عليك، حتى يصير كأنه ولي لك حميم
“Bila kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat jelek kepadamu maka kebaikan ini akan menggiring orang yang berlaku jahat tadi merapat denganmu, mencintaimu, dan condong kepadamu sehingga dia (akhirnya) menjadi temanmu yang dekat.”
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma mengatakan:
أمر الله المؤمنين بالصبر عند الغضب، والحلم عند الجهل، والعفو عند الإساءة، فإذا فعلوا ذلك عصمهم الله من الشيطان، وخضع لهم عدوهم كأنه ولي حميم
“Allah Tabaraka wata'ala memerintahkan orang beriman untuk bersabar di kala marah, bermurah hati ketika diremehkan, dan memaafkan di saat diperlakukan jelek. Bila mereka melakukan ini maka Allah Tabaraka wata'ala menjaga mereka dari (tipu daya) setan dan musuh pun tunduk kepadanya sehingga menjadi teman yang dekat.”
(Tafsir Al-Qur`an Al-'Azhim 4/109)

Al-Imam Muslim Rahimahullah meriwayatkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa ada seorang laki-laki berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku punya kerabat. Aku berusaha menyambungnya namun mereka memutuskan hubungan denganku. Aku berbuat kebaikan kepada mereka namun mereka berbuat jelek. Aku bersabar dari mereka namun mereka berbuat kebodohan terhadapku.” Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمُ الْمَلَّ وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ
“Jika benar yang kamu ucapkan maka seolah-olah kamu menebarkan abu panas kepada mereka. Dan kamu senantiasa mendapat penolong dari Allah Tabaraka wata'ala atas mereka selama kamu di atas hal itu.” (HR. Muslim)

Allah Tabaraka wata'ala berfirman:
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Asy-Syura: 40)

Ayat ini menyebutkan bahwa tingkat pembalasan ada tiga:
Pertama:
Adil, yaitu membalas kejelekan dengan kejelekan serupa, tanpa menambahi atau mengurangi. Misalnya jiwa dibalas dengan jiwa, anggota tubuh dengan anggota tubuh yang sepadan, dan harta diganti dengan yang sebanding.
Kedua:
Kemuliaan, yaitu memaafkan orang yang berbuat jelek kepadanya bila dirasa ada perbaikan bagi orang yang berbuat jelek. Ditekankan dalam pemaafan, adanya perbaikan dan membuahkan maslahat yang besar. Bila seorang tidak pantas untuk dimaafkan dan maslahat yang sesuai syariat menuntut untuk dihukum, maka dalam kondisi seperti ini tidak dianjurkan untuk dimaafkan.
Ketiga:
Zalim yaitu berbuat jahat kepada orang dan membalas orang yang berbuat jahat dengan pembalasan yang melebihi kejahatannya.
(Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman hal. 760, cet. Ar-Risalah)

Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata: “Tidaklah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam membalas atau menghukum karena dirinya (disakiti) sedikit pun, kecuali bila kehormatan Allah Subhanahu wata'ala dilukai. Maka beliau Shallallahu 'alaihi wasallam menghukum dengan sebab itu karena Allah Subhanahu wata'ala.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, tidaklah beliau Shallallahu 'alaihi wasallam disakiti pribadinya oleh orang-orang Badui yang kaku perangainya, atau orang-orang yang lemah imannya, atau bahkan dari musuhnya, kecuali beliau Shallallahu 'alaihi wasallam memaafkan. Ada orang yang menarik baju Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dengan keras hingga membekas pada pundaknya. Ada yang menuduh Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam tidak adil dalam pembagian harta rampasan perang. Ada pula yang hendak membunuh Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam namun gagal karena pedang terjatuh dari tangannya. Mereka dan yang berbuat serupa dimaafkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Ini semua selama bentuk menyakitinya bukan melukai kehormatan Allah Subhanahu wata'ala dan permusuhan terhadap syariat-Nya. Namun bila menyentuh hak Allah Subhanahu wata'ala dan agamanya, beliau Shallallahu 'alaihi wasallam pun marah dan menghukum karena Allah Subhanahu wata'ala serta menjalankan kewajiban amar maruf nahi mungkar. Oleh karena itu, beliau Shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan cambuk terhadap orang yang menuduh istri beliau Shallallahu 'alaihi wasallam yang suci berbuat zina. Ketika menaklukkan kota Makkah, beliau Shallallahu 'alaihi wasallam memvonis mati terhadap sekelompok orang musyrik yang dahulu sangat menyakiti Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam karena mereka banyak melukai kehormatan Allah Subhanahu wata'ala. (Disarikan dari Adabul Nabawi hal. 193 karya Muhammad Al-Khauli)

Kemudian, pemaafan dikatakan terpuji bila muncul darinya akibat yang baik, karena ada pemaafan yang tidak menghasilkan perbaikan. Misalnya, ada seorang yang terkenal jahat dan suka membuat kerusakan di mana dia berbuat jahat kepada anda. Bila anda maafkan, dia akan terus berada di atas kejahatannya. Dalam keadaan seperti ini, yang utama tidak memaafkan dan menghukumnya sesuai kejahatannya sehingga dengan ini muncul kebaikan, yaitu efek jera. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah menegaskan: “Melakukan perbaikan adalah wajib, sedangkan memaafkan adalah sunnah. Bila pemaafan mengakibatkan hilangnya perbaikan berarti mendahulukan yang sunnah atas yang wajib. Tentunya syariat ini tidak datang membawa hal yang seperti ini.” (lihat Makarimul Akhlaq karya Syeikh Ibnu Usaimin hal. 20)

Jumat, 19 Desember 2014

Tentang IKHWANUL MUSLIMIN

IKHWANUL MUSLIMIN (IM)

Definisinya:
Kelompok para pengikut Hasan al-Banna. 

