Asy-Syaikh Ubaid bin Abdillah Al-Jabiry hafizhahullah
Semoga Allah memberkahi Anda wahai syaikh kami, pertanyaan ke-15:
ﺷﻴﺨﻨﺎ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﻓﻲ ﺑﻼﺩِ ﺷﺮﻕ ﺁﺳﻴﺎ ﻣﻄﺎﻋﻢ، ﻭﻗﺪ ﺟﺮﺕ ﺍﻟﻌﺎﺩﺓ ﺃﻥَّ ﺍﻟﻮﺍﺭﺩﻳﻦ ﺇﻟﻴﻬﺎ ﺭﺟﺎﻝ ﻭﻧﺴﺎﺀ؛ ﻓﻴﺤﺼﻞ ﻛﺜﻴﺮٌ ﻣﻦ ﺍﻻﺧﺘﻼﻁ ﻭﺑﻌﺾ ﺍﻟﻤﻨﻜﺮﺍﺕ؛ ﻓﻬﻞ ﻋﻠﻰ ﺻﺎﺣﺐ ﺗﻠﻚ ﺍﻟﻤﻄﺎﻋﻢ ﺇﺛﻢ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ؟ ﻭﻫﻞ ﻳُﻌﺘﺒﺮ ﺫﻟﻚ ﺗﻌﺎﻭﻧًﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻹﺛﻢ ﻭﺍﻟﻌﺪﻭﺍﻥ؟
Di tempat kami di negeri timur Asia terdapat rumah-rumah makan yang kebiasaannya para pengunjungnya dari kalangan pria dan wanita sehingga seringnya terjadi ikhtilath dan sebagian kemungkaran. Maka apakah pemilik rumah-rumah makan tersebut berdosa atasnya dan apakah hal itu teranggap saling membantu dalam dosa dan permusuhan?
Jawaban:
ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﺴﻠﻤًﺎ ﻓﻼ ﻳﺤﻞُّ ﻟﻪ ﻫﺬﺍ، ﻳﺤﺎﻭﻝ ﻳَﻔْﺼﻞ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺮﺟﺎﻝ ﻭﺍﻟﻨﺴﺎﺀ، ﻭﻻ ﻳﺤﻞ ﻟﻪ ﻳﻘﻌﺪﻭﻥ ﺇﻟﻰ ﺟﺎﻧﺐ ﺑﻌﻀﻬﻢ، ﺃﻣَّﺎ ﺍﻟﻤﻨﻊ ﻣﺎ ﺃﻇﻨﻪ ﻳَﺘَﻴَﺴَّﺮ ﻟﻪ، ﻷﻥ ﺍﻟﺒﻼﺩ ﺍﻟﻜﺎﻓﺮﺓ ﺗُﻠﺰِﻡ، ﻭﻣﻦ ﺗَﺸَﺒَّﻪ ﺑﻬﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻳُﻠﺰِﻣﻮﻥ، ﻟﻜﻦ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻥ ﻳﺠﻌﻞ ﺣﺎﺟﺰًﺍ ﻗﺪﺭ ﺍﻹﻣﻜﺎﻥ، ﻭﻻ ﻳُﻤﻜِّﻦ ﻣﻦ ﻣﺜﻠًﺎ : ﺷُﺮﺏ ﺧﻤﺮ، ﺭﻗﺺ، ﻟﻬﻮ؛ ﻻ ﻳُﻤﻜِّﻦ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ، ﻭﻟﻮ ﺃﺩَّﻯ ﺇﻟﻰ ﻗﻔﻞ ﺍﻟﻤﻄﻌﻢ، ﻭﻟﻴَﺜِﻖ ﺑِﻮَﻋْﺪِ ﺍﻟﻠﻪ؛ ﻭَﻣَﻦ ﻳَﺘَّﻖِ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻳَﺠْﻌَﻞ ﻟَّﻪُ ﻣَﺨْﺮَﺟًﺎ ﻭَﻳَﺮْﺯُﻗْﻪُ ﻣِﻦْ ﺣَﻴْﺚُ ﻟَﺎ ﻳَﺤْﺘَﺴِﺐُ ﻭَﻣَﻦ ﻳَﺘَﻮَﻛَّﻞْ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻓَﻬُﻮَ ﺣَﺴْﺒُﻪُ. ﻧﻌﻢ
Jika dia benar-benar seorang muslim maka tidak halal hal seperti ini baginya. Hendaknya dia berusaha memisah antara pria dengan wanita, dan tidak halal baginya untuk membiarkan mereka duduk di samping pria. Adapun berkaitan dengan melarang maka saya kira hal itu tidak mudah baginya, karena negara-negara kafir mengharuskan, dan barangsiapa dari kaum Muslimin yang meniru mereka maka mereka akan mengharuskannya. Tetapi hendaknya dia membuat tirai pembatas sebisa mungkin, dan jangan sampai misalnya dia membiarkan orang minum khamer, menari, dan hal yang sia-sia. Jangan sampai dia membiarkan hal ini, walaupun hal itu membuatnya terpaksa harus menutup rumah makan tersebut. Dan hendaklah dia percaya dengan janji Allah:
وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah maka pasti Dia akan memberikan jalan keluar bagi kesulitannya dan akan memberinya rezeki dari arah yang tidak dia sangka-sangka, dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah maka Dia akan mencukupinya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3)
Sumber audio dan transkripnya:
ar .miraath .net/fatwah/10512
# forumsalafy.net
###
Bismillah. Apa hukumnya kita menjual barang yg konsumennya itu wanita seperti jual sayuran, ikan, dan lain-lain, karena secara langsung kita bertatap muka dan menebar senyum kepada pelanggan?
Atas jawabannya ana haturkan jazakumullahu khairan.
Jawab:
Bismillah. Hukum asal jual beli adalah dihalalkan oleh Alloh:
ﻭَﺃَﺣَﻞَّ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺍﻟْﺒَﻴْﻊَ ﻭَﺣَﺮَّﻡَ ﺍﻟﺮِّﺑَﺎ
[Surat Al-Baqarah : 275]
“Dan Alloh halalkan jual beli dan Alloh haramkan riba.”
Oleh karenanya para ulama sepakat berdasarkan ayat di atas bahwa secara global jual beli adalah dibolehkan, dan manusia tentulah memiliki kebutuhan yang ada pada tangan orang lain, dan tentu harus dengan cara yang halal.
Jual beli memiliki 3 persyaratan:
1. Adanya penjual dan pembeli
2. Adanya barang dagangan yang halal
3. Ijab kabul.
Maka dari sini semua jenis perdagangan sayur mayur, ikan, daging, dan sebagainya yang dijajakan oleh bakul sayuran adalah dibolehkan. Hanya saja, mengingat di negeri kita pada umumnya yang selalu “menanti-nanti” tukang sayur atau penjual sayuran dan bahan masakan lainnya adalah kaum hawa, maka hendaknya penjual sayuran baik yang keliling maupun yang mangkal memperhatikan beberapa kaidah yang harus dijalankan, diantaranya:
1. Bertaqwa dan berlaku jujur dalam jual beli, hal ini berdasarkan sabda nabi yang menyatakan:
ﻓﺈﻥ ﺻﺪﻗﺎ ﻭﺑﻴﻨﺎ ﺑﻮﺭﻙ ﻟﻬﻤﺎ ﻓﻲ ﺑﻴﻌﻬﻤﺎ ﻭﺇﻥ ﻛﺬﺑﺎ ﻭﻛﺘﻤﺎ ﻣﺤﻘﺖ ﺑﺮﻛﺔ ﺑﻴﻌﻬﻤﺎ
“Jika pedagang dan pembeli saling jujur dan menjelaskan keadaan barangnya maka akan diberkahi jual beli keduanya, dan jika keduanya berdusta dan saling menyembunyikan maka terhapus keberkahan jual beli keduanya.”
