Asy Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin رحمه الله
Pertanyaan:
سؤاله الأخير يقول: ما هو مجال العمل المباح الذي يمكن للمرأة المسلمة أن تعمل فيه بدون المخالفة لتعاليم دينها؟
Pertanyaan terakhir: Pekerjaan apakah yang bisa dilakukan oleh seorang wanita dengan tanpa melanggar syariat agama?
Jawaban:
المجال العملي للمرأة أن تعمل فيما تختص به النساء، مثل أن تعمل في تعليم البنات سواء كان ذلك عملاً إدارياً أو فنياً، وأن تعمل في بيتها في خياطة ثياب النساء وما أشبه ذلك، وأما العمل في مجالات يختص بها الرجال فإنه لا يجوز لها أن تعمل؛ حيث إنه يستلزم لها الاختلاط بالرجال، وهي فتنةٌ عظيمة يجب الحذر منها، ويجب أن يعلم أن النبي صلى الله عليه وسلم فيما ثبت عنه أنه قال: ما تركت بعدي فتنة أضر على الرجال من النساء، وأن بني إسرائيل فتنوا بالنساء، فعلى المرء أن يجنب أهله مواقع الفتن وأسبابها بكل حال
Pekerjaan yang bisa dikerjakan oleh seorang wanita adalah lahan kerja yang memang khusus bagi wanita.
Misalnya bekerja di lembaga pendidikan anak-anak wanita, baik sebagai staf administrasi atau sebagai staf pengajar.
Atau dia bekerja di rumahnya sebagai penjahit pakaian wanita.
Dan semisalnya dari pekerjaan-pekerjaan yang khusus bagi wanita.
Adapun bekerja pada tempat pekerjaan yang khusus bagi laki-laki, maka ini tidak boleh dikarenakan konsekuensinya akan terjadi yang namanya ikhtilat (campur baur pria dan wanita) dan bisa menimbulkan fitnah yang besar yang kita harus hati-hati darinya.
Wajib untuk kita mengetahui hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam:
Tidaklah aku meninggalkan sebuah fitnah yang lebih membahayakan bagi seorang laki-laki dari pada fitnah seorang wanita, dan fitnah yang pertama kali menimpa bani Israil adalah fitnah wanita.
Maka wajib bagi setiap orang untuk menjauhkan keluarganya dari tempat-tempat fitnah dan sebab-sebab fitnah.
Sumber:
Rekaman Silsilah Fatawa Nur ala Darb no. 94 [Fatawa Mar`ah]
Sumber:
zadgroup .net/bnothemen/upload/ftawamp3/Lw_094_12 .mp3
Alih bahasa: Syabab Forum Salafy
Forum Salafy Indonesia
###
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah
Seorang wanita bertanya melalui suratnya:
Saya bertanya, apakah keluarnya seorang wanita untuk bekerja hukumnya halal ataukah haram? Perlu diketahui, saya keluar untuk bekerja setelah lulus. Akan tetapi, saya sering mengintrospeksi diri saya sendiri tentang keluarku ini. Saya berkata, “Apakah Rabbku ‘azza wa jalla ridha terhadap diriku ataukah tidak?” Berikanlah faidah dan nasihat kepada saya, semoga Anda diberi pahala. (Seorang pemudi di Yaman)
Jawab:
Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Saya bershalawat dan bersalam terhadap Nabi kita Muhammad, penutup para nabi dan imam orang-orang terpilih, juga terhadap keluarga dan sahabat beliau, serta orang-orang yang mengikuti beliau hingga hari akhir.
Keluarnya seorang wanita dari rumahnya untuk sebuah keperluan, tidak mengapa. Terlebih lagi apabila keluarnya itu adalah untuk memenuhi kebutuhan orang lain, seperti keluar untuk ke madrasah untuk mengajari kaum wanita dari kalangan muslimin. Dalam keadaan ini, keluarnya akan mendapat pahala karena dia keluar untuk memenuhi kebutuhan dan mewujudkan maslahat orang lain.
Akan tetapi, ketika keluar dari rumahnya, dia wajib tidak bertabarruj dan tidak memakai wewangian. Selain itu, dia wajib memakai hijab yang syar’i, yaitu yang menutupi wajah dan (anggota badan) yang menimbulkan fitnah (godaan). Dia juga tidak boleh bercampur baur dengan kaum pria karena campur baur dengan kaum pria adalah sebab terjadinya fitnah.
Oleh karena itu, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Shaf terbaik untuk kaum lelaki ialah yang paling awal, yang paling jelek adalah shaf terakhir. Sedangkan shaf terbaik bagi wanita adalah shaf terakhir, yang paling jelek adalah shaf pertama.”
Shaf wanita yang terbaik adalah yang paling belakang karena paling jauh dari campur baur dan paling tidak berdekatan dengan kaum lelaki. Ini adalah isyarat dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa semakin jauh seorang wanita dari bercampur dengan lelaki, hal ini semakin baik.