Sangat banyak kritik ilmiah terhadap manhaj mereka. Di antara poin kritik terpenting  terhadap kelompok Ikhwanul Muslimin (IM):

1. Menyepelekan permasalahan Tauhid Ibadah. Padahal itu merupakan permasalahan terpenting dalam Islam, dan tidak sah keislaman seseorang tanpa tauhid ibadah.

2. Mereka diam dan menyetujui manusia atas syirik akbar yang terjadi, berupa doa kepada selain Allah, thawaf di kuburan-kuburan, bernadzar kepada para penghuni kubur dan menyembelih atas nama mereka, dll.

3. Manhaj IM ini, pendirinya (yaitu Hasan al-Banna) adalah seorang penganut shufi, memiliki hubungan kuat dengan paham shufiyyah/sufisme. Yaitu dia telah berbaiat kepada ‘Abdul Wahhab al-Hushafi di atas tarekat sufi Hushafiyyah Syadziliyyah.

4. Menjamurnya bid’ah pada kelompok tersebut. Mereka beribadah dengan bid’ah-bid’ah tersebut. Bahkan pendiri kelompok manhaj IM ini menegaskan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hadir dalam majelis dzikir mereka dan memberikan ampun untuk dosa-dosa mereka yang telah berlalu. Yaitu dalam ucapannya
صلى الإلهُ على النور الذي ظهرا 
للعالمين ففاق الشمس والقمرا
هذا الحبيب مع الأحباب قد حضرا
وسامح الكل فيما قد مضى وجرى
Allah bershalawat kepada sang Cahaya (yakni Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam) yang telah muncul
Di alam ini, maka dia melebihi matahari dan bulan
Inilah sang Habib (yakni Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) bersama para habib lainnya TELAH HADIR
Dan memberikan maaf kepada semua atas dosa-dosa yang telah lalu dan lewat

5. Mengajak untuk mendirikan Khilafah. Ajakan ini adalah BID’AH. Karena para rasul dan para pengikutnya tidaklah ditugasi kecuali untuk berdakwah (mengajak) kepada Tauhid. Allah berfirman,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul, mendakwahkan: Ibadahilah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36)

6. Tidak ada prinsip al-Wala wa al-Bara di tengah-tengah mereka, atau sangat lemah. Hal ini tampak dengan jelas dari:
▪ dakwah (ajakan) mereka untuk mengadakan pendekatan antara Sunnah dan Syi’ah.
▪ pernyataan (semboyan/kaedah) sang pendiri kelompok IM:
نَتَعَاوَنُ فِيمَا اتَّفَقْنَا عَلَيْهِ، وَيَعْذُرُ بَعْضُنَا بَعْضًا فِيمَا اِخْتَلَفْنَا فِيهِ
Kita saling bekerja sama dalam perkara yang kita bersepakat padanya, dan kita saling memberikan udzur dalam perkara kita berbeda pendapat di dalamnya.

7. Mereka (IM) sangat tidak suka dan benci terhadap Ahli Tauhid dan orang-orang yang berjalan di atas manhaj Salafiyyah. Hal ini tampak jelas dari penilaian mereka terhadap Kerajaan Saudi ‘Arabia yang tegak di atas Tauhid, dan Tauhid dipelajari di sekolah-sekolah, ma’had-ma’had, dan universitas-universitas negeri tersebut. Tampak jelas juga dari aksi pembunuhan yang mereka lakukan terhadap asy-Syaikh Jamilurrahman al-Afghani, karena beliau senantiasa gigih mendakwahkan tauhid, di mana beliau memiliki madrasah yang di situ dipelajari tauhid.

8. Mereka (IM) terus mencari-cari kesalahan-kesalahan pemerintah dan mengomentari kejelekan-kejelekan penguasa – baik itu sesuatu yang benar ataupun dusta – serta menyebarkannya kepada para pemuda yang masih baru. Untuk memprovokasi mereka dan memenuhi hati mereka dengan kedengkian terhadap pemerintah.

9. Hizbiyyah tulen, yang mereka menisbahkan diri padanya dan berloyal penuh demi kelompoknya, serta siap bermusuhan demi membela kelompoknya. Mengambil bai’at untuk kegiatan kelompok Ikhwanul Muslimin, dengan 10 syarat yang disebutkan oleh pendirinya. 

Dan masih banyak berbagai kritik lain,  yang mungkin akan kita jelaskan pada kesempatan lain.

Sumber:
Kitab al-Fatawa al-Jaliyyah ‘an As-ilah al-Manahij ad-Da’wiyyah, asy-Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi rahimahullah, hal. 101—113

WhatsApp Miratsul Anbiya Indonesia