Cari Blog Ini

Kamis, 11 Desember 2014

Tentang TEORI BUMI MENGELILINGI MATAHARI

Apa hukum orang yang mengatakan bahwa matahari beredar/bergerak?

asy-Syaikh Rabi bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah menjawab:

Matahari beredar, matahari berjalan. Apabila yang dimaksud dengan beredar adalah berjalan, maka tidak mengapa, insya Allah. 
Namun yang BERBAHAYA adalah menyatakan bahwa Matahari TETAP (tidak bergerak) dan Bumi beredar mengelilingi Matahari! Ini adalah KEKUFURAN. Karena ucapan tersebut MENDUSTAKAN KITABULLAH, MENDUSTAKAN ALLAH, MENDUSTAKAN RASUL-NYA, dan MENDUSTAKAN KITAB-NYA.
Teori ini telah mati. Teori ini sebagaimana aku baca ada sejak abad kedelapan belas. Sebagian orang mengatakan sebagai bentuk ejekan terhadap pertanyaan seperti itu (yaitu Matahari diam) bahwa Matahari yang diam itu Matahari pada abad kedelapan belas. Adapun Matahari abad kedua puluh, maka dia berjalan! Ilmu telah menetapkan walhamdulillah bahwa Matahari bergerak. Ini termasuk mukjizat al-Quran, Allah berfirman (artinya):
Matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan al-Aziz al-Alim. (QS. Yasin 38)

Sumber: Tanya Jawab muhadharah Fadhl al-Ilmi wa Ahlihi (Lihat kitab Marhaban Ya Thalibal Ilmi, hal. 361)

WhatsApp Miratsul Anbiya Indonesia

Tentang BERTEKAD UNTUK MELAKUKAN PERKARA YANG HARAM NAMUN BELUM MELAKUKANNYA

Asy Syaikh Ibnu Baaz Rahimahulloh

Pertanyaan: Apa hukum memikirkan (mengkhayalkan) perkara yang haram, seperti seorang yang memikirkan akan mencuri atau memikirkan untuk berzina dalam keadaan ia tahu hukumnya, dan iapun tidak akan melakukannya kecuali apabila ada kesempatan?

Jawaban:

Apa yang terbetik dalam jiwa seseorang dari memikirkan perkara yang jelek, seperti memikirkan untuk berzina atau mencuri, atau meminum khomr atau yang semisalnya, akan tetapi ia tidak melakukannya, MAKA YANG SEPERTI INI DIMAAFKAN, TIDAK DIKENAI DOSA ATASNYA.
Ini sebagaimana sabda Nabi Shollallohu alaihi wassalam:
إن الله تجاوز لأمتي ما حدثت به أنفسها ما لم يتكلموا أو تعملوا به
Sesungguhnya Alloh memaafkan bagi umatku, apa yang terbetik dalam hatinya selama ia belum berbicara atau mengamalkannya. (Mutafaqun alaihi)
Dan juga sabda beliau:
من هم بسيئة ولم يعملها لم أكتبها عليه
Barangsiapa yang bertekad untuk melakukan kejelekan, namun ia belum melakukannya, maka Aku tidak mencatat kejelekan atasnya. (HR Muslim)
Dalam lafadz yang lain:
اكتبوها له حسنة إنما تركها من جراي
Catatlah untuknya sebagai satu kebaikan, sesungguhnya ia meninggalkannya karena Aku. (Mutafaqun alaihi)
Dari hadits Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma.
Yakni maknanya seorang yang meninggalkan kejelekan yang dia sudah bertekad untuk melakukannya, dia meninggalkannya karena Alloh. Maka akan dicatat untuknya satu kebaikan. Adapun kalau dia meninggalkannya karena sebab yang lain, maka tidak dicatat atasnya kejelekan tidak pula kebaikan. Ini merupakan keutamaan dari Alloh subhanahu wa taala dan bentuk rahmat kepada hamba-hamba-Nya.
Segala puji dan syukur hanya bagi Alloh yang tidak ada sesembahan selain-Nya, yang tidak ada Rabb kecuali Dia.

Sumber: Majmu fatawa wa maqolat mutanawiah (5/424)

Alih bahasa: Ibrohim Abu Kaysa

# forumsalafy .net

Tentang MELAKUKAN SAFAR PADA HARI JUMAT

Asy Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan: Fadhilatusy Syaikh, apa hukum melakukan safar sebelum shalat jumat?

Jawaban:

Safar pada hari jumat apabila setelah adzan kedua, maka ini tidak boleh. Berdasarkan firman Allah taala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
Wahai orang-orang yang beriman apabila diseru untuk melakukan shalat jumat, maka bersegeralah untuk mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. (Al Jumuah: 9)
Maka tidak boleh bagi seseorang untuk melakukan safar pada waktu tersebut. Dikarenakan Allah talaa berfirman:
فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
Maka bersegeralah untuk mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.

Adapun kalau safar sebelum itu dan ia meniatkan untuk shalat di perjalanan, sebagai contoh ia safar dari daerahnya dan ia mengetahui akan melewati suatu daerah di perjalanannya, kemudian ia singgah di tempat tersebut dan shalat jumat di sana, maka ini tidak mengapa.

Adapun ketika ia tidak bisa singgah di sebuah tempat yang seorang bisa shalat di sana, maka ada beberapa pendapat para ulama:
Sebagian mereka memakruhkannya.
Sebagian yang lain mengharamkannya.
Sebagian lainnya membolehkannya, dan mengatakan bahwa Allah tidak mewajibkan atas kita untuk mendatangi shalat kecuali setelah adzan.
Maka yang terbaik adalah seseorang tidak melakukan safar, kecuali apabila keadaannya yang memang mengharuskannya. Seperti tertinggal rombongan atau jadwal penerbangan pesawat yang tidak bisa ditunda atau yang semisalnya. Atau yang lebih utama untuk tetap tinggal dan tidak melakukan safar di hari jumat.

Sumber: Silsilah Liqaat Bab al Maftuh (Liqa 50)

Alih bahasa: Ibrohim Abu Kaysa

# forumsalafy .net

Tentang MENGERJAKAN AMALAN SUNNAH

Semua amalan fardhu (kewajiban) lebih dicintai oleh Allah dibandingkan amalan nafilah (sunnah). Semakin tekun seseorang menjalankan kewajiban-kewajiban dan menambahnya dengan amalan-amalan nafilah (sunnah), maka akan semakin mendekatkan diri seseorang kepada Allah, hingga Allah mencintainya. Jika Allah mencintainya, maka langkah kehidupannya akan senantiasa dalam bimbingan Allah. Tidaklah ia melihat, mendengar, dan berbuat, serta melangkahkan kakinya kecuali pada hal-hal yang dicintai oleh Allah. Permohonannya akan dikabulkan oleh Allah.
ﻭَﻣَﺎ ﺗَﻘَﺮَّﺏَ ﺇِﻟَﻲَّ ﻋَﺒْﺪِﻱ ﺑِﺸَﻲْﺀٍ ﺃَﺣَﺐَّ ﺇِﻟَﻲَّ ﻣِﻤَّﺎ ﺍﻓْﺘَﺮَﺿْﺖُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﻣَﺎ ﻳَﺰَﺍﻝُ ﻋَﺒْﺪِﻱ ﻳَﺘَﻘَﺮَّﺏُ ﺇِﻟَﻲَّ ﺑِﺎﻟﻨَّﻮَﺍﻓِﻞِ ﺣَﺘَّﻰ ﺃُﺣِﺒَّﻪُ ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺃَﺣْﺒَﺒْﺘُﻪُ ﻛُﻨْﺖُ ﺳَﻤْﻌَﻪُ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻳَﺴْﻤَﻊُ ﺑِﻪِ ﻭَﺑَﺼَﺮَﻩُ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻳُﺒْﺼِﺮُ ﺑِﻪِ ﻭَﻳَﺪَﻩُ ﺍﻟَّﺘِﻲ ﻳَﺒْﻄِﺶُ ﺑِﻬَﺎ ﻭَﺭِﺟْﻠَﻪُ ﺍﻟَّﺘِﻲ ﻳَﻤْﺸِﻲ ﺑِﻬَﺎ ﻭَﺇِﻥْ ﺳَﺄَﻟَﻨِﻲ ﻟَﺄُﻋْﻄِﻴَﻨَّﻪُ ﻭَﻟَﺌِﻦْ ﺍﺳْﺘَﻌَﺎﺫَﻧِﻲ ﻟَﺄُﻋِﻴﺬَﻧَّﻪُ
Dan tidaklah seseorang hamba mendekatkan diri kepadaku dengan suatu amalan yang lebih Aku cintai dibandingkan amalan yang Aku wajibkan kepadanya. Senantiasa hambaKu mendekatkan diri kepadaku dengan amal-amal nafilah (sunnah) hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, Akulah pendengarannya ketika dia mendengar, penglihatannya ketika dia melihat, tangannya ketika dia bertindak, dan kakinya ketika berjalan. Jika ia meminta kepadaKu akan Aku beri, dan jika meminta perlindungan kepadaKu akan aku lindungi. (H.R al-Bukhari no 6021)

Tentang DONOR DARAH

Pertanyaan:
Boleh atau tidak saudara laki-laki saya menyumbangkan darahnya untuk istri saya?

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah menjawab: "Tidak ada larangan dalam hal ini bila memang keadaannya darurat untuk memberikan transfusi darah kepada istrimu. Boleh donor darahnya dari saudara laki-lakimu ataupun dari selainnya. Tidak ada larangan dalam hal ini, insya Allah."
(Majmu’ Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, 2/712)

-----------------------------------

Tanya:
Apakah boleh saya mendonorkan darah untuk orang yang sakit atau orang yang sekarat sementara ia non muslim?

Samahatusy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullahu menjawab:
“Aku tidak mengetahui adanya larangan dalam hal ini, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman dalam kitab-Nya yang agung:
ﻟَﺎ ﻳَﻨْﻬَﺎﻛُﻢُ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻦِ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻟَﻢْ ﻳُﻘَﺎﺗِﻠُﻮﻛُﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪِّﻳﻦِ ﻭَﻟَﻢْ ﻳُﺨْﺮِﺟُﻮﻛُﻢْ ﻣِﻦْ ﺩِﻳَﺎﺭِﻛُﻢْ ﺃَﻥْ ﺗَﺒَﺮُّﻭﻫُﻢْ ﻭَﺗُﻘْﺴِﻄُﻮﺍ ﺇِﻟَﻴْﻬِﻢْ
“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang (kafir) yang tidak memerangi kalian karena agama dan tidak mengusir kalian dari negeri-negeri kalian.” (Al-Mumtahanah: 8)
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan bahwa Dia tidak melarang kita untuk berbuat baik kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi kita dan tidak mengusir kita dari negeri-negeri kita. Sementara orang yang sedang sekarat sangat membutuhkan pertolongan.
Ibu Asma` bintu Abi Bakar Ash-Shiddiq pernah datang menemui putrinya (yakni Asma`) di Madinah saat terjadi perjanjian damai antara Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan penduduk Makkah (kafir Quraisy), padahal ketika itu si ibu dalam keadaan kafir. Si ibu ini datang meminta agar putrinya menyambung hubungan dengannya. Asma` pun minta fatwa kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maka beliau memfatwakan agar Asma menyambung hubungan dengan ibunya. “Sambunglah hubungan silaturahim dengan ibumu”, sabda beliau. Padahal ibunya kafir.
Dengan demikian bila seorang kafir mu’ahad (yang ada perjanjian damai dengan kaum muslimin) atau kafir musta`man (kafir yang minta jaminan keamanan kepada kaum muslimin) yang tidak terjadi peperangan antara kita dengan dia, sedang sekarat dan butuh pertolongan maka tidak apa-apa engkau memberikan donor darah padanya. Engkau akan mendapat pahala karenanya. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.”
(Fatawa Nurun ‘alad Darb, hal. 375-376)

-----------------------------------

Pertanyaan:
ﻫﻞ ﻳﺠﻮﺯ ﻧﻘﻞ ﺍﻟﺪﻡ ﻣﻦ ﺇﻧﺴﺎﻥ ﺇﻟﻰ ﺁﺧﺮ ﻭﺇﻥ ﺍﺧﺘﻠﻒ ﺩﻳﻨﻬﻤﺎ؟
Apakah boleh donor darah kepada manusia lain meski berbeda agama?

Jawaban:
ﺇﺫﺍ ﻣﺮﺽ ﺇﻧﺴﺎﻥ ﺃﻭ ﺍﺷﺘﺪ ﺿﻌﻔﻪ ﻭﻻ ﺳﺒﻴﻞ ﻟﺘﻘﻮﻳﺘﻪ ﺃﻭ ﻋﻼﺟﻪ ﺇﻻ ﺑﻨﻘﻞ ﺩﻡ ﻣﻦ ﻏﻴﺮﻩ ﺇﻟﻴﻪ، ﻭﺗﻌﻴﻦ ﺫﻟﻚ ﻃﺮﻳﻘﺎ ﻹﻧﻘﺎﺫﻩ، ﻭﻏﻠﺐ ﻋﻠﻰ ﻇﻦ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻤﻌﺮﻓﺔ ﺍﻧﺘﻔﺎﻋﻪ ﺑﺬﻟﻚ - ﻓﻼ ﺑﺄﺱ ﺑﻌﻼﺟﻪ ﺑﻨﻘﻞ ﺩﻡ ﻏﻴﺮﻩ ﺇﻟﻴﻪ، ﻭﻟﻮ ﺍﺧﺘﻠﻒ ﺩﻳﻨﻬﻤﺎ، ﻓﻴﻨﻘﻞ ﺍﻟﺪﻡ ﻣﻦ ﻛﺎﻓﺮ ﻭﻟﻮ ﺣﺮﺑﻴﺎ ﻟﻤﺴﻠﻢ، ﻭﻳﻨﻘﻞ ﻣﻦ ﻣﺴﻠﻢ ﻟﻜﺎﻓﺮ ﻏﻴﺮ ﺣﺮﺑﻲ، ﺃﻣﺎ ﺍﻟﺤﺮﺑﻲ ﻓﻨﻔﺴﻪ ﻏﻴﺮ ﻣﻌﺼﻮﻣﺔ، ﻓﻼ ﺗﺠﻮﺯ ﺇﻋﺎﻧﺘﻪ، ﺑﻞ ﻳﻨﺒﻐﻲ ﺍﻟﻘﻀﺎﺀ ﻋﻠﻴﻪ، ﺇﻻ ﺇﺫﺍ ﺃﺳﺮ، ﻓﻺﻣﺎﻡ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺃﻭ ﻧﺎﺋﺒﻪ ﺃﻥ ﻳﻔﻌﻞ ﺑﻪ ﻣﺎ ﻳﺮﺍﻩ ﻣﺼﻠﺤﺔ ﻟﻠﻤﺴﻠﻤﻴﻦ، ﻣﻦ ﻗﺘﻞ ﺃﻭ ﺍﺳﺘﺮﻗﺎﻕ ﺃﻭ ﻣﻦ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻭ ﻗﺒﻮﻝ ﻓﺪﺍﺀ ﻣﻨﻪ ﺃﻭ ﻣﻦ ﺃﻭﻟﻴﺎﺋﻪ، ﻭﺇﻻ ﺇﺫﺍ ﺃﻣﻦ ﻓﻴﺠﺎﺭ ﺣﺘﻰ ﺗﺒﻴﻦ ﻟﻪ ﺍﻟﺤﺠﺔ، ﻓﺈﻥ ﺁﻣﻦ ﻓﺒﻬﺎ، ﻭﺇﻻ ﺑﻠﻎ ﻣﺄﻣﻨﻪ
Jika seorang manusia sakit atau sangat lemah dan tidak ada jalan untuk menguatkan atau mengobatinya kecuali dengan donor darah dari orang lain, dan hal itu bisa menolongnya menurut persangkaan kuat orang yang ahli di bidangnya (dokter) maka yang demikian tidak mengapa.
Walaupun agamanya berbeda.
Boleh donor darah dari orang kafir kepada muslim meski kafir harbi (memerangi Islam).
Boleh juga donor darah dari seorang muslim kepada non muslim yang bukan harbi. Adapun (jika yang menjadi obyek adalah) orang kafir harbi, maka orang kafir harbi tidaklah terjaga (darah dan kehormatannya), tidak boleh (kita) menolongnya. Bahkan wajib ditetapkan hukuman untuknya. Kecuali jika ia ditawan, maka pemimpin kaum muslim atau wakilnya bisa berbuat sesuai dengan apa yang dipandang baik, bisa berupa dihukum bunuh, dijadikan budak, atau meminta tebusan untuknya dari pihak keluarganya. Namun kalau dia meminta jaminan keamanan, maka dilindungi sampai jelas hujjah padanya. Kalau dia beriman maka itu yang diharapkan. Kalau tidak, telah sampai keamanan padanya (dia hanya mendapat keamanan di dunia).
ﻭﺑﺎﻟﻠﻪ ﺍﻟﺘﻮﻓﻴﻖ، ﻭﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻧﺒﻴﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﻭﺁﻟﻪ ﻭﺻﺤﺒﻪ ﻭﺳﻠﻢ
Hanya dari Allahlah taufiq, dan semoga sholawat dan keselamatan tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para Sahabatnya.

