Cari Blog Ini

Rabu, 05 Agustus 2015

Tentang DOSA-DOSA BESAR

Al-Ustadz Abu Utsman Kharisman حفظه الله

DOSA-DOSA BESAR
 
Para Ulama membagi dosa menjadi dua, yaitu dosa besar dan dosa kecil. Dosa besar adalah segala bentuk kemaksiatan yang mendapatkan ancaman keras dalam alQur’an maupun hadits shohih berupa: ancaman api neraka, laknat dari Allah dan RasulNya, mendapat kemurkaan Allah, haram masuk surga, tidak mencium bau surga, Nabi berlepas diri darinya, atau wajibnya ditegakkan hukum had di dunia.
 
Dosa kecil adalah dosa-dosa yang tidak masuk kategori tersebut. Dosa-dosa kecil bisa dihapus dengan sholat wajib yang satu dengan berikutnya, wudhu’, Ramadlan yang satu dengan berikutnya, langkah kaki menuju masjid, dan semisalnya. Sedangkan dosa besar tidaklah bisa dihapus kecuali dengan bertaubat kepada Allah. Untuk dosa selain syirik, jika seseorang meninggal dunia belum sempat bertaubat dari dosa besar, ia berada di bawah kehendak Allah. Jika Allah kehendaki Allah ampuni, jika tidak Allah akan mengadzabnya sesuai kadar dosanya tersebut.
 
Sahabat Nabi Ibnu Abbas mengisyaratkan bahwa jumlah dosa besar sekitar 70-an. Al-Imam adz-Dzahaby kemudian berusaha mengkaji dalil-dalil dalam alQur’an dan as-Sunnah, kemudian merangkumnya dalam kitab berjudul al-Kabaair. Ada 70 dosa besar yang beliau tuliskan, yaitu:
 
1. Syirik
 
2. Membunuh jiwa yang tidak halal dibunuh
 
3. Sihir
 
4. Meninggalkan sholat wajib
 
5. Tidak berzakat padahal mampu
 
6. Berbuka di siang hari Ramadlan tanpa udzur syar’i
 
7. Tidak berhaji walaupun mampu
 
8. Durhaka kepada orang tua
 
9. Memutuskan silaturrahmi
 
10. Berzina
 
11. Homoseks (Liwath)
 
12. Memakan riba
 
13. Memakan harta anak yatim
 
14. Berdusta atas nama Allah dan RasulNya
 
15. Lari dari medan jihad fii sabiilillah
 
16. Sombong, berbangga diri, dan ujub
 
17. Kesaksian palsu
 
18. Meminum minuman keras
 
19. Pemimpin yang menipu dan menganiaya rakyatnya
 
20. Berjudi
 
21. Menuduh orang baik melakukan zina
 
22. Ghulul (menggelapkan harta rampasan perang)
 
23. Mencuri
 
24. Merampok
 
25. Sumpah palsu
 
26. Berlaku aniaya (dzhalim)
 
27. Memungut pajak/cukai
 
28. Memakan barang haram
 
29. Bunuh diri
 
30. Berdusta dalam mayoritas ucapannya
 
31. Hakim yang tidak adil
 
32. Suap-menyuap
 
33. Wanita yang menyerupai laki-laki dan laki-laki yang menyerupai wanita
 
34. Dayyuts (seseorang yang tidak memiliki sifat cemburu terhadap istri dan keluarganya)
 
35. Al-Muhallil dan Al-Muhallal-lahu (orang-orang yang bersepakat untuk menikahi istri yang telah ditalak tiga kemudian diceraikan lagi)
 
