Cari Blog Ini

Sabtu, 03 Januari 2015

Tentang HAJI DAN UMRAH BAGI WANITA YANG SEDANG HAID

Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

• Hukum ihram bagi wanita haid, baik ihram untuk haji atau untuk umrah

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menghikayatkan adanya kesepakatan ahlul ilmi tentang sahnya wanita nifas dan haid berihram. Disunnahkan bagi si wanita untuk mandi sebelum ihram, sebagaimana disunnahkan pula bagi selain wanita haid. (Al-Minhaj, 8/372)
Bahkan untuk wanita haid, mandi ini lebih ditekankan karena adanya hadits yang menyebutkannya. (Al-Mughni, Kitabul Hajj, bab Dzikrul Ihram)
Di antaranya:
1. Hadits Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'anhuma yang panjang tentang kisah haji Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Di antaranya ia berkata:
حَتَّى أَتَيْنَا ذَا الْحُلَيْفَةِ فَوَلَدَتْ أَسْمَاءُ بِنْتُ عُمَيْسٍ مُحَمَّدَ بْنَ أَبِي بَكْرٍ، فَأَرْسَلْتُ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ: كَيْفَ أَصْنَعُ؟ قَالَ: اغْتَسِلِي وَاسْتَنْفِرِي بِثَوْبٍ وَأَحْرِمِي
Hingga ketika kami tiba di Dzul Hulaifah (miqat bagi penduduk Madinah), Asma’ bintu Umais melahirkan putranya yang bernama Muhammad bin Abi Bakr. Asma’ mengirim orang menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam untuk menanyakan, “Apa yang harus kuperbuat?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Mandilah dan tutuplah (tempat keluar darah nifas) dengan kain dan berihramlah.” (HR. Muslim no. 2941)
Wanita haid hukumnya sama dengan wanita nifas.
2. Hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda:
الْحَائِضُ وَالنُّفَسَاءُ إِذَا أَتَتَا عَلَى الْوَقْتِ تَغْتَسِلاَنِ وَتُحْرِمَانِ وَتَقْضِيَانِ الْمَنَاسِكَ كُلَّهَا غَيْرَ الطَّوَافِ بِالْبَيْتِ
“Wanita nifas dan haid, bila keduanya mendatangi miqat, hendaknya keduanya mandi dan berihram serta menunaikan manasik seluruhnya selain thawaf di Baitullah.” (HR. Abu Dawud no. 1744 dan selainnya, dishahihkan dalam Shahih Abi Dawud)
3. Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan Aisyah Radhiyallahu 'anha mandi karena berihram haji dalam keadaan haid. Ketika itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada Aisyah Radhiyallahu 'anha:
انْقُضِي شَعْرَكِ وَاغْتَسِلِي
“Gerailah rambutmu dan mandilah.” (HR. Ibnu Majah no. 641, dishahihkan dalam Al-Irwa’ no. 134, Ash-Shahihah no. 188)
Namun, sebagian ahlul ilmi menyatakan jika wanita haid tersebut ada harapan suci sebelum keluar dari miqat, disenangi baginya menunda mandi sampai ia suci agar lebih sempurna baginya. (Al-Majmu’, 7/220)

• Hukum thawaf ketika haid

Ulama sepakat, wanita yang sedang haid tidak boleh melakukan thawaf di Baitullah. (Al-Iqna’ fi Masailil Ijma’, 1/270)
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Larangan shalat, puasa, thawaf, dan jima’ pada kemaluan ketika sedang haid merupakan ijma’ yang diyakini lagi dipastikan. Tidak ada perselisihan di dalamnya di antara seorang pun dari pemeluk Islam.” (Al-Muhalla, 1/380)
Namun, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah memberikan batasan/ketentuan bahwa ijma’/kesepakatan tersebut –terkhusus masalah larangan thawaf bagi wanita haid– adalah bila ia melakukan thawaf dalam keadaan tidak darurat. Adapun bila darurat, lain lagi pembicaraannya, karena beliau menyatakan, “Adapun masalah yang aku tidak mengetahui ada perselisihan di dalamnya adalah seorang wanita tidak boleh thawaf dalam keadaan haid, jika memang dia mampu untuk thawaf dalam keadaan suci nantinya. Aku tidak tahu ada perselisihan tentang haramnya thawaf tersebut baginya dan ia berdosa bila melakukannya.” (Majmu’ Fatawa, 26/206)
Bila ternyata wanita haid itu tetap melakukan thawaf, ulama berbeda pendapat tentang sah atau tidaknya thawaf tersebut. Mayoritas ahlul ilmi (Al-Majmu’, 8/23), termasuk pendapat Malikiyyah (Al-Ma’unah, 1/186), Syafi’iyyah, Hanabilah dalam satu pendapat (Al-Majmu’, 8/23), dan Zhahiriyyah (Al-Muhalla, 5/189) memandang thawafnya tidak sah, karena menurut mereka, thaharah dari hadats merupakan syarat thawaf, sehingga orang yang melakukan thawaf harus dalam keadaan suci. Dalil mereka di antaranya:
1. Hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha:
أَنَّ أَوَّلَ شَيْءٍ بَدَأَ بِهِ حِيْنَ قَدِمَ النَّبِيُّ أَنَّهُ تَوَضَّأَ ثُمَّ طَافَ
“Yang awal dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam ketika beliau tiba di Makkah adalah berwudhu kemudian thawaf…” (HR. Al-Bukhari no. 1614 dan Muslim no. 2991)
2. Hadits Jabir Radhiyallahu 'anhuma bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
لِتَأْخُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ
“Ambillah dariku manasik kalian.” (HR. Muslim no. 3124)
Makna ucapan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam di atas adalah bahwa urusan-urusan yang aku lakukan dalam hajiku, baik ucapan, perbuatan maupun penampilan, merupakan urusan dan tata cara haji. Ini adalah manasik kalian, hendaklah kalian mengambilnya dariku. Terimalah manasik ini, hafalkan/jagalah, amalkan dan ajarkanlah kepada orang-orang. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/50)
Adapula yang berpendapat sah thawafnya, namun ia berdosa. Demikian pendapat Hanafiyyah (Al-Mabsuth, 4/38), satu riwayat dari Al-Imam Ahmad (Al-Majmu’, 8/23), dan pendapat yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Majmu’ Fatawa, 26/213) sebagaimana telah diisyaratkan di atas, karena beliau memandang thaharah bukanlah syarat sahnya thawaf tapi merupakan kewajiban. Sebagaimana pernyataan beliau, “Pewajiban thaharah dan menutup aurat di dalam thawaf yang tsabit/pasti dengan dalil nash adalah masalah yang disepakati. Adapun keterangan pasti akan keharusan thaharah sebagai syarat dalam thawaf sebagaimana shalat (dipersyaratkan thaharah), ada perbedaan pendapat tentangnya.” (Majmu’ Fatawa, 26/222-223)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