2. Tetap menjaga pandangan, sekalipun pembeli mayoritas adalah kaum hawa. Hal ini berdasarkan firman Alloh ta’ala:
ﻗﻞ ﻟﻠﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﻳﻐﻀﻮﺍ ﻣﻦ ﺃﺑﺼﺎﺭﻫﻢ ﻭﻳﺤﻔﻈﻮﺍ ﻓﺮﻭﺟﻬﻢ ﺫﻟﻚ ﺃﺯﻛﻰ ﻟﻬﻢ ﺇﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺧﺒﻴﺮ ﺑﻤﺎ ﻳﺼﻨﻌﻮﻥ
“Katakan kepada kaum mukminin agar mereka menundukkan pandangan-pandangan mereka dan menjaga kemaluan-kemaluan mereka, karena yang demikian adalah lebih suci bagi kalian. Sungguh Alloh maha tahu apa yang mereka perbuat.”
Dan tidak ada udzur dalam hal yang demikian, sebagaimana syaikh Ibnu Baaz rohimahulloh pernah ditanya tentang sholat ke masjid yang di jalan-jalannya banyak berkeliaran para wanita, maka syaikh menjawab:
ﻭﺍﻟﻮﺍﺟﺐ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺴﻠﻢ ﻏﺾ ﺍﻟﺒﺼﺮ ﻭﺃﻥ ﻳﺘﻘﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻳﻐﺾ ﺑﺼﺮﻩ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﻓﻲ ﺍﻷﺳﻮﺍﻕ ﻭﻓﻲ ﻛﻞ ﻣﻜﺎﻥ، ﻭﻟﻴﺲ ﻋﺬﺭﺍ ﻟﻪ ﺇﺫﺍ ﺫﻫﺐ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺃﻥ ﻳﺼﺎﺩﻓﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﻄﺮﻳﻖ ﻧﺴﺎﺀ ﻓﺈﺫﺍ ﺻﺎﺩﻓﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﻄﺮﻳﻖ ﻧﺴﺎﺀ ﻳﻐﺾ ﺑﺼﺮﻩ
“Dan wajib bagi setiap muslim untuk menundukkan pandangan dan bertakwa kepada Alloh serta menundukkan pandangannya dari para wanita di pasar-pasar dan di semua tempat, dan tidak ada udzur (keringanan) baginya apabila pergi ke masjid dia merapatkan diri dengan para wanita di jalanan dan apabila harus berdesakan dengan para wanita di jalan, maka hendaknya dia tundukkan pandangannya.” [Fatawa Nur alad darb, juz 6 hal. 222]
3. Berbicaralah seperlunya, tidak bermujamalah dan bersenda gurau dengan para wanita yang belanja, sebagaimana yang banyak terjadi di kalangan mereka, karena yang demikian menjadi sebab munculnya fitnah dan kerusakan.
4. Tidak bersentuhan kulit dengan mereka para pembeli wanita, dan ini adalah perkara yang jelas kemungkarannya.
5. Memberikan hak kepada para
pengguna jalan jika dia berjualan di
tempat lewatnya orang-orang atau di tempat umum.
Wallohu a’lam.
(Al Ustadz Abu Abduh Muhammad Sholehudin Hafizhahullah)
Sumber: forumsalafy .net
###
Bekerja di tempat yang ikhtilath (campur baur antara lawan jenis) tidak keluar dari dua keadaan:
Pertama:
Apabila di sana ada tempat, ruangan atau kantor khusus bagi kaum laki-laki sendiri, dan bagi kaum wanita sendiri, maka hukumnya boleh.
Kedua:
Apabila dalam satu tempat, ruangan atau kantor bercampur antara laki-laki dan perempuan, maka tidak boleh, sebab hal itu adalah pintu fitnah dan kerusakan.
