Cari Blog Ini

Jumat, 12 September 2014

Tentang MENCARI BERKAH

Tabarruk (mencari berkah) terkadang dijadikan sebagai pembenaran atas amalan tertentu yang sebenarnya terlarang menurut syariat, bahkan termasuk dari perbuatan syirik besar. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui macam-macam tabarruk, mana yang diperbolehkan dan yang dilarang:

Pertama: tabarruk yang disyariatkan, sebagai berikut:

a. Tabarruk dengan ucapan, amalan, dan keadaan-keadaan (perilaku)

Di dalam Islam, ada beberapa perkataan, amalan, dan perilaku yang apabila dipraktekkan, akan terwujud kebaikan dan barakah yang banyak. Tentunya selama hal tersebut mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Contohnya adalah dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan membaca Al-Qur’an. Di antara barakah dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah mendapatkan doa dari malaikat Allah Subhanahu wa Ta’ala, sanjungan di hadapan makhluk-Nya, dan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu‘ anhu yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari. Di antara barakah Al Qur’an: sebagai obat, petunjuk, dan rahmat bagi seluruh manusia. Serta sebagai pemberi syafaat kelak di hadapan Allah sebagaimana dalam hadits Abu Umamah yang dikeluarkan Al-Imam Muslim:
“Bacalah Al Qur’an karena sesungguhnya Al Qur’an itu akan menjadi pemberi syafaat bagi pembacanya di hari kiamat.”
Adapun contoh amalan yang mengandung berkah adalah menuntut ilmu dan mengajarkannya. Di antara barakahnya adalah terangkatnya derajat di dunia dan di akhirat. Kemudian shalat secara berjamaah, yang barakahnya adalah dihapuskannya dosa-dosa dan dilipatgandakannya kebaikan-kebaikan.
Contoh perilaku (keadaan) di antaranya makan berjamaah, makan dari pinggir nampan, menjilati jari, dan menakar makanan sebagaimana dijelaskan dalam riwayat-riwayat yang shahih. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Makanlah kalian dengan berjamaah dan sebutlah Allah, niscaya Allah akan memberkahi kalian padanya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 3199, Shahih Sunan Ibni Majah no. 3286, dan di dalam kitab Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 664 dari shahabat Wahsyi radhiyallahu‘ anhu)

b. Tabarruk dengan tempat

Memang ada sejumlah tempat yang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dijadikan tempat yang mengandung banyak kebaikan (barakah). Yakni apabila beramal di tempat tersebut dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Contohnya adalah masjid-masjid, di mana mencari barakahnya dengan melaksanakan shalat lima waktu, beri’tikaf, menghadiri majelis ilmu, dan sebagainya dengan cara-cara yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Perlu diketahui, bertabarruk pada masjid-masjid itu bukanlah dengan cara mengusap-ngusap tembok atau tanah masjid tersebut, atau yang hal-hal lain yang dilarang syariat.
Contoh yang lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui lisan Rasul-Nya telah menjelaskan barakah kota Makkah, Madinah, Syam, Masjid Al-Haram, Masjid Quba, dan Masjid Al-Aqsha.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa bersuci di rumahnya kemudian mendatangi masjid Quba dan shalat di dalamnya, maka ganjarannya seperti pahala umrah.” (HR. Ahmad, An-Nasai, dan Ibnu Majah, dan telah dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitabnya Shahih Sunan Ibni Majah, 1/238 no. 1160, dan Ta’liqul Ar-Raghib, 2/138)
Dan mencari barakah pada tempat-tempat tersebut bukan dengan menciumnya, atau mengusap tanahnya. Namun dengan cara beribadah di dalamnya sebagaimana disebutkan dalam banyak hadits.

c. Tabarruk dengan waktu

Contoh waktu yang telah dikhususkan oleh syariat di mana waktu tersebut mengandung kebaikan yang banyak (barakah) adalah bulan Ramadhan. Caranya, mengisi bulan mulia tersebut dengan berpuasa yang dengannya akan terhapuskan dosa-dosa dan bertambahnya rizki orang-orang yang beriman. Contoh lain adalah malam Lailatul Qadar, sepuluh pertama bulan Dzulhijjah, hari Jum’at, sepertiga malam terakhir, dan lain-lain. Dan mencari barakah pada waktu-waktu tersebut dengan cara melaksanakan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sesuai dengan bimbingan beliau.
Apa-apa yang disebutkan di atas maupun yang belum disebutkan yang sudah jelas nashnya, mencari barakahnya adalah dengan cara yang telah disyariatkan oleh Allah dan tidak keluar dari pensyariatan tersebut. (At-Tabarruk Al-Masyru’, hal. 33-50)