• Apa yang harus dilakukan oleh wanita yang berhaji tamattu’ bila ia haid sebelum thawaf umrah dan khawatir tidak bisa melakukan amalan haji?

Yang dimaksudkan di sini adalah wanita yang berihram untuk umrah, setelah selesai dari umrah ia bertahallul, kemudian berihram untuk haji di tahun itu juga. Wanita tersebut misalnya tiba di Makkah tanggal 5 Dzulhijjah. Ternyata ia haid dan kebiasaan haidnya 6 hari. Berarti, ia akan suci tanggal 11 Dzulhijjah, sedangkan waktu wukuf telah berlalu (tanggal 9 Dzulhijjah). Dengan demikian, ia luput menunaikan haji. Kondisinya sekarang, karena sedang haid ia tidak mungkin melakukan thawaf, sa’i, dan mengakhiri umrahnya. Lalu apa yang harus ia lakukan?
Jumhur ulama, di antaranya ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanafiyyah, Zhahiriyyah, pendapat Al-Auza’i dan kebanyakan ulama lainnya, menyatakan ia berihram untuk haji bersama umrahnya sehingga hajinya menjadi haji qiran. Hal ini dengan dalil hadits Jabir ibnu Abdillah Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:
أَقْبَلْنَا مُهِلِّيْنَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ بِحَجٍّ مُفْرَدٍ، وَأَقْبَلَتْ عَائِشَةُ بِعُمْرَةٍ حَتَّى إِذَا كُنَّا بِسَرَفٍ عَرَكَتْ، حَتَّى إِذَا قَدِمْنَا طُفْنَا بِالْكَعْبَةِ وَالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ، فَأَمَرَناَ رَسُوْلُ اللهِ أَنْ يَحِلَّ مِنَّا مَنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ هَدْيٌ. قَالَ: فَقُلْنَا: حِلُّ مَاذَا؟ قَالَ: الْحِلُّ كُلُّهُ. فَوَاقَعْنَا النِّسَاءَ وَتَطَيَّبْنَا بِطِيْبٍ وَلَبِسْنَا ثِيَابَنَا وَلَيْسَ بَيْنَنَا وَبَيْنَ عَرَفَةٍ إِلاَّ أَرْبَعُ لَيَالٍ، ثُمَّ أهْلَلْنَا يَوْمَ التَّرْوِيَة، ثُمَّ دَخَلَ رَسُوْلُ اللهِ n عَلَى عَائِشَةَ، فَوَجَدَهاَ تَبْكِي. فَقَالَ: مَا شَأْنُكِ؟ قَالَتْ: شَأْنِي أَنِّي قَدْ حِضْتُ وَقَدْ حَلَّ النَّاسُ وَلَمْ أَحْلِلْ، وَلَمْ أَطُفْ بِالْبَيْتِ وَالنَّاسُ يَذْهَبُوْنَ إِلَى الْحَجِّ الْآنَ. فَقاَلَ: إِنَّ هذِهِ أَمْرٌ كَتَبَهُ اللهُ عَلَى بَناَتِ آدَمَ، فَاغْسِلِيْ ثُمَّ أَهِلِّي بِالْحَجِّ. فَفَعَلَتْ وَوَقَفَتِ الْمَوَاقِفَ حَتَّى إِذَا طَهَرَتْ طَافَتْ بِالْكَعْبَةِ وَالصَّفَا وَالْمَرْوَةَِ. ثُمَّ قَالَ: قَدْ حَلَلْتِ مِنْ حَجِّكِ وَعُمْرَتِكِ جَمِيْعًا. قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنِّي أَجِدُ فِي نَفْسِي أَنِّي لَمْ أَطُفْ بِالْبَيْتِ حَتَّى حَجَجْتُ. قَالَ: فَاذْهَبْ بِهَا يَا عَبْدَ الرَّحْمنِ، فَأَعْمِرْهَا مِنَ التَّنْعِيْمِ
Kami datang bertalbiyah bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dengan haji ifrad dan Aisyah Radhiyallahu 'anha datang dengan umrah [1], hingga ketika kami tiba di Sarf ia haid. Saat kami tiba di Makkah, kami thawaf di Ka’bah dan melakukan sa’i di Shafa dan Marwah. Kemudian, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan orang-orang yang tidak membawa hewan hadyu (hewan yang dihadiahkan untuk Al-Haram, nantinya disembelih dan dagingnya dibagi-bagikan kepada fakir miskin di sekitar Al-Haram) di antara kami agar bertahallul [2]. Jabir berkata, “Kami bertanya, ‘Tahallul dari apa?’.” Beliau menjawab, “Halal dari segala sesuatu yang semula diharamkan karena sedang berihram.” Kami pun menggauli istri-istri kami, memakai wangi-wangian, dan mengenakan pakaian yang biasa kami kenakan (tidak lagi mengenakan pakaian ihram). Jarak waktu kami dengan hari Arafah hanya empat malam. Kemudian pada hari Tarwiyah (tanggal 8 Dzulhijjah) kami bertalbiyyah untuk haji. Ketika itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam masuk ke tempat Aisyah Radhiyallahu 'anha dan mendapatinya sedang menangis. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bertanya, “Ada apa denganmu?” Aisyah menjawab, “Aku haid, sementara orang-orang telah bertahallul (dari umrah mereka), sedangkan aku belum tahallul, karena aku belum thawaf di Baitullah. Sekarang orang-orang pergi untuk berhaji.” Rasulullah bersabda, “Haid adalah sesuatu yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wata'ala terhadap anak-anak perempuan Adam. Mandilah engkau kemudian bertalbiyahlah untuk haji.” Aisyah pun melakukan apa yang diperintahkan dan wukuf di tempat wukuf. Ketika ia telah suci, ia thawaf di Ka’bah dan sa’i di antara Shafa dan Marwah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berkata, “Engkau telah tahallul dari haji dan umrahmu sekaligus.” Aisyah berkata, “Wahai Rasulullah, aku merasakan tidak enak dalam hatiku, karena belum thawaf umrah hingga aku berhaji.” Rasulullah bersabda, “Bawalah dia wahai Abdurrahman. Umrahkan dia dari Tan’im.” *) (HR. Muslim no. 2929) [3]
Hadits di atas merupakan dalil wajibnya wanita yang mengalami kejadian seperti Aisyah Radhiyallahu 'anha berihram untuk haji sehingga hajinya menjadi haji qiran, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan Aisyah Radhiyallahu 'anha untuk melakukannya. Sementara, hukum asal perintah adalah wajib.
Di samping itu, ibadah haji merupakan kewajiban yang harus segera ditunaikan, tidak boleh ditunda. Bila si wanita yang sedang haid itu tidak berihram untuk haji niscaya ia akan kehilangan haji pada tahun tersebut.
Alasan lain, seseorang sebenarnya datang ke Makkah untuk haji, sedangkan umrah ditunaikan karena ingin berhaji setelahnya. Umrah sendiri bisa ditunaikan di setiap waktu dan tidak mungkin si wanita menunaikan haji ketika itu terkecuali ia telah tahallul dari umrahnya. Dalam situasi seperti ini, mustahil ia bertahallul dari umrahnya karena tidak bisa thawaf di Ka’bah akibat haid yang menimpanya. Maka dari itu, tidak ada yang tersisa baginya kecuali berihram untuk haji, dan dinamakan haji qiran.
Makna berihram untuk haji adalah memasukkan haji kepada umrah dan bukan membatalkan umrah, karena kalau umrah dibatalkan berarti hajinya ifrad. Sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepada Aisyah Radhiyallahu 'anha:
يَسَعُكِ طَوَافُكِ لِحَجِّكِ وَعُمْرَتِكِ
“Thawafmu di Baitullah mencukupimu untuk haji dan umrahmu.” (HR. Muslim no. 2925)
Dalam riwayat lain:
يُجْزِءُ عَنْكِ طَوَافُكِ بِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ عَنْ حَجِّكِ وَعُمْرَتِكِ
“Thawafmu (sa’i) antara Shafa dan Marwah mencukupimu dari amalan haji dan umrahmu.” (HR. Muslim no. 2926)