Komite Tetap Dewan Riset dan Fatwa
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz
Wakil Ketua: Abdurrozzaaq Afifi
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan
Anggota: Abdullah bin Mani’

(Fatwa al-Lajnah ad-Daimah no. 1325)

Tentang MELAFALKAN NIAT

DITULIS OLEH Al Ustadz Abu Utsman Kharisman

Nabi dan Para Sahabat adalah Manusia yang Paling Amanah dalam Mengambil Ilmu, Menerapkan, dan Mengajarkannya

Nabi kita Muhammad shollallahu alaihi wasallam adalah manusia yang paling bersemangat untuk menyampaikan kebaikan kepada umatnya.
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Sungguh telah datang kepada kalian seorang Rasul dari jenis kalian, yang berat dirasakan olehnya hal-hal yang menyengsarakan kalian, dan ia sangat bersemangat (untuk kebaikan) kalian, yang ia memiliki sifat pengasih dan penyayang kepada orang-orang yang beriman. (Q.S atTaubah: 128)

Semua kebaikan yang datang dari Allah terkait ibadah dan keselamatan di akhirat, telah beliau jelaskan kepada umat, melalui murid langsung beliau: para Sahabat Nabi ridhwanullahi alaihim ajmain.

Para Sahabat Nabi adalah manusia terbaik yang dipilih Allah untuk menjadi murid Nabi, yang mengambil ilmu langsung dari Nabi kemudian menyebarkan kepada manusia yang lain setelahnya. Para Sahabat Nabi adalah orang-orang pilihan untuk menemani Nabi dalam berjuang menegakkan agama Allah.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ إِنَّ اللَّهَ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ فَوَجَدَ قُلُوبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُونَ عَلَى دِينِهِ
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu beliau berkata: Sesungguhnya Allah melihat pada hati hamba-hambaNya. Ia dapati hati Muhammad shollallahu alaihi wasallam adalah sebaik-baik hati seorang hamba. Maka Ia memilihnya untuk Dirinya dan mengutusnya dengan membawa risalahNya. Kemudian Allah melihat pada hati hamba-hamba yang lain setelah hati Muhammad shollallahu alaihi wasallam, maka Ia dapati hati para Sahabatnya adalah sebaik-baik hati hamba. Maka ia jadikan mereka sebagai penolong NabiNya yang berperang di atas Diennya. (Riwayat Ahmad)
 
Nabi shollallahu alaihi wasallam adalah guru terbaik yang paling amanah. Sedangkan para Sahabat Nabi adalah murid terbaik yang paling amanah. Semua kebaikan yang diwahyukan Allah disampaikan oleh Nabi kepada Sahabat. Segala kebaikan yang disampaikan Nabi diserap dengan baik oleh para Sahabatnya. Kalaupun ada Sahabat yang tidak mendengar suatu ilmu, Sahabat lain akan meriwayatkan hadits itu hingga sampai ke kita saat ini.

Untuk amal ibadah yang sangat menentukan, yaitu sholat, tidak ada sesuatupun yang tak tersampaikan ilmunya. Setiap bacaan atau gerakan yang dilakukan Nabi pasti tersampaikan atau terpantau dan didengar lafadznya oleh para Sahabat Nabi. Baik itu bacaan yang biasanya dibaca lirih (sirr) yang tidak didengar kecuali oleh pembaca, apalagi yang dibaca keras (jahr), semuanya tersampaikan dan diriwayatkan dalam hadits-hadits yang shahih.

Jika Nabi membaca lirih suatu bacaan dalam sholat, Sahabat Nabi akan tanggap bertanya apa yang beliau baca. Tidak ada yang luput dalam pantauan, sebagai murid yang sangat bersemangat menimba ilmu. Sebagaimana saat Nabi membaca dengan pelan bacaan istiftah, Abu Hurairah radhiyallahu anhu segera bertanya: "Apa yang anda baca antara takbir dengan alFatihah?" Nabipun akan menjelaskan bacaan yang beliau baca.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَبَّرَ فِي الصَّلاَةِ سَكَتَ هُنَيْة قَبْلَ أَنْ يَقْرَأَ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي أَرَأَيْتَ سُكُوْتكَ بَيْنَ التَّكْبِيْرِ وَاْلقِرَاءَةِ مَا تَقُوْلُ قَالَ أَقُوْلُ اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ اْلمَشْرِقِ وَاْلمَغْرِبِ اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنْ خَطَايَايَ كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ اللَّهُمَّ اغْسِلْنِي مِنْ خَطَايَايَ بِاْلمَاءِ وَالثَّلْجِ وَاْلبَرَدِ
Dari Abu Hurairah beliau berkata: Adalah Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam setelah bertakbir dalam sholat diam sejenak sebelum membaca (AlFatihah). Maka aku bertanya: "Wahai Rasulullah, aku tebus dengan ayah dan ibuku, apa yang anda baca pada saat diam anda antara takbiratul ihram dengan membaca (AlFatihah)?"
Rasul menjawab: "Aku membaca: Allaahumma baa’id baynii wa bayna khothoyaaya kamaa baa’adta baynal masyriqi wal maghrib. Allaahumma naqqinii min khotooyaaya kamaa yunaqqots tsaubul abyadlu minad danas. Allaahummaghsilnii min khotooyaaya bil maa’i wats tsalji wal barod.” (H.R Bukhari Muslim)

Adakalanya Nabi mengeraskan dan memperdengarkan suatu bacaan dalam sholat dalam rangka mengajarkan kepada para Sahabatnya apa yang dibaca dalam suatu gerakan sholat. Padahal nantinya secara normal bacaan itu akan selalu dibaca lirih (sirr).
Sebagai contoh, bacaan sujud dalam sholat, normalnya dibaca lirih tidak dikeraskan. Namun, suatu ketika saat sholat malam, Nabi mengeraskannya dan terdengar oleh Aisyah radhiyallahu anha hingga sang istri Nabi yang mulya ini kemudian meriwayatkan hadits, menyampaikan ilmunya pada umat tentang salah satu bacaan sujud.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنْ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ يَقُولُ اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
Dari Aisyah radhiyallahu anha beliau berkata: Suatu malam aku kehilangan Rasulullah shollallahu alaihi wasallam dari tempat tidur. Kemudian aku mencari-cari (dengan tanganku) hingga tanganku mengenai bagian bawah telapak kaki beliau yang sedang ditegakkan (karena sujud). Pada saat itu beliau mengucapkan: Allaahumma audzu bi ridhooka min sakhotika wa bi muafaatika min uquubatika wa audzu bika minka laa uhshii tsanaa-an alaika anta kamaa atsnayta alaa nafsik. (H.R Muslim no. 751)

Demikian juga saat Sahabat Nabi Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu anhu sholat bersama Nabi dalam sholat malam, beliau meriwayatkan kepada kita hadits tentang bacaan istiftah, ruku’, i’tidal, sujud, dan duduk di antara dua sujud, yang semuanya secara asal akan dipraktekkan selalu dibaca lirih, namun dalam rangka pengajaran, Nabi mengeraskannya hingga bisa didengar oleh Hudzaifah bin al-Yaman sebagaimana dalam hadits riwayat Muslim no. 1291 dan Abu Dawud no. 740.

Semua itu menunjukkan bahwa kalau seandainya bacaan niat sebelum sholat itu disyariatkan, pasti akan terpantau dan terdengar Sahabat Nabi dan kemudian mereka (paling tidak satu orang dari mereka) akan meriwayatkannya dalam hadits-hadits kepada kita. Karena sekalipun bacaan niat itu akan dibaca lirih dalam setiap sebelum sholat, pasti diajarkan Nabi dan diteruskan ilmu itu oleh para Sahabatnya.

Jangankan sesuatu yang berada di dalam sholat, dzikir setelah selesai sholatpun semuanya ternukil dengan jelas dan disampaikan dalam riwayat-riwayat hadits. Dzikir yang secara asal akan dibaca dengan lirih, namun dalam rangka pengajaran, Nabi mengeraskan bacaan itu agar para Sahabat mendengar, mengamalkan, dan mengajarkan kepada yang lain.
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا انْصَرَفَ مِنْ صَلَاتِهِ اسْتَغْفَرَ ثَلَاثًا وَقَالَ اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
Dari Tsauban radhiyallahu anhu beliau berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam jika selesai dari sholatnya beliau beristighfar 3 kali dan berkata: Allaahumma antas salaam wa minkas salaam tabaarokta dzal jalaali wal ikroom. (H.R Muslim)

Bagaimana Sahabat Tsauban mengetahui bacaan dzikir selesai sholat itu? Karena Nabi memperdengarkannya dalam rangka pengajaran.

Karena demikian detail dan amanahnya Nabi dan para Sahabat menyebarkan ilmu kepada orang-orang setelahnya, maka umat Islam setelahnya tidak boleh melakukan suatu ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para Sahabatnya. Sahabat Nabi Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu anhu menyatakan:
كُلُّ عِبَادَةٍ لَمْ يَتَعَبَّدْ بِهَا أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فلاَ تَتَعَبَّدُوْا بِهَا ؛ فَإِنَّ الأَوَّلَ لَمْ يَدَعْ لِلآخِرِ مَقَالاً ؛ فَاتَّقُوا اللهَ يَا مَعْشَرَ القُرَّاءِ ، خُذُوْا طَرِيْقَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
“Setiap ibadah yang tidak pernah diamalkan oleh para Sahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, janganlah kalian beribadah dengannya. Karena generasi pertama tak menyisakan komentar bagi yang belakangan. Maka bertakwalah kalian kepada Allah wahai para pembaca al-Qur’an (orang-orang alim dan yang suka beribadah) dan ikutilah jalan orang-orang sebelummu.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al Ibanah)

Petunjuk Nabi dalam Hadits-Haditsnya Tidak Ada Perintah untuk Mengucapkan Niat

Hadits-hadits shahih yang ada menunjukkan bahwa permulaan ucapan dalam sholat adalah Takbirotul Ihram.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَفْتِحُ الصَّلَاةَ بِالتَّكْبِيرِ وَالْقِرَاءَةَ بِ : الْحَمْد لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Dari Aisyah radhiyallahu anha beliau berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam memulai sholat dengan takbir dan bacaan Alhamdulillahi Robbil ‘Aalamiin. (H.R Muslim)

Ada seseorang yang sholat tapi selesai sholat disuruh mengulang lagi karena sholatnya tidak sah, hingga berlangsung 3 kali. Kemudian Nabi mengajarkan kepada orang itu cara sholat yang benar. Dalam penjelasan itu sama sekali Nabi tidak menyinggung tentang melafadzkan niat, padahal orang tersebut sangat membutuhkan penjelasan tentang sholat yang benar dan sah. Kalaulah melafadzkan niat adalah disyariatkan, minimal sunnah, maka beliau akan menjelaskan saat itu. Silakan disimak hadits berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ السَّلَامَ فَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ ثَلَاثًا فَقَالَ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ فَمَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ فَعَلِّمْنِي قَالَ إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Nabi shollallahu alaihi wasallam masuk masjid kemudian masuklah seorang laki-laki kemudian sholat. Kemudian dia mengucapkan salam kepada Nabi shollallahu alaihi wasallam dan Nabi shollallahu alaihi wasallam menjawab salamnya. Kemudian Nabi bersabda: Kembalilah sholat karena engkau belum sholat. Maka ia kemudian sholat. Setelah selesai, ia datang mengucapkan salam kepada Nabi shollallaahu alaihi wasallam, Nabi mengucapkan: Kembalilah engkau sholat karena engkau belum sholat. Itu berlangsung 3 kali. Kemudian beliau bersabda: Demi Yang mengutusmu dengan al-haq, aku tidak bisa lagi memperbaiki sholatku selain ini maka ajarkanlah kepadaku. Kemudian Nabi bersabda: Jika engkau bangkit menuju sholat maka bertakbirlah. Kemudian bacalah yang mudah bagimu dari al-Quran. Kemudian rukuklah hingga thuma’ninah dalam ruku’. (H.R al-Bukhari dan Muslim)