36. Tidak menjaga tubuh dan pakaian dari percikan air kencing
 
37. Riya’ (pamer dalam ibadah)
 
38. Menuntut ilmu agama untuk tujuan dunia dan menyembunyikan ilmu
 
39. Berkhianat
 
40. Mengungkit-ungkit pemberian
 
41. Mengingkari takdir
 
42. Menguping rahasia orang lain
 
43. Tukang mengadu domba (menukil ucapan orang untuk merusak persaudaraan)
 
44. Banyak melaknat
 
45. Menipu dan mengingkari janji
 
46. Membenarkan ucapan dukun dan tukang ramal
 
47. Istri durhaka kepada suami
 
48. Melukis makhluk bernyawa
 
49. Memukul wajah, menjerit, merobek pakaian (meratap) ketika terkena musibah
 
50. Al-Baghyu (bersikap sewenang-wenang terhadap orang lain)
 
51. Bertindak semena-mena terhadap pihak yang lemah, budak, istri, dan binatang
 
52. Menyakiti tetangga
 
53. Menyakiti dan mencela orang-orang Islam
 
54. Menyakiti hamba Allah dan bertindak dzhalim kepada mereka
 
55. Isbal (menjulurkan kain celana, sarung, dan semisalnya hingga di bawah mata kaki bagi laki-laki)
 
56. Lelaki yang memakai sutera dan emas
 
57. Budak lari dari tuannya
 
58. Menyembelih kurban dipersembahkan untuk selain Allah
 
59. Menasabkan diri kepada selain ayah kandungnya, padahal ia mengetahui
 
60. Berdebat dan bersengketa
 
61. Menahan kelebihan air bagi orang-orang yang memerlukan
 
62. Mengurangi takaran timbangan
 
63. Merasa aman dari makar Allah (Merasa aman dan tidak khawatir suatu saat berubah menjadi kafir atau menjadi su-ul khatimah)
 
64. Putus asa dari rahmat Allah
 
65. Meninggalkan sholat berjamaah lima waktu bagi laki-laki tanpa udzur
 
66. Terus menerus meninggalkan sholat Jumat bagi laki-laki tanpa udzur
 
67. Menentukan isi surat wasiat untuk menimbulkan mudharat bagi orang lain
 
68. Makar dan tipu daya
 
69. Memata-matai orang Islam dan membeberkan rahasianya kepada musuh
 
70. Mencela salah seorang Sahabat Nabi
 
Itulah 70 dosa besar yang disebutkan oleh al-Imam adz-Dzahaby. Para Ulama juga menyebutkan dosa-dosa besar lain yang tidak masuk dalam penyebutan tersebut. Di antaranya:
 
1. Menghina orang lain
 
Menghina orang lain adalah termasuk dosa besar, menurut Sahabat Nabi Ibnu Umar:
هُنَّ تِسْعٌ: اْلإِشْرَاكُ بِاللهِ، وَقَتْلُ نِسْمَةٍ، وَالْفِرَارُ مِنَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَةِ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ، وَإِلْحَادُ فِي الْمَسْجِدِ، وَالَّذِيْ يَسْتَسْخِرُ، وَبُكَاءُ الْوَالِدَيْنِ مِنَ الْعُقُوْقِ
Dosa besar ada 7: Syirik kepada Allah, membunuh jiwa, lari dari medan pertempuran, menuduh orang baik berzina, memakan riba, memakan harta anak yatim, ilhad di masjidil Haram, menghina orang lain, dan menangisnya kedua orang tua akibat durhaka sang anak. (riwayat al-Bukhari dalam Adabul Mufrad)
 
2. Ghibah (membicarakan kejelekan orang lain)
 
Ghibah adalah memperbincangkan tentang saudara kita (muslim) yang jika orang tersebut tahu, dia akan merasa tidak suka.
Ghibah adalah termasuk dosa besar. Allah permisalkan bagaikan memakan daging saudara sendiri yang sudah meninggal dunia.
Al-Imam al-Qurthuby menukilkan ijma’ para Ulama bahwa ghibah termasuk dosa besar dalam kitab tafsirnya.

Disalin dari buku:
Sukses Dunia Akhirat dengan Istighfar dan Taubat, halaman 21-28

WA Salafy Kendari

Tentang MANDI SEBELUM IHRAM, MANDI KETIKA AKAN MASUK MEKKAH, DAN MANDI KETIKA WUKUF DI ARAFAH

1.
ﻋَﻦْ ﻧَﺎﻓِﻊٍ ﺃَﻥَّ ﻋَﺒْﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦَ ﻋُﻤَﺮَ ﻛَﺎﻥَ ﻳَﻐْﺘَﺴِﻞُ ﻟِﺈِﺣْﺮَﺍﻣِﻪِ ﻗَﺒْﻞَ ﺃَﻥْ ﻳُﺤْﺮِﻡَ ﻭَﻟِﺪُﺧُﻮﻟِﻪِ ﻣَﻜَّﺔَ ﻭَﻟِﻮُﻗُﻮﻓِﻪِ ﻋَﺸِﻴَّﺔَ ﻋَﺮَﻓَﺔَ
Dari Nafi’ bahwasanya Abdullah bin Umar mandi untuk ihram sebelum ihram, masuk Makkah, dan wukuf pada sore hari di Arafah. (H.R Malik dalam al-Muwaththa)