• Misalnya, bila ada seorang wanita berihram untuk umrah, setelahnya bertahallul. Ketika hari Tarwiyah nanti ia akan berihlal (talbiyah) untuk haji (tamattu’). Namun setelah thawaf di Baitullah, sebelum sempat sa’i, ia haid. Tidak mungkin di saat itu dia berihram untuk haji (memasukkan haji pada umrahnya sehingga hajinya menjadi qiran), karena termasuk syarat bolehnya memasukkan haji pada umrah adalah sebelum dilakukannya thawaf, sedangkan si wanita telah selesai mengerjakan thawaf.
Bila demikian, apa yang harus dilakukannya?

Si wanita melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah, karena orang yang berhadats besar, seperti junub dan haid –apatah lagi orang yang berhadats kecil– diperkenankan untuk melakukan sa’i. Namun di atas thaharah tentu lebih utama.
Menunaikan setiap ibadah dalam keadaan bersuci tentu lebih utama. Namun bila telah datang waktu haji sementara ia belum suci dari haid, ia tetap berihram karena haid tidak menghalanginya untuk berihram. Dalilnya hadits Asma’ bintu Umais Radhiyallahu 'anha yang telah disebutkan.
Bila haid menimpa seorang wanita ketika ia melakukan thawaf, ia tidak boleh menyempurnakan thawafnya karena haidnya. Dia harus berhenti dan membatalkan thawafnya. Bila ia khawatir luput mengerjakan haji, ia berihram untuk haji (melaksanakan haji qiran). (Asy-Syarhul Mumti’, 7/ 98-100)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