Silakan disimak hadits-hadits shahih yang lain berikut ini yang menunjukkan bahwa tidak ada penyebutan ucapan pertama kali dalam sholat kecuali takbirotul ihram:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَامَ النَّاسُ مَعَهُ فَكَبَّرَ وَكَبَّرُوا مَعَهُ
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma beliau berkata: Nabi shollallahu alaihi wasallam berdiri dan manusia (para Sahabat) berdiri bersama beliau. Kemudian beliau bertakbir dan mereka pun bertakbir bersama beliau. (H.R al-Bukhari)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ وَعُدِّلَتْ الصُّفُوفُ قِيَامًا فَخَرَجَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَامَ فِي مُصَلَّاهُ ذَكَرَ أَنَّهُ جُنُبٌ فَقَالَ لَنَا مَكَانَكُمْ ثُمَّ رَجَعَ فَاغْتَسَلَ ثُمَّ خَرَجَ إِلَيْنَا وَرَأْسُهُ يَقْطُرُ فَكَبَّرَ فَصَلَّيْنَا مَعَهُ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu beliau berkata: Sholat akan ditegakkan dan shof-shof sudah diluruskan dalam keadaan berdiri. Kemudian Rasulullah shollallahu alaihi wasallam keluar kepada kami. Ketika beliau sudah berdiri di tempat sholatnya beliau baru ingat bahwa beliau junub. Kemudian beliau bersabda: Tetaplah di tempat kalian. Kemudian beliau kembali (ke rumahnya) mandi kemudian keluar kepada kami dalam keadaan kepalanya meneteskan air. Kemudian beliau bertakbir maka kami sholat bersama beliau. (H.R al-Bukhari)
 
Demikian juga yang dilakukan Sahabat Nabi Abu Bakr saat menggantikan Nabi sebagai Imam karena pada saat itu beliau belum datang, tidak disebutkan dalam riwayat-riwayat hadits bahwa beliau memulai sholatnya dengan melafadzkan niat. Yang ada adalah penyebutan bertakbir sebagai permualaan sholat:
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ بَنِي عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ بِقُبَاءٍ كَانَ بَيْنَهُمْ شَيْءٌ فَخَرَجَ يُصْلِحُ بَيْنَهُمْ فِي أُنَاسٍ مِنْ أَصْحَابِهِ فَحُبِسَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَحَانَتْ الصَّلَاةُ فَجَاءَ بِلَالٌ إِلَى أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَقَالَ يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ حُبِسَ وَقَدْ حَانَتْ الصَّلَاةُ فَهَلْ لَكَ أَنْ تَؤُمَّ النَّاسَ قَالَ نَعَمْ إِنْ شِئْتَ فَأَقَامَ بِلَالٌ الصَّلَاةَ وَتَقَدَّمَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَكَبَّرَ لِلنَّاسِ
Dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu anhu beliau berkata: Sampai berita kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bahwa Bani Amr bin Auf di Quba’ ada perselisihan di antara mereka. Maka beliau keluar untuk mendamaikan mereka bersama beberapa Sahabatnya. Kemudian Rasulullah shollallahu alaihi wasallam tertahan (tidak segera kembali) sedangkan waktu sholat sudah masuk. Maka datanglah Bilal kepada Abu Bakr radhiyallahu anhuma kemudian berkata: Wahai Abu Bakr sesungguhnya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam tertahan sedangkan waktu sholat telah masuk. Maukah engkau mengimami manusia? Abu Bakr menjawab: Ya, jika engkau mau yang demikian. Kemudian Bilal mengumandangkan iqomat, Abu Bakr radhiyallahu anhu maju kemudian bertakbir untuk (sholat bersama) manusia. (H.R al-Bukhari)
 
Jika itu adalah contoh-contoh dalam sholat wajib, maka dalam sholat sunnah juga demikian. Hadits-hadits shahih yang ada menunjukkan bahwa Imam di masa Nabi dan para Sahabatnya memulai ucapan dalam sholat dengan takbir. Silakan disimak beberapa contoh hadits berikut:
عَنْ جَابِرٍ قَالَ انْكَسَفَتْ الشَّمْسُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ مَاتَ إِبْرَاهِيمُ ابْنُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ النَّاسُ إِنَّمَا انْكَسَفَتْ لِمَوْتِ إِبْرَاهِيمَ فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى بِالنَّاسِ سِتَّ رَكَعَاتٍ بِأَرْبَعِ سَجَدَاتٍ بَدَأَ فَكَبَّرَ ثُمَّ قَرَأَ فَأَطَالَ الْقِرَاءَةَ
Dari Jabir radhiyallahu anhu beliau berkata: Matahari mengalami gerhana di masa Rasulullah shollallahu alaihi wasallam saat kematian Ibrahim putra Rasulullah shollallahu alaihi wasallam kemudian orang-orang berkata: Terjadinya gerhana matahari karena kematian Ibrahim. Kemudian Nabi shollallahu alaihi wasallam sholat bersama manusia 6 rokaat dengan 4 sujud beliau mulai dengan bertakbir kemudian beliau membaca ayat dan memperpanjang bacaan. (H.R Muslim)
 
Silakan disimak juga saat Sahabat Nabi Ibnu Abbas menjadi Imam dalam sholat jenazah, ucapan yang pertama kali dilakukan dalam sholat adalah takbiratul ihram bukan melafadzkan niat:
عَنِ الْمُطَّلِبِ ، قَالَ : قَامَ ابْنُ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما يُصَلِّي فِي جِنَازَةٍ ، فَكَبَّرَ ثُمَّ افْتَتَحَ أُمَّ القُرْآنِ رَافِعًا بِهَا صَوْتَهُ ، ثُمَّ صَلَّى عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم
Dari al-Muththolib beliau berkata: Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma sholat jenazah, kemudian beliau bertakbir kemudian membuka dengan Ummul Qur’an (al-Fatihah) dengan mengeraskan suaranya. (H.R Ahmad bin Mani’, dan secara ringkas juga disebutkan dalam Shahih al-Bukhari)
 
Masih banyak lagi hadits-hadits shahih lainnya yang menunjukkan bahwa permulaan bacaan dalam sholat Nabi dan para Sahabat adalah takbiratul Ihram, bukan melafadzkan niat.
 
Melafadzkan Niat dalam Sholat Tidak Pernah Dilakukan Sejak Masa Nabi dan Para Sahabatnya hingga Masa Ahli Fiqh 4 Madzhab

Para Ulama, di antaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa tidak pernah ternukil dari Nabi, para Sahabatnya, maupun Imam 4 madzhab tentang melafadzkan niat dalam sholat. Hal itu beliau sebutkan dalam beberapa kitabnya di antara Majmu’ al-Fataawa (18/263).

Siapakah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sehingga kita bisa mempercayai beliau jika beliau menyatakan bahwa hal itu sama sekali tidak ada dalam hadits maupun atsar Sahabat ataupun pendapat Imam 4 madzhab?
Cukuplah kita nukilkan ucapan al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolaany, seorang Ulama bermadzhab Syafiiyyah, dalam kitabnya atTalkhiisul Habiir ketika membahas hadits: Kefakiran adalah kebanggaanku dan dengannya aku berbangga. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolaany rahimahullah menyatakan:
وَهَذَا الْحَدِيثُ سُئِلَ عَنْهُ الْحَافِظُ ابْنُ تَيْمِيَّةَ فَقَالَ إنَّهُ كَذِبٌ لَا يُعْرَفُ فِي شَيْءٍ مِنْ كُتُبِ المسلمين المروية
Hadits ini ditanyakan kepada al-Hafidz Ibnu Taimiyah maka beliau berkata sesungguhnya itu adalah dusta, tidak dikenal dalam kitab-kitab riwayat kaum muslimin. (atTalkhiisul Habiir 3/241)
 
Perhatikanlah, bagaimana al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolaany memberi gelar Ibnu Taimiyyah sebagai al-Hafidz dan menjadikannya sebagai rujukan ketika menyebut suatu kalimat bukanlah sebuah hadits, dan tidak dikenal dalam kitab-kitab riwayat. Artinya, jika Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa itu tidak ada dalam riwayat hadits atau atsar Sahabat, maka ucapan beliau ini bisa dijadikan rujukan.

Kalau kita pikirkan bahwa sejak Nabi dan para Sahabat hingga Imam 4 madzhab tidak pernah ada pelafadzan niat, berarti lebih dari dua abad tidak pernah ada nukilan dari kaum muslimin terdahulu yang mengamalkan pelafadzan niat dalam sholat. Kita ketahui bahwa Imam madzhab fiqh yang terakhir adalah Imam Ahmad yang beliau meninggal di tahun 241 Hijriah.
Itu menunjukkan bahwa pendapat pelafadzan niat itu baru muncul belakangan. Nanti akan dibahas insyaAllah bahwa hal itu bermula dari kesalahpahaman dalam menafsirkan ucapan al-Imam asy-Syafii rahimahullah.

Al-Imam asySyafii Tidak Pernah Memerintahkan untuk Melafadzkan Niat dalam Sholat
 
Anggapan sebagian Ulama yang bermadzhab asy-Syafii bahwa al-Imam asy-Syafii menganjurkan untuk melafadzkan niat dalam sholat dan mengqiyaskannya dengan Talbiyah Haji dan Umrah adalah keliru. Kekeliruan pemahaman ini diperjelas sendiri oleh Ulama Syafiiyyah yang lain, di antaranya al-Imam al-Mawardiy dan al-Imam an-Nawawy.

Al-Imam al-Mawardiy rahimahullah menyatakan:
وَقَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الزُّبَيْرِيُّ مِنْ أَصْحَابِنَا : لَا يُجْزِئُهُ حَتَّى يَتَلَفَّظَ بِلِسَانِهِ تَعَلُّقًا بِأَنَّ الشَّافِعِيَّ قَالَ فِي كِتَابِ الْمَنَاسِكِ : وَلَا يَلْزَمُهُ إِذَا أَحْرَمَ بِقَلْبِهِ أَنْ يَذْكُرَهُ بِلِسَانِهِ وَلَيْسَ كَالصَّلَاةِ الَّتِي لَا تَصِحُّ إِلَّا بِالنُّطْقِ فَتَأَوَّلَ ذَلِكَ عَلَى وُجُوبِ النُّطْقِ فِي النِّيَّةِ ، وَهَذَا فَاسِدٌ ، وَإِنَّمَا أَرَادَ وُجُوبَ النُّطْقِ بِالتَّكْبِيرِ ، ثُمَّ مِمَّا يُوَضِّحُ فَسَادَ هَذَا الْقَوْلِ حِجَاجًا : أَنَّ النِّيَّةَ مِنْ أَعْمَالِ الْقَلْبِ فَلَمْ تَفْتَقِرْ إِلَى غَيْرِهِ مِنَ الْجَوَارِحِ كَمَا أَنَّ الْقِرَاءَةَ لَمَّا كَانَتْ مِنْ أَعْمَالِ اللِّسَانِ لَمْ تَفْتَقِرْ إِلَى غَيْرِهِ ، مِنَ الْجَوَارِحِ
Abu Abdillah az-Zubairiy yang termasuk sahabat kami berkata: Tidaklah mencukupi hingga melafadzkan (niat) dengan lisannya. Hal ini dilakukan dengan menggantungkan pada ucapan asySyafii dalam kitab al-Manasik: “Tidaklah mengharuskannya jika berihram dengan hatinya untuk mengucapkan dengan lisannya. Dan tidaklah seperti sholat yang tidaklah sah kecuali dengan mengucapkannya.” Kemudian az-Zubairy menakwilkan ucapan asy-Syafii itu tentang wajibnya mengucapkan niat. Ini adalah kerusakan (pemahaman). Padahal yang dimaksud asySyafii dengan wajib mengucapkan itu adalah takbir (takbiratul ihram). Hal lain yang memperjelas kesalahan pendapat (az-Zubairiy) ini adalah hujjah bahwa niat adalah termasuk perbuatan hati sehingga tidak butuh anggota tubuh yang lain. Sebagaimana bacaan adalah amalan lisan sehingga tidak butuh pada anggota tubuh yang lain. (al-Haawiy fi Fiqhisy Syafii 2/92)

Al-Imam an-Nawawiy rahimahullah salah seorang Ulama Syafiiyyah yang lain juga menyatakan:
قول ابى عبد الله الزبيري أنه لا يجزئه حتى يجمع بين نية القلب وتلفظ اللسان لان الشافعي رحمه الله قال في الحج إذا نوى حجا أو عمرة أجزأ وان لم يتلفظ وليس كالصلاة لا تصح الا بالنطق قال اصحابنا غلط هذا القائل وليس مراد الشافعي بالنطق في الصلاة هذا بل مراده التكبير: ولو تلفظ بلسانه ولم ينو بقلبه لم تنعقد صلاته بالاجماع فيه: ولو نوى بقلبه صلاة الظهر وجرى علي لسانه صلاة العصر انعقدت صلاة الظهر
Perkataan Abu Abdillah az-Zubairiy bahwasanya tidaklah mencukupi hingga menggabungkan antara niat hati dengan melafadzkan dengan lisan karena asy-Syafii rahimahullah berkata tentang haji: “Jika seseorang meniatkan haji atau umroh maka itu sudah mencukupi meskipun tidak melafadzkannya. Tidaklah seperti sholat yang tidak sah kecuali dengan mengucapkan.” Sahabat kami menyatakan: Ucapan ini salah. Bukanlah maksud asy-Syafii mengucapkan dalam sholat itu adalah ini (mengucapkan niat), tapi maksudnya adalah takbir. Jika dia melafadzkan dengan lisannya tapi tidak meniatkan dengan hatinya, maka tidak sah sholatnya berdasarkan Ijma’. Jika ia berniat dengan hatinya sholat Zhuhur sedangkan pada lisannya sholat Ashar, maka yang terjadi adalah sholat Zhuhur. (al-Majmu’ syarhul Muhadzdzab 3/277)

Hal yang semakin memperjelas bahwa justru al-Imam asy-Syafii rahimahullah menganggap niat adalah amalan hati dan tidak perlu bahkan tidak mungkin diucapkan, adalah pernyataan beliau dalam Kitab al-Umm:
وَالنِّيَّةُ لَا تَقُومُ مَقَامَ التَّكْبِيرِ وَلَا تَجْزِيهِ النِّيَّةُ إلَّا أَنْ تَكُونَ مع التَّكْبِير لَا تَتَقَدَّمُ التَّكْبِيرَ وَلَا تَكُونُ بَعْدَهُ
Niat itu tidak bisa menggantikan takbir. Tidak sah niat kecuali dilakukan bersamaan dengan takbir. Tidak mendahului takbir, tidak pula setelah takbir. (al-Umm 2/224)
 
Dalam redaksi kalimat yang lain, al-Imam asy-Syafii rahimahullah menyatakan:
وإذا أحرم نوى صلاته في حال التكبير لا بعده ولا قبله
Jika takbiratul ihram, meniatkan sholat saat takbir. Bukan setelahnya, bukan pula sebelumnya. (Disebutkan dalam Mukhtashar, dinukil an-Nawawy dalam kitab al-Majmu’ syarhul Muhadzdzab 3/277)
 
Dalam redaksi kalimat lain yang dinukil al-Ghozaliy, al-Imam asy-Syafii rahimahullah menyatakan:
ينوى مع التكبير لا قبله ولا بعده
Berniat bersamaan dengan takbir. Tidak sebelumnya tidak juga setelahnya. (Disebutkan an-Nawawy dalam al-Majmu’ syarhul Muhadzdzab 3/277)
 
Al-Imam asy-Syafii dalam kalimat di atas menjelaskan bahwa niat semestinya bersamaan dengan takbir. Tidak bisa mendahului takbir dan tidak pula setelahnya. Jadi, niat dalam hati, bersamaan dengan mengucapkan takbir. Bagaimana bisa melafadzkan niat pada saat lisan sibuk dengan bertakbir?!
Namun, al-Imam an-Nawawy rahimahullah setelah menyebutkan perbedaan pendapat Ulama Syafiiyyah dalam masalah itu cenderung pada pendapat bahwa hal itu (apa yang diucapkan al-Imam asy-Syafii itu) tidaklah wajib. Yang penting niat bergandengan dengan takbir, apakah mendahului takbir atau tidak mendahului takbir, yang penting niat menyertai hingga berakhirnya ucapan takbir. (al-Majmu’ syarhul Muhadzdzab 3/277)

Kesalahan Mengqiyaskan Ibadah Sholat dengan Haji

Jika ada yang menyatakan bahwa melafadzkan niat dalam sholat adalah mengqiyaskan dengan mengucapkan talbiyyah dalam ibadah haji dan umroh, maka ini adalah sisi pendalilan qiyas yang tidak pada tempatnya. Qiyas memang adalah salah satu pendalilan dalam Fiqh. Namun, harus terpenuhi kaidah-kaidahnya dengan tepat.

Bagaimana bisa mengqiyaskan sholat dengan haji padahal perintah sholat datang terlebih dahulu sebelum perintah haji? Telah dipahami bahwa perintah sholat diturunkan pada saat Isra’ Mi’raj saat Nabi masih di Makkah dan itu sebelum hijrah ke Madinah (artinya sebelum tahun 1 Hijriah). Sedangkan perintah haji diturunkan pada akhir tahun 9 Hijriah. Nabi shollallahu alaihi wasallam baru bisa berhaji di tahun 10 Hijriah.
Lalu, kalau memang benar melafadzkan niat dalam sholat rujukannya adalah haji, berarti antara tahun 1 sampai 9 Hijriah apakah sholat Nabi dan para Sahabatnya tidak melafadzkan, sedangkan setelah turun perintah haji baru melafadzkan?! Suatu hal yang aneh. Mestinya kalau mau diqiyaskan, haji diqiyaskan dengan sholat. Bukannya sholat diqiyaskan dengan haji. Karena perintah sholat turun terlebih dahulu dari perintah haji.

Keburukan-keburukan yang Timbul Jika Melafadzkan Niat

Sesungguhnya sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam. Apa yang beliau ajarkan adalah yang terbaik bagi umatnya. Sesuatu hal terkait ibadah yang tidak beliau kerjakan, padahal sangat memungkinkan untuk dikerjakan di masa beliau tanpa ada penghalang, maka meninggalkannya adalah kebaikan.

Maka setiap hal-hal yang diada-adakan dalam ibadah pasti mengandung mudharat. Di antara keburukan-keburukan yang bisa timbul akibat melafadzkan niat adalah:

1. Justru menambah was-was

Jika dikatakan bahwa melafadzkan niat salah satu tujuannya adalah menghilangkan was-was, namun kenyataan yang terjadi adalah menambah was-was. Tidak sedikit orang yang ketika akan sholat, terus menerus mengulang ucapan niat kemudian bertakbir, mengulang niat lagi dan bertakbir lagi saat dirasa kurang mantap antara niat dengan takbirnya.

2. Semakin menyulitkan kaum muslimin

Ada orang yang terhalangi untuk mengerjakan sholat tertentu karena beralasan tidak tahu/tidak hafal niatnya. Karena mereka menghafal setiap sholat ada niatnya sendiri-sendiri. Lebih sulit lagi bagi yang bahasa aslinya bukan berbahasa Arab.

3. Mengganggu sekitarnya

Terdapat kisah yang terjadi di masa Ibnul Qoyyim, disebutkan oleh beliau dalam kitab Ighotsatul Lahaafaan. Bahwa seseorang yang akan sholat ada yang sering was-was. Ia terus mengulang lafadz niat dalam ucapannya sebelum takbir. Ia mengucapkan: Ushollii… Usholli… beberapa kali. Saat akan mengucapkan adaa-an, ia berupaya fasih-fasihkan hingga keliru menjadi terbaca adzaa-an. Sehingga, saat semestinya ia baca: Usholli sholaatan… adaa-an lillah, yang artinya: Aku niat sholat… pada waktunya karena Allah, menjadi terbaca: Ushollii sholaatan… adzaa-an lillaah, yang artinya: Aku niat sholat… untuk mengganggu/menyakiti Allah. Spontan, ketika mendengar itu satu orang di sampingnya menghentikan sholatnya dan segera berujar: Engkau tidak cukup hanya mengganggu Allah, bahkan juga Rasul, Malaikat, dan jamaah kaum muslimin. (Disarikan dari Ighotsatul Lahafaan 1/135)

4. Sesuatu hal yang percuma dan sia-sia, karena yang dinilai apakah yang di dalam hati

Kalau berbeda antara niat dalam hati dengan ucapan, maka yang ternilai adalah yang di dalam hati, sebagaimana penjelasan al-Imam an-Nawawiy di atas.

5. Terhambat tidak segera mutaabaah (mengikuti gerakan) Imam

Jika seseorang mengucapkan niat, hal ini memperlambat gerakan takbiratul Ihram yang dilakukannya. Semestinya, saat Imam takbiratul Ihram, makmum bersegera mengikutinya. Saat Imam mengucapkan Allaahu Akbar, makmum segera mengikuti dengan mengucapkan Allaahu Akbar. Karena Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا
Seseorang dijadikan sebagai Imam untuk diikuti. Jika ia takbir maka bertakbirlah kalian. (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik)
Yang sering terjadi, saat Imam sudah bertakbir, makmum masih baru mulai membaca: Usholli…. Ini mengurangi kesempurnaan mutaba’ah. Belum lagi jika ia datang saat Imam ruku’, kemudian ia masih mulai dengan usholli…, sedangkan Imam hanya ruku’ dengan batas minimal thuma’ninah dan segera bangkit, maka ia telah melewatkan satu rokaat.

Demikian nasehat yang bisa disampaikan dalam tulisan ini. Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala senantiasa memberikan hidayahNya kepada segenap kaum muslimin.

Salafy .or .id

###

Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi‘i rahimahullah ditanya:

“Apakah melafadzkan niat termasuk perkara yang diada-adakan dalam agama (bid‘ah), sementara di dalam kitab Al-Umm disebutkan keterangan hal ini secara samar (yakni niat harus dilafadzkan)? Jelaskan pada kami tentang permasalahan ini."

Jawab:
Melafadzkan niat teranggap sebagai perbuatan yang diada-adakan dalam agama (bid‘ah), sementara Allah 'Azza wa Jalla telah berfirman dalam Kitab-Nya yang mulia:
“Katakanlah: Apakah kalian akan memberitahukan kepada Allah tentang agama kalian?” (Al-Hujurat:16)
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada orang yang salah shalatnya:
“Apabila engkau berdiri untuk shalat, maka bertakbirlah.”
Di sini beliau tidak mengatakan kepada orang tersebut: “Katakanlah: aku berniat...” (sebelum mengucapkan takbir).
Ketahuilah bahwa ibadah shalat, wudhu`, dan juga ibadah-ibadah yang lainnya memang tidak sah kecuali dengan niat. Oleh karena itu dalam pelaksanaan ibadah seluruhnya haruslah ada niat. Namun perlu diketahui, tempat niat itu di hati dan keliru apabila dikatakan bahwa di dalam kitab Al-Umm disebutkan tentang melafadzkan niat. Ini salah, bahkan hal ini tidak ada di dalam kitab Al-Umm tersebut. (Ijabatus Sa-il, hal. 27)

Sumber: Asy Syariah Edisi 1

###

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah

"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bila berdiri untuk shalat, beliau langsung mengucapkan takbiratul ihram dan tidak mengucapkan apa pun sebelumnya, juga tidak melafadzkan niat sama sekali. Beliau juga tidak mengatakan: Aku tunaikan untuk Allah shalat ini dengan menghadap kiblat empat rakaat sebagai imam atau makmum."

"Melafadzkan niat ini termasuk perbuatan yang diada-adakan dalam agama (bid’ah). Tidak ada seorang pun yang menukilkan hal tersebut dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam baik dengan sanad yang sahih, dha’if, musnad (bersambung sanadnya) atau pun mursal (terputus sanadnya). Bahkan tidak ada nukilan dari para shahabat. Begitu pula tidak ada salah seorang pun dari kalangan tabi’in maupun imam yang empat yang menganggap baik hal ini. Hanya saja sebagian mutaakhirin (orang-orang sekarang) keliru dalam memahami ucapan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah tentang shalat. Beliau mengatakan: “Shalat itu tidak seperti zakat. Tidak boleh seorang pun memasuki shalat ini kecuali dengan dzikir.” Mereka menyangka bahwa dzikir yang dimaksud adalah ucapan niat seorang yang shalat. Padahal yang dimaksudkan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dengan dzikir ini tidak lain adalah takbiratul ihram. Bagaimana mungkin Al-Imam Asy-Syafi’i menyukai perkara yang tidak dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam satu shalat pun, begitu pula oleh para khalifah beliau dan para shahabat yang lain. Inilah petunjuk dan jalan hidup mereka. Kalau ada seseorang yang bisa menunjukkan kepada kita satu huruf dari mereka tentang perkara ini, maka kita akan menerimanya dan menyambutnya dengan ketundukan dan penerimaan. Karena tidak ada petunjuk yang lebih sempurna daripada petunjuk mereka, dan tidak ada sunnah kecuali yang diambil dari pembawa syariat."
(Zadul Ma’ad, 1/201)

Sumber: Asy Syariah Edisi 1

###

Asy Syaikh Abdulaziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah

Tanya:
Apakah hukum mengucapkan niat ketika shalat dan berwudhu?

Jawab:
Hukum perbuatan ini adalah bidah. Karena hal ini tidak dinukilkan dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dan tidak pula dari para shahabat. Sehingga wajib untuk ditinggalkan. Dan niat tempatnya dalam hati, tidak perlu untuk diucapkan.

Sumber:
Al Ajwibah Al Mufidah an Badhi Masail Al Aqidah, hal. 49

Alih bahasa:
Abdulaziz Bantul
Mahad Ibnul Qoyyim Balikpapan

www .thalabilmusyari .web .id

ummuyusuf .com

###

Niat adalah syarat bersuci dari segala benda najis. Hal ini berdasarkan hadits Umar yang diriwayatkan oleh Imam al Bukhari dan Imam Muslim. Seseorang hendaknya berniat untuk menghilangkan hadats atau niat bersuci untuk melaksanakan hal-hal yang tidak diperbolehkan kecuali dengan bersuci terlebih dahulu.
Asy-syaikh Taqiyyuddin mengatakan: Diwajibkan berniat untuk menghilangkan hadats, tidak sebagaimana ketika menghilangkan kotoran. Pendapat ini merupakan mazhab mayoritas ulama. Tidak diwajibkan melaksanakan niat secara sirr (lirih) menurut kesepakatan imam yang empat.
Mereka juga sepakat bahwa tidak dituntunkan mengeraskan suara ketika berniat atau juga mengulanginya. Sepantasnya untuk memberi pembelajaran kepada orang yang menentang perkara ini. Hal ini juga berlaku untuk seluruh jenis ibadah, tidaklah disunnahkan melafalkan niat. Mengeraskan suara ketika berniat adalah perkara terlarang menurut pendapat Imam asy Syafii, berikut seluruh para imam, serta pelakunya dijauhkan dari neraka jika ia bertaubat.

Sumber: Buku fikih salafy
Penulis: Asy-syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
Penerjemah: Abu Abdillah Al-Watesi

ummuyusuf .com

Tentang MENDAHULUKAN YANG KANAN DALAM SEGALA HAL

Diriwayatkan oleh Imam Bukhori (No. 168) dan Imam Muslim (No. 268) dalam Shohih keduanya dari hadits Aisyah radhiallahu anha:
ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻳﻌﺠﺒﻪ ﺍﻟﺘﻴﻤﻦ ﻓﻲ ﺗﻨﻌﻠﻪ ﻭﺗﺮﺟﻠﻪ ﻭﻃﻬﻮﺭﻩ ﻭﻓﻲ ﺷﺄﻧﻪ ﻛﻠﻪ
Artinya: ”Nabi shallallahu alaihi wasallam menyukai at-tayammun (yakni mendahulukan yang kanan) dalam memakai sandalnya, dalam menyisir rambutnya, dalam bersucinya, dan dalam segala urusannya."

Hadits ini menunjukkan bahwasanya perbuatan-perbuatan yang mengandung kehormatan atau memiliki kemuliaan sebaiknya dimulai dengan (bagian yang) sebelah kanan, seperti memakai pakaian, celana, sepatu, masuk masjid, bersiwak, bercelak, dan yang lainnya. (Syarhu An-Nawawi ’ala Muslim 3/160)

Tentang MENDAHULUKAN KAKI KANAN KETIKA MASUK MASJID DAN MENDAHULUKAN KAKI KIRI KETIKA KELUAR MASJID

Kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para shahabatnya ketika masuk masjid ialah mendahulukan kaki kanan. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu,
ﻣِﻦَ ﺍﻟﺴُّﻨَّﺔِ ﺇِﺫَﺍ ﺩَﺧَﻠْﺖَ ﺍﻟْﻤَﺴْﺠِﺪَ ﺃَﻥْ ﺗَﺒْﺪَﺃَ ﺑِﺮِﺟْﻠِﻚَ ﺍﻟْﻴُﻤْﻨَﻰ ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺧَﺮَﺟْﺖَ ﺃَﻥْ ﺗَﺒْﺪَﺃَ ﺑِﺮِﺟْﻠِﻚَ ﺍﻟْﻴُﺴْﺮَﻯ
“Termasuk sunnah, apabila kamu masuk masjid agar mendahulukan kaki kananmu, dan apabila keluar agar mendahulukan kaki kirimu.” (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani. Lihat Ash-Shahihah no. 2478. Lihat pula Al-Irwa’ hal. 132. Dalam Ats-Tsamar hal. 601 beliau berkata: ‘Maka hadits ini adalah hadits hasan Insya Allahu Ta’ala)

Diterangkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah bahwa ucapan Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu, “ Termasuk sunnah” adalah sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. (Fathul Baari, 2/146)

‘Aisyah Radhiallahu ‘anha berkata:
“Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam suka mendahulukan bagian (tubuh) yang kanan ketika bersuci, menyisir rambut, dan memakai sandal.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah)

Hadits ini menunjukkan bahwasanya perbuatan-perbuatan yang mengandung kehormatan atau memiliki kemuliaan sebaiknya dimulai dengan (bagian yang) sebelah kanan, seperti memakai pakaian, celana, sepatu, masuk masjid, bersiwak, bercelak, dan yang lainnya. (Syarhu An-Nawawi ’ala Muslim 3/160)