Kedua, tabarruk batil yang tidak diperbolehkan. Di antara bentuk-bentuk tabarruk batil ini adalah:

a. Tabarruk pada tempat-tempat yang tidak dijelaskan oleh syariat baik dengan cara mencium, mengusap, atau mencari syafaat darinya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al Qur’an:
“Maka apakah patut kalian (hai orang-orang musyrik menganggap) Al-Lata dan Al-‘Uzza dan Manat yang ketiga. Yang paling terkemudian (sebagai anak-anak perempuan Allah)?” (An-Najm: 19-20)
Tiga sesembahan di atas merupakan tuhan-tuhan yang besar di kalangan mereka. Tuhan-tuhan itulah tempat mereka memuja dan memuji, serta bertabarruk kepada-Nya.
Adapun Al-Lata menurut Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (4/253), adalah sebuah batu besar berwarna putih yang memiliki ukiran di mana di atasnya terdapat sebuah rumah. Juga memiliki kelambu dan juru kunci di sekelilingnya, serta terdapat halaman.
Al-Lata memiliki kedudukan yang agung di sisi Bani Tsaqif, penduduk Thaif, di mana mereka sangat bangga dengannya di negeri Arab setelah Quraisy. Hakekat Al-Lata disebutkan oleh Ibnu ‘Abbas, Mujahid, dan Rabi’ bin Anas bahwa dia adalah seseorang yang mengadon tepung untuk para haji di masa jahiliyah. Ketika meninggal, orang-orang i’tikaf di kuburannya untuk kemudian menyembahnya.
Adapun Al-’Uzza menurut Ibnu Jarir rahimahullah adalah sebuah pohon yang di atasnya terdapat bangunan yang memiliki kelambu. Benda yang sangat diagungkan orang-orang Quraisy ini terletak di Nakhlah, suatu.tempat di antara Makkah dan Thaif.
Adapun Manat adalah sesembahan yang terletak di Musyallal, tempat antara Makkah dan Madinah, di mana suku Khuza’ah, Aus, dan Khazraj mengagungkan dan memakaikan pakaian ihram padanya.
Di antara bentuk tabarruk mereka adalah apa yang diceritakan oleh Abu Waqid Al-Laitsi radhiyallahu‘ anhu. Ia berkata: “Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menuju Hunain dan kami baru pindah dari agama kufur (masuk Islam). Orang-orang musyrik memiliki sidrah (sebuah pohon) tempat mereka berhenti dan beristirahat. Dan mereka juga menggantungkan pedang-pedang mereka (untuk bertabarruk dengannya). Pohon itu disebut Dzatu Anwath. (Kata Abu Waqid) kami kemudian melewati sebuah sidrah kemudian mengatakan: ‘Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka (kaum musyrikin) memiliki Dzatu Anwath.’ Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab, ‘Allahu Akbar, sesungguhnya apa yang kalian katakan ini merupakan jalan-jalan (orang sebelum kalian). Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seperti ucapan bani Israil kepada Musa: ‘Buatkanlah kami satu sesembahan sebagaimana mereka memiliki banyak sesembahan’. (Musa) berkata: ‘Sesungguhnya kalian adalah kaum yang jahil.’ (Rasulullah berkata:‘Kalian benar-benar akan mengikuti langkah-langkah orang sebelum kalian').” (HR. At-Tirmidzi no. 2181, beliau berkata: hadits hasan shahih)

b. Pergi ke kuburan dengan tujuan berdoa di sisinya, dengan keyakinan bahwa berdoa di sisinya lebih utama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam kitabnya Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim (hal. 433) mengatakan, “Bila seseorang shalat di sisi kuburan para nabi atau orang-orang shalih dengan tujuan untuk mencari barakah, maka ini merupakan bentuk penentangan kepada Allah dan Rasul-Nya, menyelisihi agama, dan mengada-ada di dalam agama yang tidak diizinkan oleh Allah.”

c. Disebutkan oleh Syaikhul Islam dalam Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim juga (hal. 424-426) contohnya seperti orang yang pergi ke gua Hira kemudian shalat di dalamnya, berdoa ke gua Tsur lalu shalat dan berdoa di dalamnya, atau ke bukit Thursina lalu shalat dan berdoa padanya. Atau pergi ke gunung-gunung atau selainnya yang disebut sebagai maqamat (tempat bersejarah) para nabi.
Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dalam fatwa beliau (3/334) membantah orang-orang yang menghidupkan peninggalan-peninggalan nubuwwah seperti jalan yang dilalui oleh beliau ketika berhijrah, tempat tenda Ummu Ma’bad, atau yang sejenisnya. Beliau menjelaskan bahwa cara demikian dapat mengarah pada perbuatan mengagungkan, berdoa di sisinya, atau shalat, dan lain sebagainya. Semua ini merupakan jalan-jalan yang akan mengantarkan kepada kesyirikan.
Diriwayatkan dari al-Ma’rur bin Suwaid, ia bercerita, “Kami pergi mengerjakan haji bersama Umar bin al-Khaththab. Di tengah perjalanan, tampak sebuah masjid di depan kami. Orang-orang lalu bergegas untuk mengerjakan shalat di dalamnya. Umar radhiyallahu ‘anhu pun bertanya, ‘Ada apa dengan mereka itu?’ Orang-orang menjawab, ‘Itu adalah bangunan masjid yang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengerjakan shalat di situ.’ Umar radhiyallahu ‘anhu pun berkata:
ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻫَﻠَﻚَ ﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻗَﺒْﻠَﻜُﻢْ ﺃَﻧَّﻬُﻢْ ﺍﺗَّﺨَﺬُﻭﺍ ﺁﺛَﺎﺭَ ﺃَﻧْﺒِﻴَﺎﺋِﻬِﻢْ ﺑِﻴَﻌًﺎ، ﻣَﻦْ ﻣَﺮَّ ﺑِﺸَﻲْﺀٍ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤَﺴَﺎﺟِﺪِ ﻓَﺤَﻀَﺮَﺕِ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓُ ﻓَﻠْﻴُﺼَﻞِّ ﻭَﺇِﻻَّ ﻓَﻠْﻴَﻤْﺾِ
“Wahai manusia, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa lantaran menjadikan tempat-tempat yang pernah dilalui oleh nabi mereka sebagai tempat ibadah. Siapa saja yang menjumpai shalat wajib maka shalatlah di situ. Kalau tidak, lewatilah saja.” (Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam al-Mushannaf 2/118—119, dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 2/376—377)

d. Menetapkan waktu-waktu tertentu dengan berbagai macam bentuk pengagungan dan acara-acara serta berbagai bentuk ibadah lainnya. Seperti menyambut hari kelahiran Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, hari Isra’ Mi’raj, hari hijrah, hari Badr, hari Fathu Makkah, dan sebagainya. Bertabarruk pada hari-hari di atas termasuk perbuatan bid’ah dalam agama.

e. Bertabarruk dengan orang-orang shalih dan peninggalan mereka seperti tongkatnya, air ludah, rambut, keringat, pakaian, tempat tidurnya, dan lain sebagainya. (Ta’liq Al-Qaul Al-Mufid, 1/246-250)
Lalu bagaimana dengan perbuatan para shahabat terhadap diri Rasulullah shallallahu alaihi was sallam di mana mereka berebutan mengambil ludah beliau, air wudhu beliau, bahkan di antara mereka ada yang mengumpulkan keringat dan rambut beliau?
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan di dalam Fathul Majid (1/264), syarah Kitab Tauhid, menjawab syubhat ini, dengan ucapan: “Adapun yang didengungkan oleh orang-orang sekarang ini bahwa boleh bertabarruk dengan peninggalan-peninggalan orang shalih, maka hal demikian terlarang dari beberapa sisi:
1. Bahwa generasi pertama umat ini dari kalangan shahabat dan generasi setelahnya tidak pernah melakukannya kepada selain Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, tidak di masa hidup beliau ataupun setelah meninggalnya.
2. Bila yang demikian itu adalah baik, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya.
3. Seutama-utama shahabat adalah Abu Bakr, kemudian ‘Umar, kemudian ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu‘ anhu. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahkan telah mempersaksikan mereka menjadi penghuni surga. Namun tidak ada seorangpun dari kalangan shahabat atau tabi’in yang melakukan amalan tersebut (yaitu bertabarruk) kepada tokoh-tokoh shahabat itu. Begitu juga tidak pernah dilakukan oleh generasi tabi’in kepada ahli ilmu dan ulama di masa mereka.
4. Tidak boleh mengqiyaskan (menyamakan) kedudukan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan seorangpun dari umat ini.
5. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memiliki kekhususan-kekhususan yang orang lain tidak memilikinya.
6. Melarang yang demikian ini dimaksudkan sebagai cara untuk menutup pintu-pintu kesyirikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar