Cari Blog Ini

Selasa, 30 September 2014

Tentang PEMANDIAN UMUM DAN SAUNA

Pertanyaan: Apa hukumnya kamar mandi uap (yang merupakan tempat pemandian umum bagi yang ingin mandi uap/sauna) yang sekarang banyak bermunculan? Apakah para wanita dan lelaki boleh masuk/mandi.di sana tanpa kain penutup tubuh? Berilah fatwa kepada kami tentang masalah ini, semoga antum mendapatkan pahala karenanya.

Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wal Ifta` menjawab: “Masuk pemandian umum yang berupa kamar mandi uap/sauna bagi lelaki tanpa kain penutup tubuh dilarang keras karena adanya sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dari hadits Jabir:
ﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻳُﺆْﻣِﻦُ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﺍﻟْﺂﺧِﺮِ ﻓَﻼَ ﻳَﺪْﺧُﻞِ ﺍﻟْﺤَﻤَّﺎﻡَ ﺇِﻻَّ ﺑِﻤِﺌْﺰَﺭٍ
"Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia masuk ke kamar mandi (umum) kecuali dengan mengenakan kain penutup tubuh.”
Diriwayatkan oleh An-Nasa`i dan Al-Hakim, ia menshahihkannya di atas syarat Muslim, dan hadits ini memiliki syawahid (pendukung). [1]

Para wanita juga terlarang masuk ke tempat pemandian umum. Ummul Mukminin Aisyah pernah berkata kepada para wanita yang biasa masuk ke tempat pemandian umum:
ﺃَﻧْﺘُﻦَّ ﺍﻟﻼَّﺋِﻲ ﻳَﺪْﺧُﻠْﻦَ ﻧِﺴَﺎﺋُﻜُﻦَّ ﺍﻟْﺤَﻤَّﺎﻣَﺎﺕِ؟ ﺳَﻤِﻌْﺖُ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪ ﻳَﻘُﻮْﻝُ: ﻣَﺎ ﻣِﻦِ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓٍ ﺗَﻀَﻊُ ﺛِﻴَﺎﺑَﻬَﺎ ﻓِﻲ ﻏَﻴْﺮِ ﺑَﻴْﺖِ ﺯَﻭْﺟِﻬَﺎ ﺇِﻻَّ ﻫَﺘَﻜَﺖِ ﺍﻟﺴِّﺘْﺮَ ﺑَﻴْﻨَﻬَﺎ ﻭَﺑَﻴْﻦَ ﺭَﺑِّﻬَﺎ
"Apakah kalian ini yang biasa membiarkan wanita-wanita kalian masuk ke tempat pemandian (umum)? Aku pernah mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Tidak ada seorang wanita pun yang melepas pakaiannya (tanpa busana) di selain rumah suaminya melainkan ia telah mengoyak penutup antara dia dan Rabbnya.” [2]
Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Al-Hakim, dan ia menshahihkannya di atas syarat Syaikhain (Al-Bukhari dan.Muslim) dan Adz-Dzahabi menyepakatinya. [3]

Dalam Musnad Al-Imam Ahmad yang dihasankan sanadnya oleh Al-Hafizh Ibnu Katsir disebutkan bahwa ‘Umar ibnul Khaththab berkata, “Wahai sekalian manusia, sungguh aku pernah mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻳُﺆْﻣِﻦُ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﺍﻟْﺂﺧِﺮِ ﻓَﻼَ ﻳَﻘْﻌُﺪْ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎﺋِﺪَﺓٍ ﻳُﺪَﺍﺭُ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﺍﻟْﺨَﻤْﺮُ، ﻭَﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻳُﺆْﻣِﻦُ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﺍﻟْﺂﺧِﺮِ ﻓَﻼَ ﻳَﺪْﺧُﻞِ ﺍﻟْﺤَﻤَّﺎﻡَ ﺇِﻻَّ ﺑِﺈِﺯَﺍﺭٍ، ﻭَﻣَﻦْ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﺗُﺆْﻣِﻦُ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﺍﻟْﺂﺧِﺮِ ﻓَﻼَ ﺗَﺪْﺧُﻞِ ﺍﻟْﺤَﻤَّﺎﻡَ
"Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah dia duduk di meja hidangan yang diedarkan di atasnya khamr. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia masuk ke kamar mandi (tempat pemandian umum) kecuali dengan memakai kain penutup tubuh. Siapa (di antara kaum wanita) yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia masuk ke kamar mandi (tempat pemandian umum).” [4]