2.
ﻋَﻦْ ﻧَﺎﻓِﻊٍ ﻗَﺎﻝَ ﻛَﺎﻥَ ﺍﺑْﻦُ ﻋُﻤَﺮَ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻬُﻤَﺎ ﺇِﺫَﺍ ﺩَﺧَﻞَ ﺃَﺩْﻧَﻰ ﺍﻟْﺤَﺮَﻡِ ﺃَﻣْﺴَﻚَ ﻋَﻦْ ﺍﻟﺘَّﻠْﺒِﻴَﺔِ ﺛُﻢَّ ﻳَﺒِﻴﺖُ ﺑِﺬِﻱ ﻃِﻮًﻯ ﺛُﻢَّ ﻳُﺼَﻠِّﻲ ﺑِﻪِ ﺍﻟﺼُّﺒْﺢَ ﻭَﻳَﻐْﺘَﺴِﻞُ ﻭَﻳُﺤَﺪِّﺙُ ﺃَﻥَّ ﻧَﺒِﻲَّ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻛَﺎﻥَ ﻳَﻔْﻌَﻞُ ﺫَﻟِﻚَ
Dari Nafi’ beliau berkata: Ibnu Umar radhiyallahu anhuma jika masuk mendekati tanah Haram beliau berhenti bertalbiyah kemudian bermalam di Dzi Thuwa kemudian sholat Subuh dan mandi. Beliau menyatakan bahwa Nabi shollallahu alaihi wasallam melakukan hal itu. (H.R al-Bukhari)

3.
Dalam atsar dari Zadzan, seseorang bertanya kepada ‘Ali radhiyallahu 'anhu tentang mandi, maka ‘Ali berkata, “Mandilah setiap hari jika kamu mau.” Ia menjawab, “Tidak, mandi yang itu benar-benar mandi.” Ali berkata: “Hari Jum’at, hari Arafah (wuquf), hari Idul Adha, dan hari Idul Fitri.” (HR. Al-Baihaqi, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa`)

Tentang MANDI SETIAP SELESAI BERHUBUNGAN SEKSUAL

Mandi setiap selesai berjimak (berhubungan suami istri‏)
ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﺭَﺍﻓِﻊٍ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻃَﺎﻑَ ﺫَﺍﺕَ ﻳَﻮْﻡٍ ﻋَﻠَﻰ ﻧِﺴَﺎﺋِﻪِ ﻳَﻐْﺘَﺴِﻞُ ﻋِﻨْﺪَ ﻫَﺬِﻩِ ﻭَﻋِﻨْﺪَ ﻫَﺬِﻩِ ﻗَﺎﻝَ ﻗُﻠْﺖُ ﻟَﻪُ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺃَﻟَﺎ ﺗَﺠْﻌَﻠُﻪُ ﻏُﺴْﻠًﺎ ﻭَﺍﺣِﺪًﺍ ﻗَﺎﻝَ ﻫَﺬَﺍ ﺃَﺯْﻛَﻰ ﻭَﺃَﻃْﻴَﺐُ ﻭَﺃَﻃْﻬَﺮُ
Dari Abu Rafi’ bahwasanya Nabi shollallahu alaihi wasaallam berkeliling (berhubungan suami istri) dengan isteri-isterinya pada suatu hari. Beliau mandi pada setiap istri tersebut. Aku bertanya kepada beliau: Wahai Rasulullah, tidakkah anda menjadikan hanya satu kali mandi saja (di akhir)? Beliau bersabda: Ini lebih suci dan lebih baik. (H.R Abu Dawud, dihasankan sanadnya oleh al-Bushiry dan al-Albany‏)
Mandi setiap kali berjimak adalah lebih utama.

Boleh juga dicukupkan dengan satu kali mandi di akhir setelah beberapa kali berhubungan suami istri. Sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik:
ﻋَﻦْ ﺃَﻧَﺲٍ ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻃَﺎﻑَ ﺫَﺍﺕَ ﻳَﻮْﻡٍ ﻋَﻠَﻰ ﻧِﺴَﺎﺋِﻪِ ﻓِﻲ ﻏُﺴْﻞٍ ﻭَﺍﺣِﺪٍ
Dari Anas –radhiyallahu anhu- bahwa Rasulullah shollallahu alaihi wasallam suatu hari berkeliling pada istri-istri beliau dengan satu kali mandi. (H.R Abu Dawud‏)

Boleh juga sekedar berwudhu’ pada setiap akan melakukan hubungan suami istri berikutnya.
ﺇِﺫَﺍ ﺃَﺗَﻰ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﺃَﻫْﻠَﻪُ ﺛُﻢَّ ﺑَﺪَﺍ ﻟَﻪُ ﺃَﻥْ ﻳُﻌَﺎﻭِﺩَ ﻓَﻠْﻴَﺘَﻮَﺿَّﺄْ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻤَﺎ ﻭُﺿُﻮﺀًﺍ
Jika seseorang mendatangi istrinya kemudian akan mengulangi (hubungan suami istri) maka berwudhu’lah. (H.R Muslim‏)

Tahapannya dari yang paling utama:
a) Mandi pada setiap selesai berhubungan
b) Berwudhu setiap selesai berhubungan dan diakhiri dengan mandi
c) Mandi sekali di akhir

Tentang MENGHORMATI DAN MEMULIAKAN GURU

Al Imam Az Zurnuji rahimahullah berkata, "Ketahuilah, bahwasanya seorang penuntut ilmu tidak akan bisa mendapat ilmu dan tidak akan bisa mengambil manfaat dari ilmunya kecuali dia mengagungkan ilmu dan mengagungkan para pembawa ilmu.
Telah dikatakan bahwa tidak akan mendapat hasil bagi orang yang sedang mencari, kecuali dengan adanya penghormatan.
Dan tidaklah terluput dari orang yang kehilangan, kecuali ketika dia meninggalkan penghormatan.
Dikatakan juga, penghormatan itu lebih baik dibandingkan ketaatan.
Bukankah engkau mengetahui bahwa seseorang tidak dikafirkan karena melakukan kemaksiatan?
Hanya saja seseorang dikafirkan karena sebab meremehkan dan tidak hormat (melecehkan)."
(Ta'limul Muta'allim Thariqut Ta'allum-Imam Az Zurnuji, hal. 73, cet. Darush Shahabah 2013)

Al Imam Az Zurnuji rahimahullah menyatakan, "Di antara bentuk memuliakan seorang mu'allim (pengajar/mudarris) adalah:
- Janganlah berjalan di depan mereka.
- Janganlah duduk di tempat duduk mereka.
- Jangan memulai berbicara di sisinya kecuali dengan izin darinya.
- Jangan banyak bicara di sisinya kecuali dengan izin darinya.
- Jangan bertanya sesuatu apapun di sisinya ketika dirinya sedang tidak siap.
- Hendaklah senantiasa memperhatikan waktu yang tepat dari dirinya.
- Janganlah mengetuk pintunya, akan tetapi bersabarkah sampai dirinya keluar."
(Ta'limul Muta'allim Thariqut Ta'allum-Imam Az Zurnuji, hal. 75, cet. Darush Shahabah 2013)

Hanya Ikhwan Biasa

Faidah Ringan Seputar Ilmu

Tentang BATU AKIK

Ustadz Abu Utsman Kharisman

Tanya:
afwan ust, mhon pnjelasan hukum seputar batu akik (mengoleksi/menyimpannya, memakainya, menjual-belikannya, mencari/menggali tempat² yg diduga keberadaannya) ..
dgn kondisi:
-byk org yg memakainya krn pnya keyakinan syirik (sbg tolak bala, kekebalan, pengasih, penglaris, awet muda/cantik, dll)
-bbrp batu tsb diisi khodam atau jin penghuni, itu setelah proses ritual
-harga yg sangat tinggi (isrof/tabdzir)
-bbrp bahan cincin terbuat dari besi atau besi putih.
bgmn juga hukumnya jk mengoleksi, memakai, menjual belikannya dgn alasan sebatas sebgai hiasan saja tnpa ada keyakinan syirik, apakh tdk termasuk tasyabuh dgn org² fasiq dan musyrik..? krn ana mnjumpai bbrp ikhwan yg berbuat dmkian.. apa nasehat antm ttg mslh ini ust.. mhon pnjelasannya.. jazakallah khairan..