Karena itu, Anda boleh keluar dari rumah, wahai wanita, untuk bekerja di madrasah. Demikian pula untuk melakukan pekerjaan lain yang memerlukan keluar dari rumah, selama pekerjaan tersebut tidak ada campur baur dengan lelaki, tanpa bertabarruj ataupun memakai wewangian.
Alih bahasa: Syabab Forum Salafy
###
Fatwa Al-Lajnah ad-Da’imah
Tanya:
Apa hukumnya seorang wanita menjadi pedagang, baik dia musafir atau pun mukim?
Jawab:
Hukum asalnya adalah boleh untuk mencari penghasilan dan berdagang bagi pria maupun wanita, ketika safar maupun mukim. Berdasarkan keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (surat al-Baqarah: 275)
Juga sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, ketika beliau ditanya: “Usaha apakah yang paling baik?” Beliau menjawab:
عمل الرجل بيده، وكل بيع مبرور
“Usaha seseorang dengan tangannya sendiri, dan semua jual beli yang mabrur (yang baik).” (Ahmad 3/466, al-Hakim 2/10)
Juga berdasarkan berita yang pasti bahwa kaum wanita pada masa awal Islam, mereka juga berjual beli dengan tetap menjaga kesopanan dan menjaga agar tidak tersingkap auratnya.
Namun, apabila berdagangnya seorang wanita ini mengantarkan dia untuk: membuka/menampakkan perhiasannya yang telah dilarang oleh Allah seperti menampakkan wajahnya, atau menyebabkan dia harus bepergian tanpa mahram, atau ikhtilat dengan pria yang bukan mahramnya dalam bentuk yang sangat dikhawatirkan fitnah padanya, maka TIDAK BOLEH DIA MENYIBUKKAN DIRI DENGAN KEGIATAN ITU (BERDAGANG). Bahkan WAJIB UNTUK DILARANG. Karena dia telah jatuh kepada sesuatu yang haram akibat sibuk dengan perkara yang mubah.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Al-Lajnah ad-Da’imah li al-Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta’
Fatwa no. 2761
Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz
Majmuah Manhajul Anbiya
###
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rohimahulloh
Soal:
Apa hukumnya wanita bekerja dan berdagang serta menyibukkan diri dengan perdagangan? Dan apa syarat yang harus dipenuhinya jika hal itu diperbolehkan muslimah bekerja dengan berdagang?
Jawab:
Jika dia membutuhkan hal itu maka tidak apa-apa dan hendaklah ia berhijab, sebagaimana dahulu wanita pada jaman Nabi shollallohu alaihi wa sallam melakukannya. Adapun jika Alloh subhanahu wa ta’ala telah memberinya kecukupan rizki maka keselamatan itu tidak bisa ditandingi dengan sesuatu apapun (yakni menetap di rumah bagi wanita itu lebih selamat).
Dan wanita itu adalah aurot, dan dia hampir-hampir tidak bisa selamat dari gangguan orang-orang fasik di pasar dan di jalan-jalan. Maka yang baik baginya adalah tidak melakukannya kecuali jika ia yang menanggung nafkah keluarganya atau tidak ada baginya laki-laki yang menanggung nafkahnya, maka hal itu tidak mengapa insya Alloh. Dan seharusnya ia berhijab dan menjaga kehormatannya dan tidak melembutkan suaranya untuk memfitnah manusia. Dan kepada Alloh tempat mengadu.
Telah dikabarkan kepadaku bahwa para pengusaha memilih wanita-wanita muda yang menggoda (ditempatkan untuk SPG, marketing, pramuniaga, kasir, dan sebagainya) supaya orang-orang mau datang dan membeli dagangan mereka, maka Alloh tidak membalas kebaikan pada para pedagang yang seperti itu, karena sesungguhnya mereka adalah pedagang yang menebar fitnah dan mereka sendiri telah terfitnah, padahal seharusnya mereka bersyukur dan memuji Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang telah memudahkan rizki bagi mereka.
Sumber Asli:
Ghorotul Asyrithoh hal. 148
Saya (Abu Masud) mengutipnya via risalah Ahammu Fatawan Nisa hal.108-109
ummuyusuf .com
###
Asy-Syaikh Al-’Allamah Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Pertanyaan:
Bolehkah seorang perawat muslimah bekerja di bagian kewanitaan pada salah satu rumah sakit hingga ia bisa merawat pasien-pasien wanita. Di tempat kerjanya ini, ia memakai pakaian yang syar‘i namun tidak bisa mengenakan jilbab (pakaian luar yang longgar/lapang dan menutupi seluruh tubuh dari kepala sampai telapak kaki) dikarenakan dalam pelaksanaan tugas/pekerjaannya tidak memungkinkan baginya mengenakan jilbab tersebut. Namun tidak ada laki-laki yang mondar-mandir di ruang kerjanya kecuali hanya para pelayan (tukang sapu dan semisalnya) dan apoteker. Pada waktu lain, ia diminta untuk tugas jaga –shift malam– sehingga sepanjang malam ia berada di rumah sakit dan sangat mungkin laki-laki masuk ke tempatnya sementara tidak ada mahram yang mendampinginya. Lalu apa yang harus dilakukan perawat itu? Sebelumnya perlu diketahui suami si perawat mampu memberikan belanja kepadanya tanpa ia harus bekerja.
