Cari Blog Ini

Jumat, 12 September 2014

Tentang MENGUCAPKAN SALAM KEPADA ANAK KECIL

Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, pelayan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang menghabiskan masa kecilnya dalam bimbingan beliau shallallahu 'alaihi wa sallam ini menceritakan:
ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ  ﻣَﺮَّ ﻋَﻠَﻰ ﻏِﻠْﻤَﺎﻥٍ ﻓَﺴَﻠَّﻢَ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bertemu dengan anak-anak kecil lalu beliau mengucapkan salam kepada mereka.” (HR. Muslim no. 2168)
Dalam riwayat lain:
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biasa mengunjungi orang-orang Anshar, lalu mengucapkan salam pada anak-anak mereka, mengusap kepala mereka dan mendoakannya.” (HR An. Nasa`i, dikatakan dalam Ash-Shahihul Musnad fi Asy-Syamail Muhammadiyah no. 796: hadits hasan)

Peristiwa yang disaksikan oleh Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu ini membekas dalam dirinya, sehingga Anas pun melakukannya. Diriwayatkan oleh Tsabit Al-Bunani rahimahullah, bahwa dia pernah berjalan bersama Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, melewati anak-anak kecil. Lalu Anas mengucapkan salam kepada mereka, dan mengatakan:
ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ  ﻳَﻔْﻌَﻠُﻪُ
“Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu biasa melakukannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6247 dan Muslim no. 2168)

Perbuatan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ini diikuti pula oleh sahabat yang lainnya. Diceritakan oleh ‘Anbasah bin ‘Ammar rahimahullah:
ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺍﺑْﻦَ ﻋُﻤَﺮَ ﻳُﺴَﻠِّﻢُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺼِّﺒْﻴَﺎﻥِ ﻓِﻲ ﺍﻟﻜُﺘَّﺎﺏِ
“Aku pernah melihat Ibnu ‘Umar memberi salam kepada anak-anak kecil di kuttab.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 797: shahihul isnad)
Kuttab adalah suatu tempat yang digunakan anak-anak untuk belajar membaca, menulis, dan menghafal Al-Qur`an.

Memberikan salam kepada anak-anak ini dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan diikuti pula oleh para shahabat beliau radhiallahu anhum. Hal ini merupakan sikap tawadhu’ dan akhlak yang baik, serta termasuk pendidikan dan pengajaran yang baik, serta bimbingan dan pengarahan kepada anak-anak, karena anak-anak apabila diberi salam, mereka akan terbiasa dengan hal ini dan menjadi sesuatu yang tertanam dalam jiwa mereka. (Syarh Riyadhish Shalihin, 1/366-367)

Tentang MENYEBARKAN SALAM

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
ﺣَﻖُّ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢِ ﺳِﺖٌّ. ﻗِﻴْﻞَ: ﻣَﺎ ﻫُﻦَّ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ؟ ﻗَﺎﻝَ: ﺇِﺫَﺍ ﻟَﻘِﻴْﺘَﻪُ ﻓَﺴَﻠِّﻢْ ﻋَﻠَﻴْﻪِ، ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺩَﻋَﺎﻙَ ﻓَﺄَﺟِﺒْﻪُ، ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺍﺳْﺘَﻨْﺼَﺤَﻚَ ﻓَﺎﻧْﺼَﺢْ ﻟَﻪُ، ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻋَﻄَﺲَ ﻓَﺤَﻤِﺪَ ﺍﻟﻠﻪَ ﻓَﺴَﻤِّﺘْﻪُ، ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻣَﺮِﺽَ ﻓَﻌُﺪْﻩُ، ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻣَﺎﺕَ ﻓَﺎﺗَّﺒِﻌْﻪُ
“Hak seorang muslim atas muslim yang lain ada enam.” Beliau pun ditanya, “Apa saja, ya Rasulullah?” Jawab beliau, “Jika engkau bertemu dengannya, ucapkan salam kepadanya. Jika dia memanggilmu, penuhi panggilannya. Jika dia meminta nasihat kepadamu, berikan nasihat kepadanya. Jika dia bersin lalu memuji Allah, doakanlah dia. Jika dia sakit, jenguklah dia; dan jika dia meninggal, iringkanlah jenazahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1240 dan Muslim no. 2162)

Dinukilkan pula oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ﻻَ ﺗَﺪْﺧُﻠُﻮﻥَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ ﺣَﺘَّﻰ ﺗُﺆْﻣِﻨُﻮﺍ، ﻭَﻻَ ﺗُﺆْﻣِﻨُﻮﺍ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﺤَﺎﺑُّﻮﺍ، ﺃَﻭَﻻَ ﺃَﺩُﻟُّﻜُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺷَﻲْﺀٍ ﺇِﺫَﺍ ﻓَﻌَﻠْﺘُﻤُﻮْﻩُ ﺗَﺤَﺎﺑَﺒْﺘُﻢْ؟ ﺃَﻓْﺸُﻮﺍ ﺍﻟﺴَّﻼَﻡَ ﺑَﻴْﻨَﻜُﻢْ
“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan tidak akan sempurna iman kalian hingga kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kalian pada sesuatu yang jika kalian lakukan kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim no. 54)

Al-Bara` bin ‘Azib radhiyallahu 'anhu menukilkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
ﺃَﻓْﺸُﻮﺍ ﺍﻟﺴَّﻼَﻡَ ﺗَﺴْﻠَﻤُﻮﺍ
“Sebarkanlah salam, niscaya kalian akan selamat.” (HR. Ahmad, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 604: hasan)

‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu 'anhuma mengatakan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
ﺍﻋْﺒُﺪُﻭﺍ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦَ ﻭَﺃَﻃْﻌِﻤُﻮﺍ ﺍﻟﻄَّﻌَﺎﻡَ ﻭَﺃَﻓْﺸُﻮﺍ ﺍﻟﺴَّﻼَﻡَ ﺗَﺪْﺧُﻠُﻮﺍ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ ﺑِﺎﻟﺴَّﻼَﻡِ
“Ibadahilah Ar-Rahman, berikan makanan dan sebarkan salam, niscaya kalian akan masuk ke dalam surga dengan selamat.” (HR. At-Tirmidzi no. 1855, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi: shahih)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya, “Islam apakah yang paling utama?” Beliau menjawab,
ﺃﻥ ﺗﻄﻌﻢ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ﻭﺗﻘﺮﺉ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﻋﺮﻓﺖ ﻭﻣﻦ ﻟﻢ ﺗﻌﺮﻑ
“Anda memberikan makanan dan mengucapkan salam kepada orang yang Anda kenal dan tidak Anda kenal.” (Dikeluarkan oleh al-Bukhari pada kitab al-Iman, bab Ith’amith Tha’am Minal Islam, nomor 12)

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu:
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﺴَّﻼَﻡَ ﺍﺳْﻢٌ ﻣِﻦْ ﺃَﺳْﻤَﺎﺀِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺿَﻌَﻪُ ﺍﻟﻠﻪُ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ، ﻓَﺄَﻓْﺸُﻮﻩُ ﺑَﻴْﻨَﻜُﻢْ، ﺇِﻥَّ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞَ ﺇِﺫَﺍ ﺳَﻠَّﻢَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻘَﻮْﻡِ ﻓَﺮَﺩُّﻭﺍ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﻓَﻀْﻞُ ﺩَﺭَﺟَﺔٍ، ﻟِﺄَﻧَّﻪُ ﺫَﻛَّﺮَﻫُﻢُ ﺍﻟﺴَّﻼَﻡَ، ﻭَﺇِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳُﺮَﺩَّ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺭَﺩَّ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻣَﻦْ ﻫُﻮَ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِﻨْﻪُ ﻭَﺃَﻃْﻴَﺐُ
“Sesungguhnya As-Salam adalah salah satu nama Allah yang Allah letakkan di bumi, maka sebarkanlah salam di antara kalian. Sesungguhnya bila seseorang mengucapkan salam kepada suatu kaum, lalu mereka menjawab salamnya, maka dia memiliki keutamaan derajat di atas mereka karena dia telah mengingatkan mereka dengan salam. Dan bila tidak dijawab salamnya, maka akan dijawab oleh makhluk yang lebih baik darinya.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 793: shahih secara mauquf, shahih juga secara marfu’)

Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu pernah mengatakan:
ﺃَﺑْﺨَﻞُ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻳَﺒْﺨَﻞُ ﺑِﺎﻟﺴَّﻼَﻡِ
“Orang yang paling bakhil adalah orang yang bakhil untuk mengucapkan salam.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 795: shahih secara mauquf, shahih juga secara marfu’)

Tentang DOSA DAN MAKSIAT

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
ﻓَﻜُﻠًّﺎ ﺃَﺧَﺬْﻧَﺎ ﺑِﺬَﻧْﺒِﻪِ ﻓَﻤِﻨْﻬُﻢْ ﻣَﻦْ ﺃَﺭْﺳَﻠْﻨَﺎ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺣَﺎﺻِﺒًﺎ ﻭَﻣِﻨْﻬُﻢْ ﻣَﻦْ ﺃَﺧَﺬَﺗْﻪُ ﺍﻟﺼَّﻴْﺤَﺔُ ﻭَﻣِﻨْﻬُﻢْ ﻣَﻦْ ﺧَﺴَﻔْﻨَﺎ ﺑِﻪِ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽَ ﻭَﻣِﻨْﻬُﻢْ ﻣَﻦْ ﺃَﻏْﺮَﻗْﻨَﺎ ﻭَﻣَﺎ ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻟِﻴَﻈْﻠِﻤَﻬُﻢْ ﻭَﻟَﻜِﻦْ ﻛَﺎﻧُﻮﺍ ﺃَﻧْﻔُﺴَﻬُﻢْ ﻳَﻈْﻠِﻤُﻮﻥَ
“Maka masing-masing mereka itu Kami siksa disebabkan dosa-dosanya. Di antara mereka ada yang Kami timpakan hujan batu kerikil, di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi dan di antara mereka ada-yang Kami tenggelamkan ke dalam lautan. Allah sekali-kali tidak menganiaya mereka akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (Al-‘Ankabut: 40)

Hati-Hati dari Dosa Kecil

Hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu:
ﺇِﻳَّﺎﻛُﻢْ ﻭَ ﻣُﺤَﻘَّﺮَﺍﺕِ ﺍﻟﺬُّﻧُﻮِﺏِ، ﻓَﺈِﻧَّﻬُﻦَّ ﻳَﺠْﺘَﻤِﻌْﻦَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞِ ﺣَﺘَّﻰ ﻳُﻬْﻠِﻜْﻨَﻪُ
“Hati-hati kalian dari dosa-dosa kecil, karena dosa-dosa kecil itu bila berkumpul pada diri seseorang akan membinasakannya.” (HR. Ahmad, 1/403, dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Ahmad Syakir dalam catatan kakinya terhadap Musnad Al-Imam Ahmad)

Sahabat Nabi Anas bin Malik menyatakan:
لاَ صَغِيْرَةَ مَعَ اْلإِصْرَارِ
“Tidak ada dosa kecil jika dilakukan secara terus menerus.” (Riwayat ad-Dailamy dan al-Iraqy menyatakan bahwa sanadnya jayyid (baik))