Nabi telah memperingatkan kepada umatnya dari fitnah kaum wanita dalam sabdanya:
ﻣَﺎ ﺗَﺮَﻛْﺖُ ﺑَﻌْﺪِﻱْ ﻓِﺘْﻨَﺔً ﺃَﺿَﺮَّ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺮِّﺟَﺎﻝِ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀِ
“Tidaklah saya tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi kaum pria daripada fitnah wanita.” (HR. Bukhari 5096 Muslim 6880)
Sampai-sampai dalam tempat ibadah sekalipun, Nabi menganjurkan adanya jarak jauh antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana sabdanya:
ﺧَﻴْﺮُ ﺻُﻔُﻮْﻑِ ﺍﻟﺮِّﺟَﺎﻝِ ﺃَﻭَّﻟُﻬَﺎ ﻭَﺷَﺮُّﻫَﺎ ﺁﺧِﺮُﻫَﺎ ﻭَﺧَﻴْﺮُ ﺻُﻔُﻮْﻑِ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀِ ﺁﺧِﺮُﻫَﺎ ﻭَﺷَﺮُّﻫَﺎ ﺃَﻭَّﻟُﻬَﺎ
“Sebaik-baik shaf (barisan shalat) kaum wanita adalah yang paling akhir, dan sejelek-jeleknya adalah yang yang paling depan.” (HR. Muslim 440)
Nabi mengatakan sejelek-jeleknya adalah barisan yang terdepan disebabkan lebih dekat dengan barisan kaum lelaki. Demikian pula sebaik-baiknya adalah yang belakang dikarenakan lebih jauh dari kaum lelaki. Hadits ini sangat jelas sekali menunjukkan bahwa syari’at Islam sangat menekankan adanya jarak antara kaum laki-laki dengan wanita. Dan barangsiapa memperhatikan kejadian-kejadian yang terjadi pada umat, niscaya akan jelas baginya bahwa dalam ikhtilath antara lawan jenis merupakan pintu kerusakan dan fitnah hingga sekarang.”
(Lihat Fatawa Nur Ala Darb hal. 82-83 oleh Syaikh Ibnu Utsaimin)
Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz juga berkata:
“Adapun ikhtilath antara kaum lelaki dan wanita di tempat kerja atau perkantoran padahal mereka adalah kaum muslimin, maka hukumnya adalah haram dan wajib bagi orang yang memiliki wewenang di tempat tersebut untuk memisahkan tempat/ruangan antara kaum lelaki dan wanita, sebab dalam ikhtilath terdapat kerusakan yang tidak samar bagi seorangpun.”
(Fatawa Haiah Kibar Ulama 2/613, Fatawa Ulama Baladi Haram hal. 532)
###
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin رحمه الله
Pertanyaan:
سؤاله الأخير يقول: ما هو مجال العمل المباح الذي يمكن للمرأة المسلمة أن تعمل فيه بدون المخالفة لتعاليم دينها؟
Pertanyaan terakhir: Pekerjaan apakah yang bisa dilakukan oleh seorang wanita dengan tanpa melanggar syariat agama?
Jawaban:
المجال العملي للمرأة أن تعمل فيما تختص به النساء، مثل أن تعمل في تعليم البنات سواء كان ذلك عملاً إدارياً أو فنياً، وأن تعمل في بيتها في خياطة ثياب النساء وما أشبه ذلك، وأما العمل في مجالات يختص بها الرجال فإنه لا يجوز لها أن تعمل؛ حيث إنه يستلزم لها الاختلاط بالرجال، وهي فتنةٌ عظيمة يجب الحذر منها، ويجب أن يعلم أن النبي صلى الله عليه وسلم فيما ثبت عنه أنه قال: ما تركت بعدي فتنة أضر على الرجال من النساء، وأن بني إسرائيل فتنوا بالنساء، فعلى المرء أن يجنب أهله مواقع الفتن وأسبابها بكل حال
Pekerjaan yang bisa dikerjakan oleh seorang wanita adalah lahan kerja yang memang khusus bagi wanita.