Jawab:
Apabila kita mengingat hukum yang ada, maka kita ketahui bahwa asalnya seorang wanita muslimah itu harus berdiam/tinggal di dalam rumahnya dan tidak boleh keluar rumah kecuali bila memang ada keperluan. Di samping itu, disampaikan pada kami dari pertanyaan yang ada bahwa suami si wanita (perawat tersebut) mampu menafkahinya. Maka dengan begitu kami memandang, wanita itu tidak boleh bekerja di luar rumahnya. Bila ia memang tetap berkeinginan bekerja di bidang medis untuk merawat/mengobati pasien wanita secara khusus, ia bisa membuka praktek di rumah sehingga tidak perlu keluar untuk bekerja di rumah sakit. Karena dengan bekerjanya si wanita di rumah sakit berarti ia menghadapkan dirinya pada ikhtilath (campur baur laki-laki dan perempuan tanpa hijab/tabir penghalang) baik yang kecil maupun yang besar seperti yang disebutkan dalam pertanyaan. Sehingga ia terjatuh ke dalam pelanggaran syariat, sedikit ataupun banyak, sementara ia sebenarnya bisa menghindarinya.
Adapun pertanyaan yang menyebutkan bahwa si wanita dengan profesinya sebagai perawat di rumah sakit, ia tidak bisa mengenakan jilbab karena demikian tuntutan pekerjaannya, akan tetapi masih bisa mengenakan pakaian yang menutupi auratnya maka aku nyatakan bahwa hal itu bukanlah alasan. Kecuali bila kita gambarkan bahwa jilbab itu adalah (model) satu potong pakaian yang dikenakan wanita untuk menutupi tubuhnya dari atas kepala sampai ke telapak kaki dan kita anggap model jilbab memang harus demikian, itu merupakan perkara ta’abbudiyyah. Yakni dibebani para wanita untuk senantiasa mengenakan hijab/pakaian dengan model tersebut. Bila kita tetapkan jilbab itu demikian, maka perbuatan si wanita jelas teranggap sebagai penyelisihan lain yang dilakukannya karena ia tidak mengenakan jilbab tersebut dengan alasan pekerjaan. Ia menggantinya dengan pakaian model lain yang bisa menutupi tubuhnya. Namun perlu diketahui, jilbab itu ditinjau dari sisi jenis dan model/bentuknya. Dan sebenarnya bukannya model/bentuk jilbab yang dituju, tapi model itu hanyalah satu perantara untuk menutup aurat wanita. Dengan begitu boleh bagi seorang wanita memakai pakaian apa yang diinginkannya namun dalam batasan syarat-syarat yang ada sebagaimana yang telah aku sebutkan dalam kitab Hijabul Mar`ah Al-Muslimah. Seandainya pakaian yang dikenakannya itu bukanlah jilbab secara bahasa yakni tidak terdiri dari satu potong pakaian (yang lebar/lapang, yang bisa menutupi dari atas kepala sampai telapak kaki) maka hendaklah ia mengenakan pakaian yang terdiri dari tiga potong. Akan tetapi yang penting dari semua itu, pakaian pengganti jilbab tersebut dapat menggantikan fungsi jilbab. Bila seperti itu keadaannya maka tidak ada masalah bagi perawat tersebut dan tidak pula yang lainnya untuk tidak mengenakan jilbab namun menggantinya dengan pakaian lain yang bisa menggantikan fungsi jilbab secara sempurna.
Kesimpulannya, wanita keluar dari rumahnya merupakan perkara yang menyelisihi hukum asal. Dan masuknya si wanita ke rumah sakit yang di dalamnya berbaur laki-laki dan perempuan merupakan ikhtilath yang tidak diperbolehkan dalam Islam. Seandainya di sana ada rumah sakit khusus wanita, maka yang jadi direkturnya semestinya wanita, pelayan/pekerjanya juga wanita, demikian pula para pasien (berikut perawatnya). Seharusnya memang di negeri-negeri Islam ada rumah sakit yang demikian di mana para wanita secara khusus yang mengurusnya, baik dokter, direktur, pelayan/pekerjanya, dan semisalnya (semuanya wanita). Adapun bila rumah sakitnya seperti yang disebutkan dalam pertanyaan, rumah sakit yang ikhtilath, maka kami nasehatkan agar wanita muslimah yang beriman kepada Rabbnya hendaknya bertakwa kepada Allah dan hendaklah ia tetap tinggal di rumahnya.
[Al-Hawi min Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 474-475]