Jawab:
Secara asal, sebenarnya memakai cincin selain emas bagi laki-laki boleh menurut penjelasan para Ulama.
Namun, khusus untuk akik, dalam hal ini memang diyakini oleh banyak pihak memiliki kelebihan. Keyakinan ini yg batil, Hadits-hadits ttg keutamaan batu akik berkisar antara lemah dan palsu.
Dalam kondisi saat ini menggunakan akik lebih banyak tasyabbuh dgn pelaku kesyirikan dan kekafiran:
1) Orang-orang yg berkeyakinan syirik shg menjadikannya sebagai jimat. Hukumnya adalah haram dan syirik seperti hukum memakai tamiimah.
2) Keyakinan syiah thd akik.
Pengikut syiah banyak yg memakai akik pada tangan kanannya karena berdalil dgn ucapan Imam-Imam mereka dan hadits2 yg dipalsukan oleh mereka.
Contoh ucapan Imam mereka:
- Ali ar-Ridho menyatakan bahwa akik akan menghilangkan kemiskinan dan kemunafikan (Kafi 6/470, Wasaail 5/85, Jaami'ul Akhbaar halaman 133)
- Amirul mukminin berkata: pahala sholat dua rokaat dengan menggunakan akik sama dengan seribu rokaat tanpa menggunakan akik (I'lamuddin hal 393)
Masih banyak lagi keutamaan akik yg lain menurut Syiah. Sehingga sudah menjadi ciri khas mereka menggunakan akik pada tangan kanannya.
Maka saudara kami Ahlussunnah tidak sepatutnya mengikuti (bertasyabbuh) dgn mereka.
Wallaahu A'lam.

WA Al-I'thishom

Via WA Al-Manshuroh

Tentang WANITA BERDAGANG DAN BEKERJA MENCARI UANG

Asy Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin رحمه الله‎

Pertanyaan:
سؤاله الأخير يقول: ما هو مجال العمل المباح الذي يمكن للمرأة المسلمة أن تعمل فيه بدون المخالفة لتعاليم دينها؟
Pertanyaan terakhir: Pekerjaan apakah yang bisa dilakukan oleh seorang wanita dengan tanpa melanggar syariat agama?

Jawaban:
المجال العملي للمرأة أن تعمل فيما تختص به النساء، مثل أن تعمل في تعليم البنات سواء كان ذلك عملاً إدارياً أو فنياً، وأن تعمل في بيتها في خياطة ثياب النساء وما أشبه ذلك، وأما العمل في مجالات يختص بها الرجال فإنه لا يجوز لها أن تعمل؛ حيث إنه يستلزم لها الاختلاط بالرجال، وهي فتنةٌ عظيمة يجب الحذر منها، ويجب أن يعلم أن النبي صلى الله عليه وسلم فيما ثبت عنه أنه قال: ما تركت بعدي فتنة أضر على الرجال من النساء، وأن بني إسرائيل فتنوا بالنساء، فعلى المرء أن يجنب أهله مواقع الفتن وأسبابها بكل حال
Pekerjaan yang bisa dikerjakan oleh seorang wanita adalah lahan kerja yang memang khusus bagi wanita.
Misalnya bekerja di lembaga pendidikan anak-anak wanita, baik sebagai staf administrasi atau sebagai staf pengajar.
Atau dia bekerja di rumahnya sebagai penjahit pakaian wanita.
Dan semisalnya dari pekerjaan-pekerjaan yang khusus bagi wanita.
Adapun bekerja pada tempat pekerjaan yang khusus bagi laki-laki, maka ini tidak boleh dikarenakan konsekuensinya akan terjadi yang namanya ikhtilat (campur baur pria dan wanita) dan bisa menimbulkan fitnah yang besar yang kita harus hati-hati darinya.
Wajib untuk kita mengetahui hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam:
Tidaklah aku meninggalkan sebuah fitnah yang lebih membahayakan bagi seorang laki-laki dari pada fitnah seorang wanita, dan fitnah yang pertama kali menimpa bani Israil adalah fitnah wanita.
Maka wajib bagi setiap orang untuk menjauhkan keluarganya dari tempat-tempat fitnah dan sebab-sebab fitnah.

Sumber:
Rekaman Silsilah Fatawa Nur ala Darb no. 94 [Fatawa Mar`ah]

Sumber:
zadgroup .net/bnothemen/upload/ftawamp3/Lw_094_12 .mp3

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

###

Asy Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah

Seorang wanita bertanya melalui suratnya:
Saya bertanya, apakah keluarnya seorang wanita untuk bekerja hukumnya halal ataukah haram? Perlu diketahui, saya keluar untuk bekerja setelah lulus. Akan tetapi, saya sering mengintrospeksi diri saya sendiri tentang keluarku ini. Saya berkata, “Apakah Rabbku ‘azza wa jalla ridha terhadap diriku ataukah tidak?” Berikanlah faidah dan nasihat kepada saya, semoga Anda diberi pahala. (Seorang pemudi di Yaman)

Jawab:
Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Saya bershalawat dan bersalam terhadap Nabi kita Muhammad, penutup para nabi dan imam orang-orang terpilih, juga terhadap keluarga dan sahabat beliau, serta orang-orang yang mengikuti beliau hingga hari akhir.
Keluarnya seorang wanita dari rumahnya untuk sebuah keperluan, tidak mengapa. Terlebih lagi apabila keluarnya itu adalah untuk memenuhi kebutuhan orang lain, seperti keluar untuk ke madrasah untuk mengajari kaum wanita dari kalangan muslimin. Dalam keadaan ini, keluarnya akan mendapat pahala karena dia keluar untuk memenuhi kebutuhan dan mewujudkan maslahat orang lain.
Akan tetapi, ketika keluar dari rumahnya, dia wajib tidak bertabarruj dan tidak memakai wewangian. Selain itu, dia wajib memakai hijab yang syar’i, yaitu yang menutupi wajah dan (anggota badan) yang menimbulkan fitnah (godaan). Dia juga tidak boleh bercampur baur dengan kaum pria karena campur baur dengan kaum pria adalah sebab terjadinya fitnah.
Oleh karena itu, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Shaf terbaik untuk kaum lelaki ialah yang paling awal, yang paling jelek adalah shaf terakhir. Sedangkan shaf terbaik bagi wanita adalah shaf terakhir, yang paling jelek adalah shaf pertama.”
Shaf wanita yang terbaik adalah yang paling belakang karena paling jauh dari campur baur dan paling tidak berdekatan dengan kaum lelaki. Ini adalah isyarat dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa semakin jauh seorang wanita dari bercampur dengan lelaki, hal ini semakin baik.
Karena itu, Anda boleh keluar dari rumah, wahai wanita, untuk bekerja di madrasah. Demikian pula untuk melakukan pekerjaan lain yang memerlukan keluar dari rumah, selama pekerjaan tersebut tidak ada campur baur dengan lelaki, tanpa bertabarruj ataupun memakai wewangian.

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

###

Fatwa Al-Lajnah ad-Da’imah

Tanya:
Apa hukumnya seorang wanita menjadi pedagang, baik dia musafir atau pun mukim?

Jawab:
Hukum asalnya adalah boleh untuk mencari penghasilan dan berdagang bagi pria maupun wanita, ketika safar maupun mukim. Berdasarkan keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (surat al-Baqarah: 275)
Juga sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, ketika beliau ditanya: “Usaha apakah yang paling baik?” Beliau menjawab:
عمل الرجل بيده، وكل بيع مبرور
“Usaha seseorang dengan tangannya sendiri, dan semua jual beli yang mabrur (yang baik).” (Ahmad 3/466, al-Hakim 2/10)
Juga berdasarkan berita yang pasti bahwa kaum wanita pada masa awal Islam, mereka juga berjual beli dengan tetap menjaga kesopanan dan menjaga agar tidak tersingkap auratnya.
Namun, apabila berdagangnya seorang wanita ini mengantarkan dia untuk: membuka/menampakkan perhiasannya yang telah dilarang oleh Allah seperti menampakkan wajahnya, atau menyebabkan dia harus bepergian tanpa mahram, atau ikhtilat dengan pria yang bukan mahramnya dalam bentuk yang sangat dikhawatirkan fitnah padanya, maka TIDAK BOLEH DIA MENYIBUKKAN DIRI DENGAN KEGIATAN ITU (BERDAGANG). Bahkan WAJIB UNTUK DILARANG. Karena dia telah jatuh kepada sesuatu yang haram akibat sibuk dengan perkara yang mubah.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Al-Lajnah ad-Da’imah li al-Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta’
Fatwa no. 2761
Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz

Majmuah Manhajul Anbiya

###

Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rohimahulloh

Soal:
Apa hukumnya wanita bekerja dan berdagang serta menyibukkan diri dengan perdagangan? Dan apa syarat yang harus dipenuhinya jika hal itu diperbolehkan muslimah bekerja dengan berdagang?

Jawab:
Jika dia membutuhkan hal itu maka tidak apa-apa dan hendaklah ia berhijab, sebagaimana dahulu wanita pada jaman Nabi shollallohu alaihi wa sallam melakukannya. Adapun jika Alloh subhanahu wa ta’ala telah memberinya kecukupan rizki maka keselamatan itu tidak bisa ditandingi dengan sesuatu apapun (yakni menetap di rumah bagi wanita itu lebih selamat).
Dan wanita itu adalah aurot, dan dia hampir-hampir tidak bisa selamat dari gangguan orang-orang fasik di pasar dan di jalan-jalan. Maka yang baik baginya adalah tidak melakukannya kecuali jika ia yang menanggung nafkah keluarganya atau tidak ada baginya laki-laki yang menanggung nafkahnya, maka hal itu tidak mengapa insya Alloh. Dan seharusnya ia berhijab dan menjaga kehormatannya dan tidak melembutkan suaranya untuk memfitnah manusia. Dan kepada Alloh tempat mengadu.
Telah dikabarkan kepadaku bahwa para pengusaha memilih wanita-wanita muda yang menggoda (ditempatkan untuk SPG, marketing, pramuniaga, kasir, dan sebagainya) supaya orang-orang mau datang dan membeli dagangan mereka, maka Alloh tidak membalas kebaikan pada para pedagang yang seperti itu, karena sesungguhnya mereka adalah pedagang yang menebar fitnah dan mereka sendiri telah terfitnah, padahal seharusnya mereka bersyukur dan memuji Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang telah memudahkan rizki bagi mereka.

Sumber Asli:
Ghorotul Asyrithoh hal. 148

Saya (Abu Masud) mengutipnya via risalah Ahammu Fatawan Nisa hal.108-109

ummuyusuf .com

###

Asy-Syaikh Al-’Allamah Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Pertanyaan:
Bolehkah seorang perawat muslimah bekerja di bagian kewanitaan pada salah satu rumah sakit hingga ia bisa merawat pasien-pasien wanita. Di tempat kerjanya ini, ia memakai pakaian yang syar‘i namun tidak bisa mengenakan jilbab (pakaian luar yang longgar/lapang dan menutupi seluruh tubuh dari kepala sampai telapak kaki) dikarenakan dalam pelaksanaan tugas/pekerjaannya tidak memungkinkan baginya mengenakan jilbab tersebut. Namun tidak ada laki-laki yang mondar-mandir di ruang kerjanya kecuali hanya para pelayan (tukang sapu dan semisalnya) dan apoteker. Pada waktu lain, ia diminta untuk tugas jaga –shift malam– sehingga sepanjang malam ia berada di rumah sakit dan sangat mungkin laki-laki masuk ke tempatnya sementara tidak ada mahram yang mendampinginya. Lalu apa yang harus dilakukan perawat itu? Sebelumnya perlu diketahui suami si perawat mampu memberikan belanja kepadanya tanpa ia harus bekerja.

Jawab:
Apabila kita mengingat hukum yang ada, maka kita ketahui bahwa asalnya seorang wanita muslimah itu harus berdiam/tinggal di dalam rumahnya dan tidak boleh keluar rumah kecuali bila memang ada keperluan. Di samping itu, disampaikan pada kami dari pertanyaan yang ada bahwa suami si wanita (perawat tersebut) mampu menafkahinya. Maka dengan begitu kami memandang, wanita itu tidak boleh bekerja di luar rumahnya. Bila ia memang tetap berkeinginan bekerja di bidang medis untuk merawat/mengobati pasien wanita secara khusus, ia bisa membuka praktek di rumah sehingga tidak perlu keluar untuk bekerja di rumah sakit. Karena dengan bekerjanya si wanita di rumah sakit berarti ia menghadapkan dirinya pada ikhtilath (campur baur laki-laki dan perempuan tanpa hijab/tabir penghalang) baik yang kecil maupun yang besar seperti yang disebutkan dalam pertanyaan. Sehingga ia terjatuh ke dalam pelanggaran syariat, sedikit ataupun banyak, sementara ia sebenarnya bisa menghindarinya.
Adapun pertanyaan yang menyebutkan bahwa si wanita dengan profesinya sebagai perawat di rumah sakit, ia tidak bisa mengenakan jilbab karena demikian tuntutan pekerjaannya, akan tetapi masih bisa mengenakan pakaian yang menutupi auratnya maka aku nyatakan bahwa hal itu bukanlah alasan. Kecuali bila kita gambarkan bahwa jilbab itu adalah (model) satu potong pakaian yang dikenakan wanita untuk menutupi tubuhnya dari atas kepala sampai ke telapak kaki dan kita anggap model jilbab memang harus demikian, itu merupakan perkara ta’abbudiyyah. Yakni dibebani para wanita untuk senantiasa mengenakan hijab/pakaian dengan model tersebut. Bila kita tetapkan jilbab itu demikian, maka perbuatan si wanita jelas teranggap sebagai penyelisihan lain yang dilakukannya karena ia tidak mengenakan jilbab tersebut dengan alasan pekerjaan. Ia menggantinya dengan pakaian model lain yang bisa menutupi tubuhnya. Namun perlu diketahui, jilbab itu ditinjau dari sisi jenis dan model/bentuknya. Dan sebenarnya bukannya model/bentuk jilbab yang dituju, tapi model itu hanyalah satu perantara untuk menutup aurat wanita. Dengan begitu boleh bagi seorang wanita memakai pakaian apa yang diinginkannya namun dalam batasan syarat-syarat yang ada sebagaimana yang telah aku sebutkan dalam kitab Hijabul Mar`ah Al-Muslimah. Seandainya pakaian yang dikenakannya itu bukanlah jilbab secara bahasa yakni tidak terdiri dari satu potong pakaian (yang lebar/lapang, yang bisa menutupi dari atas kepala sampai telapak kaki) maka hendaklah ia mengenakan pakaian yang terdiri dari tiga potong. Akan tetapi yang penting dari semua itu, pakaian pengganti jilbab tersebut dapat menggantikan fungsi jilbab. Bila seperti itu keadaannya maka tidak ada masalah bagi perawat tersebut dan tidak pula yang lainnya untuk tidak mengenakan jilbab namun menggantinya dengan pakaian lain yang bisa menggantikan fungsi jilbab secara sempurna.
Kesimpulannya, wanita keluar dari rumahnya merupakan perkara yang menyelisihi hukum asal. Dan masuknya si wanita ke rumah sakit yang di dalamnya berbaur laki-laki dan perempuan merupakan ikhtilath yang tidak diperbolehkan dalam Islam. Seandainya di sana ada rumah sakit khusus wanita, maka yang jadi direkturnya semestinya wanita, pelayan/pekerjanya juga wanita, demikian pula para pasien (berikut perawatnya). Seharusnya memang di negeri-negeri Islam ada rumah sakit yang demikian di mana para wanita secara khusus yang mengurusnya, baik dokter, direktur, pelayan/pekerjanya, dan semisalnya (semuanya wanita). Adapun bila rumah sakitnya seperti yang disebutkan dalam pertanyaan, rumah sakit yang ikhtilath, maka kami nasehatkan agar wanita muslimah yang beriman kepada Rabbnya hendaknya bertakwa kepada Allah dan hendaklah ia tetap tinggal di rumahnya.

[Al-Hawi min Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 474-475]