Misalnya bekerja di lembaga pendidikan anak-anak wanita, baik sebagai staf administrasi atau sebagai staf pengajar.
Atau dia bekerja di rumahnya sebagai penjahit pakaian wanita.
Dan semisalnya dari pekerjaan-pekerjaan yang khusus bagi wanita.
Adapun bekerja pada tempat pekerjaan yang khusus bagi laki-laki, maka ini tidak boleh dikarenakan konsekuensinya akan terjadi yang namanya ikhtilat (campur baur pria dan wanita) dan bisa menimbulkan fitnah yang besar yang kita harus hati-hati darinya.
Wajib untuk kita mengetahui hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam:
Tidaklah aku meninggalkan sebuah fitnah yang lebih membahayakan bagi seorang laki-laki dari pada fitnah seorang wanita, dan fitnah yang pertama kali menimpa bani Israil adalah fitnah wanita.
Maka wajib bagi setiap orang untuk menjauhkan keluarganya dari tempat-tempat fitnah dan sebab-sebab fitnah.
Sumber:
Rekaman Silsilah Fatawa Nur ala Darb no. 94 [Fatawa Mar`ah]
Sumber:
zadgroup .net/bnothemen/upload/ftawamp3/Lw_094_12 .mp3
Alih bahasa: Syabab Forum Salafy
Forum Salafy Indonesia
###
Pertanyaan: Bolehkah seorang perawat muslimah bekerja di bagian kewanitaan pada salah satu rumah sakit hingga ia bisa merawat pasien-pasien wanita. Di tempat kerjanya ini, ia memakai pakaian yang syar‘i namun tidak bisa mengenakan jilbab (pakaian luar yang longgar/lapang dan menutupi seluruh tubuh dari kepala sampai telapak kaki) dikarenakan dalam pelaksanaan tugas/pekerjaannya tidak memungkinkan baginya mengenakan jilbab tersebut. Namun tidak ada laki-laki yang mondar-mandir di ruang kerjanya kecuali hanya para pelayan (tukang sapu dan semisalnya) dan apoteker. Pada waktu lain, ia diminta untuk tugas jaga –shift malam– sehingga sepanjang malam ia berada di rumah sakit dan sangat mungkin laki-laki masuk ke tempatnya sementara tidak ada mahram yang mendampinginya. Lalu apa yang harus dilakukan perawat itu? Sebelumnya perlu diketahui suami si perawat mampu memberikan belanja kepadanya tanpa ia harus bekerja.
Asy-Syaikh Al-’Allamah Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin Al-Albani menjawab:
Apabila kita mengingat hukum yang ada, maka kita ketahui bahwa asalnya seorang wanita muslimah itu harus berdiam/ tinggal di dalam rumahnya dan tidak boleh keluar rumah kecuali bila memang ada keperluan. Di samping itu, disampaikan pada kami dari pertanyaan yang ada bahwa suami si wanita (perawat tersebut) mampu menafkahinya. Maka dengan begitu kami memandang, wanita itu tidak boleh bekerja di luar rumahnya. Bila ia memang tetap berkeinginan bekerja di bidang medis untuk merawat/ mengobati pasien wanita secara khusus, ia bisa membuka praktek di rumah sehingga tidak perlu keluar untuk bekerja di rumah sakit. Karena dengan bekerjanya si wanita di rumah sakit berarti ia menghadapkan dirinya pada ikhtilath (campur baur laki-laki dan perempuan tanpa hijab/tabir penghalang) baik yang kecil maupun yang besar seperti yang disebutkan dalam pertanyaan. Sehingga ia terjatuh ke dalam pelanggaran syariat, sedikit ataupun banyak, sementara ia sebenarnya bisa menghindarinya.
Adapun pertanyaan yang menyebutkan bahwa si wanita dengan profesinya sebagai perawat di rumah sakit, ia tidak bisa mengenakan jilbab karena demikian tuntutan pekerjaannya, akan tetapi masih bisa mengenakan pakaian yang menutupi auratnya maka aku nyatakan bahwa hal itu bukanlah alasan. Kecuali bila kita gambarkan bahwa jilbab itu adalah (model) satu potong pakaian yang dikenakan wanita untuk menutupi tubuhnya dari atas kepala sampai ke telapak kaki dan kita anggap model jilbab memang harus demikian, itu merupakan perkara ta’abbudiyyah. Yakni dibebani para wanita untuk senantiasa mengenakan hijab/pakaian dengan model tersebut. Bila kita tetapkan jilbab itu demikian, maka perbuatan si wanita jelas teranggap sebagai penyelisihan lain yang dilakukannya karena ia tidak mengenakan jilbab tersebut dengan alasan pekerjaan. Ia menggantinya dengan pakaian model lain yang bisa menutupi tubuhnya. Namun perlu diketahui, jilbab itu ditinjau dari sisi jenis dan model/bentuknya. Dan sebenarnya bukannya model/bentuk jilbab yang dituju, tapi model itu hanyalah satu perantara untuk menutup aurat wanita. Dengan begitu boleh bagi seorang wanita memakai pakaian apa yang diinginkannya namun dalam batasan syarat-syarat yang ada sebagaimana yang telah aku sebutkan dalam kitab Hijabul Mar`ah Al-Muslimah. Seandainya pakaian yang dikenakannya itu bukanlah jilbab secara bahasa yakni tidak terdiri dari satu potong pakaian (yang lebar/ lapang, yang bisa menutupi dari atas kepala sampai telapak kaki) maka hendaklah ia mengenakan pakaian yang terdiri dari tiga potong. Akan tetapi yang penting dari semua itu, pakaian pengganti jilbab tersebut dapat menggantikan fungsi jilbab. Bila seperti itu keadaannya maka tidak ada masalah bagi perawat tersebut dan tidak pula yang lainnya untuk tidak mengenakan jilbab namun menggantinya dengan pakaian lain yang bisa menggantikan fungsi jilbab secara sempurna.
Kesimpulannya, wanita keluar dari rumahnya merupakan perkara yang menyelisihi hukum asal. Dan masuknya si wanita ke rumah sakit yang di dalamnya berbaur laki-laki dan perempuan merupakan ikhtilath yang tidak diperbolehkan dalam Islam. Seandainya di sana ada rumah sakit khusus wanita, maka yang jadi direkturnya semestinya wanita, pelayan/ pekerjanya juga wanita, demikian pula para pasien (berikut perawatnya). Seharusnya memang di negeri-negeri Islam ada rumah sakit yang demikian di mana para wanita secara khusus yang mengurusnya, baik dokter, direktur, pelayan/pekerjanya, dan semisalnya (semuanya wanita). Adapun bila rumah sakitnya seperti yang disebutkan dalam pertanyaan, rumah sakit yang ikhtilath, maka kami nasehatkan agar wanita muslimah yang beriman kepada Rabbnya hendaknya bertakwa kepada Allah dan hendaklah ia tetap tinggal di rumahnya.
[Al-Hawi min Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 474-475]
###
Asy Syaikh Muhammad bin Hadi Al Madkhaly
Apakah boleh memasukkan anak perempuan yang berumur lebih sembilan (9) tahun belajar di sekolah yang dicampur antara laki-laki dan perempuan? Perlu diketahui bahwa di daerah kami tidak ada sekolah yang memisahkan antara putra dan putri.