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata, “Dan diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Ya’la Al-Mushili dan Al-Hafizh Abu Hatim Muhammad bin Hibban dalam Shahih-nya yang disebut Al-Anwa’ wat Taqasim, dari hadits Muhammad bin Tsabit bin Syarahbil, dari Abdullah bin Yazid Al-Khuthami, dari Abu Ayyub Al-Anshari, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻳُﺆْﻣِﻦُ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﺍﻟْﺂﺧِﺮِ ﻓَﻼَ ﻳَﺪْﺧُﻞِ ﺍﻟْﺤَﻤَّﺎﻡَ ﺇِﻻَّ ﺑِﻤِﺌْﺰَﺭٍ، ﻭَﻣَﻦْ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﺗُﺆْﻣِﻦُ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﺍﻟْﺂﺧِﺮِ ﻣِﻦْ ﻧِﺴَﺎﺋِﻜُﻢْ ﻓَﻼَ ﺗَﺪْﺧُﻞِ ﺍﻟْﺤَﻤَّﺎﻡَ
"Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia masuk ke kamar mandi (tempat pemandian umum) kecuali dengan memakai kain penutup tubuh. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir di antara wanita-wanita kalian maka janganlah ia masuk ke kamar mandi (tempat pemandian umum).”
Kata perawi: Aku mengatakan hal itu kepada ‘Umar bin Abdil ‘Aziz dalam masa kekhilafahannya, maka ia menulis surat kepada Abu Bakr bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm yang isinya, ‘Tanyakan kepada Muhammad bin Tsabit tentang haditsnya.’ Abu Bakr pun menanyakan kepada Muhammad, lalu ia menulis surat kepada ‘Umar bin Abdil ‘Aziz, maka ‘Umar melarang para wanita masuk ke kamar mandi umum. Demikianlah ‘Umar bin Abdil ‘Aziz. Ia telah menjalankan Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan sungguh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺑِﺴُﻨَّﺘِﻲ ﻭَﺳُﻨَّﺔِ ﺍﻟْﺨُﻠُﻔَﺎﺀِ ﺍﻟﺮَّﺍﺷِﺪِﻳْﻦَ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺪِﻱْ
"Wajib bagi kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnah para khalifah yang terbimbing setelahku.”
Kaum muslimin seluruhnya sepakat bahwa ‘Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahullah termasuk para pemimpin yang mendapatkan petunjuk dan termasuk khalifah yang beroleh bimbingan, yang mana mereka itu memutuskan dengan al-haq (kebenaran) dan selalu menuju kepada kebenaran.” (Selesai ucapan Al-Hafizh Ibnu Katsir)

Allah subhanahu wa ta’ala lah yang memberikan taufik. Shalawat dan salam semoga tertuju kepada nabi kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, demikian pula untuk keluarga dan pada sahabatnya.

(Fatwa no. 19397, kitab Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-’Ilmiyyah wal Ifta`, 17/49)

Sumber: Majalah Asy Syariah Online
__________________________________________
Keterangan:

1. Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan An-Nasa`i.

2. Sebagian pensyarah hadits ini berkata, “Tidak diberikan keringanan (rukhshah) bagi wanita untuk masuk kamar mandi umum karena seluruh anggota tubuhnya adalah aurat, dan tidak dibolehkan membukanya kecuali dalam keadaan darurat (boleh baginya masuk kamar mandi umum). Misalnya ia sakit sehingga harus masuk kamar mandi tersebut untuk pengobatan. Atau ia selesai dari nifas dan ingin mandi suci, atau junub sementara hawa sangat dingin dan ia tidak dapat menghangatkan air dalam keadaan ia khawatir memudaratkannya bila menggunakan air dingin. Tidak boleh bagi laki-laki masuk ke kamar mandi umum ini tanpa mengenakan penutup tubuh yang dapat menutupi bagian pusar dan lutut.” (‘Aunul Ma’bud, kitabul Hammam, bab satu)
Dalam ‘Aunul Ma’bud juga disebutkan bahwa wanita diperintah untuk menutup tubuhnya dan menjaganya agar tidak terlihat oleh ajnabi (bukan mahram) sehingga tidak pantas baginya untuk membuka auratnya sekalipun dalam keadaan sendirian kecuali di sisi suaminya. Bila ia membuka anggota tubuhnya di kamar mandi umum tanpa darurat maka sungguh ia telah mengoyak penutup yang Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan.

3. Dishahihkan Al-Imam Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi dan selainnya.

4. Asy-Syaikh Ahmad Syakir mengatakan tentang hadits ini, “Sanadnya dhaif.” (Akan tetapi hadits berikut ini mendukungnya.)
Faedah: Al-Imam Al-Albani berkata, “Wajib bagi suami istri untuk membuat kamar mandi di rumah mereka, dan janganlah seorang suami memperkenankan istrinya untuk masuk/mandi di kamar mandi pasar, karena hal itu diharamkan. Dalam hal ini ada beberapa hadits:
Pertama: Dari Jabir radhiyAllahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻳُﺆْﻣِﻦُ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﺍﻟْﺂﺧِﺮِ ﻓَﻠَﺎ ﻳُﺪْﺧِﻞْ ﺣَﻠِﻴْﻠَﺘَﻪُ ﺍﻟْﺤَﻤَّﺎﻡَ، ﻭَﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻳُﺆْﻣِﻦُ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﺍﻟْﺂﺧِﺮِ ﻓَﻠَﺎ ﻳَﺪْﺧُﻞِ ﺍﻟْﺤَﻤَّﺎﻡَ ﺇِﻻَّ ﺑِﻤِﺌْﺰَﺭٍ، ﻭَﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻳُﺆْﻣِﻦُ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﺍﻟَﺂﺧِﺮِ ﻓَﻠَﺎ ﻳَﺠْﻠِﺲْ ﻋَﻠﻰَ ﻣَﺎﺋِﺪَﺓٍ ﻳُﺪَﺍﺭُ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﺍﻟْﺨَﻤْﺮُ
"Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia memasukkan istrinya ke kamar mandi (umum). Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia masuk ke kamar mandi (umum) kecuali dengan memakai kain penutup tubuh. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia duduk di meja hidangan yang diedarkan di atasnya khamr.” (HR. Al-Hakim dan ini lafadznya, At-Tirmidzi, dll)
Kedua: Dari Ummud Darda, ia berkata, “Aku keluar dari kamar mandi umum. Lalu aku berjumpa dengan Rasulullah. Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dari mana engkau, wahai Ummud Darda`?” “Dari kamar mandi umum,” jawab Ummud Darda`. Rasulullah kemudian bersabda:
ﻭَﺍﻟَّﺬِﻱ ﻧَﻔْﺴِﻲ ﺑِﻴَﺪِﻩِ، ﻣﺎَ ﻣِﻦِ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓٍ ﺗَﻀَﻊُ ﺛِﻴَﺎﺑَﻬَﺎ ﻓِﻲ ﻏَﻴْﺮِ ﺑَﻴْﺖِ ﺃَﺣَﺪٍ ﻣِﻦْ ﺃُﻣَّﻬَﺎﺗِﻬَﺎ ﺇِﻟَّﺎ ﻭَﻫِﻲَ ﻫَﺎﺗِﻜَﺔُ ﻛُﻞِّ ﺳِﺘْﺮٍ ﺑَﻴْﻨَﻬَﺎ ﻭَﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ
"Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada seorang wanita pun yang melepas pakaiannya di selain rumah salah seorang dari ibunya melainkan ia telah mengoyak setiap penutup antara dia dan Ar-Rahman.” (HR. Ahmad, dll)
Ketiga: Hadits Aisyah radhiyAllahu ‘anha yang telah disebutkan di atas.
(Lihat kitab Adabuz Zafaf, hal. 67-69)

Tentang BERHIJAB DI HADAPAN ANAK KECIL

Pertanyaan: Di hadapan anak lelaki usia berapakah seorang wanita ajnabiyyah harus berhijab? Apakah ketika si anak telah mencapai tamyiz ataukah saat ia baligh?

Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin menjawab: “Allah berfirman ketika menyebutkan orang-orang yang diperkenankan melihat.perhiasan wanita (atau seorang wanita boleh menampakkan perhiasannya di hadapan mereka):
“…Atau anak-anak lelaki yang belum mengerti tentang aurat wanita.” (An-Nur: 31)
Dengan demikian bila seorang anak lelaki telah mengerti aurat wanita, yang membuatnya bisa menilai seorang wanita ketika memandangnya, dan ia banyak berbicara kepada si wanita (atau membicarakan wanita), maka tidak boleh wanita itu membuka perhiasannya di hadapan si anak (ia harus berhijab dari si anak). Adapun batas usianya, maka ini berbeda-beda pada setiap anak, ditinjau dari tabiatnya dan dengan siapa anak itu.biasa duduk-duduk (teman duduknya). Karena seorang anak kecil terkadang bisa mengerti perkara wanita bila ia biasa duduk dengan orang-orang yang banyak membicarakan tentang wanita. Seandainya ia tidak duduk atau tidak mendengar dari mereka, niscaya si anak tidak paham dan tidak akan peduli dengan wanita. Yang penting dalam perkara ini Allah 'Azza wa Jalla telah memberikan batasan dengan firman-Nya. Selama si anak belum mengerti aurat wanita dan tidak ambil peduli dengan perkara wanita maka si wanita boleh tidak berhijab di hadapannya.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab."

[Majmu’ah As’ilah Tuhimmu Al-Usrah Al-Muslimah]

Tentang BERPUASA KETIKA SAFAR

Asy-Syaikh Al-Albany rahimahullah

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ﺃَﻣَﺎ ﻳَﻜْﻔِﻴْﻚَ ﻓِﻲْ ﺳَﺒِﻴْﻞِ ﺍﻟﻠﻪِ، ﻭَﻣَﻊَ ﺭَﺳُﻮْﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ، ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﺼُﻮْﻡَ
“Tidakkah cukup bagimu dengan engkau berada di jalan Allah bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, sampai-sampai engkau harus berpuasa.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad (III/327):
“Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Al-Hubab, telah menceritakan kepadaku Husain bin Waqid dari Abuz Zubair dia berkata, “Saya mendengar Jabir menceritakan, “Nabi shallallahu alaihi wasallam melewati seseorang yang membolak balik punggungnya karena perutnya sakit. Maka beliau bertanya tentang keadaan orang tersebut, lalu mereka menjawab: “Dia sedang berpuasa, wahai nabi Allah.” Maka beliau memanggilnya dan menyuruhnya agar berbuka.” Lalu Jabir menyebutkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di atas.

Ini merupakan sanad yang shahih sesuai dengan syarat Muslim, dan hadits ini memiliki jalan-jalan yang lain dari Jabir dengan yang semakna di dalam Ash-Shahihain dan selainnya, dan sudah ditakhrij dalam Irwa’ul Ghalil no. 925.

Di dalam hadits di atas terdapat dalil yang jelas menunjukkan bahwa tidak boleh berpuasa ketika safar jika hal itu akan membahayakan orang yang berpuasa. Hal ini juga berdasarkan makna yang dipahami dari sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
ﻟَﻴْﺲَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺒِﺮِّ ﺍﻟﺼِّﻴَﺎﻡُ ﻓِﻲْ ﺍﻟﺴَّﻔَﺮِ
“Bukan termasuk kebaikan, berpuasa ketika safar.” (Al-Albany berkata di dalam Irwa’ul Ghalil no. 925: Muttafaqun alaih)
Juga sabdanya:
ﺃُﻭْﻟَﺌِﻚَ ﻫُﻢْ ﺍﻟْﻌُﺼَﺎﺓُ
“Mereka (yang berpuasa ketika safar) adalah orang-orang yang bermaksiat.” (Shahih Muslim no. 1114)

Adapun jika keadaannya tidak demikian (tidak membahayakan bagi yang berpuasa) maka dia diberi pilihan, jika dia menghendaki dia boleh berpuasa dan jika dia menghendaki dia juga boleh tidak berpuasa. Ini adalah kesimpulan dari hadits-hadits yang ada dalam bab (masalah) ini, jadi tidak ada pertentangan di antara hadits-hadits tersebut. Walhamdulillah.

Sumber:
Silsilah Ash-Shahihah no. 2595

Alih bahasa: Abu Almass

###

Soal:
Manakah yang lebih utama bagi musafir, berbuka ataukah terus berpuasa? Terutama pada safar (bepergian) yang tidak memberatkan, seperti dalam pesawat atau alat-alat transportasi modern lainnya?

Jawaban:
Yang lebih utama (afdhal) bagi orang yang berpuasa adalah berbuka saat safar, bagaimana pun keadaannya. Tetapi orang yang tetap berpuasa maka tidak ada dosa baginya, karena Rasulullah pernah melakukan keduanya, demikian pula para sahabatnya.
Namun, jika cuaca sangat panas dan rasa berat semakin bertambah, maka berbuka di saat itu sangat ditekankan bagi musafir dan justru dimakruhkan (dibenci) untuk tetap berpuasa.
Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melihat seorang lelaki yang sedang safar sangat kelelahan karena cuaca yang sangat panas dan dia tetap berpuasa, beliau bersabda, "Bukan termasuk kebaikan, jika tetap berpuasa saat safar." (HR. al-Bukhari no. 1946, dan Muslim no. 1115)
Juga berdasarkan sabda beliau yang lain, "Sesungguhnya Allah menyukai jika rukhshoh-Nya (keringanan hukum) diambil/dikerjakan, sebagaimana Dia membenci jika kemaksiatan dikerjakan." (HR. Ahmad no. 5866, shahih, lihat al-lrwa' no. 564)
Dalam lafazh lain, "Sebagaimana Dia menyukai jika perkara-perkara yang wajib dikerjakan."
Dan tidak ada perbedaan antara yang safar dengan mobil, unta, perahu, kapal ataupun pesawat, karena semuanya dihukumi sebagai safar, sehingga tetap berhak mendapatkan keringanan yang diberikan Allah kepada mereka. [Lihat Tuhfah al-lkhwan karya asy-Syaikh lbnu Baaz hal. 161]

Sumber:
Buletin Al Ilmu Edisi No. 32/VIII/XIII/1436 H

###

Orang yang melakukan safar baik safar tersebut menempuh jarak yang jauh atau pendek —demikian pula baik safar tersebut sifatnya insidental (tergantung keperluan) atau terus menerus seperti pilot pesawat dan sopir kendaraan angkutan (bis, travel dll)— maka yang demikian ini diberikan 2 pilihan: berpuasa atau berbuka (tidak berpuasa).
Berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala, “Dan barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (tidak berpuasa) maka (wajib mengganti) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (al-Baqarah: 185)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Kami pernah melakukan safar bersama Rasulullah, orang yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka dan orang yang berbuka tidak mencela orang yang berpuasa.” (Muttafaq ‘alaih)
Yang utama bagi orang yang safar pada bulan Ramadhan adalah melakukan sesuatu yang paling mudah baginya apakah puasa atau berbuka. Apabila kondisinya sama dalam arti tidak ada yang lebih berat atau ringan antara puasa dan berbuka maka yang lebih utama adalah berpuasa dalam rangka agar bersegera dalam menunaikan kewajiban, lebih memberi semangat baginya berpuasa bersama manusia dan juga mencontoh nabi yang pernah berpuasa ketika melakukan safar. Apabila orang yang safar mengalami kepayahan karena berpuasa maka wajib baginya untuk berbuka dan haram hukumnya untuk berpuasa. Karena Rasulullah pernah marah kepada orang-orang yang demikian ini seraya berkata, “Mereka telah berbuat maksiat, mereka telah berbuat maksiat.” (HR. Muslim no. 1878)
Sebagian ulama berpendapat bahwa berdasarkan dalil-dalil syar’i yang lebih utama bagi seorang musafir adalah berbuka secara mutlak baik safarnya terasa memberatkan atau tidak.

Apabila orang yang berpuasa melakukan safar di pertengahan hari dan dia kepayahan untuk menyempurnakan puasanya maka boleh baginya untuk berbuka apabila dia telah keluar dari daerahnya.
Sebagian ulama berpendapat membolehkan berbuka (tidak berpuasa) sejak dari rumahnya sebelum berangkat untuk melakukan safar seperti yang pernah dilakukan oleh sahabat Anas bin Malik.

Peringatan:
Yang mendapatkan keringanan bagi orang yang safar di sini adalah apabila dengan safarnya tersebut bukan bertujuan agar terbebas dari kewajiban puasa. Namun apabila safarnya adalah sekedar akal-akalan saja agar dapat keringanan untuk tidak berpuasa maka dia berdosa dan tetap terkena kewajiban puasa.

(Diringkas dari Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin 20/225-238 dengan beberapa catatan)

Penulis:
Abu ‘Abdirrahman Muhammad Rifqi

Sumber:
Buletin Al Ilmu Edisi No. 31/VIII/XIII/1436 H

###

Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz  رحمه الله

Pertanyaan:
من سافر بوسائل النقل المريحة هل يشرع له الفطر في رمضان؟
Seseorang melakukan perjalanan safar dengan menggunakan fasilitas kendaraan yang nyaman, apakah disyariatkan juga untuk berbuka di bulan Ramadhan?

Jawaban:
يقول الله تعالى: وَمَنْ كَانَ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ؛ فأباح الله الفطر في السفر إباحة مطلقة، والنبي صلى الله عليه وسلم يقول: ((إن الله يحب أن تؤتى رخصه كما يكره أن تؤتى معصيته))، والفطر في السفر سنة كما فعل ذلك النبي صلى الله عليه وسلم وأصحابه رضي الله عنهم، ولكن إذا علم بأن فطره في السفر سيثقل عليه القضاء فيما بعد، ويكلفه في المستقبل، ويخشى أن يشق عليه فصام ملاحظة لهذا المعنى فذلك خير، ولا حرج فيه سواء كانت وسائل النقل مريحة أو شاقة لإطلاق الأدلة. والله الموفق
Allah taala berfirman:
ومن كان منكم مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر
Barang siapa di antara kalian sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka hendaklah ia berpuasa sebanyak hari yang ia berbuka padanya pada hari-hari yang lain. (Surat al-Baqarah ayat 185)
Jadi, Allah membolehkan berbuka ketika safar dengan pembolehan yang mutlak. Dan Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إن الله يحب أن تؤتى رخصه كما يكره أن تؤتى معصيته
Sesungguhnya Allah menyukai untuk diambil rukhsah (keringanan) Nya sebagaimana Allah benci bila didatangi kemaksiatan-Nya. (HR. Ahmad di dalam Musnad al-Muktsirin minash shahabah baqi Musnad Ibnu Umar no. 5600)
Berbuka ketika safar merupakan sunnah sebagaimana yang pernah dikerjakan oleh Nabi shallallahu alaihi was sallam dan para shahabatnya radhiyallahu anhum.
Akan tetapi bila ia tahu bahwa berbukanya ketika dalam perjalanan itu akan memberatkan pelaksanaan qadha puasa setelahnya, membebaninya di kemudian hari, dan dikhawatirkan akan menyulitkannya, maka tetap berpuasa dengan mempertimbangkan berbagai perkara ini, maka itu lebih baik dan tidak mengapa, sama saja menggunakan fasilitas kendaraan yang nyaman atau yang memberatkan karena dalil-dalil yang bersifat mutlak. Allah  jualah yang memberi taufik.

Sumber: 
ibnbaz .org/node/481

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

Tentang MELAYAT ORANG NON-MUSLIM

Pertanyaan: Bolehkah seorang muslim berta’ziyah (melayat jenazah) orang kafir, bila jenazah itu adalah bapak atau ibunya, atau salah satu kerabatnya? Bila tidak berta’ziyah dan mengunjungi mereka, dia khawatir akan mendapatkan gangguan dari mereka, atau menjadi sebab menjauhnya mereka dari Islam.

Jawab:
Bila tujuan ta’ziyah tersebut adalah agar mereka tertarik kepada Islam, maka ini diperbolehkan. Ini termasuk maqashid syari’ah (tujuan syariat). Demikian pula bila dengan berta’ziyah itu dapat menghindarkan dirinya atau kaum muslimin dari gangguan mereka. Karena maslahat umum yang Islami menggugurkan sebagian mudarat yang ada pada perkara tersebut.
Wabillahit taufiq, washallalahu ‘ala nabiyyina Muhammad, wa alihi wa shahbihi wa sallam.

Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-’Ilmiyyah wal Ifta`
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Wakil: Abdurrazzaq Afifi
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Qu’ud

(Fatawa Al-Lajnah, 9/132, Pertanyaan kelima dari fatwa no. 1988)

Sumber: Asy-Syariah online

Tentang BERPUASA HARI ARAFAH MENGIKUTI PEMERINTAH SETEMPAT

Pertanyaan: Apabila berbeda penentuan Hari Arafah, sebagai konsekuensi perbedaan mathla’ hilal di masing-masing negeri, apakah kita berpuasa mengikuti ru’yah negeri yang kita tinggal padanya, ataukah mengikuti ru’yah Haramain (Saudi Arabia)?

asy-Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah menjawab, "Permasalahan ini sangat terkait dengan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Apakah hilal itu satu, berlaku untuk seluruh dunia, ataukah berbeda-beda sesuai perbedaan mathla’?
PENDAPAT YANG BENAR hilal itu berbeda-beda sesuai perbedaan mathla’ (yakni masing-masing negara berdasarkan ru’yah masing-masing). Misalnya, apabila hilal telah telihat di Makkah, dan hari itu (berdasarkan ru’yah tersebut) adalah hari ke-9; sementara di negeri lain hilal terlihat sehari sebelum Makkah, sehingga hari Arafah adalah hari ke-10 negeri tersebut. Maka mereka (penduduk negeri itu) TIDAK BOLEH BERPUASA pada hari tersebut, karena itu adalah Hari Raya (bagi penduduk negeri tersebut). Demikian pula kalau seandainya di sebuah negeri ru’yah-nya terlambat daripada Makkah. Sehingga tanggal 9 Makkah adalah masih tanggal 8 di negeri itu. Maka mereka berpuasa TANGGAL 9 MEREKA, yang BERTEPATAN DENGAN TANGGAL 10 DI MAKKAH.
INI ADALAH PENDAPAT YANG KUAT. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Kemudian apabila kalian melihat hilal (berikutnya) berhari rayalah.”
Hilal yang tidak terlihat di negeri mereka, berarti mereka tidak dikatakan “melihat hilal”. Sebagaimana manusia secara ijma memperhitungkan perbedaan terbitnya fajar dan tenggelamnya matahari di tiap-tiap tempat. Demikianlah waktu bulanan, seperti waktu harian.
(Majmu Fatawa wa Rasa’il Ibni ‘Utsaimin 20/47)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan:
ﻭﻟﻜﻦ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﺒﻠﺪﺍﻥ ﺗﺤﺖ ﺣﻜﻢ ﻭﺍﺣﺪ ﻭﺃﻣﺮ ﺣﺎﻛﻢ ﺍﻟﺒﻼﺩ ﺑﺎﻟﺼﻮﻡ، ﺃﻭ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﻭﺟﺐ ﺍﻣﺘﺜﺎﻝ ﺃﻣﺮﻩ؛ ﻷﻥ ﺍﻟﻤﺴﺄﻟﺔ ﺧﻼﻓﻴﺔ، ﻭﺣﻜﻢ ﺍﻟﺤﺎﻛﻢ ﻳﺮﻓﻊ ﺍﻟﺨﻼﻑ .
ﻭﺑﻨﺎﺀ ﻋﻠﻰ ﻫﺬﺍ ﺻﻮﻣﻮﺍ ﻭﺃﻓﻄﺮﻭﺍ ﻛﻤﺎ ﻳﺼﻮﻡ ﻭﻳﻔﻄﺮ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺒﻠﺪ ﺍﻟﺬﻱ ﺃﻧﺘﻢ ﻓﻴﻪ ﺳﻮﺍﺀ ﻭﺍﻓﻖ ﺑﻠﺪﻛﻢ ﺍﻷﺻﻠﻲ ﺃﻭ ﺧﺎﻟﻔﻪ، ﻭﻛﺬﻟﻚ ﻳﻮﻡ ﻋﺮﻓﺔ ﺍﺗﺒﻌﻮﺍ ﺍﻟﺒﻠﺪ ﺍﻟﺬﻱ ﺃﻧﺘﻢ ﻓﻴﻪ .
✏ ﻛﺘﺒﻪ ﻣﺤﻤﺪ ﺍﻟﺼﺎﻟﺢ ﺍﻟﻌﺜﻴﻤﻴﻦ
ﻓﻲ 28/8/1420 ﻫـ .
Apabila berbagai daerah itu di bawah satu hukum negara, dan pemerintah negara telah memutuskan puasa atau hari raya, maka WAJIB MELAKSANAKAN KEPUTUSAN TERSEBUT. Karena permasalahan ini (yakni apakah hilal itu satu berlaku untuk seluruh dunia, ataukah masing-masing negara berdasarkan ru’yahnya sendiri-sendiri) adalah masalah khilafiyyah, sedangkan keputusan pemerintah menyelesaikan (menyudahi) perselisihan tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, maka berpuasalah dan berhari-rayalah sebagaimana penduduk negeri yang antum ada di situ, baik mencocoki negeri aslimu ataukah tidak. DEMIKIAN PULA HARI ARAFAH, IKUTILAH NEGERI YANG ANTUM BERADA PADANYA.
Ditulis oleh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin pada 28/8/1420 H
(Lihat Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Ibni ‘Utsaimin 19/41)

Tentang BERKURBAN LEBIH DARI SATU EKOR

Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin ditanya tentang berkurban lebih dari ekor bagi orang yang mampu, dengan dalil bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah berkurban dengan dua ekor domba.

Beliau menjawab, “Yang lebih afdhal adalah seseorang tidak menambah lebih dari satu ekor domba untuk dia dan keluarganya. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dahulu berkurban dengan satu ekor domba untuk beliau dan keluarga beliau. Dan telah diketahui bersama bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah makhluk yang paling mulia, dan beliau adalah orang yang paling cinta dan mengangungkan peribadahan kepada Allah. Adapun apa yang disebutkan bahwa beliau pernah berkurban dengan dua ekor domba, maka domba yang kedua bukan untuk keluarga beliau tapi untuk umatnya. Atas dasar ini, maka yang lebih afdhal adalah berkurban dengan satu ekor untuk orang tersebut (yang berkurban) dan keluarganya. Dan barangsiapa memiliki kelebihan uang hendaknya ia sedehkankan sedikit (uang tersebut) atau dalam bentuk makanan atau yang semisalnya dan dikirim ke negeri lain yang membutuhkannya atau kepada orang yang membutuhkan di daerahnya, karena biasanya di daerahnya sendiri ada orang-orang yang membutuhkan."

Sumber: Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin 25/46