• Thawaf dalam Keadaan Darurat

Kita ketahui dari penjelasan yang telah lalu bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berpendapat larangan thawaf bagi wanita haid adalah bila ia melakukan thawaf dalam keadaan tidak darurat, sedangkan bila darurat, lain lagi pembicaraannya.
Kita lihat jawaban beliau ketika ditanyakan permasalahan berikut, “Seorang wanita yang haid belum melakukan thawaf ifadhah. Ia belum juga suci sampai orang yang berhaji pulang meninggalkan Makkah. Tidak mungkin pula dia tetap tinggal di Makkah menanti sampai ia suci setelah jamaah haji pulang. Apakah dalam keadaan demikian dia boleh melakukan thawaf? Apakah keadaan seperti itu teranggap darurat ataukah tidak? Bila ternyata ia boleh melakukan thawaf, apakah dia wajib membayar dam ataukah tidak? Apakah disunnahkan mandi sebelum thawaf?”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjawab, “Alhamdulillah. Ulama memiliki dua pendapat yang masyhur tentang thaharah saat thawaf, apakah sebagai syarat sahnya thawaf atau tidak.
1. Thaharah adalah syarat.
Ini adalah mazhab Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad dalam salah satu dari dua riwayat yang ada.
2. Thaharah bukan syarat.
Demikian mazhab Abu Hanifah dan Ahmad dalam riwayat yang lain. Oleh karena itu, menurut mereka, andai seseorang yang junub, berhadats, atau membawa najis, melakukan thawaf maka thawaf tersebut sah, namun ia wajib membayar dam (berupa seekor kambing). Akan tetapi, pengikut mazhab Al-Imam Ahmad rahimahullah berbeda pendapat, apakah dam ini dibebankan secara mutlak—walau terhadap orang yang diberi uzur yang lupa bahwa ia sedang janabah—ataukah tidak?
Abu Hanifah menjadikan dam berupa badanah (unta).
Seorang wanita haid—yang tidak mungkin melakukan thawaf melainkan dalam keadaan haid—tentu lebih pantas lagi mendapatkan uzur, karena haji merupakan amalan yang wajib baginya. Tidak ada seorang ulama pun yang mengatakan, “Kewajiban haji gugur dari wanita haid.” Menggugurkan suatu kewajiban dengan alasan ketidak mampuan mengerjakan sebagian hal yang wajib dalam kewajiban tersebut, bukanlah termasuk ucapan syariat. Sebagaimana halnya bila dia tidak mampu bersuci untuk shalat (tidak boleh meninggalkan shalat, namun tetap mengerjakannya sesuai keadaannya).
Jika si wanita mungkin untuk tinggal di Makkah sampai suci dan menunaikan thawaf yang tertunda, tidak diragukan lagi dia wajib melakukannya. Namun, bila hal itu tidak mungkin, dengan menyuruhnya pulang ke negerinya bersama rombongan (dalam keadaan ia masih berstatus muhrim, belum tahallul dari haji, karena tidak mungkin baginya bertahallul dengan tahallul yang kedua dengan alasan thawaf ifadhah belum ditunaikannya) —lalu kembali ke Makkah setelah suci untuk thawaf ifadhah—berarti mewajibkan safar dua kali baginya untuk pelaksanaan ibadah haji tanpa ada kesalahan yang diperbuatnya. Ini tentu saja menyelisihi syariat. Di samping itu, dia tidak mungkin pergi melainkan bersama rombongan, sementara haidnya dalam bulan itu seperti biasanya, sehingga hal ini tidak memungkinkannya thawaf dalam keadaan suci sama sekali.
Pokok-pokok syariat dibangun di atas ketetapan bahwa syarat-syarat ibadah yang tidak mampu dilakukan seorang hamba, maka syarat-syarat itu digugurkan. Misalnya bila orang yang shalat tidak mampu menutup auratnya, atau tidak bisa menghadap kiblat, atau menghindari/menjauhi sesuatu yang najis [4], atau orang yang thawaf, bila ia tidak mampu thawaf sendiri, baik naik kendaraan atau berjalan kaki, ia dipikul dan dithawafkan.
Pendapat bahwa orang yang thawaf tanpa bersuci tetap sah walaupun tidak ada udzur (alasan/sebab yang diterima), namun harus membayar dam—sebagaimana dinyatakan oleh pengikut Abu Hanifah dan Ahmad—tentu lebih utama dan lebih pantas ditujukan kepada orang yang memiliki udzur.
Adapun tentang mandi, jika si wanita melakukannya, itu bagus sebagaimana wanita haid dan nifas mandi untuk berihram. Wallahu a’lam.” (Majmu’ Fatawa, 26/243—244)
Tentang pewajiban membayar dam, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, “Jika ia membayar dam, itu lebih berhati-hati. Jika tidak membayar pun sebenarnya tidak ada kewajiban apa-apa baginya, karena Allah Subhanahu wata'ala tidak membebani suatu jiwa kecuali sebatas kemampuannya.
Allah Subhanahu wata'ala berfirman:
“Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian.” (At-Taghabun: 16)
Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Jika aku memerintahkan kalian dengan satu perkara maka kerjakanlah semampu kalian.” (HR. ِAl-Bukhari dan Muslim)
Adapun wanita haid ini tidak mampu kecuali demikian (thawaf dalam keadaan tidak suci).”
Ibnu Taimiyah rahimahullah juga menyatakan, “Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menggugurkan kewajiban thawaf wada’ bagi wanita haid. Beliau menggugurkan pula bagi orang-orang yang mengurusi siqayah (penyediaan air minum bagi jamaah haji) untuk bermalam di Mina karena adanya kebutuhan. Akan tetapi, beliau Shallallahu 'alaihi wasallam tidak mewajibkan mereka membayar dam, karena mereka diberi uzur dalam hal tersebut. Beda halnya dengan orang yang tidak memiliki uzur. Demikian pula orang yang tidak mampu melempar jumrah sendiri karena sakit atau semisalnya, ia boleh mewakilkan kepada orang lain melakukannya untuk dirinya. Tidak ada pewajiban apa-apa baginya, karena tidaklah sama orang yang meninggalkan kewajiban karena ketidakmampuan dengan orang yang meninggalkannya bukan karena tidak mampu. Wallahu a’lam.” (Majmu’ Fatawa, 26/245)