Jawab:
”Saya katakan kepadanya, Tidak Boleh. Keselamatan Modal Utama. Itu lebih penting dibanding keuntungan yang ingin diperoleh. Seorang anak perempuan bila sudah mencapai usia sembilan (9) tahun, maka seharusnya bagi Si Wali untuk mendidiknya berhijab, berhias dengan sifat malu dan menjaga kehormatan diri. Bila tidak didapatkan (tempat belajar khusus wanita), hendaknya Dia (Ayah/Wali) beserta Ibunya belajar di rumah. Ia ajarkan kitabullah dan ia ajarkan ilmu yang bermanfaat, dan ini lebih bermanfaat di sisi Allah Insya Allah. Dengan itu terjagalah keselamatan dirinya, penjagaan atas kehormatan, dan menjauhkannya dari tempat-tempat yang buruk. Bisa jadi hal-hal buruk tadi justru menimpamu sehingga engkau akan menyesal seumur hidup. Kemudian engkau sangat menyesalinya, lalu berangan-angan seandainya aku dahulu berada di bawah tanah. Tidak boleh seseorang bermudah-mudahan dalam permasalahan ini. Iya, dalam kondisi wanita itu berbeda-beda. Sebagian wanita di usia sembilan (9) tahun sudah tampak “kedewasaannya”, sempurna seperti wanita dewasa meskipun belum datang haidhnya, dan sudah sangat dekat dengan masa balighnya (ihtilam). Sebagian wanita ada yang sudah haidh di usia dua belas (12) tahun, sebelas (11) tahun, tiga belas (13) tahun atau kurang lebih dari itu, bukankah demikian realitanya? Sehingga usia wanita sembilan (9) tahun itu sudah sangat dekat dengan masa balighnya (ihtilam). Terlebih lagi wanita yang sudah tampak kedewasaannya, yaitu pada bagian tubuhnya, dan sifat kedewasaan lainnya. Maka yang seharusnya bagimu wahai Saudara Muslim, agar engkau bertaqwa kepada Allah di dalam menjaga putrimu. Dia merupakan Amanah yang ada di pundakmu."
###
Fadhilah Asy-Syaikh Muhammad bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullahu taala
Pertanyaan:
Apa hukumnya para siswa dan siswi yang belajar dalam satu kelas, dengan menempatkan para siswi di belakang?
Jawab:
TIDAK BOLEH sama sekali. Wanita tidak boleh duduk dengan pria ketika belajar di dalam satu ruangan. HARUS DIPISAH antara para siswa laki (banin) dengan para siswi perempuan (banat). TIDAK BOLEH duduk di dalam satu ruangan. Hendaknya dibuatkan tempat khusus untuk para siswa, dan tempat khusus untuk para siswi. Karena hal ini (campur jadi satu antara siswa dan siswi dalam satu kelas) merupakan sebab-sebab kerusakan. Semoga Allah menyelamatkan kami dan kalian. Seorang wanita duduk dengan lelaki walaupun dalam satu aula, walaupun di bagian belakang kelas, TIDAK BOLEH. Sekarang, dia sedang belajar, kemudian pelajaran selesai, selesai jam pelajaran. Bukankah mereka keluar dari satu pintu? Berada di halaman yang sama, di ruang yang sama? Ini tidak boleh.
Sumber:
ar .miraath .net/fatwah/7590
Majmuah Manhajul Anbiya
###
Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah
Pertanyaan: Seorang penanya bertanya melalui suratnya bahwa dia adalah seorang gadis yang menjaga agama di dalam keluarga yang juga istiqamah, tetapi dia menghadapi masalah karena kuliah di semester pertama dalam keadaan di kampus terjadi campur baur antara mahasiswa dan mahasiswi. Maka dia menanyakan bagaimana hukumnya bercampur baur dengan para pemuda, dia juga menjelaskan bahwa dia telah berusaha untuk meninggalkan kuliah, tetapi ayahnya melarang, marah dan mengatakan, “Jika engkau meninggalkan kuliah maka aku akan menceraikan ibumu.” Ayah saya bersumpah akan menceraikan ibu saya jika saya meninggalkan kuliah dan beliau mengatakan hal lebih dari tiga kali. Maka apakah boleh bagi saya untuk tidak mentaati orang tua saya dan meninggalkan kuliah, dan apakah akan jatuh thalaq terhadap ibu saya?
Jawaban:
Adapun belajar di kampus yang bercampur baur antara pria dan wanita maka padanya terdapat fitnah dan keburukan yang besar. Dan tidak boleh bagimu untuk belajar di kampus yang bercampur baur seperti itu karena hal itu merupakan bahaya besar yang akan merusak agamamu, akhlakmu dan kehormatanmu. Jadi engkau harus menolak untuk belajar di kampus yang campur baur dan engkau jaga kehormatanmu dan agamamu walaupun ayahmu marah. Karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺍﻟﻄَّﺎﻋَﺔُ ﻓِﻲْ ﺍﻟﻤَﻌْﺮُﻭْﻑِ ﻟَﺎ ﻃَﺎﻋَﺔَ ﻟِﻤَﺨْﻠُﻮْﻕٍ ﻓِﻲْ ﻣَﻌْﺼِﻴَﺔِ ﺍﻟﺨَﺎﻟِﻖِ
"Ketaatan hanyalah dalam perkara yang baik, tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam mendurhakai Sang Khaliq.” (Lihat: Al-Bukhary no. 7257 dan Muslim no. 1840)
Dan wajib atas ayahmu jika dia memiliki kecemburuan agar dia takut kepada Allah dan melarangmu agar tidak kuliah. Dia tidak boleh mengijinkanmu, bahkan harusnya melarangmu. Demikianlah yang wajib atas orang tua yang memiliki kecemburuan, karena campur baur anak perempuan dengan para pemuda mengandung bahaya besar. Jadi engkau tidak boleh bercampur baur dengan para pemuda dan hendaknya engkau tinggal di rumah saja dan cukup dengan ilmu yang telah engkau peroleh. Engkau juga tidak boleh mentaati ayahmu dalam perkara ini. Kemudian seandainya ayahmu menyuruhmu untuk minum khamer atau berzina, maka tidak boleh mentaatinya. Demikian juga seandainya ayahmu menyuruhmu agar keluar rumah dengan membuka cadar atau tanpa penutup kepala (jilbab) dan yang semisalnya, maka ini semua merupakan kemungkaran yang engkau tidak boleh mentaatinya, karena ketaatan hanyalah pada perkara yang ma’ruf, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Musthafa (Rasulullah) shallallahu alaihi was sallam. Juga berdasarkan firman Allah kepada Nabi-Nya:
ﻭَﻟَﺎ ﻳَﻌْﺼِﻴْﻨَﻚَ ﻓِﻲْ ﻣَﻌْﺮُﻭﻑٍ
"Dan agar mereka tidak mendurhakaimu dalam perkara yang ma’ruf.” (QS. Al-Mumtahanah: 12)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sendiri tidak pernah menyuruh kecuali yang ma’ruf, tetapi maksud ayat ini adalah pengajaran dan pendidikan. Jadi campur baur antara pria dan wanita mengandung bahaya yang besar dan akibatnya sangat buruk. Maka takutlah kepada Allah dan berhati-hatilah. Dan juga wajib atas ayah dan ibumu untuk bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla dan wajib melarangmu dari hal ini. Walaupun ayahmu benar-benar menceraikan ibumu maka hal itu tidak akan merugikanmu. Allah akan memberimu yang lebih baik darinya. Jadi mentaati orang tua di dalam maksiat adalah perkara yang tidak boleh. Adapun ancamannya untuk menceraikan ibumu maka hal itu tidak mengharuskan engkau untuk belajar di kampus yang bercampur baur antara pria dan wanita, walaupun ayahmu benar-benar menceraikan ibumu. Kita memohon kepada Allah agar memberi hidayah kepada semuanya.
Ditranskrip dan diterjemahkan oleh:
Abu Almass bin Jaman Al-Ausathy