Cari Blog Ini

Kamis, 16 Juli 2015

Tentang SALING MENGUCAPKAN SELAMAT PADA HARI RAYA IDUL FITRI DAN IDUL ADHA

Dari Jubair bin Nufair berkata, "Dulu para shahabat Nabi jika bertemu pada hari 'Id, yang satu mengucapkan pada lain: Taqabbalallahu minna wa minka
(Semoga Allah menerima (amalan) dari kami dan dari anda). (Diriwayatkan oleh Al-Muhamili)
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari (2/446), "Sanadnya hasan (baik)."

Asy-Syaikh Bin Baz berkata: "Tidak mengapa seorang muslim mengatakan kepada saudaranya sesama muslim (pada Hari Raya): Taqabbalallahu minna wa minka a'malana ash-shalihah (Semoga Allah menerima amal-amal shalih dari kami dan dari Anda), dan saya tidak mengetahui ada nash khusus. Seorang muslim mendoakan saudaranya dengan doa yang baik, berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak." (Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutanavwvi'ah Xlll/25)

Fadhilatu asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah pernah ditanya:
"Apa hukum mengucapkan selamat hari raya Ied? Apakah ada kalimat khusus tentangnya?"
Beliau menjawab,
"Mengucapkan selamat Hari Raya Ied hukumnya BOLEH, dan tidak ada ucapan yang bersifat khusus. Bahkan ucapan yang telah menjadi kebiasaan manusia itu boleh, selama tidak mengandung dosa."
(Majmu Fatawa wa Rasail al-Utsaimin 16/208-210)

Fadhilatu asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, apakah ada bentuk kalimat yang dihafal dari para salaf terkait ucapan selamat pada hari raya ied?
Beliau menjawab,
"Mengucapkan selamat hari raya Ied telah dilakukan oleh sebagian shahabat radhiyallaahu 'anhum.
Kalaupun dikatakan belum pernah terjadi pada masa shahabat, namun ini sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh manusia. Mereka saling mengucapkan selamat satu sama lain dengan sampainya mereka pada hari Ied dan sempurnanya puasa dan qiyamul lail.
Akan tetapi, satu perkara yang terkadang mengganggu dan tidak ada faktor pendorong untuk melakukannya adalah permasalahan mengecup. Sebagian orang, jika mengucapkan selamat hari raya Ied, mereka mengecup. Yang seperti ini tidak ada alasan yang mendukung, tidak ada kebutuhan padanya.
Jadi, cukup dengan berjabat tangan dan mengucap selamat."
(Majmu Fatawa wa Rasail al-Utsaimin 16/208)

Majmu'ah Manhajul Anbiya

Tentang PULANG PERGI KE TEMPAT SALAT ID DENGAN BERJALAN KAKI DAN PULANG KE RUMAH MELALUI RUTE JALAN YANG BERBEDA

Diriwayatkan dari Abu Rafi' bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam dahulu keluar menuju dua shalat Ied dengan berjalan kaki. Beliau melaksanakan shalat tanpa ada adzan dan iqomah. Setelah selesai, beliau pulang ke rumah dengan berjalan kaki melalui rute jalan yang berbeda.
HR ath-Thabarani no. 943, dishahihkan oleh Al-Albaniy dalam al-Irwa' no. 636

Ali bin Abi Tholib Radhiyallahu anhu berkata:
ﻣِﻦَ ﺍﻟﺴُّﻨَّﺔِ ﺃَﻥْ ﺗَﺨْﺮُﺝَ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﻌِﻴْﺪِ ﻣَﺎﺷِﻴًﺎ
“Di antara sunnah, kamu keluar menuju ied sambil jalan.” [HR.At-Tirmidzy dalam As-Sunan (2/410); dihasankan Al-Albany dalam Shohih Sunan At-Tirmidzy (530)]

Fadhilatu asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, "Yang sesuai sunnah, seseorang pergi menuju mushalla Ied dengan berjalan ataukah berkendara?"
Beliau menjawab,
"Disunnahkan baginya untuk BERJALAN. Kecuali jika dia butuh untuk menaiki kendaraan maka tidak mengapa ia berkendara."
(Majmu Fatawa wa Rasail al-Utsaimin 16/222)

Beliau rahimahullah juga berkata,
"Disyariatkan bagi siapa saja yang keluar dari rumahnya untuk melaksanakan shalat Ied, untuk dia berangkat melintasi satu jalan dan ketika pulang melintasi jalan yang berbeda. Hal ini dalam rangka meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Sunnah yang demikian tidaklah ada pada shalat-shalat yang lain. Tidak pada shalat Jum'at atau selainnya, namun hanya khusus pada shalat Ied."
(Majmu Fatawa wa Rasail al-Utsaimin 16/222)

Dari Jabir, ia berkata:
ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺇِﺫَﺍ ﻛَﺎﻥَ ﻳَﻮْﻡُ ﻋِﻴﺪٍ ﺧَﺎﻟَﻒَ ﺍﻟﻄَّﺮِﻳﻖ
“Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam apabila di hari Id, beliau mengambil jalan yang berbeda.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Man Khalafa Thariq Idza Raja’a, Fathul Bari karya Ibnu Hajar, 2/472986, karya Ibnu Rajab, 6/163 no. 986)

Ibnu Rajab berkata: “Banyak ulama menganggap sunnah bagi imam atau selainnya, bila pergi melalui suatu jalan menuju Shalat Id maka pulang dari jalan yang lainnya. Dan itu adalah pendapat Al-Imam Malik, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i dan Ahmad. Dan seandainya pulang dari jalan itu, maka tidak dimakruhkan.”
Para ulama menyebutkan beberapa hikmahnya, di antaranya agar lebih banyak bertemu sesama muslimin untuk memberi salam dan menumbuhkan rasa cinta. (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/166-167. Lihat pula Zadul Ma’ad, 1/433)

Fadhilatu asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, "Apa hikmah dari membedakan jalan berangkat dan pulang pada hari Ied?"
Beliau menjawab,
"Yang pertama adalah meneladani Nabi shallallahu alaihi wa sallam, karena perbuatan ini termasuk sunnah.
Kedua, termasuk hikmahnya adalah menampakkan syiar, yakni syiar shalat Ied di seluruh pasar-pasar dari setiap kota.
Ketiga, termasuk hikmahnya pula, mengunjungi orang-orang yang berada di pasar-pasar, dari kalangan orang fakir dan selain mereka.
Keempat, para ulama menyebutkan, di antara hikmahnya pula bahwa kedua jalan yang dilewati itu akan bersaksi untuknya atas (amal kebaikan) pada hari kiamat nanti."
(Majmu Fatawa wa Rasail al-Utsaimin 16/237)

Tentang BERHIAS, MEMAKAI WEWANGIAN DAN PAKAIAN YANG TERBAIK KETIKA HARI RAYA

Dari Abdullah bin Umar bahwa Umar mengambil sebuah jubah dari sutera yang dijual di pasar maka dia bawa kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, lalu Umar radhiyallahu 'anhu berkata:
“Wahai Rasulullah, belilah ini dan berhiaslah dengan pakaian ini untuk hari raya dan menyambut utusan-utusan.”
Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam pun berkata: “Ini adalah pakaian orang yang tidak akan dapat bagian (di akhirat)….” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabul Jum’ah Bab Fil ‘Idain wat Tajammul fihi dan Muslim Kitab Libas Waz Zinah)
Ibnu Rajab berkata: “Hadits ini menunjukkan disyariatkannya berhias untuk hari raya dan bahwa ini perkara yang biasa di antara mereka.” (Fathul Bari)

Dari Jabir radhialahu anhu, dia berkata, "Adalah Nabi shallallahu alaihi wa sallam memiliki gamis yang biasa beliau pakai untuk shalat dua Hari Raya dan hari Jumat." (Shahih Ibnu Khuzaimah, no. 1765)

Bahwa Ibnu 'Umar mengenakan bajunya yang terbaik ketika Hari Raya. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi, dengan sanad hasan. Lihat Fathul Bari, syarh hadits no. 948)

Dari Musa bin ‘Uqbah, dari Nafi’ bahwa Ibnu ‘Umar mandi dan memakai wewangian di hari Idul fitri. (Riwayat Al-Firyabi dan Abdurrazzaq)

Al-Baghawi berkata:
“Disunnahkan untuk mandi di hari Id. Diriwayatkan dari Ali bahwa beliau mandi di hari Id, demikian pula yang sejenis itu dari Ibnu Umar dan Salamah bin Akwa’ dan agar memakai pakaian yang paling bagus yang dia dapati serta agar memakai wewangian.” (Syarhus Sunnah, 4/303)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin ditanya tentang hukum-hukum ‘Id dan sunnah-sunnahnya, beliau menjawab,
“Hendaknya seseorang memakai pakaiannya yang terbaik.
Ini untuk KAUM PRIA.
Adapun kaum wanita maka TIDAK BOLEH memakai pakaian yang bagus ketika keluar menuju Mushalla (tanah lapangan untuk pelaksanaan shalat).
Nabi -shallahu’alaihi wasallam-bersabda "Hendaknya mereka keluar dalam kondisi biasa." (HR. Abu Dawud 565)
Yakni memakai baju biasa, bukan baju berhias.
Haram bagi mereka keluar memakai wangi-wangian dan bersolek.
(Majmu Fatawa wa Rasail al-'Utsaimin 16/216)