• Sa’i antara Shafa dan Marwah bagi Wanita Haid

Mayoritas ulama berpendapat tidak dipersyaratkan thaharah untuk sa’i, demikian pendapat Hanafiyah (Raddul Mukhtar 2/517), Malikiyyah (Al-Muntaqa 3/60), Syafi’iyah (Al-Majmu’, 8/100), Hanabilah (Al-Mughni, Kitabul Hajj, Mas’alah: Wa Man Sa’a Baina Ash-Shafa wal Marwah ‘ala Ghairi Thaharah), dan Zhahiriyyah (Al-Muhalla).
Ini juga pendapat Atha’ dan Abu Tsaur (Al-Mughni, Kitabul Hajj, Mas’alah: Wa Man Sa’a Baina Ash-Shafa wal Marwah ‘ala Ghairi Thaharah).
Dalil pendapat ini adalah sebagai berikut.
1. Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam kepada Aisyah Radhiyallahu 'anha yang sedang haid saat menunaikan ibadah haji:
افْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ، غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوْفِي بِالْبَيْتِ
“Lakukanlah apa yang dilakukan oleh orang yang berhaji, hanya saja jangan engkau thawaf sampai engkau suci.” (HR. Al-Bukhari no. 305 dan Muslim no. 2911)
Berdasarkan hadits di atas, wanita haid tidak dilarang melakukan segala sesuatu dari amalan manasik haji, kecuali thawaf di Baitullah.
2. Atsar dari Aisyah dan Ummu Salamah Radhiyallahu 'anhuma, keduanya berkata, “Apabila seorang wanita telah thawaf di Baitullah dan mengerjakan shalat dua rakaat, kemudian ia haid maka hendaklah ia tetap melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah.” (Diriwayatkan oleh Abu Bakr Al-Atsram, sebagaimana dinukil dalam Al-Mughni, Kitabul Hajj, Mas’alah: Wa Man Sa’a Baina Ash-Shafa wal Marwah ‘ala Ghairi Thaharah)
3. Sa’i merupakan ibadah yang tidak terkait dengan Baitullah sehingga tidak bisa dipersyaratkan thaharah saat melaksanakannya, sama halnya dengan wukuf di Arafah. (Al-Mughni, Kitabul Hajj, Mas’alah: Wa Man Sa’a Baina Ash-Shafa wal Marwah ‘ala Ghairi Thaharah)
Al-Imam Al-Hasan al-Basri rahimahullah memiliki pendapat yang menyelisihi pendapat jumhur ini. Diriwayatkan dari beliau adanya persyaratan thaharah ketika mengerjakan sa’i. Kata Ibnu Rusyd, “Karena beliau menyerupakan sa’i dengan thawaf.” (Bidayatul Mujtahid, hlm. 320)
Namun yang rajih/kuat adalah pendapat yang dipegangi jumhur karena kuatnya dalil mereka.

• Thawaf Wada’ (thawaf perpisahan sebelum meninggalkan Ka’bah untuk pulang ke negerinya) bagi Wanita Haid

Seluruh ahlul ilmi berpandangan bahwa wanita haid tidak wajib mengerjakan thawaf wada’, sementara thawaf ini wajib bagi selain wanita haid. Mereka berdalil dengan hadits-hadits berikut.
1. Hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha:
أَنَّ صَفِيَّةَ بِنْتَ حُيَيّ زَوْجَ النَّبِيِّ حَاضَتْ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُوْلِ اللهِ فَقَالَ: أَحَابِسَتُنَا هِيَ؟ قَالُوْا: إِنَّهَا قَدْ أَفَاضَتْ. قَالَ: فَلاَ إِذًا
Shafiyah bintu Huyai istri Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam ditimpa haid. Aku pun menyampaikan hal tersebut kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, maka beliau bersabda, “Apakah berarti ia akan menahan kita (untuk menunggunya suci dari haid guna mengerjakan thawaf ifadhah) [5]?” Mereka menjawab, “Ia telah mengerjakan thawaf ifadhah (sebelum ditimpa haid).” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berkata, “Kalau begitu dia tidak menahan kita.” (HR. Al-Bukhari no. 1757)
Dalam riwayat lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
فَلْتَنْفِرْ
“Berarti hendaklah dia berangkat pulang.” (HR. Al-Bukhari no. 4401 dan Muslim no. 3209)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam tidak memerintahkan Shafiyah Radhiyallahu 'anha untuk membayar fidyah ataupun lainnya, sehingga ini menjadi dalil tidak wajibnya thawaf wada’ bagi wanita haid. (Al-Mughni, Kitabul Hajj, Mas’alah: Wal Mar’ah idza Hadhat Qabla an Tuwaddi’a Kharajat wa la Wada’ alaiha wa la Fidyah)
2. Hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:
أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُوْنَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ إِلاَّ أَنَّهُ خُفِّفَ عَنِ الْمَرْأَةِ الْحَائِضِ
“Manusia diperintah agar akhir dari perkara mereka (sebelum meninggalkan Ka’bah/Makkah) adalah melakukan thawaf di Baitullah, kecuali wanita haid yang diberi keringanan dari kewajiban ini.” (HR. Al-Bukhari no. 329 dan Muslim no. 3207)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini merupakan dalil wajibnya thawaf wada’ bagi selain wanita haid, dan gugurnya kewajiban ini dari wanita haid, serta tidak ada keharusan baginya untuk membayar dam karena meninggalkan thawaf wada’. Ini adalah mazhab Asy-Syafi’i, Malik, Abu Hanifah, Ahmad, dan ulama secara keseluruhan, kecuali yang dihikayatkan oleh Ibnul Mundzir dari Umar, Ibnu Umar, dan Zaid bin Tsabit Radhiyallahu 'anhum, mereka memerintahkan wanita haid untuk tetap tinggal di Makkah (sampai suci) guna mengerjakan thawaf wada’.” (Al-Minhaj, 9/84)
Namun diriwayatkan bahwa mereka rujuk dari pendapat ini (Al-Mughni Kitabul Hajj, Mas’alah: Wal Mar’ah idza Hadhat Qabla an Tuwaddi’a Kharajat wa la Wada’ alaiha wa la Fidyah), dan akhirnya berpendapat bahwa hal itu tidak wajib. Rujuknya mereka bisa kita lihat pada riwayat-riwayat berikut ini.
[Rujuk Zaid ibnu Tsabit Radhiyallahu 'anhu]
Al-Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dalam Shahihnya (no. 3208) dari Thawus, ia berkata, “Aku pernah bersama Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma ketika Zaid ibnu Tsabit Radhiyallahu 'anhu berkata, ‘Apakah engkau berfatwa wanita haid boleh pergi (meninggalkan Makkah) sebelum mereka mengerjakan thawaf wada?’.”
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma berkata kepadanya, ‘Jika tidak seperti itu, silakan engkau bertanya kepada Fulanah wanita dari kalangan Anshar, apakah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkannya untuk melakukan thawaf wada?’
Zaid kembali kepada Ibnu Abbas sambil tertawa dan berkata, ‘Tidaklah aku semakin yakin bahwa fatwamu memang benar’.”
[Rujuk Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma]
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dalam Shahih-nya (no. 1761) meriwayatkan dari Thawus, ia berkata, “Aku pernah mendengar Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma berkata, ‘Wanita haid tidak boleh meninggalkan Ka’bah/Makkah (sebelum thawaf wada’).’ Setelah itu aku mendengar ia berkata, ‘Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam memberikan keringanan bagi mereka (wanita yang haid dari mengerjakan thawaf wada’)’.”
[Rujuk Umar Radhiyallahu 'anhu]
Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya dari Nafi’, ia berkata, “Umar ibnul Khaththab Radhiyallahu 'anhu mengembalikan para wanita yang telah melakukan thawaf ifadhah pada hari Nahr (menyembelih). Para wanita itu kemudian tertimpa haid dan meninggalkan Makkah. Namun, Umar mengembalikan mereka. Mereka harus menunggu sampai mereka suci dan mengerjakan thawaf wada’ di Baitullah setelah sucinya. Setelah itu sampai kepada Umar hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam yang berbeda dengan apa yang diperbuatnya, ia pun tidak melakukan lagi perbuatannya yang pertama.”

• Hukum Memakai Obat Pencegah Haid Selama Haji dan Umrah

Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin rahimahullah menyatakan, tidak mengapa memakai obat-obatan pencegah haid selama pelaksanaan haji dan umrah karena adanya hajat/kebutuhan. Akan tetapi, pemakaiannya harus meminta pertimbangan dokter terlebih dahulu, karena terkadang obat-obatan tersebut ada mudarat/efek sampingnya, sehingga si wanita bisa terkena mudaratnya. (Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh Ibni Utsaimin, 22/392)

Catatan kaki:

[1] Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam memang mempersilakan para sahabatnya untuk memilih jenis haji yang hendak ditunaikan. Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
مَنْ أَرَادَ مِنْكُمْ أَنْ يُهِلَّ بِحَجٍ وَعُمْرَةٍ فَلْيَفْعَلْ، وَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُهِلَّ بِحَجٍ فَلْيُهِلَّ، وَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُهِلَّ بِعُمْرَةٍ فَلْيُهِلَّ
“Siapa di antara kalian yang ingin berihlal/bertalbiyah dengan haji dan umrah maka silakan ia lakukan. Siapa di antara kalian yang ingin berihlal dengan haji maka silakan ia berihlal. Dan siapa yang ingin untuk berihlal dengan umrah maka berihlal-lah.” (HR. Muslim no. 2905)

[2] Sehingga yang semula ingin melaksanakan haji qiran diganti menjadi haji tamattu’. Karena, ketika sampai di Makkah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepada para sahabatnya, “Jadikanlah talbiyah kalian umrah.” Seselesainya dari amalan umrah, orang-orang pun bertahallul kecuali orang yang membawa hadyu. (HR. Al-Bukhari no. 305 dan Muslim no. 2911)

[3] Al-Imam An-Nawawi rahimahullah setelah membawakan hadits di atas dalam syarahnya terhadap Shahih Muslim menyatakan, ada tiga masalah yang bagus yang bisa diambil dari hadits tersebut:
Pertama: Aisyah Radhiyallahu 'anha melaksanakan haji qiran dan tidak membatalkan umrahnya.
Kedua: Orang yang melaksanakan haji qiran cukup baginya satu thawaf dan satu sa’i untuk haji serta umrah. Ini madzhab Asy-Syafi’i dan jumhur ulama. Abu Hanifah dan sekelompok ulama lain berpendapat harus dua thawaf dan dua sa’i.
Ketiga: Pelaksanaan sa’i antara Shafa dan Marwah disyaratkan setelah thawaf yang shahih. Yang menunjukkan hal ini adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan Aisyah Radhiyallahu 'anha untuk melakukan semua yang dilakukan oleh orang yang berhaji (di saat ia mengadukan haidnya) kecuali thawaf di Baitullah. Aisyah juga tidak melakukan sa’i sebagaimana ia tidak berthawaf. Seandainya amalan sa’i tidak tergantung dengan thawaf yang harus dilakukan sebelumnya niscaya Aisyah tidak akan mengakhirkan pelaksanaan sa’i sampai ia suci. (Al-Minhaj, 8/393-394)

[4] Sementara, shalat lebih agung urusannya daripada thawaf. Bila seseorang tidak mampu memenuhi syarat-syarat shalat seperti thaharah dan lainnya, ia shalat sesuai keadaannya. Tentu thawaf lebih utama lagi kebolehannya. (Majmu’ Fatawa, 26/245)

[5] Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan, “Apakah ia akan menahan kita untuk meninggalkan Makkah pada waktu yang kita inginkan?” karena beliau menyangka Shafiyah belum mengerjakan thawaf ifadhah. Hanyalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mengucapkan seperti ini karena beliau Shallallahu 'alaihi wasallam tidak mungkin meninggalkan Shafiyah di Makkah dan pulang ke Madinah. Tidak mungkin pula beliau Shallallahu 'alaihi wasallam menyuruh Shafiyah pulang bersama beliau Shallallahu 'alaihi wasallam dalam keadaan Shafiyah masih muhrim, sehingga beliau butuh tetap tinggal di Makkah menemani istrinya sampai ia suci dan bisa mengerjakan thawaf lalu tahallul dengan tahallul yang kedua. (Fathul Bari, 3/741)

Sumber: Asy Syariah Edisi 060—061

*) Lihat postingan Tentang Umrah dari Tanim

Tentang WANITA MEMOTONG RAMBUT

Ummu Salamah As Salafiyah Al Abbasiyah hafizhahallahu taala
 
Diriwayatkan oleh Abu Dawud 5/458 dengan sanad yang shohih dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, bahwasanya Rosululloh Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
لَيْسَ عَلَى النِّسَاءِ حَلْقٌ إِنَّمَا عَلَى النِّسَاءِ التَّقْصِير
Artinya: Tidak diperbolehkan bagi wanita menggundul rambut akan tetapi boleh bagi dia untuk memotongnya. (AL JAMI ASH-SHOHIH No.1403)
 
Ditanyakan kepada Lajnah Daimah tentang hukum mencukur rambut kepala bagi wanita.
Maka jawabannya: Tidak boleh bagi wanita mencukur rambut kepalanya kecuali dalam keadaan darurat. (FATAWA LAJNAH DAIMAH 5/196)
 
Diriwayatkan oleh Imam Muslim No. 320 dari Abu Salamah Bin Abdurrohman, dia berkata:
 وَكَانَ أَزْوَاجُ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- يَأْخُذْنَ مِنْ رُءُوسِهِنَّ حَتَّى تَكُونَ كَالْوَفْرَةِ
Artinya: Dahulu para istri nabi Shallallahu 'alaihi wasallam memotong rambut kepala mereka sampai seperti Alwafroh.

Berkata Imam An-Nawawi rohimahulloh: Alwafroh itu lebih panjang dari Al-limmah, dan Al-limmah itu rambut yang panjangnya mendekati pundak, sebagaimana dikatakan oleh Al Ashmaiy.
Berkata Alqodhi Iyadh rohimahulloh: Yang maruf (dikenal) dari para wanita arab adalah kebiasaan mereka membuat jalinan-jalinan rambut (di kepala mereka), dan mungkin saja para istri Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam melakukan hal tersebut (yakni memotong rambut) setelah wafatnya Rosululloh Shallallahu 'alaihi wasallam karena mereka meninggalkan berhias dan tidak butuh untuk memanjangkan rambut-rambut mereka juga untuk meringankan biaya perawatannya.
Dan yang disebutkan oleh Alqodhi Iyadh ini, bahwasanya mereka memotong rambut-rambut mereka setelah wafatnya Rosululloh Shallallahu 'alaihi wasallam bukan pada masa hidup beliau yang mana pendapat ini juga dikatakan oleh selain Alqodhy, pendapat inilah yang benar. Jadi jangan disangka  bahwasanya mereka memotong rambut mereka di masa hidup Rosululloh Shallallahu 'alaihi wasallam. Dan dalam hadis ini terdapat dalil diperbolehkannya memotong rambut bagi wanita. Wa Allahu A`lam. (SYARH SHOHIH MUSLIM  3/229)
 