Sahl bin Sa’d radhiyallahu 'anhu berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ﺇِﻳَّﺎﻛُﻢْ ﻭَﻣُﺤَﻘَّﺮَﺍﺕِ ﺍﻟﺬُّﻧُﻮِﺏِ، ﻛَﻘَﻮْﻡٍ ﻧَﺰَﻟُﻮْﺍ ﻓﻲِ ﺑَﻄْﻦِ ﻭَﺍﺩٍ ﻓَﺠَﺎﺀَ ﺫَﺍ ﺑِﻌُﻮْﺩٍ ﻭَﺟَﺎﺀَ ﺫَﺍ ﺑِﻌُﻮْﺩٍ، ﺣَﺘَّﻰ ﺃَﻧْﻀَﺠُﻮﺍ ﺧُﺒْﺰَﺗَﻬُﻢْ، ﻭَﺇِﻥَّ ﻣُﺤَﻘَّﺮَﺍﺕِ ﺍﻟﺬُّﻧُﻮِﺏِ ﻣَﺘَﻰ ﻳُﺆْﺧَﺬُ ﺑِﻬَﺎ ﺻَﺎﺣِﺒُﻬَﺎ ﺗُﻬْﻠِﻜْﻪُ
“Hati-hati kalian dari dosa-dosa kecil! Ibaratnya seperti satu kaum yang singgah di sebuah perut lembah. Masing-masing dari mereka pergi mencari ranting untuk menyalakan api, lalu datang seseorang membawa sebuah ranting. Seorang lagi juga datang membawa sebuah ranting. Demikian seterusnya hingga mereka dapat menyalakan api yang mematangkan roti-roti mereka. Sesungguhnya dosa-dosa kecil itu ketika pelakunya dihukum niscaya akan membinasakannya.” (HR. Ahmad, 5/331, dishahihkan sanadnya di atas syarat Al-Bukhari dan Muslim oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 389)

Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda:
ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﻌَﺒْﺪَ ﺇِﺫَﺍ ﺃََﺧْﻄَﺄَ ﺧَﻄِﻴْﺌَﺔً ﻧُﻜِﺘَﺖْ ﻓِﻲ ﻗَﻠْﺒِﻪِ ﻧُﻜْﺘَﺔٌ ﺳَﻮْﺩَﺍﺀُ، ﻓَﺈِﺫَﺍ ﻫُﻮَ ﻧَﺰَﻉَ ﻭَﺍﺳْﺘَﻐْﻔَﺮَ ﻭَﺗَﺎﺏَ ﺳُﻘِﻞَ ﻗَﻠْﺒُﻪُ، ﻭَﺇِﻥْ ﻋَﺎﺩَ ﺯِﻳْﺪَ ﻓِﻴْﻬَﺎ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﻌْﻠُﻮَ ﻗَﻠْﺒَﻪُ، ﻭَﻫُﻮَ ﺍﻟﺮَّﺍﻥُ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺫَﻛَﺮَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﺰَّ ﻭَﺟَﻞَّ: ﻛَﻼَّ ﺑَﻞْ ﺭَﺍﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﻗُﻠُﻮْﺑِﻬِﻢْ ﻣَﺎ ﻛَﺎﻧُﻮْﺍ ﻳَﻜْﺴِﺒُﻮْﻥَ
“Sesungguhnya jika seorang hamba berbuat kesalahan/dosa dititikkan pada hatinya satu titik hitam. Namun bila ia menarik diri/berhenti dari dosa tersebut, beristighfar dan bertaubat, dibersihkan hatinya dari titik hitam itu. Akan tetapi bila tidak bertaubat dan malah kembali berbuat dosa maka bertambah titik hitam tersebut, hingga mendominasi hatinya. Itulah ar-ran (tutupan) yang Allah sebutkan di dalam ayat: ‘Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.’ (Al-Muthaffifin: 14)” (HR. Ahmad, 2/297, At-Tirmidzi no. 3334, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain no. 1430)

Dosa dan Maksiat Menjadi Sebab Dicabutnya Petunjuk dan Dipadamkannya Cahaya

Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu berkata:
“Sesungguhnya aku memandang bahwa seseorang yang dilupakan dari suatu ilmu yang sebelumnya telah diketahuinya adalah karena kesalahan yang telah dilakukannya.”

Al-Imam Waki’ rahimahullah berkata:
“Minta tolonglah (kepada Allah) untuk menjaga hafalanmu dengan cara meninggalkan maksiat.”

Al-Imam Malik rahimahullah berkata kepada Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah di awal perjumpaan beliau dengannya:
“Sesungguhnya aku melihat bahwasanya Allah telah memberikan cahaya ke dalam hatimu, maka janganlah engkau padamkan dengan kegelapan maksiat.”

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
“Barangsiapa yang ingin agar Allah membukakan pintu hati dan menyinari lubuk kalbunya, dia wajib meninggalkan perkataan yang tidak berguna, meninggalkan perkara-perkara dosa, serta menjauhi berbagai bentuk kemaksiatan. Seyogianya juga dia melakukan amalan-amalan shalih secara tersembunyi antara dirinya dengan Allah saja. Sungguh, apabila dia telah berbuat demikian niscaya Allah bukakan untuknya suatu ilmu yang membuatnya sibuk sehingga lupa terhadap selainnya. Dan sesungguhnya di dalam al-maut (kematian) itu terdapat kesibukan yang sangat banyak.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Allah telah menjadikan di antara cara-Nya dalam menghukum anak manusia lantaran dosa-dosa yang telah mereka lakukan adalah dengan mencabut hidayah (petunjuk)-Nya serta mencabut ilmu yang bermanfaat (dari mereka).”

(An-Nubadz fi Adabi Thalabil ‘Ilmi, hal. 14-15)

Sedikitnya rasa takut akan dosa-dosa, dan menganggap ringan dosa, menunjukkan rusaknya seseorang

Rasul Shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻦَ ﻳَﺮَﻯ ﺫُﻧُﻮﺑَﻪُ ﻛَﺄَﻧَّﻪُ ﺟَﺎﻟِﺲٌ ﻓِﻲ ﺃَﺻْﻞِ ﺟَﺒَﻞٍ ﻳَﺨَﺎﻑُ ﺃَﻥْ ﻳَﻨْﻘَﻠِﺐَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ، ﻭَﺇِﻥَّ ﺍﻟْﻔَﺎﺟِﺮَ ﻳَﺮَﻯ ﺫُﻧُﻮﺑَﻪُ ﻛَﺬُﺑَﺎﺏٍ ﻣَﺮَّ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻧْﻔِﻪِ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻟَﻪُ: ﻫَﻜَﺬَﺍ ﻓَﺬَﻫَﺐَ، ﻭَﺃَﻣَﺮَّ ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻧْﻔِﻪِ
“Seorang yang beriman melihat dosa-dosanya seperti dia berada di bawah gunung, dia takut apabila gunung tersebut menimpanya, dan seorang fasiq melihat dosa-dosanya seperti lalat yang terbang di atas hidungnya, maka dia singkirkan seperti ini, yaitu diusir dengan telapak tangannya.” (Dikeluarkan oleh Bukhori, nomor hadits: 6308)

Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu menyatakan: “Kalian sekarang melakukan perbuatan dosa yang di mata kalian perbuatan itu lebih tipis daripada rambut (sangat remeh). Padahal dulu di masa Rasulullah shallallahu 'anhu wa sallam kami menganggapnya termasuk perkara yang akan membinasakan.” (HR. Al-Bukhari no. 6127)

Bilal bin Sa’d rahimahullah menasihatkan:
“Janganlah engkau memandang kepada kecilnya suatu maksiat, akan tetapi lihatlah kepada siapa engkau bermaksiat.” (Diriwayatkan Al-Imam Ahmad dalam kitabnya Az-Zuhd hal. 460)

Ibnu Aun berkata:
لا تثقن بكثرة العمل فإنك لا تدري يقبل منك أم لا، ولا تأمن ذنوبك فإنك لا تدري هل كفرت عنك أم لا
“Jangan kamu terlalu yakin dengan banyaknya amalan, dikarenakan kamu tidak tahu, apakah Allah menerima (amal) darimu atau tidak.
Jangan pula kamu merasa aman dari dosa-dosamu, dikarenakan kamu juga tidak mengetahui, apakah dosamu telah diampuni darimu atau tidak.” [At Taubah karya Ibnu Abi Dunya: 73]

Berkata Imam Al-Baihaqi رحمه الله تعالى :
فلا ينبغي لمسلم أن يغرّ نفسه، فإن المعصية شؤم، وخلاف الجبار في أوامره ونواهيه عظيم، وأحدنا لا يصبر على حمى يوم، أو وجع ساعة، فكيف يصبر على عذاب أليم وعقاب شديد
“Maka tidak sepatutnya bagi seorang muslim tertipu oleh dirinya sendiri karena sejatinya kemaksiatan adalah kejelekan, dan menyelisihi Allah yang maha perkasa di dalam perintah-perintah dan larangan-larangan Nya adalah (perkara yang) besar, sedangkan salah satu dari kita tidak bisa bersabar atas demam yang menimpa satu hari atau sakit sesaat, bagaimana dia bisa bersabar dari adzab (siksa) yang sangat menyakitkan atau hukuman yang sangat berat.” (Al-Ba'ts wa An-Nusyur, 296)

Tentang SHALAT DI BELAKANG AHLI BID'AH

Al-Imam al-Bukhari rahimahullah menyebutkan bab “Imamatil Maftun wal Mubtadi’” (“Imam dari Seorang yang Terkena Fitnah dan Mubtadi’) lalu menyebutkan ucapan al-Hasan al-Bashri rahimahullah, “Shalatlah kalian (berjamaah dengannya) dan dia yang menanggung dosa kebid’ahannya.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Mubtadi’ adalah seorang yang meyakini suatu perkara yang menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jamaah.”

Menurut asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, “Mubtadi’ terbagi menjadi dua:
1. Mubtadi’ yang kebid’ahannya sampai membuat pelakunya kafir keluar dari Islam. Jika demikian, dalam keadaan apa pun, seseorang tidak boleh shalat di belakangnya meskipun orang-orang mengatakan bahwa dia muslim, karena bid’ahnya mukaffirah (sampai tingkatan kufur). Bagaimana mungkin shalat di belakang seorang yang diyakini bahwa dia adalah kafir, padahal orang kafir tidak sah shalatnya.
2. Mubtadi’ yang tidak sampai taraf kekafiran, meskipun bid’ahnya dipandang besar (berat).Seseorang boleh shalat di belakangnya (menjadi makmum). Hal ini selama tidak mengandung mafsadah di kemudian hari. Misalnya, manusia atau dia yang bermakmum terperdaya oleh ahli bid’ah tersebut. Terkadang, manusia mengira bahwa dia (imam tersebut) bukan mubtadi’ ketika mereka melihat ada si Fulan dan si Fulan shalat di belakangnya. Demikian pula seseorang yang shalat di belakangnya bisa jadi tertipu dan menganggap mubtadi’ itu berada di atas kebenaran.

(al-Fath 2/220, Syarh al- Bukhari Ibnu ‘Utsaimin 3/156)

###

Asy Syaikh Ubaid bin Abdillah al Jabiry حفظه الله

Pertanyaan:
ما حكم إمامة المبتدع؟
Apa hukum seorang mubtadi yang menjadi imam sholat?

Jawaban:
القاعدة في هذا: أنّ مَن صحَّت صلاته في نفسه صحت صلاته بغيره
Kaedah dalam permasalahan ini adalah:
Barang siapa yang sholatnya sah ketika dia sholat sendiri maka sah pula ketika dia menjadi imam bagi orang lain.
وها هنا يجب التفريق بين أمرين؛
أحدهما: صحة الصلاة
والآخر: بطلان الصلاة
Maka di sini perlu kita membedakan dua permasalahan:
Yang pertama: Sholat yang sah.
Yang kedua: Sholat yang tidak sah.
بناء على القاعدة المتقدمة إمامة الفاسق صحيحة، يعني الصلاة خلف المبتدع الذي لم تبلغ بدعته حد الكفر، وكذلك الفاسق الذي لم يكن فسقه كفرًا، أو استحلالًا للمفسقات كما قدّمنا، فالصلاة خلفه صحيحة
Atas dasar kaedah yang telah kita sebutkan maka diketahui bahwasannya keimaman seorang fasik itu sah, yaitu sholat di belakang seorang mubtadi yang kebidahannya tidak sampai pada tingkatan kufur itu sah, demikian juga seorang yang fasik dan belum sampai pada tingkatan kufur atau seseorang yang tidak menghalalkan kefasikan-kefasikan sebagaimana kita sebutkan, maka sholat di belakangnya sah.
فعلم من هذا أنّ مَن ركب مكفرًا فصلاته باطلة ولا تصح الصلاة خلفه، نعم
Maka dari sini kita ketahui, bahwa sholatnya seseorang yang melakukan kekufuran (setelah iqamatul hujjah) tidak sah, sehingga sholat di belakang dia sebagai makmum juga tidak sah.
إذا كان جاهلًا فإنه يعلم ويعرف فإن قبل فهو منّا ونحن منه، وإن أبى وعاند بعد بيان الحق له قامت عليه الحجة فليس منا ولسنا منه، نعم
Akan tetapi kalau dia seorang yang jahil, maka dia diajarkan dan diberitahu. Kalau dia menerima maka dia bagian dari kita (kaum muslimin), dan kalau dia menolak dan menentang setelah adanya penjelasan tentang kebenaran dan telah tegak hujjah, maka dia bukan bagian dari kita (kaum muslimin).
الأمر الآخر: إذا كان لنا اختيار تُرك لنا اختيار الإمام الذي يؤم المسلمين فيجب على مَن بيدهم الأمر والميانة على أخوانهم ألا يرضوا بفاسق يؤمهم إذا كان الاختيار لهم؛ أما إذا كان عين هذا الفاسق عين من قبل الجهة النائبة عن ولي الأمر، عين إمامًا لمسجدنا ونحن نرى عليه الفسق الظاهر فنحن نبلغ هذه الجهة ونبين لهم وعلينا أن نأتي بأكفأ منه، فإن قبلت هذه الجهة وأزاحته فهذا المطلوب، وإلا ما أرى بأس على من ترك الصلاة خلفه زجرًا، لكن لا يجعل هذا مدخلًا يحرض به ويشيع ويهيج الخاص والعام لانّ هذا أيضًا فيه ما فيه من النيل من ولي الأمر عبر الجهة النائبة عنه، وهي التي عيّنت هذا الفاسق بغير اختيارًا منا، والله أعلم
Perkara yang lain: Jika kita masih memiliki pilihan untuk memilih imam sholat bagi kaum muslimin, terutama pihak yang bertanggung jawab dalam perkara ini, maka hendaknya jangan dia memilih imam dari orang fasik. Adapun jika imam yang fasik ini ditunjuk oleh pemerintah untuk menjadi imam di masjid kita dan kita menyaksikan darinya kefasikan yang nampak, maka kita jelaskan perkaranya pada pihak yang diwakili pemerintah, dan kita mencari pengganti yang sepadan dan jika diterima masukan kita maka inilah yang diinginkan, adapun jika tidak maka aku berpendapat tidak mengapa bagi siapa yang meninggalkan sholat berjamaah di belakangnya sebagai bentuk teguran, akan tetapi jangan sampai dia menggunakan kesempatan ini untuk membuat provokasi dan keributan pada masyarakat umum, dikarenakan padanya terdapat sebuah pelanggaran terhadap kehormatan pemerintah melalui perwakilannya yang telah memilih imam yang fasik ini tanpa kehendak kita. Wallohu alam.

Sumber:
ar .alnahj .net/fatwa/47

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

Tentang MANHAJ SALAF

Manhaj Salaf, bila ditinjau dari sisi kalimat merupakan gabungan dari dua kata; manhaj dan salaf. Manhaj dalam bahasa Arab sama dengan minhaj, yang bermakna: Sebuah jalan yang terang lagi mudah. (Tafsir Ibnu Katsir 2/63, Al Mu’jamul Wasith 2/957)

Sedangkan salaf, menurut etimologi bahasa Arab bermakna: Siapa saja yang telah mendahuluimu dari nenek moyang dan karib kerabat, yang mereka itu di atasmu dalam hal usia dan keutamaan. (Lisanul Arab , karya Ibnu Mandhur 7/234)

Dan dalam terminologi syariat bermakna: Para imam terdahulu yang hidup pada tiga abad pertama Islam, dari para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tabi’in (murid-murid shahabat) dan tabi’ut tabi’in (murid-murid tabi’in). (Lihat Manhajul Imam Asy Syafi’i fii Itsbatil ‘Aqidah, karya Asy Syaikh Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al ‘Aqil, 1/55)

Berdasarkan definisi di atas, maka manhaj salaf adalah: Suatu istilah untuk sebuah jalan yang terang lagi mudah, yang telah ditempuh oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tabi’in dan tabi’ut tabi’in di dalam memahami dienul Islam yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Seorang yang mengikuti manhaj salaf ini disebut dengan Salafi atau As Salafi, jamaknya Salafiyyun atau As Salafiyyun. Al Imam Adz Dzahabi berkata: “As Salafi adalah sebutan bagi siapa saja yang berada di atas manhaj salaf.” (Siyar A’lamin Nubala 6/21)

###

'Amirul Mu'minin ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata, “Bersikaplah kalian sebagaimana kaum tersebut (yakni para shahabat) bersikap. Karena sesungguhnya berdasarkan ilmu mereka bersikap, berdasarkan pandangan yang sangat tajam mereka menahan diri. Dan sebenarnya untuk menyingkap (permasalahan) mereka lebih mampu, dan terhadap keutamaan –kalau seandainya ada– pada permasalahan tersebut mereka lebih berhak. Apabila kalian mengatakan, telah muncul perkara baru (bid’ah) setelah mereka, maka tidaklah membuat/memunculkan bid’ah tersebut kecuali orang-orang yang menyelisihi/menentang bimbingan mereka dan benci terhadap sunnah (jalan) mereka. Para shahabat itu telah menyifatkan (menjelaskan) agama ini dengan penjelasan yang menyembuhkan, mereka telah berbicara tentang agama ini dengan pembicaraan yang mencukupi. Jadi apa yang melebihi mereka, maka melelahkan dirinya (tanpa guna), sebaliknya apa yang di bawah.mereka, maka itu sesuatu yang kurang. Telah ada kaum yang kurang dari mereka, sehingga kaum itu pun jatuh pada sikap jafa’ (tidak berpegang kepada prinsip yang benar). Ada pula kaum yang melebihi mereka, sehingga kaum itu pun jatuh pada sikap ekstrim (dalam beragama). Sesungguhnya mereka (para shahabat itu) berada di antara dua sikap tersebut, benar-benar di atas petunjuk yang lurus.” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud 4612, al-Ajurri dalam asy-Syari'ah hal. 221-222]

Al Imam Abdurrahman bin ‘Amr Al Auza’i berkata: “Wajib bagimu untuk mengikuti jejak salaf walaupun orang-orang menolakmu, dan hati-hatilah dari pemahaman/pendapat tokoh-tokoh itu walaupun mereka.mengemasnya untukmu dengan kata-kata (yang indah).”
(Asy Syari’ah, karya Al Imam Al Ajurri, hal. 63)

Al Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit berkata: “Wajib bagimu untuk mengikuti atsar dan jalan yang ditempuh oleh salaf, dan hati-hatilah dari segala yang diada-adakan dalam agama, karena ia adalah bid’ah.”
(Shaunul Manthiq, karya As Suyuthi, hal. 322, saya nukil melalui kitab Al Marqat fii Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 54)

Al Imam Abul Mudhaffar As Sam’ani berkata: “Syi’ar Ahlus Sunnah adalah mengikuti manhaj salafush shalih dan meninggalkan segala yang diada-adakan (dalam agama).”
(Al Intishaar li Ahlil Hadits , karya Muhammad bin-Umar Bazmul hal. 88)

Al Imam Qawaamus Sunnah Al Ashbahani berkata: “Barangsiapa menyelisihi sahabat dan tabi’in (salaf) maka ia sesat, walaupun banyak ilmunya.”
(Al Hujjah fii Bayaanil Mahajjah , 2/437-438, saya nukil melalui kitab Al Intishaar li Ahlil Hadits , hal. 88)

Al-Imam As Syathibi berkata: “Segala apa yang menyelisihi manhaj salaf, maka ia adalah kesesatan.”
(Al Muwafaqaat , 3/284, saya nukil melalui Al Marqat fii Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 57)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidak tercela bagi siapa saja yang menampakkan manhaj salaf, berintisab dan bersandar kepadanya, bahkan yang demikian itu disepakati wajib diterima, karena manhaj salaf pasti benar.”
Beliau juga berkata: “Bahkan syi’ar Ahlul Bid’ah adalah meninggalkan manhaj salaf.”
(Majmu’ Fatawa, 4/149 dan 4/155)

Berkata Fadhilatus syaikh Sholeh Al-Fawzan hafizhohulloh:
إذا أردت النجاة وأردت السعادة وأردت السلامة من الضلال فعليك بمنهج السلف
“Apabila engkau menginginkan kesuksesan dan menginginkan kebahagiaan dan engkau ingin keselamatan dari kesesatan, MAKA WAJIB ATASMU BERPEGANG DENGAN MANHAJ SALAF.” (Syarah Ad-Durroh Al-Mudhiyyah, halaman: 279)

###

Asy Syaikh Sholeh bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan hafizhohulloh

Pertanyaan: Apa makna Salafiyyah, dan apakah wajib untuk menempuh manhaj ini dan dan berpegang teguh dengannya?

Jawaban:

Dakwah Salafiyyah adalah dakwah yang berjalan di atas manhaj salaf, (dari kalangan Shahabat, Tabi’in dan generasi yang utama) baik dalam hal aqidah, pemahaman, adab dan akhlak. Dan WAJIB atas setiap muslim untuk menempuh manhaj ini.
Alloh ta’ala berfirman:
‏( ﻭَﺍﻟﺴَّﺎﺑِﻘُﻮﻥَ ﺍﻟْﺄَﻭَّﻟُﻮﻥَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﻬَﺎﺟِﺮِﻳﻦَ ﻭَﺍﻟْﺄَﻧْﺼَﺎﺭِ ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺍﺗَّﺒَﻌُﻮﻫُﻢْ ﺑِﺈِﺣْﺴَﺎﻥٍ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻬُﻢْ ﻭَﺭَﺿُﻮﺍ ﻋَﻨْﻪُ‏) ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ : ١٠٠
“Dan generasi pertama umat ini dari kalangan Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Maka Alloh ridho kepada mereka dan merekapun ridho kepada Alloh.” (At Taubah : 100)
‏( ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺟَﺎﺀُﻭﺍ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺪِﻫِﻢْ ﻳَﻘُﻮﻟُﻮﻥَ ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﺍﻏْﻔِﺮْ ﻟَﻨَﺎ ﻭَﻟِﺈِﺧْﻮَﺍﻧِﻨَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺳَﺒَﻘُﻮﻧَﺎ ﺑِﺎﻟْﺈِﻳﻤَﺎﻥِ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﺠْﻌَﻞْ ﻓِﻲ ﻗُﻠُﻮﺑِﻨَﺎ ﻏِﻠًّﺎ ﻟِﻠَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ‏) ﺍﻟﺤﺸﺮ : ١٠
“Dan orang-orang yang datang setelah mereka (Muhajirin dan Anshor), berdo’a: Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau jadikan dalam hati-hati kami kedengkian kepada orang yang beriman.” (Al Hasyr : 10)
Nabi Sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda:
‏ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺑﺴﻨﺘﻲ ﻭﺳﻨﺔ ﺍﻟﺨﻠﻔﺎﺀ ﺍﻟﺮﺍﺷﺪﻳﻦ ﺍﻟﻤﻬﺪﻳﻴﻦ ﻣﻦ ﺑﻌﺪﻱ، ﺗﻤﺴﻜﻮﺍ ﺑﻬﺎ ﻭﻋﻀﻮﺍ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺑﺎﻟﻨﻮﺍﺟﺪ ﻭﺇﻳﺎﻛﻢ ﻭﻣﺤﺪﺛﺎﺕ ﺍﻷﻣﻮﺭ ﻓﺈﻥ ﻛﻞ ﻣﺤﺪﺛﺔ ﺑﺪﻋﺔ ﻭﻛﻞ ﺑﺪﻋﺔ ﺿﻼﻟﺔ‏
“Wajib atas kalian mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafaur Rosyidin yang telah diberi petunjuk sepeninggalku, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham. Dan hati-hatilah kalian dari perkara yang diada-adakan, karena setiap perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Ahmad, At Tirmidzi dan Al Hakim)

[Al Ajwibah Al Mufidah 'an Asilatil Manahij Al Jadidah - hal. 157-158‏]

Alih bahasa : Ibrohim Abu Kaysa

Tentang MENGHILANGKAN TATO

Berkata Imam Asy Syaukani rahimahullah dalam Nailul Authar (6/228):
Para ulama Syafiiyyah mengatakan: Bila memungkinkan untuk menghilangkan tato dengan cara pengobatan maka wajib menghilangkannya.
Dan bila tidak memungkinkan dengan cara pengobatan kecuali dengan operasi maka perlu dilihat:
Apabila dikhawatirkan berisiko timbul kerusakan, hilangnya salah satu anggota badan, hilangnya fungsi salah satu anggota badan atau bahaya lainnya maka tidak wajib menghilangkannya. Bila dia bertobat maka tidak ada dosa baginya.
Kemudian apabila diperkirakan tidak menimbulkan risiko yang berbahaya maka wajib menghilangkannya. Barangsiapa menunda-nundanya berarti dia telah berbuat maksiat.
 
###

Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah

Tanya:
Ibuku mengatakan bahwa semasa jahiliahnya sebelum tersebarluasnya ilmu, ia membuat garis di rahang bagian bawahnya. Bukan tato yang sempurna memang, akan tetapi ia membuatnya dalam keadaan tidak tahu apakah itu haram atau halal. Namun kini dia mendengar bahwa seorang wanita yang mentato itu terlaknat. Beri kami fatwa semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalasi anda semua dengan kebaikan.

Jawab:
Segala puji milik Allah Subhanahu wa Ta’ala satu-satu-Nya sesembahan, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan para sahabatnya. Wa ba’du.
Tato itu dilarang, di bagian badan manapun, baik tato yang sempurna ataupun belum. Yang wajib dilakukan oleh ibu anda adalah menghilangkan tato tersebut jika tidak menimbulkan mudarat, dan bertaubat serta meminta ampun dari apa yang telah terjadi di masa lalu.
[Panitia tetap untuk pembahasan Ilmiyah dan Fatwa Saudi Arabia. Yang bertandatangan: Ketua: Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz. Wakil: Abdurrazzaq Afifi. Anggota: Abdullah Ghudayyan]

Fatwa Asy-Syaikh Abdul Aziz bin
Abdullah bin Baz rahimahullahu

Beliau mengatakan dalam salah satu suratnya kepada peminta fatwa:
“Saya beritahukan kepada anda bahwa beliau (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) melaknati wanita yang menyambung rambutnya dan yang meminta untuk disambungkan, wanita yang mentato dan meminta ditatokan. Bila dilakukan oleh seorang muslim saat dia tidak tahu hukum haramnya, atau ditato semasa dia kecil maka ia harus menghilangkannya setelah mengetahui keharamannya. Namun bila terdapat kesulitan atau mudarat dalam menghilangkannya, cukup baginya untuk bertaubat dan memohon ampun. Dan tidak mengapa yang masih ada dari tatonya di tubuhnya.” [Fatwa ini diterbitkan dari kantor beliau dengan nomor 2/218 pada tanggal 26/1/1409 H]

Fatwa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan

Tanya:
Apa hukum mentato wajah dan dua tangan? Ini adalah adat kebiasaan yang ada di masyarakat kami. Dan apa yang mesti dilakukan pada seseorang yang dibuatkan tato tersebut semasa kecilnya?

Jawab:
“Tato adalah haram dan merupakan salah satu dosa besar, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat Al-Wasyimah (yang mentato) dan Al-Mustausyimah (yang minta orang lain untuk mentatokan tubuhnya). Semuanya terlaknat melalui lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan demikian, tato itu haram dalam Islam dan merupakan salah satu dosa besar. Hal itu juga termasuk mengubah ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah dijanjikan oleh setan di mana ia akan memerintahkan kepada orang yang menjawab seruannya dari kalangan bani Adam, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ﻓَﻠَﻴُﻐَﻴِّﺮُﻥَّ ﺧَﻠْﻖَ ﺍﻟﻠﻪِ
“Dan aku pasti akan memerintahkan mereka untuk mengubah ciptaan Allah.” (An-Nisa`: 119)
Maka tato adalah perkara yang tidak boleh dilakukan, tidak boleh didiamkan, dan wajib dilarang. Juga diperingatkan darinya serta diterangkan bahwa itu adalah salah satu dosa besar. Dan orang yang dibuatkan tato, kalau itu dengan kemauannya dan dengan sukarela, maka ia berdosa dan wajib baginya untuk bertobat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan agar menghilangkan tatonya bila mampu. Adapun bila itu dibuatkan tanpa melakukannya sendiri dan tanpa ridhanya, seperti jika dilakukan atasnya semasa kecil, saat belum paham, maka dosanya atas yang melakukannya. Namun bila memungkinkan untuk dihilangkan, dia wajib menghilangkannya. Tapi jika tidak mungkin maka ia dapat udzur dalam keadaan semacam ini.” (dinukil dari kumpulan fatwa beliau, Al-Muntaqa hal. 249)

Fatwa Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbad

Beliau mengatakan: “Tato itu haram dan bertambah keharamannya ketika seseorang menggambar sesuatu yang haram seperti hewan-hewan. Barangsiapa melakukannya lalu tahu hukumnya hendaknya beristighfar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan jika bisa menghilangkannya tanpa menimbulkan mudarat maka semestinya itu dihilangkan.”
[Pelajaran Sunan Abi Dawud Kitab Az-Zinah, Bab La’nul wasyimah wal mustausyimah, 8/572]

####

Asy-Syaikh Al-'Allaamah 'Ubaid bin 'Abdillah Al-Jaabiriy حفظه الله

Asy-Syaikh Muhammad Utsman al Anjary telah membacakan soal-soal:
بسم الله والحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله محمد صلى الله عليه وسلم
Kami bersama Fadhilatusy Syaikh al Walid 'Ubaid al Jabiriy -semoga Allah memanjangkan umurnya dengan amalan sholih- kami ketengahkan pertanyaan-pertanyaan yang masuk ke radio An-Nahjul Wadhih dari beberapa negeri.
Pertanyaan pertama:
ماذا يصنع الرجل إذا كان عنده وشم في كتفة وكان الوشم لصورة امرأه فهل يجب عليه ازالته بعمليه جراحيه هذا السؤال من أمريكا
Apa yang harus dilakukan oleh seorang lelaki yang memiliki tato di bahunya? Tato tersebut berupa gambar wanita. Apakah wajib baginya menghilangkannya dengan operasi? Pertanyaan ini dari Amerika.

Asy Syaikh 'Ubaid حفظه الله menjawab:
السلام عليكم ورحمة الله وبركاة
الحمد لله وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
يعلم كل مسلم ومسلمة أن السنة دلت على تحريم الوشم سواء كان الموشوم رجلا أو امرأة وكذلك لو كان الواشم رجلا أو امرأة
ومن الأحاديث في ذلك قوله -صلى الله عليه وسلم- : لعن الله الواشمة والمستوشمة
فالواشمة: هي فاعله الوشم
والمستوشمة: هي التي يفعل لها الوشم
فهو محرم والأصل أنه يزال وأن هذه الإزالة واجبه لكن إذا ترتب عليها ضرر مثل تشويه الخلقة تشويه شكل الوجه أو الأنف أو الجبهة فهذا يترك وتكفي منه التوبة إن كان الموشوم مسلما
وإن كان الموشوم كافرا يوم فعل به الوشم ثم من الله عليه بالإسلام فالإسلام يجب ما قبلهبقي هل يحاول هذا الموشوم الذي أسلم بعد أن كان كافرا هل يحاول إزالته
الأمر كما تقدم إن كانت إزالته لا تضر فعل ذلك بعمليه تجميل أو بأي عمليه
Hendaknya setiap muslim dan muslimah mengetahui bahwa Islam MENGHARAMKAN TATO, sama saja baik itu yang ditato seorang lelaki ataukah wanita demikian pula (diharamkan) mentato baik kepada lelaki ataupun wanita.
Dan diantara hadits tentang hal itu Sabdanya Shallallaahu 'alaihi wasallam,
لعن الله الواشمة والمستوشمة
"Allah melaknat Al wasyhimah dan al mustausyimah."
Al Wasyimah: Wanita pembuat tato.
Al Mustausyimah: Wanita yang ditato.
Perbuatan tersebut diharamkan. Pada hukum asalnya adalah harus dihilangkan. Dan membuangnya adalah kewajiban dia.
Akan tetapi jika hal itu akan mengakibatkan kemudharatan misalnya akan: merusak tubuh, merusak bentuk wajah, hidung atau kening. Maka hal tersebut ditinggalkan, cukup baginya untuk bertaubat. Apabila yang ditato adalah seorang muslim.
Apabila yang ditato adalah masih kafir sewaktu dia dulu ditato kemudian Allah anugrahkan kepadanya (masuk) Islam, maka Islam akan menutup apa (dosa) yang sebelumnya.
Lantas, apakah orang kafir yang ditato kemudian masuk islam tadi tetap harus menghilangkan tatonya?
Perkaranya sebagaimana disebutkan tadi di atas. (Yakni) apabila tidak akan memudharatkan dirinya maka dia hilangkan dengan cara operasi rekonstruksi atau dengan upaya yang lain.

Sumber:
ar .alnahj .net/fatawah/open-session-with-sh-obaid-al-jabri/05/11-06-1435h

Alih Bahasa:
Al-Ustadz Fauzan Abu Fadhl Sukabumi حفظه الله - [FBF 7]

WA Forum Berbagi Faidah [FBF]

Tentang TELEVISI

Asy-Syaikh Al-Utsaimin rohimahullah berkata:
Yang aku nasehatkan kepada saudara saudaraku untuk MENINGGALKAN televisi secara mutlak, karena di zaman sekarang ini kejelekan tv lebih banyak daripada kebaikannya.

Asy-Syaikh Al-Utsaimin juga berkata:
Seorang yang BERAKAL tidak selayaknya menjadikan televisi di rumahnya, WALAUPUN cuma untuk melihat berita.
Karena kalau dia menjadikan televisi di rumahnya untuk mendengar berita, maka dia tidak akan mencukupkan diri dengan berita saja, mau tidak mau dia akan melihat berita dan yang BUKAN BERITA.

Fatwa Al Lajnah Ad Daimah:
Sebagian besar yang ada di televisi adalah musik-musik, dan hal-hal yang jelek, dan semua yang kejelekannya LEBIH BANYAK daripada kebaikannya, maka atas muslim harom untuk membelinya, menggunakannya, melihatnya, mendengarkannya, dan demikian pula alat perekam untuk musik.

Fatwa Asy-Syaikh Bin Baaz rohimahullah:
Adapun televisi adalah media yang BERBAHAYA, dan madhorotnya besar, seperti sinema atau bahkan lebih berbahaya, dan aku mengetahui dari tulisan-tulisan yang ditulis tentang masalah televisi, dan dari perkataan orang yang mengetahui tentang masalah ini di negeri arab atau yang lainnya menunjukkan bahayanya televisi, dan banyaknya madhorot terhadap AQIDAH, dan AKHLAQ, dan kemaslahatan masyarakat.
Yang demikian itu karena di dalamnya dimuat film-film yang memuat AKHLAQ YANG JELEK, dan acara-acara yang merusak, gambar-gambar yang jelek, penampakan wanita yang hampir telanjang, ceramah-ceramah yang merusak, perkataan kufur, ajakan menyerupai orang kafir dan akhlaq mereka, ciri khas mereka, pengagungan tokoh tokoh dan pembesar pembesar mereka, dan mengecilkan akhlaq kaum muslimin dan budaya kaum muslimin, merendahkan ulama' kaum muslimin dan tokoh-tokoh kaum muslimin, dan dibuat film-film yang menjauhkan kaum muslimin dari tokoh-tokoh kaum muslimin, yang berkonsekwensi merendahkan mereka, dan memalingkan kaum muslimin dari perjalanan hidup mereka, dan dimuat juga cara-cara jelek di dalam membuat makar, penipuan, pencurian, perampokan, dan cerita-cerita makar, cerita-cerita yang membangkitkan permusuhan kepada manusia.

Sumber:
www .sahab .net/forums/?showtopic=90775

Alih bahasa:
Abu Arifah Muhammad Bin Yahya Bahraisy

Berbagi ilmu agama
WA Al Istifadah
WALIS
Majmu'ah Al-Ukhuwah As-Salafiyyah

###

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

Pertanyaan:
Sebagian orang-orang yang baik memasukkan televisi ke dalam rumahnya dan dia mengatakan bahwa dia tidak ingin dituduh sebagai orang yang ekstrim, maka bagaimana bimbingan Anda?

Jawaban:
Meninggalkan televisi bukan sikap ghuluw atau ekstrim, tetapi merupakan sikap kehati-hatian untuk menjaga agama, keluarga, dan anak-anak. Jadi hal itu merupakan upaya menjauhkan dari sebab-sebab yang akan membahayakan. Karena keberadaan televisi akan mengakibatkan bahaya terhadap anak dan istri, bahkan juga terhadap kepala rumah tangga. Siapa yang merasa dirinya aman dari fitnah?! Jadi semakin jauh seseorang dari sebab-sebab fitnah, maka hal itu jelas lebih baik bagi keadaannya sekarang dan akibatnya di belakang hari. Dan meninggalkan televisi bukan termasuk sikap ekstrim, tetapi termasuk upaya preventif atau penjagaan dan pencegahan dari keburukan.

Sumber artikel:
Al-Muntaqa min Fataawa Al-Fauzan, pertanyaan no. 211

###

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

Pertanyaan:
Apa hukumnya bagi orang yang menggunakan parabola di rumahnya hanya untuk mengetahui berita saja, atau untuk mendengar berita dari channel Al-Jazeera?

Jawaban:
Berita bisa diketahui tanpa parabola, bisa diketahui melalui surat kabar, bisa juga melalui siaran radio, atau melalui televisi Saudi (tidak sama dan tidak boleh disamakan dengan siaran televisi yang lain) tanpa menggunakan parabola. Jadi bisa didapatkan tanpa parabola.
Parabola menimbulkan keburukan terhadap dirinya sendiri dan anak-anaknya maupun anggota keluarganya yang lain. Jadi kerusakannya lebih dominan dibandingkan maslahatnya, itupun jika terbukti ada maslahatnya. Kerusakannya jelas lebih dominan. Maka jangan menggunakan alat tersebut di rumahnya karena berbagai kerusakannya, baik yang sifatnya murni atau yang dominan. Dan perkaranya tidak sebatas itu, bahkan akan merusak anggota keluarga semuanya, baik yang tua maupun yang muda, kecuali yang dirahmati oleh Allah. Dan dia akan dimintai pertanggung jawaban atasnya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﺭَﺍﻉٍ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻫْﻞِ ﺑَﻴْﺘِﻪِ ﻭَﻫُﻮَ ﻣَﺴْﺌُﻮْﻝٌ ﻋَﻨْﻬُﻢْ
“Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi rumah tangganya dan dia akan dimintai pertanggung jawaban tentang mereka.”
(HR. Al-Bukhary no. 2554 dan Muslim no. 1829)
Siapa yang akan memintainya pertanggung jawaban?! Allah Jalla wa Ala yang memintainya pertanggung jawaban pada hari kiamat nanti. Maka tidak boleh baginya untuk menggunakan parabola di rumahnya dengan alasan untuk mengetahui berita, karena berita bisa didapatkan melalui berbagai media yang tidak mengandung kerusakan.
Kemudian berita itu sendiri apa yang dimaukan?! Mayoritasnya dusta, dan manfaat apa yang akan dia dapatkan darinya. Hanya akan menghancurkan rumah tangganya, ini yang terjadi akibat berita-berita itu. Berita-berita itu kebanyakannya dusta dan menimbulkan keburukan dan dusta. Jangan sampai dia menghancurkan.rumah tangga dan keluarganya dengan dalih yang bathil ini. Demikian juga dengan channel Al-Jazeera, padanya terdapat keburukan yang banyak, suka mengadu domba, acaranya diisi oleh orang-orang yang ngawur dalam urusan agama dan masalah fikih, mengharamkan apa yang Allah halalkan atau menghalalkan apa yang Allah haramkan ketika mengeluarkan fatwa.
Ini merupakan bahaya besar bagi masyarakat dengan menyaksikan siaran parabola dan channel Al-Jazeera. Keburukannya sangat parah sekarang ini. Semua pihak menilainya buruk dan tidak ada seorang pun yang memujinya.

Alih bahasa: Abu Almass

###

Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan

Soal:
Apakah hukum menonton acara sinetron berseri yang disiarkan di televisi?

Jawab:
Wajib bagi seorang muslim untuk menjaga waktunya dengan menyibukkan diri dengan perkara yang bermanfaat bagi dunia dan akhiratnya, karena dia bertanggung jawab dengan waktu yang dia habiskan, bagaimana dia habiskan waktu tersebut. Allah ta’ala berfirman,
ﺃَﻭَﻟَﻢْ ﻧُﻌَﻤِّﺮْﻛُﻢْ ﻣَﺎ ﻳَﺘَﺬَﻛَّﺮُ ﻓِﻴﻪِ
Apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir. (Faatir: 37)
Dan di dalam hadits (riwayat At Tirmidzi), seseorang akan ditanya tentang kehidupannya dan waktu yang dia habiskan.
Menonton sinetron menghabiskan waktu, sehingga tidak sepantasnya seorang muslim menyibukkan diri menontonnya. Apabila di dalam sinetron tersebut terdapat perkara-perkara yang haram, maka menontonnya pun haram seperti wanita yang berhias dan bertabarruj (tidak berhijab, menampakkan kecantikannya di hadapan selain mahram), musik dan nyanyian, dan juga sinetron yang mengandung ajaran/pemikiran yang rusak, yang jauh dari tuntunan agama dan akhlak yang mulia. Begitu juga sinetron yang menampilkan perilaku yang tidak tahu malu dan merusak akhlak. Sinetron semacam ini tidak boleh ditonton.

(Diterjemahkan dari Al Muntaqa min Fatawa Syaikh Fauzan, juz 3 nomor 516)

###

Asy-Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:
Fadhilatus Syaikh, apa hukum menonton pertandingan sepakbola yang ditayangkan di televisi?

Jawaban:
Menurut pendapatku menonton permainan-permainan yang ditampilkan di televisi atau selainnya merupakan perkara yang menyia-nyiakan waktu. Seseorang yang berakal dan memiliki kepribadian yang kuat tidak akan menyia-nyiakan waktunya untuk perkara-perkara yang sama sekali tidak bermanfaat baginya, ini jika selamat dari keburukan lain. Kalau disertai dengan keburukan yang lain misalnya dengan adanya pengagungan terhadap pemain kafir di dalam hatinya, maka ini haram tanpa diragukan lagi. Karena tidak boleh bagi kita untuk mengagungkan orang-orang kafir selama-lamanya betapapun kemajuan yang mereka capai, tidak boleh bagi kita untuk mengagungkan mereka.
Atau pertandingan-pertandingan ini padanya nampak paha para pemuda yang menyebabkan fitnah. Karena pendapat yang rajih menurut saya adalah tidak boleh bagi para pemuda ketika bermain bola untuk menampakkan paha mereka, karena menimbulkan fitnah. Walaupun menurut pendapat yang menyatakan bahwa paha bukan aurat, saya tetap berpendapat bahwa seorang pemuda tidak boleh menampakkan pahanya selama-lamanya. Adapun jika kita memilih pendapat yang menyatakan bahwa paha adalah aurat sebagaimana ini yang masyhur dari madzhab Al-Imam Ahmad, maka perkaranya jelas tidak boleh bagaimanapun keadaannya.
Maka yang saya nasehatkan kepada saudara-saudaraku hendaklah mereka semangat untuk menjaga waktu mereka, karena sesungguhnya waktu lebih berharga dibandingkan harta. Bukankah kalian membaca firman Allah Ta’ala:
حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُوْنِ. لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيْمَا تَرَكْتُ
“Hingga apabila datang kematian kepada salah seorang diantara mereka, dia akan mengatakan: “Wahai Rabbku, kembalikanlah aku ke dunia agar aku bisa beramal shalih yang dulu aku tinggalkan.” (QS. Al-Mu’minun: 99-100)
Dia tidak mengatakan: “Kembalikanlah aku agar aku bisa bersenang-senang di dunia.” Tetapi dia mengatakan: “Agar aku bisa beramal shalih yang dulu aku tinggalkan.” Yaitu sebagai ganti dari waktu yang hilang dengan sia-sia sebelum dia mati.

Ditranskrip dan diterjemahkan oleh: Abu Almass bin Jaman Al-Ausathy

Tentang BERSYUKUR DAN BERDZIKIR MENYEBUT NAMA ALLAH KETIKA MELIHAT KEBAIKAN DAN MERASAKAN NIKMAT

Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ﻭَﺍﺿْﺮِﺏْ ﻟَﻬُﻢ ﻣَّﺜَﻠًﺎ ﺭَّﺟُﻠَﻴْﻦِ ﺟَﻌَﻠْﻨَﺎ ﻟِﺄَﺣَﺪِﻫِﻤَﺎ ﺟَﻨَّﺘَﻴْﻦِ ﻣِﻦْ ﺃَﻋْﻨَﺎﺏٍ ﻭَﺣَﻔَﻔْﻨَﺎﻫُﻤَﺎ ﺑِﻨَﺨْﻞٍ ﻭَﺟَﻌَﻠْﻨَﺎ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻤَﺎ ﺯَﺭْﻋًﺎ () ﻛِﻠْﺘَﺎ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺘَﻴْﻦِ ﺁﺗَﺖْ ﺃُﻛُﻠَﻬَﺎ ﻭَﻟَﻢْ ﺗَﻈْﻠِﻢ ﻣِّﻨْﻪُ ﺷَﻴْﺌًﺎ ۚ ﻭَﻓَﺠَّﺮْﻧَﺎ ﺧِﻠَﺎﻟَﻬُﻤَﺎ ﻧَﻬَﺮًﺍ () ﻭَﻛَﺎﻥَ ﻟَﻪُ ﺛَﻤَﺮٌ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻟِﺼَﺎﺣِﺒِﻪِ ﻭَﻫُﻮَ ﻳُﺤَﺎﻭِﺭُﻩُ ﺃَﻧَﺎ ﺃَﻛْﺜَﺮُ ﻣِﻨﻚَ ﻣَﺎﻟًﺎ ﻭَﺃَﻋَﺰُّ ﻧَﻔَﺮًﺍ () ﻭَﺩَﺧَﻞَ ﺟَﻨَّﺘَﻪُ ﻭَﻫُﻮَ ﻇَﺎﻟِﻢٌ ﻟِّﻨَﻔْﺴِﻪِ ﻗَﺎﻝَ ﻣَﺎ ﺃَﻇُﻦُّ ﺃَﻥ ﺗَﺒِﻴﺪَ ﻫَٰﺬِﻩِ ﺃَﺑَﺪًﺍ () ﻭَﻣَﺎ ﺃَﻇُﻦُّ ﺍﻟﺴَّﺎﻋَﺔَ ﻗَﺎﺋِﻤَﺔً ﻭَﻟَﺌِﻦ ﺭُّﺩِﺩﺕُّ ﺇِﻟَﻰٰ ﺭَﺑِّﻲ ﻟَﺄَﺟِﺪَﻥَّ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻣِّﻨْﻬَﺎ ﻣُﻨﻘَﻠَﺒًﺎ () ﻗَﺎﻝَ ﻟَﻪُ ﺻَﺎﺣِﺒُﻪُ ﻭَﻫُﻮَ ﻳُﺤَﺎﻭِﺭُﻩُ ﺃَﻛَﻔَﺮْﺕَ ﺑِﺎﻟَّﺬِﻱ ﺧَﻠَﻘَﻚَ ﻣِﻦ ﺗُﺮَﺍﺏٍ ﺛُﻢَّ ﻣِﻦ ﻧُّﻄْﻔَﺔٍ ﺛُﻢَّ ﺳَﻮَّﺍﻙَ ﺭَﺟُﻠًﺎ () ﻟَّٰﻜِﻨَّﺎ ﻫُﻮَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺭَﺑِّﻲ ﻭَﻟَﺎ ﺃُﺷْﺮِﻙُ ﺑِﺮَﺑِّﻲ ﺃَﺣَﺪًﺍ () ﻭَﻟَﻮْﻟَﺎ ﺇِﺫْ ﺩَﺧَﻠْﺖَ ﺟَﻨَّﺘَﻚَ ﻗُﻠْﺖَ ﻣَﺎ ﺷَﺎﺀَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻟَﺎ ﻗُﻮَّﺓَ ﺇِﻟَّﺎ ﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ ۚ ﺇِﻥ ﺗَﺮَﻥِ ﺃَﻧَﺎ ﺃَﻗَﻞَّ ﻣِﻨﻚَ ﻣَﺎﻟًﺎ ﻭَﻭَﻟَﺪًﺍ () ﻓَﻌَﺴَﻰٰ ﺭَﺑِّﻲ ﺃَﻥ ﻳُﺆْﺗِﻴَﻦِ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻣِّﻦ ﺟَﻨَّﺘِﻚَ ﻭَﻳُﺮْﺳِﻞَ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﺣُﺴْﺒَﺎﻧًﺎ ﻣِّﻦَ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ ﻓَﺘُﺼْﺒِﺢَ ﺻَﻌِﻴﺪًﺍ ﺯَﻟَﻘًﺎ () ﺃَﻭْ ﻳُﺼْﺒِﺢَ ﻣَﺎﺅُﻫَﺎ ﻏَﻮْﺭًﺍ ﻓَﻠَﻦ ﺗَﺴْﺘَﻄِﻴﻊَ ﻟَﻪُ ﻃَﻠَﺒًﺎ () ﻭَﺃُﺣِﻴﻂَ ﺑِﺜَﻤَﺮِﻩِ ﻓَﺄَﺻْﺒَﺢَ ﻳُﻘَﻠِّﺐُ ﻛَﻔَّﻴْﻪِ ﻋَﻠَﻰٰ ﻣَﺎ ﺃَﻧﻔَﻖَ ﻓِﻴﻬَﺎ ﻭَﻫِﻲَ ﺧَﺎﻭِﻳَﺔٌ ﻋَﻠَﻰٰ ﻋُﺮُﻭﺷِﻬَﺎ ﻭَﻳَﻘُﻮﻝُ ﻳَﺎ ﻟَﻴْﺘَﻨِﻲ ﻟَﻢْ ﺃُﺷْﺮِﻙْ ﺑِﺮَﺑِّﻲ ﺃَﺣَﺪًﺍ () ﻭَﻟَﻢْ ﺗَﻜُﻦ ﻟَّﻪُ ﻓِﺌَﺔٌ ﻳَﻨﺼُﺮُﻭﻧَﻪُ ﻣِﻦ ﺩُﻭﻥِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﻣَﺎ ﻛَﺎﻥَ ﻣُﻨﺘَﺼِﺮًﺍ () ﻫُﻨَﺎﻟِﻚَ ﺍﻟْﻮَﻟَﺎﻳَﺔُ ﻟِﻠَّﻪِ ﺍﻟْﺤَﻖِّ ۚ ﻫُﻮَ ﺧَﻴْﺮٌ ﺛَﻮَﺍﺑًﺎ ﻭَﺧَﻴْﺮٌ ﻋُﻘْﺒًﺎ
Dan berikanlah kepada mereka perumpamaan dua orang laki-laki yang Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma. Di antara kedua kebun itu Kami buatkan ladang. Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu tiada kurang buahnya sedikit pun, dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu, dia mempunyai kekayaan besar, maka dia berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika bercakap-cakap dengan dia, “Hartaku lebih banyak daripada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat.” Dia memasuki kebunnya dalam keadaan zalim terhadap dirinya sendiri; dia berkata, “Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya. Aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang. Jika sekiranya aku dikembalikan kepada Rabbku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun itu.” Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya—ketika dia bercakap-cakap dengannya, “Apakah kamu kafir kepada (Allah) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna? Tetapi, aku (percaya bahwa) Dialah Allah, Rabbku, dan aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Rabbku. Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu, ‘Masya Allah, la quwwata illa billah (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah).’ Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan, maka mudah-mudahan Rabbku akan memberi kepadaku (kebun) yang lebih baik daripada kebunmu (ini); dan mudah-mudahan dia mengirimkan ketentuan (petir) dari langit kepada kebunmu; hingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin; atau airnya menjadi surut ke dalam tanah, maka sekali-kali kamu tidak dapat menemukannya lagi.”Dan harta kekayaannya dibinasakan; lalu ia membolak-balikkan kedua tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang ia telah belanjakan untuk itu, sedangkan pohon anggur itu roboh bersama para-paranya dan dia berkata, “Aduhai kiranya dahulu aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Rabbku.” Dan tidak ada bagi dia segolongan pun yang akan menolongnya selain Allah; dan sekali-kali ia tidak dapat membela dirinya. Di sana, pertolongan itu hanya dari Allah yang haq. Dia adalah sebaik-baik pemberi pahala dan sebaik-baik pemberi balasan. (al-Kahfi: 32—44‏)

Tentang KALENDER MASEHI

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

| | |

Pertanyaan: Apakah penanggalan menggunakan kalender Masehi teranggap sikap loyal kepada orang-orang Nashara?

Jawaban:

Tidak teranggap sikap loyalitas, tetapi teranggap sikap tasayabbuh (menyerupai) mereka. Pada masa Shahabat radhiyallahu anhum ada penanggalan Masehi, namun mereka tidak menggunakannya, bahkan mereka berpaling kepada penanggalan Hijriyah dan menggunakan penanggalan Hijriyah. Mereka tidak menggunakan penanggalan Masehi, padahal ada di masa mereka. Ini menunjukkan bahwa kaum Muslimin wajib untuk membebaskan diri dari budaya orang-orang kafir dan tidak membebek mereka. Terlebih lagi penanggalan dengan kalender Masehi merupakan simbol agama mereka, karena menunjukkan pengagungan kelahiran Al-Masih dan memperingatinya di awal tahun. Ini merupakan bid’ah yang diada-adakan dalam agama Nashara, sehingga kita tidak ikut-ikutan dengan mereka dan tidak pula menganjurkan perkara ini. Jika kita menggunakan penanggalan kalender mereka, artinya kita melakukan tasayabbuh dengan mereka, padahal kita memiliki penanggalan Hijriyah yang telah dicanangkan bagi kita oleh Amirul Mu’minin Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu anhu di hadapan orang-orang Muhajirin dan Anshar, dan ini telah mencukupi kita.

Sumber artikel:
Al-Muntaqa min Fataawa Al-Fauzan, bab Aqidah, pertanyaan no. 269

Tentang MUSIK DAN NYANYIAN

Hadits Abu ‘Amir atau Abu Malik Al-Asy’ari bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻟَﻴَﻜُﻮﻧَﻦَّ ﻣِﻦtْ ﺃُﻣَّﺘِﻲ ﺃَﻗْﻮَﺍﻡٌ ﻳَﺴْﺘَﺤِﻠُّﻮﻥَ ﺍﻟْﺤِﺮَ ﻭَﺍﻟْﺤَﺮِﻳﺮَ ﻭَﺍﻟْﺨَﻤْﺮَ ﻭَﺍﻟْﻤَﻌَﺎﺯِﻑَ، ﻭَﻟَﻴَﻨْﺰِﻟَﻦَّ ﺃَﻗْﻮَﺍﻡٌ ﺇِﻟَﻰ ﺟَﻨْﺐِ ﻋَﻠَﻢٍ ﻳَﺮُﻭﺡُ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﺑِﺴَﺎﺭِﺣَﺔٍ ﻟَﻬُﻢْ ﻳَﺄْﺗِﻴﻬِﻢْ ﻳَﻌْﻨِﻲ ﺍﻟْﻔَﻘِﻴﺮَ ﻟِﺤَﺎﺟَﺔٍ ﻓَﻴَﻘُﻮﻟُﻮﺍ: ﺍﺭْﺟِﻊْ ﺇِﻟَﻴْﻨَﺎ ﻏَﺪًﺍ؛ ﻓَﻴُﺒَﻴِّﺘُﻬُﻢْ ﺍﻟﻠﻪُ ﻭَﻳَﻀَﻊُ ﺍﻟْﻌَﻠَﻢَ ﻭَﻳَﻤْﺴَﺦُ ﺁﺧَﺮِﻳﻦَ ﻗِﺮَﺩَﺓً ﻭَﺧَﻨَﺎﺯِﻳﺮَ ﺇِﻟَﻰ ﻳَﻮْﻡِ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ
"Akan muncul di kalangan umatku, kaum-kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan al-ma'azif (alat-alat musik). Dan akan ada kaum yang menuju puncak gunung kembali bersama ternak mereka, lalu ada orang miskin yang datang kepada mereka meminta satu kebutuhan, lalu mereka mengatakan: ‘Kembalilah kepada kami besok.’ Lalu Allah subhanahu wa ta’ala membinasakan mereka di malam hari dan menghancurkan bukit tersebut. Dan Allah mengubah yang lainnya menjadi kera-kera dan babi-babi, hingga hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya secara ta’liq dengan bentuk pasti (jazm), 10/5590. Lihat pula pembahasan lengkap tentang sanad hadits ini dalam Silsilah Ash-Shahihah, Al-Albani, 1/91)

Al-Laits berkata: “Al-ma’azif adalah alat-alat musik yang dipukul.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Al-ma’azif adalah alat-alat musik.”
Al-Qurthubi meriwayatkan dari Al-Jauhari bahwa al-ma’azif adalah nyanyian. Yang terdapat dalam Shihah-nya bahwa yang dimaksud adalah alat-alat musik. Ada pula yang mengatakan maknanya adalah suara-suara yang melalaikan.
Ad-Dimyathi berkata: “Al-ma’azif adalah genderang dan yang lainnya berupa sesuatu yang dipukul.” (lihat Tahdzib Al-Lughah 2/86, Mukhtarush Shihah hal. 181, Fathul Bari 10/57)
Al-Imam Adz-Dzahabi berkata: “Al-ma’azif adalah nama bagi setiap alat musik yang dimainkan, seperti seruling, gitar, dan klarinet (sejenis seruling), serta simba.” (Siyar A’lam An-Nubala` 21/158)
Ibnul Qayyim berkata bahwa al-ma’azif adalah seluruh jenis alat musik, dan tidak ada perselisihan ahli bahasa dalam hal ini. (Ighatsatul Lahafan 1/260-261)

Makna hadits ini adalah, akan muncul dari kalangan umat ini yang menganggap halal hal-hal tersebut, padahal itu adalah perkara yang haram. Al-‘Allamah ‘Ali Al-Qari berkata: “Maknanya adalah mereka menganggap perkara-perkara ini sebagai sesuatu yang halal dengan mendatangkan berbagai syubhat dan dalil-dalil yang lemah.” (Mirqatul Mafatih, 5/106)

###

Hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺻَﻮْﺗَﺎﻥِ ﻣَﻠْﻌُﻮﻧَﺎﻥِ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﺍﻟْﺂﺧِﺮَﺓِ: ﻣِﺰْﻣَﺎﺭٌ ﻋِﻨْﺪَ ﻧِﻌْﻤَﺔٍ ﻭَﺭَﻧَّﺔٌ ﻋِﻨْﺪَ ﻣُﺼِﻴﺒَﺔٍ
"Dua suara yang dilaknat di dunia dan di akhirat: seruling ketika mendapatkan kenikmatan dan ratapan (suara jeritan) ketika ditimpa musibah.” (HR. Al-Bazzar dalam Musnad-nya, 1/377/755, Adh-Dhiya` Al-Maqdisi dalam Al-Mukhtarah, 6/188/2200, dan dishahihkan oleh Al-Albani berdasarkan penguat-penguat yang ada. Lihat Tahrim Alat Ath-Tharb, hal. 52)

Juga dikuatkan dengan riwayat Jabir bin Abdillah, dari Abdurrahman bin ‘Auf, dia berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻧُﻬِﻴْﺖُ ﻋَﻦِ ﺍﻟﻨَّﻮْﺡِ ﻋَﻦْ ﺻَﻮْﺗَﻴْﻦِ ﺃَﺣْﻤَﻘَﻴْﻦِ ﻓَﺎﺟِﺮَﻳْﻦِ: ﺻَﻮْﺕٍ ﻋِﻨْﺪَ ﻧَﻐْﻤَﺔِ ﻟَﻬْﻮٍ ﻭَﻟَﻌِﺐٍ ﻭَﻣَﺰَﺍﻣِﻴﺮِ ﺷَﻴْﻄَﺎﻥٍ، ﻭَﺻَﻮْﺕٍ ﻋِﻨْﺪَ ﻣُﺼِﻴﺒَﺔٍ ﺧَﻤْﺶِ ﻭُﺟُﻮﻩٍ ﻭَﺷَﻖِّ ﺟُﻴُﻮﺏٍ ﻭَﺭَﻧَّﺔِ ﺷَﻴْﻄَﺎﻥٍ
"Aku hanya dilarang dari meratap, dari dua suara yang bodoh dan fajir: Suara ketika dendangan yang melalaikan dan permainan, seruling-seruling setan, dan suara ketika musibah, mencakar wajah, merobek baju dan suara setan.” (HR. Al-Hakim, 4/40, Al-Baihaqi, 4/69, dan yang lainnya. Juga diriwayatkan At-Tirmidzi secara ringkas, no. 1005)

An-Nawawi rahimahullah berkata tentang makna ‘suara setan’: “Yang dimaksud adalah nyanyian dan seruling.” (Tuhfatul Ahwadzi, 4/75)

###

Dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﺣَﺮَّﻡَ ﻋَﻠَﻲَّ - ﺃَﻭْ ﺣُﺮِّﻡَ ﺍﻟْﺨَﻤْﺮُ ﻭَﺍﻟْﻤَﻴْﺴِﺮُ ﻭَﺍﻟْﻜُﻮﺑَﺔُ، ﻭَﻛُﻞُّ ﻣُﺴْﻜِﺮٍ ﺣَﺮَﺍﻡٌ
"Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah mengharamkan atasku –atau– diharamkan khamr, judi, dan al-kubah (gendang). Dan setiap yang memabukkan itu haram.” (HR. Abu Dawud no. 3696, Ahmad, 1/274, Al-Baihaqi, 10/221, Abu Ya’la dalam Musnad-nya no. 2729, dan yang lainnya. Dishahihkan oleh Ahmad Syakir dan Al-Albani, lihat At-Tahrim hal. 56)

Kata al-kubah telah ditafsirkan oleh perawi hadits ini yang bernama ‘Ali bin Badzimah, bahwa yang dimaksud adalah gendang. (Lihat riwayat Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no. 12598)

###

Hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu anhuma, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻋَﺰَّ ﻭَﺟَﻞَّ ﺣَﺮَّﻡَ ﺍﻟْﺨَﻤْﺮَ ﻭَﺍﻟْﻤَﻴْﺴِﺮَ ﻭَﺍﻟْﻜُﻮﺑَﺔَ ﻭَﺍﻟْﻐُﺒَﻴْﺮَﺍﺀَ، ﻭَﻛُﻞُّ ﻣُﺴْﻜِﺮٍ ﺣَﺮَﺍﻡٌ
"Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala mengharamkan khamr, judi, al-kubah (gendang), dan al-ghubaira` (khamr yang terbuat dari bahan jagung), dan setiap yang memabukkan itu haram.” (HR. Abu Dawud no. 3685, Ahmad, 2/158, Al-Baihaqi, 10/221-222, dan yang lainnya. Hadits ini dihasankan Al-Albani dalam Tahrim Alat Ath-Tharb hal. 58)

###

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ﻭَﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻣَﻦْ ﻳَﺸْﺘَﺮِﻱ ﻟَﻬْﻮَ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳﺚِ ﻟِﻴُﻀِﻞَّ ﻋَﻦْ ﺳَﺒِﻴﻞِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍ ﻭَﻳَﺘَّﺨِﺬَﻫَﺎ ﻫُﺰُﻭًﺍ ﺃُﻭﻟَﺌِﻚَ ﻟَﻬُﻢْ ﻋَﺬَﺍﺏٌ ﻣُﻬِﻴﻦٌ
"Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (Luqman: 6)

Ayat Allah ini telah ditafsirkan oleh para ulama salaf bahwa yang dimaksud adalah nyanyian dan yang semisalnya. Di antara yang menafsirkan ayat dengan tafsir ini adalah:
~Abdullah bin ‘Abbas, beliau mengatakan tentang ayat ini: “Ayat ini turun berkenaan tentang nyanyian dan yang semisalnya.” (Diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad (no. 1265), Ibnu Abi Syaibah (6/310), Ibnu Jarir dalam tafsirnya (21/40), Ibnu Abid Dunya dalam Dzammul Malahi, Al-Baihaqi (10/221, 223), dan dishahihkan Al-Albani dalam kitabnya Tahrim Alat Ath-Tharb hal. 142-143)
~ Abdullah bin Mas’ud, tatkala beliau ditanya tentang ayat ini, beliau menjawab: “Itu adalah nyanyian, demi Allah yang tiada Ilah yang haq disembah kecuali Dia.” Beliau mengulangi ucapannya tiga kali. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya, Ibnu Abi Syaibah, Al-Hakim (2/411), dan yang lainnya. Al-Hakim mengatakan: “Sanadnya shahih,” dan disetujui Adz-Dzahabi. Juga dishahihkan oleh Al-Albani, lihat kitab Tahrim Alat Ath-Tharb hal. 143)
~ ‘Ikrimah, Syu’aib bin Yasar berkata: “Aku bertanya kepada ‘Ikrimah tentang makna (lahwul hadits) dalam ayat tersebut. Maka beliau menjawab: ‘Nyanyian’.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Tarikh-nya (2/2/217), Ibnu Jarir dalam tafsirnya, dan yang lainnya. Dihasankan Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 143)
~ Mujahid bin Jabr, beliau mengucapkan seperti apa yang dikatakan oleh ‘Ikrimah. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 1167, 1179, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abid Dunya dari beberapa jalan yang sebagiannya shahih)
Dan dalam riwayat Ibnu Jarir yang lain, dari jalan Ibnu Juraij, dari Mujahid, tatkala beliau menjelaskan makna al-lahwu dalam ayat tersebut, beliau berkata: “Genderang.” (Al-Albani berkata: Perawi-perawinya terpercaya, maka riwayat ini shahih jika Ibnu Juraij mendengarnya dari Mujahid. Lihat At-Tahrim hal. 144)
~ Al-Hasan Al-Bashri, beliau mengatakan: “Ayat ini turun berkenaan tentang nyanyian dan seruling.”
As-Suyuthi menyebutkan atsar ini dalam Ad-Durrul Mantsur (5/159) dan menyandarkannya kepada riwayat Ibnu Abi Hatim. Al-Albani berkata: “Aku belum menemukan sanadnya sehingga aku bisa melihatnya.” (At-Tahrim hal. 144)

Oleh karena itu, berkata Al-Wahidi dalam tafsirnya Al-Wasith (3/441): “Kebanyakan ahli tafsir menyebutkan bahwa makna lahwul hadits adalah nyanyian. Ahli ma’ani berkata: ‘Termasuk dalam hal ini adalah semua orang yang memilih hal yang melalaikan, nyanyian, seruling, musik, dan mendahulukannya, daripada Al-Qur`an.”

###

Firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Maka apakah kalian merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kalian menertawakan dan tidak menangis? Sedangkan kalian ber-sumud?” (An-Najm: 59-61)

Para ulama menafsirkan “kalian bersumud” maknanya adalah bernyanyi. Termasuk yang menyebutkan tafsir ini adalah:
~ Ibnu Abbas. Beliau berkata: “Maknanya adalah nyanyian. Dahulu jika mereka mendengar Al-Qur`an, maka mereka bernyanyi dan bermain-main. Dan ini adalah bahasa penduduk Yaman (dalam riwayat lain: bahasa penduduk Himyar).” Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya (27/82), Al-Baihaqi (10/223). Al-Haitsami berkata: “Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan sanadnya shahih.” (Majma’ Az-Zawa`id, 7/116)
~ ‘Ikrimah. Beliau juga berkata: “Yang dimaksud adalah nyanyian, menurut bahasa Himyar.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Syaibah, 6/121)

Ada pula yang menafsirkan ayat ini dengan makna berpaling, lalai, dan yang semisalnya. Ibnul Qayyim berkata: “Ini tidaklah bertentangan dengan makna ayat sebagaimana telah disebutkan, bahwa yang dimaksud sumud adalah lalai dan lupa dari sesuatu. Al-Mubarrid mengatakan: ‘Yaitu tersibukkan dari sesuatu bersama mereka.’ Ibnul ‘Anbar mengatakan: ‘As-Samid artinya orang yang lalai, orang yang lupa, orang yang sombong, dan orang yang berdiri.’ Ibnu ‘Abbas berkata tentang ayat ini: ‘Yaitu kalian menyombongkan diri.’ Adh-Dhahhak berkata: ‘Sombong dan congkak.' Mujahid berkata: ‘Marah dan berpaling.’ Yang lainnya berkata: ‘Lalai, luput, dan berpaling.’ Maka, nyanyian telah mengumpulkan semua itu dan mengantarkan kepadanya.” (Ighatsatul Lahafan, 1/258)

###

Firman Allah kepada Iblis: “Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka melainkan tipuan belaka.” (Al-Isra`: 64)

Telah diriwayatkan dari sebagian ahli tafsir bahwa yang dimaksud “menghasung siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu” adalah melalaikan mereka dengan nyanyian. Di antara yang menyebutkan hal tersebut adalah:
~ Mujahid. Beliau berkata tentang makna “dengan suaramu”: “Yaitu melalaikannya dengan nyanyian.” (Tafsir Ath-Thabari)

Sebagian ahli tafsir ada yang menafsirkannya dengan makna ajakan untuk bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Ibnu Jarir berkata: “Pendapat yang paling benar dalam hal ini adalah bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah mengatakan kepada Iblis: ‘Dan hasunglah dari keturunan Adam siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu,’ dan Dia tidak mengkhususkan dengan suara tertentu. Sehingga setiap suara yang dapat menjadi pendorong kepadanya, kepada amalannya dan taat kepadanya, serta menyelisihi ajakan kepada ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, maka termasuk dalam makna suara yang Allah subhanahu wa ta’ala maksudkan dalam firman-Nya.” (Tafsir Ath-Thabari)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata tatkala menjelaskan ayat ini: “Sekelompok ulama salaf telah menafsirkannya dengan makna ‘suara nyanyian’. Hal itu mencakup suara nyanyian tersebut dan berbagai jenis suara lainnya yang menghalangi pelakunya untuk menjauh dari jalan Allah.” (Majmu’ Fatawa, 11/641-642)
Ibnul Qayyim berkata: “Satu hal yang telah dimaklumi bahwa nyanyian merupakan pendorong terbesar untuk melakukan kemaksiatan.” (Ighatsatul Lahafan, 1/255)

###

Atsar dari Ulama Salaf

1. Abdullah bin Mas’ud berkata:
ﺍﻟْﻐِﻨَﺎﺀُ ﻳُﻨْﺒِﺖُ ﺍﻟﻨِّﻔَﺎﻕَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻘَﻠْﺐِ
"Nyanyian itu menimbulkan kemunafikan dalam hati.” (Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Dzammul Malahi, 4/2, Al-Baihaqi dari jalannya, 10/223, dan Syu’abul Iman, 4/5098-5099. Dishahihkan Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 10. Diriwayatkan juga secara marfu’, namun sanadnya lemah)

2. Ishaq bin Thabba` berkata: Aku bertanya kepada Malik bin Anas rahimahullah tentang sebagian penduduk Madinah yang membolehkan nyanyian. Maka beliau menjawab: “Sesungguhnya menurut kami, orang-orang yang melakukannya adalah orang yang fasiq.” (Diriwayatkan Abu Bakr Al-Khallal dalam Al-Amru bil Ma’ruf: 32, dan Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis hal. 244, dengan sanad yang shahih)

Beliau juga ditanya: “Orang yang memukul genderang dan berseruling, lalu dia mendengarnya dan merasakan kenikmatan, baik di jalan atau di majelis?” Beliau menjawab: “Hendaklah dia berdiri (meninggalkan majelis) jika ia merasa enak dengannya, kecuali jika ia duduk karena ada satu kebutuhan, atau dia tidak bisa berdiri. Adapun kalau di jalan, maka hendaklah dia mundur atau maju (hingga tidak mendengarnya).” (Al-Jami’, Al-Qairawani, 262)

3. Al-Imam Al-Auza’i rahimahullah berkata: ‘Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahullah menulis sebuah surat kepada ‘Umar bin Walid yang isinya: “… Dan engkau yang menyebarkan alat musik dan seruling, (itu) adalah perbuatan bid’ah dalam Islam.” (Diriwayatkan An-Nasa`i, 2/178, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 5/270. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 120)

4. ‘Amr bin Syarahil Asy-Sya’bi berkata: “Sesungguhnya nyanyian itu menimbulkan kemunafikan dalam hati, seperti air yang menumbuhkan tanaman. Dan sesungguhnya berdzikir menumbuhkan iman seperti air yang menumbuhkan tanaman.” (Diriwayatkan Ibnu Nashr dalam Ta’zhim Qadr Ash-Shalah, 2/636. Dihasankan oleh Al-Albani dalam At-Tahrim, hal. 148)

Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abid Dunya (45), dari Al-Qasim bin Salman, dari Asy-Sya’bi, dia berkata: “Semoga Allah subhanahu wa ta’ala melaknat biduan dan biduanita.” (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 13)

5. Ibrahim bin Al-Mundzir –seorang tsiqah (terpercaya) yang berasal dari Madinah, salah seorang guru Al-Imam Al-Bukhari– ditanya: “Apakah engkau membolehkan nyanyian?” Beliau menjawab: “Aku berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Tidak ada yang melakukannya menurut kami kecuali orang-orang fasiq.” (Diriwayatkan Al-Khallal dengan sanad yang shahih, lihat At-Tahrim hal. 100)

6. Ibnul Jauzi berkata: “Para tokoh dari murid-murid Al-Imam Asy-Syafi’i mengingkari nyanyian. Para pendahulu mereka, tidak diketahui ada perselisihan di antara mereka. Sementara para pembesar orang-orang belakangan, juga mengingkari hal tersebut. Di antara mereka adalah Abuth Thayyib Ath-Thabari, yang memiliki kitab yang dikarang khusus tentang tercela dan terlarangnya nyanyian. Lalu beliau berkata: “Ini adalah ucapan para ulama Syafi’iyyah dan orang yang taat di antara mereka. Sesungguhnya yang memberi keringanan dalam hal tersebut dari mereka adalah orang-orang yang sedikit ilmunya serta didominasi oleh hawa nafsunya. Para fuqaha dari sahabat kami (para pengikut mazhab Hambali) menyatakan: ‘Tidak diterima persaksian seorang biduan dan para penari.’ Wallahul muwaffiq.” (Talbis Iblis, hal. 283-284)

7. Ibnu Abdil Barr berkata: “Termasuk hasil usaha yang disepakati keharamannya adalah riba, upah para pelacur, sogokan (suap), mengambil upah atas meratapi (mayit), nyanyian, perdukunan, mengaku mengetahui perkara gaib dan berita langit, hasil seruling dan segala permainan batil.” (Al-Kafi hal. 191)

8. Ath-Thabari berkata: “Telah sepakat para ulama di berbagai negeri tentang dibenci dan terlarangnya nyanyian.” (Tafsir Al-Qurthubi, 14/56)

9. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Mazhab empat imam menyatakan bahwa alat-alat musik semuanya haram.” Lalu beliau menyebutkan hadits riwayat Al-Bukhari rahimahullah di atas. (Majmu’ Fatawa, 11/576)

Sumber: Majalah Asy Syariah

###

As-Sheikh Abdul Aziz ibn Baz رحمه الله

Sesungguhnya mendengarkan nyanyian itu HARAM dan merupakan kemungkaran, termasuk sebab sakitnya hati, kerasnya hati, menghalanginya dari mengingat Allaah ﷻ. Sungguh kebanyakan ahlul ilmi menafsirkan firman Allaah ﷻ:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ
Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (QS. Luqman: 6)
Abdullah ibn Mas’ud رضي الله عنه bersumpah bahwasanya yang dimaksud “perkataan yang tidak berguna” dalam ayat ini adalah “NYANYIAN”.

Jika dalam nyanyian tersebut terdapar alat-alat yang melalaikan seperti GITAR, BIOLA dan GENDANG maka keharamannya menjadi amat sangat. Dan sebagian ulama menyebutkan bahwasanya nyanyian dengan menggunakan alat-alat musik yang melalaikan itu haram hukumnya secara ijma’.
Maka wajib untuk memperingatkan (umat) dari hal tersebut. Sungguh telah sahih dari Rasulullah ﷺ bahwasanya beliau bersabda:
ليكونن من أمتي أقوام يستحلون الحر والحرير والخمر والمعازف
“Niscaya akan ada dari kalangan umatku suatu kaum yang menghalalkan zina, sutera (bagi laki-laki pent), khamer dan alat-alat musik.”
(HR. Bukhari dari Abu Malik al-Ash’ari)
Al-Hirru adalah kemaluan wanita yang haram, yang dimaksud adalah zina. Dan Al-Ma’aazif adalah nyanyian dan alat-alat musik.

Berikut adalah dalil-dalil yang menunjukkan haramnya nyanyian dari perkataan para Salaf us-Soleh ridhwanullah ‘alayhim:

- Abu Bakr as-Siddiq رضي الله عنه berkata: “Nyanyian dan alat musik adalah seruling Syaiton.”

- Imam Malik ibn Anas رحمه الله berkata: “Menurut kami, orang yang melantunkan nyanyian itu sesungguh hanyalah orang-orang yang fasik.”

- Dan golongan asy-Syafi’iyyah رحمهم الله menyamakan nyanyian dengan kebatilan dan tipu muslihat.

- Imam Ahmad ibn Hanbal رحمه الله berkata: “Nyanyian itu akan menumbuhkan kemunafikan dalam hati, maka tidaklah mengherankan bagiku.”

- Berkata para Sahabat Imam Abu Hanifah رحمهم الله: “Mendengarkan nyanyian itu kefasikan.”

- Berkata Umar ibn Abdul Aziz رحمه الله: “Nyanyian itu awalnya dari Syaiton dan akibatnya adalah murka ar-Rahman.”

- Berkata Imam al-Qurtubi رحمه الله: “Nyanyian itu terlarang berdasarkan al-Kitab dan as-Sunnah.”

- Berkata Imam ibnu Salah رحمه الله: “Nyanyian dengan alat musik, para ulama telah sepakat tentang keharamannya.”

Judul asli:
التحذير من الغناء والتصوير و حلق اللحية و شربة الدخان و الإسبال للرجال و لسفر إلى بلاد الكفرة
Penerbit: Pustaka al Isnaad

WA Salafy Singapura

Hanya Sedikit Faedah