Syaikh Sholeh Fauzan Hafizhohulloh ditanya tentang hukum memotong rambut bagi wanita. 
Maka beliau menjawab:
Allah menciptakan rambut kepala bagi wanita sebagai lambang kecantikan dan perhiasan baginya, dan diharamkan baginya untuk mencukur rambut tersebut kecuali dalam keadaan darurat. Bahkan disyariatkan bagi wanita didalam manasik haji dan umroh untuk memotong rambutnya seukuran ruas jari padahal dalam waktu yang sama disyariatkan bagi laki-laki untuk mencukurnya, hal ini menunjukkan bahwa seorang wanita dianjurkan untuk memanjangkan rambutnya dan tidak boleh memotongnya kecuali untuk suatu kebutuhan bukan untuk berhias, misalnya ada suatu penyakit yang mengharuskannya untuk memotong rambut, atau tidak memiliki kemampuan untuk membiayai perawatan rambut karena kefakirannya maka diperbolehkan baginya untuk mengurangi rambutnya dengan memotongnya seperti yang dilakukan oleh sebagian istri Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam setelah wafatnya beliau.
Adapun memotong rambut dengan tujuan bertasyabuh (menyerupai) dengan para wanita kafir dan wanita-wanita fasiq, maka tidak diragukan lagi keharamannya. Walaupun jika hal itu telah menyebar dikalangan wanita muslimah selama asalnya adalah penyerupaan terhadap wanita kafir maka diharamkan, dan banyaknya orang dalam melakukan hal tersebut tidak membuat hal tersebut menjadi diperbolehkan karena Rosululloh Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan kaum itu. 
Dan Rosululloh Shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا
Bukan termasuk golongan kami orang-orang yang menyerupai selain kami.
Adapun batasan dalam hal itu (tasyabuh) adalah: Sesuatu yang menjadi adat kebiasaan orang-orang kafir dan khusus bagi mereka maka tidak diperbolehkan bagi kita untuk melakukannya dalam rangka menyerupai mereka, karena menyerupai mereka secara zhohir menunjukkan kecintaan terhadap mereka secara batin. Dan Allah Subhanahu wata'ala berfirman:
 وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Artinya: Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. [QS.Al-Maidah: 51]
Dan memberikan loyalitas kepada mereka berarti menunjukkan kecintaan terhadap mereka dan termasuk bentuk kecintaan terhadap mereka adalah menyerupai gaya hidup mereka.
(ALMUNTAQO MIN FATAWA ASY-SYAIKH ALFAUZAN 3/186)
 
Syaikh Al Utsaimin rohimahulloh ditanya tentang sebagian wanita yang memotong bagian depan rambutnya (yakni membuat poni).
Maka beliau menjawab:
Para fuqoha mazhab Hambali menyebutkan bahwasanya dimakruhkan bagi wanita untuk memotong sebagian rambutnya kecuali di dalam haji dan umroh, akan tetapi mereka tidak menyebutkan dalil dalam hal ini. Dan sebagian dari mereka ada yang mengharamkan hal tersebut kecuali di dalam haji dan umroh, akan tetapi saya pun tidak mengetahui dalil mereka dalam hal ini.
Dan pendapat yang benar menurut saya adalah: Jika para wanita itu memotong rambutnya dan potongan rambut tersebut sampai pada derajat menyerupai potongan rambut laki-laki atau potongan rambut wanita musyrik (wanita kafir) maka hal itu tidak diperbolehkan, karena Rosululloh Shallallahu 'alaihi wasallam melaknat wanita yang menyerupai laki-laki, dan beliau  juga bersabda: Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan kaum itu.  Akan tetapi jika tidak sampai pada derajat tersebut maka diperbolehkan. Dan walaupun saya mengatakan bahwa ini diperbolehkan tetapi saya (secara pribadi) tidak menyukainya dan tidak menganggap bagus hal tersebut.
(FATAWA ZINAH WA TAJMILIN NISA 14)
 
Syaikh Muqbil Bin Hadi Al Wadii rohimahulloh ditanya tentang hukum memotong rambut bagi wanita.
Maka beliau menjawab:
Jika seorang wanita membutuhkan hal tersebut, seperti jika terdapat ketombe atau luka di kepalanya atau rambut bertambah sangat panjang dan ingin memotongnya maka tidak mengapa, dan jika tidak ada (yakni tidak ada alasan sebagaimana tersebut) maka rambut itu merupakan perhiasan bagi wanita.
Dan disebutkan dalam Shohih Muslim bahwasanya sebagian istri Nabi memotong rambut mereka setelah wafatnya Nabi sampai seperti Alwafroh, yakni seperti tanaman yang biasa tumbuh dipadang gembala. Akan tetapi ini merupakan tindakan mereka sendiri, dan yang kami nasehatkan adalah agar membiarkan rambut tersebut (yakni tidak dipotong) karena rambut itu merupakan lambang kecantikan dan perhiasan bagi wanita. Dan yang lebih besar dari perkara ini jika terjadi penyerupaan terhadap musuh-musuh islam yang mana saat ini banyak kaum muslimin menyerupai musuh-musuh islam, bahkan sebagian wanita ada yang mewarnai rambut mereka dengan warna merah, dan jika melihat sebagian wanita memotong rambut mereka maka diapun melakukan hal itu juga, dan sebagian wanita ada yang meninggikan rambut-rambut mereka seperti punuk onta diatas kepalanya, maka inilah yang termasuk dalam sabda Rosululloh Shallallahu 'alaihi wasallam: Yang melenggak-lenggok jalannya dan kepala mereka seperti punuk onta. Alhadits.
(TUHFATUL MUJIB Hal 108)

# Diterjemahkan Oleh Ustadzah Aisyah (Mudarrisah di Mahad Darussalaf Bontang)

Sumber: darussalaf .co. id

Tentang SALAT SUNAH EMPAT RAKAAT SEBELUM ZUHUR DAN EMPAT RAKAAT SETELAH ZUHUR

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﺣَﺎﻓَﻆَ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﺭْﺑَﻊِ ﺭَﻛَﻌَﺎﺕٍ ﻗَﺒْﻞَ ﺍﻟﻈُّﻬْﺮِ ﻭَﺃَﺭْﺑَﻊٍ ﺑَﻌْﺪَﻫَﺎ ﺣَﺮُﻡَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ
“Barang siapa menjaga empat rakaat sebelum zuhur dan empat rakaat sesudahnya, haram atasnya neraka.” (HR. Abu Dawud no. 1269 dari Ummu Habibah radhiyallahu 'anha dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani)