Cari Blog Ini

Minggu, 16 Agustus 2015

Tentang SALAWAT NARIYAH, SALAWAT BADAR, SALAWAT BURDATUL BUSHIRI, DAN SALAWAT ALA SUFI LAINNYA

Shalawat Nabi bukanlah amalan yang asing bagi seorang muslim. Hampir-hampir setiap majlis ta’lim ataupun acara ritual tertentu tidak pernah lengang dari dengungan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad. Terlebih bagi seorang muslim yang merindukan syafa’atnya, ia pun selalu melantunkan shalawat dan salam tersebut setiap kali disebutkan nama beliau. Karena memang shalawat kepada beliau merupakan ibadah mulia yang diperintahkan oleh Allah.

Allah berfirman (artinya): “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian kepada Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.” (Al Ahzab: 56)

Rasulullah bersabda (artinya): “Barangsiapa bershalawat kepadaku sekali saja, niscaya Allah akan membalasnya dengan shalawat sepuluh kali lipat.” (H.R. Al Hakim dan Ibnu Sunni, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’)

Demikianlah kedudukan shalawat Nabi dalam agama Islam. Tidak semua shalawat yang dikenal oleh masyarakat merupakan shalawat yang dikenal oleh syariat. Maka sudah semestinya kita mengetahui jenis-jenis shalawat yang tidak ada tuntunannya sama sekali dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Ini penting mengingat sebagian kaum muslimin banyak mengamalkannya, bahkan melantunkannya melalui nasyid-nasyid.

Sebaik-baik shalawat, tentunya yang sesuai dengan petunjuk Nabi dan sejelek-jelek shalawat adalah yang menyelisihi petunjuknya. Karena beliau lebih mengerti shalawat manakah yang paling sesuai untuk diri beliau. Di antara shalawat-shalawat yang telah dituntunkan oleh Nabi kepada umatnya, yaitu:
اللّهُمَّ صّلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، اللهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
“Ya, Allah curahkanlah shalawat kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah curahkan shalawat kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah, curahkanlah barakah kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah curahkan barakah kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Adapun shalawat-shalawat yang menyelisihi tuntunan Nabi maka cukup banyak juga, di antaranya beberapa shalawat yang biasa dilantunkan oleh orang-orang Sufi ataupun orang-orang yang tanpa disadari terpengaruh dengan mereka. Shalawat-shalawat itu biasanya dibuat oleh pemimpin tarekat sufi tertentu yang dianggap baik oleh sebagian umat Islam kemudian disebarkan hingga diamalkan secara turun temurun. Padahal jika shalawat-shalawat semacam itu diperhatikan secara cermat, akan nampak berbagai penyimpangan berupa kesyirikan, bid’ah, ghuluw terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dan sebagainya.

Shalawat-shalawat ala sufi itu antara lain:

1. Shalawat Nariyah

Shalawat jenis ini banyak tersebar dan diamalkan di kalangan kaum muslimin. Bahkan ada yang menuliskan lafadznya di sebagian dinding masjid. Mereka berkeyakinan, siapa yang membacanya 4444 kali, hajatnya akan terpenuhi atau akan dihilangkan kesulitan yang dialaminya. Berikut nash shalawatnya:
اللهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلاَمًا تآمًا عَلَى سَيِّدِنَا مًحَمَّدٍ الَّذِي تُنْحَلُ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَ تُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِيْمِ وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَعَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ عَدَدَ كَلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ
“Ya Allah, berikanlah shalawat yang sempurna dan salam yang sempurna kepada Baginda kami Muhammad yang dengannya terlepas dari ikatan (kesusahan) dan dibebaskan dari kesulitan. Dan dengannya pula ditunaikan hajat dan diperoleh segala keinginan dan kematian yang baik, dan memberi siraman (kebahagiaan) kepada orang yang sedih dengan wajahnya yang mulia, dan kepada keluarganya, para shahabatnya, dengan seluruh ilmu yang Engkau miliki.”

Ada beberapa hal yang perlu dijadikan catatan berkaitan dengan shalawat ini:
1- Sesungguhnya aqidah tauhid yang diseru oleh Al Qur’anul Karim dan yang diajarkan kepada kita dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengharuskan setiap muslim untuk berkeyakinan bahwa Allah-lah satu-satunya yang melepaskan ikatan (kesusahan), membebaskan dari kesulitan, yang menunaikan hajat, dan memberikan manusia apa yang mereka minta. Tidak diperbolehkan bagi seorang muslim berdoa kepada selain Allah untuk menghilangkan kesedihan atau menyembuhkan penyakitnya meski yang diminta itu seorang malaikat yang dekat atau nabi yang diutus. Telah disebutkan dalam berbagai ayat Al Qur’an yang menjelaskan haramnya meminta pertolongan, berdoa, dan semacamnya dari berbagai jenis ibadah kepada selain Allah. Firman Allah:
قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِهِ فَلاَ يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنْكُمْ وَلاَ تَحْوِيلاً
“Katakanlah: ‘Panggillah mereka yang kamu anggap (sebagai Tuhan) selain Allah. Maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak pula memindahkannya’.” (Al-Isra: 56)
Para ahli tafsir menjelaskan, ayat ini turun berkenaan dengan kaum yang berdoa kepada Al-Masih ‘Isa, atau malaikat, ataukah sosok-sosok yang shalih dari kalangan jin. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/47-48)
2- Bagaimana mungkin Rasulullah shallallahu alaihi wasallam rela dikatakan bahwa dirinya mampu melepaskan kesulitan, menghilangkan kesusahan dsb, sedangkan Al Qur’an menyuruh beliau untuk berkata:
قُلْ لاَ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلاَ ضَرًّا إِلاَّ مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاَسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلاَّ نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Katakanlah: ‘Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman’.” (Al-A’raf: 188)
Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam lalu mengatakan, مَا شَاءَ اللهَُ وَ شِئْتَ “Berdasarkan kehendak Allah dan kehendakmu.” Maka beliau bersabda:
أَجَعَلْتَنِيْ لِلَّهِ نِدًّا؟
“Apakah engkau hendak menjadikan aku sebagai sekutu bagi Allah? Ucapkanlah:
مَا شَاءَ اللهَُ وَحْدَهُ
Berdasarkan kehendak Allah semata.” (HR. An-Nasai dengan sanad yang hasan) [Lihat Minhaj Al-Firqatin Najiyah 227-228, Muhammad Jamil Zainu]

Maka dari itu, jelaslah dari beberapa dalil di atas bahwasanya Shalawat Nariyah terkandung padanya unsur pengkultusan yang berlebihan terhadap diri Nabi Shallallahu alaihi wasallam hingga menyejajarkannya dengan Allah Taala. Tentunya yang demikian ini merupakan salah satu bentuk kesyirikan yang dimurkai oleh Allah dan Nabi-Nya.

2. Shalawat Badar

Lafadz shalawat ini sebagai berikut:
ﺻَـﻼ َﺓُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺳَـﻼ َﻡُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻋَـﻠَﻰ ﻃـﻪَ ﺭَﺳُـﻮْﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ
ﺻَـﻼ َﺓُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺳَـﻼ َﻡُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻋَـﻠَﻰ ﻳـﺲ ﺣَﺒِﻴْـﺐِ ﺍﻟﻠﻪِ
ﺗَﻮَ ﺳَـﻠْﻨَﺎ ﺑِـﺒِـﺴْـﻢِ ﺍﻟﻠّﻪِ ﻭَﺑِﺎﻟْـﻬَﺎﺩِﻯ ﺭَﺳُـﻮْﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ
ﻭَ ﻛُــﻞِّ ﻣُﺠَـﺎ ﻫِـﺪِ ﻟِﻠّﻪِ ﺑِﺎَﻫْـﻞِ ﺍﻟْﺒَـﺪْ ﺭِ ﻳـَﺎ ﺍَﻟﻠﻪُ
shalatullah salamullah ‘ala thoha rosulillah
shalatullah salamullah ‘ala yaasiin habibillah
tawasalnaa bibismillah wa bil hadi rosulillah
wa kulli mujahidi lillah bi ahlil badri ya Allah
Artinya:
Shalawat Allah dan salam-Nya semoga tercurah kepada Thaha Rasulullah
Shalawat Allah dan salam-Nya semoga tercurah kepada Yasin Habibillah
Kami bertawassul dengan nama Allah dan dengan pemberi petunjuk, Rasulullah
Dan dengan seluruh orang yang berjihad di jalan Allah, serta dengan ahli Badr, ya Allah

Dalam ucapan shalawat ini terkandung beberapa hal:
1. Penyebutan Nabi dengan habibillah
2. Bertawassul dengan Nabi
3. Bertawassul dengan para mujahidin dan ahli Badr
Point pertama telah diterangkan kesalahannya secara jelas pada rubrik Tafsir.
Pada point kedua, tidak terdapat satu dalilpun yang shahih yang membolehkannya. Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mensyariatkan. Demikian pula para shahabat (tidak pernah mengerjakan). Seandainya disyariatkan, tentu Nabi shallallahu alaihi wasallam telah menerangkannya dan para shahabat melakukannya. Adapun hadits: “Bertawassullah kalian dengan kedudukanku karena sesungguhnya kedudukan ini besar di hadapan Allah”, maka hadits ini termasuk hadits maudhu’ (palsu) sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah dan Asy-Syaikh Al-Albani.
Adapun point ketiga, tentunya lebih tidak boleh lagi karena bertawassul dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam saja tidak diperbolehkan.

Yang dibolehkan adalah bertawassul dengan nama Allah di mana Allah berfirman:
ﻭَ ﻟﻠﻪِ ﺍﻷَﺳْﻤﺂﺀُ ﺍﻟْﺤُﺴْﻦَ ﻓَﺎﺩْﻋُﻮْﻩُ ﺑِﻬﺎَ
“Dan hanya milik Allah-lah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu.” (Al-A’raf: 180)
Demikian pula di antara doa Nabi: “Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan segala nama yang Engkau miliki yang Engkau namai diri-Mu dengannya. Atau Engkau ajarkan kepada salah seorang hamba-Mu, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau simpan di sisi-Mu dalam ilmu yang ghaib.” (HR. Ahmad, Abu Ya’la dan lainnya, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 199)
Bertawassul dengan nama Allah seperti ini merupakan salah satu dari bentuk tawassul yang diperbolehkan. Tawassul lain yang juga diperbolehkan adalah dengan amal shalih dan dengan doa orang shalih yang masih hidup (yakni meminta orang shalih agar mendoakannya). Selain itu yang tidak berdasarkan dalil, termasuk tawassul terlarang.

3. Shalawat Burdatul Bushiri

Nashnya adalah sebagai berikut:
يَا رَبِّ بِالْمُصْطَفَى بَلِّغْ مَقَاصِدَنَا وَاغْفِرْ لَنَا مَا مَضَى يَا وَاسِعَ الْكَرَمِ
“Wahai Rabbku! Dengan perantara Musthafa (Nabi Muhammad) penuhilah segala keinginan kami dan ampunilah dosa-dosa kami yang telah lalu, wahai Dzat Yang Maha Luas Kedermawanannya.”

Shalawat ini mempunyai beberapa (kemungkinan) makna. Bila maknanya seperti yang terkandung di atas, maka termasuk tawasul kepada Nabi yang beliau telah meninggal dunia. Hal ini termasuk jenis tawasul yang dilarang, karena tidak ada seorang pun dari sahabat yang melakukannya disaat ditimpa musibah dan yang sejenisnya. Bahkan Umar bin Al Khathab ketika shalat istisqa’ (minta hujan) tidaklah bertawasul dengan Nabi karena beliau telah meninggal dunia, dan justru Umar meminta Abbas paman Nabi (yang masih hidup ketika itu) untuk berdo’a. Kalaulah tawasul kepada Nabi ketika beliau telah meninggal dunia merupakan perbuatan yang disyari’atkan niscaya Umar melakukannya. Adapun bila mengandung makna tawasul dengan jaah (kedudukan) Nabi maka termasuk perbuatan yang diada-adakan dalam agama, karena hadits:
تَوَسَّلُوا بِجَاهِي
“Bertawasullah dengan kedudukanku”, merupakan hadits yang tidak ada asalnya (palsu). Bahkan bisa mengantarkan kepada kesyirikan di saat ada keyakinan bahwa Allah butuh terhadap perantara sebagaimana butuhnya seorang pemimpin terhadap perantara antara dia dengan rakyatnya, karena ada unsur menyamakan Allah dengan makhluk-Nya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. (Lihat Al Firqatun Najiyah hal. 85)

Sedangkan bila maknanya mengandung unsur (Demi Nabi Muhammad) maka termasuk syirik, karena tergolong sumpah dengan selain Allah.
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda (artinya):
“Barang siapa yang bersumpah dengan selain Allah, maka dia telah berbuat kafir atau syirik.” (HR. At Tirmidzi, Ahmad dan yang lainnya dengan sanad yang shahih)

Para pembaca, dari sekian makna di atas maka jelaslah bagi kita kebatilan yang terkandung di dalam shalawat tersebut. Terlebih lagi Nabi dan para sahabatnya tidak pernah mengamalkannya, apalagi mengajarkannya. Seperti itu pula hukum yang dikandung oleh bagian akhir dari Shalawat Badar (bertawasul kepada Nabi Muhammad, para mujahidin dan ahli Badar).

4. Shalawat Al-Fatih (Pembuka)

Lafadznya adalah sebagai berikut:
اللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ الفَاتِحِ لِمَا أُغْلِقَ
“Ya Allah berikanlah shalawat kepada Baginda kami Muhammad yang membuka segala yang tertutup ….”
Terjemahan lengkap:
“Ya Allah berikanlah shalawat kepada Baginda kami Muhammad yang membuka apa yang tertutup dan yang menutupi apa-apa yang terdahulu, penolong kebenaran dengan kebenaran yang memberi petunjuk ke arah jalan yang lurus. Dan kepada keluarganya, sebenar-benar pengagungan padanya dan kedudukan yang agung.”

Berkata At-Tijani tentang shalawat ini –dan dia berdusta dengan perkataannya–:
“…Kemudian (Nabi shallallahu alaihi wasallam) memerintah aku untuk kembali kepada shalawat Al-Fatih ini. Maka ketika beliau memerintahkan aku dengan hal tersebut, akupun bertanya tentang keutamaannya. Maka beliau mengabariku untuk pertama kali bahwa satu kali membacanya menyamai membaca Al Qur’an enam kali. Kemudian beliau mengabarkan kepadaku untuk kedua kalinya bahwa satu kali membacanya menyamai setiap tasbih yang terdapat di alam ini dari setiap dzikir, dari setiap doa yang kecil maupun besar, dan dari Al Qur’an 6.000 kali, karena ini termasuk dzikir.”
Ini merupakan kekafiran yang nyata karena mengganggap perkataan manusia lebih afdhal daripada firman Allah. Sungguh merupakan suatu kebodohan apabila seorang yang berakal apalagi dia seorang muslim berkeyakinan seperti perkataan ahli bid’ah yang sangat bodoh ini. (Minhaj Al-Firqah An-Najiyah, hal. 225 dan Mahabbatur Rasul, hal. 285, Abdur Rauf Muhammad ‘Utsman)

Bukankah Allah telah menegaskan dalam firman-Nya (artinya):
“Dan siapakah yang perkatannya lebih benar dari pada Allah?” (An Nisaa’: 122)
“Dan sungguh telah sempurna kalimat Tuhanmu (Al Qur’an), sebagai kalimat yang benar dan adil.” (Al An’aam: 115)

Demikian pula Nabi telah menegaskan dalam sabdanya (artinya):
“Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah perkataan Allah.” (HR. Muslim)
“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al Qur’an dan mengajarkannya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan At-Tirmidzi dari ‘Ali bin Abi Thalib. Dan datang dari hadits ’Utsman bin ‘Affan riwayat Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah, maka baginya satu kebaikan. Dan satu kebaikan menjadi sepuluh kali semisal (kebaikan) itu. Aku tidak mengatakan: alif lam mim itu satu huruf, namun alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim itu satu huruf.” (Shahih, HR.At-Tirmidzi dan yang lainnya dari Abdullah bin Mas’ud dan dishahihkan oleh Al-Albani)

Wahai saudaraku, dari beberapa dalil di atas cukuplah bagi kita sebagai bukti atas kebatilan shalawat Al Faatih, terlebih lagi bila kita telusuri kandungannya yang kental dengan nuansa pengkultusan terhadap Nabi yang dilarang dalam agama yang sempurna ini.

5. Shalawat Sa’adah (Kebahagiaan)

Lafadznya sebagai berikut:
اللهُمَّ صَلِّ عَلَ مُحَمَّدٍ عَدَدَ مَا فِيْ عِلْمِ اللهِ صَلاَةً دَائِمَةً بِدَوَامِ مُلْكِ اللهِ
“Ya Allah, berikanlah shalawat kepada Baginda kami Muhammad sejumlah apa yang ada dalam ilmu Allah, shalawat yang kekal seperti kekalnya kerajaan Allah….”

Berkata An-Nabhani As-Sufi setelah menukilkannya dari Asy-Syaikh Ahmad Dahlan: “Bahwa pahalanya seperti 600.000 kali shalat. Siapa yang rutin membacanya setiap hari Jum’at 1.000 kali, maka dia termasuk orang yang berbahagia dunia akhirat.” (Lihat Mahabbatur Rasul, hal. 287-288)

Wahai saudaraku, mana mungkin shalat yang merupakan tiang agama dan sekaligus rukun Islam kedua pahalanya 600.000 di bawah shalawat sa’adah ini?! Cukuplah yang demikian itu sebagai bukti atas kepalsuan dan kebatilan shalawat tersebut.

6. Shalawat yang disebutkan salah seorang sufi dari Libanon dalam kitabnya yang membahas tentang keutamaan shalawat

Lafadznya sebagai berikut:
اللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ حَتَّى تَجْعَلَ مِنْهُ الأَحَدِيَّةَ الْقَيُّوْمِيَّةَ
“Ya Allah berikanlah shalawat kepada Muhammad sehingga Engkau menjadikan darinya ahadiyyah (keesaan) dan qayyumiyyah (maha berdiri sendiri dan yang mengurusi makhluknya).”

Padahal sifat Al-Ahadiyyah dan Al-Qayyumiyyah, keduanya termasuk sifat-sifat Allah. Maka, bagaimana mungkin dia (pembuat shalawat) memberikan dua sifat Allah ini kepada salah seorang dari makhluk-Nya, padahal Allah berfirman:
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)

Nabi sendiri pernah bersabda: “Janganlah kalian mengkultuskan diriku, sebagaimana orang-orang Nasrani mengkultuskan Isa bin Maryam. Hanyalah aku ini seorang hamba, maka katakanlah: “(Aku adalah) hamba Allah dan Rasul-Nya.” (H.R Al Bukhari)

7. Shalawat Al-In’am

Lafadznya sebagai berikut:
“Ya Allah berikanlah shalawat, salam dan berkah kepada baginda kami Muhammad dan kepada keluarganya, sejumlah kenikmatan Allah dan keutamaan-Nya.”

Berkata An-Nabhani menukil dari Ahmad Ash-Shawi: “Ini adalah shalawat Al-In’am. Dan ini termasuk pintu-pintu kenikmatan dunia dan akhirat, dan pahalanya tidak terhitung.” (Mahabbatur Rasul, hal. 288)

Penutup
Jenis-jenis shalawat di atas banyak dijumpai di kalangan sufiyah. Bahkan dijadikan sebagai materi yang dilombakan di antara para tarekat sufi. Karena setiap tarekat mengklaim bahwa mereka memiliki do’a, dzikir, dan shalawat-shalawat yang menurut mereka mempunyai sekian pahala. Atau mempunyai keutamaan bagi yang membacanya yang akan menjadikan mereka dengan cepat kepada derajat para wali yang shaleh. Atau menyatakan bahwa termasuk keutamaan wirid ini karena syaikh tarekatnya telah mengambilnya dari Nabi shallallahu alaihi wasallam secara langsung dalam keadaan sadar atau mimpi. Di mana, katanya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menjanjikan bagi yang membacanya kedekatan dari beliau, masuk jannah (surga), dan yang lainnya dari sekian propaganda yang tidak bernilai sedikitpun dalam timbangan syariat. Sebab, syariat ini tidaklah diambil dari mimpi-mimpi. Dan karena Rasul tidak memerintahkan kita dengan perkara-perkara tersebut sewaktu beliau masih hidup. Jika sekiranya ada kebaikan untuk kita, niscaya beliau telah menganjurkannya kepada kita. Apalagi model shalawat tersebut sangat bertentangan dengan apa yang beliau bawa, yakni menyimpang dari agama dan sunnahnya.

Dan yang semakin menunjukkan kebatilannya, dengan adanya wirid-wirid bid’ah ini menyebabkan terhalangnya mayoritas kaum muslimin untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah-ibadah yang justru disyari’atkan yang telah Allah jadikan sebagai jalan mendekatkan diri kepada-Nya dan memperoleh keridhaannya. Berapa banyak orang yang berpaling dari Al Qur’an dan mentadabburinya disebabkan tenggelam dan ‘asyik’ dengan wirid bid’ah ini? Dan berapa banyak dari mereka yang sudah tidak peduli lagi untuk menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena tergiur dengan pahala ‘instan’ yang berlipat ganda. Berapa banyak yang lebih mengutamakan majelis-majelis dzikir bid’ah semacam buatan Arifin Ilham daripada halaqah yang di dalamnya membahas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Laa haula walaa quwwata illaa billah.

Tentang BERPUASA DI HARI JUMAT

Dari sahabat Juwairiyah binti Al Harits رضي الله عنها
ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺩَﺧَﻞَ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﻳَﻮْﻡَﺍﻟْﺠُﻤُﻌَﺔِ ﻭَﻫِﻲَ ﺻَﺎﺋِﻤَﺔٌ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺃَﺻُﻤْﺖِ ﺃَﻣْﺲِ ﻗَﺎﻟَﺖْ ﻻﻗَﺎﻝَ ﺗُﺮِﻳﺪِﻳﻦَ ﺃَﻥْ ﺗَﺼُﻮﻣِﻲ ﻏَﺪًﺍ ﻗَﺎﻟَﺖْ ﻻ ﻗَﺎﻝَﻓَﺄَﻓْﻄِﺮِﻱ
Nabi صلى الله عليه وسلم pernah menemuinya (Juwairiyah) pada hari Jum’at dan ia dalam keadaan berpuasa, lalu beliau صلى الله عليه وسلم bersabda, “Apakah engkau berpuasa kemarin?” “Tidak,” jawabnya. “Apakah engkau ingin berpuasa esok hari?” tanya beliau lagi. “Tidak,” jawabnya. Nabi صلى الله عليه وسلم mengatakan: "Batalkanlah puasamu." [HR. Bukhori no. 1986]

###

HUKUM BERPUASA DI HARI JUM'AT

Oleh: Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Abdillah As-Sabil رحمه اللّٰه

[Imam dan Khotib Masjidil Haram serta Anggota Majelis Ulama Besar KSA]

P E R T A N Y A A N :

Apa hukum puasa di hari jum'at dalam rangka meng-qodho (mengganti) hari dari puasa Romadhon dengan tanpa berpuasa pada satu hari sebelumnya atau satu hari setelahnya?

J A W A B A N :

Iya boleh, karena dia merupakan puasa qodho wajib, adapun yang makruh ialah puasa di hari jum'at dengan puasa sunnah tanpa dia berpuasa pada satu hari sebelumnya atau satu hari setelahnya, dengan tujuan mengkhususkan hari ini (jum'at) dengan puasa maka MAKRUH; dan demikian itu berdasarkan apa yang telah datang dari Abi Huroiroh rodhiallohu 'anhu dari Nabi ﷺ bersabda:
لاتصومنّ أحدكم يومَ الجمعة إلا يوماً قبله أو يوماً بعده.. رواه البخاري ومسلم
"Janganlah sekali-kali salahsatu dari kalian berpuasa pada hari jum'at kecuali (telah berpuasa) satu hari sebelumnya atau satu hari setelahnya". [HR. Bukhori dan Muslim]

Dan dari Beliau juga (disebutkan):
لا تختصّوا ليلةَ الجمعة بقيام من بين الليالي، ولا تختصّوا يومَ الجمعة بصيام من بين الأيام، إلا أن يكون في صوم يصومه أحدكم.. رواه مسلم وغيره
"Jangan kalian mengkhususkan malam jum'at dengan sholat dari malam-malam lainnya, dan jangan kalian mengkhususkan hari jum'at dengan puasa dari hari-hari lainnya, kecuali pada hari dimana salahsatu dari kalian (biasa) berpuasa". [HR. Muslim dan lainnya]

Wallohu a'lam.

Sumber:
Fatawa Shiyam, hal 6.

Alih Bahasa:
Al-Ustadz Muhammad Sholehuddin Abu 'Abduh غفر اللّٰه له ولوالديه ولجميع المسلمين [FBF-2]

WA Forum Berbagi Faidah [FBF] dinukil dari WA ASK | www.alfawaaid.net

WA Al Istiqomah
WALIS

Tentang MASUK KE MASJID DALAM KEADAAN JUNUB

KAJIAN FIQIH DARI KITAB:
فقه المرأة المسلمة
Fiqh Al-Mar'atul Muslimah

Penulis: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin رحمه الله تعالى

HUKUM LEWAT DI MASJID bagi orang yang wajib mandi (berhadats besar)

Hanya sekedar lewat saja karena suatu hajat keperluan hukumnya BOLEH.
Adapun yang diLARANG adalah tinggal, menetap dan berdiam diri di DALAM MASJID.

Dalilnya:

Firman Allah ta'ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ
"Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendekati shalat sedang kalian dalam keadaan mabuk sampai kalian mengetahui apa yang kalian ucapkan, (dan jangan pula hampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan junub, kecuali hanya melewati saja." (An-Nisaa`: 43)

Yakni maksudnya bukan berarti 'janganlah orang junub shalat kecuali sekedar lewat saja', sebab orang yang lewat tentunya tidak sedang shalat.

Keterangan pen.:

"Ayat di atas mengandung dua larangan:
1. Orang mabuk dilarang mendekati shalat
2. Orang junub dilarang juga, tapi bukan dilarang shalat tapi dilarang mendekati tempat shalat kecuali boleh jika hanya lewat." Pen.

Maka larangan untuk orang junub 'mendekati tempat shalat yakni masjid'.
Lewat saja boleh, tapi tinggal, berdiam di dalam masjid itu yang di larang.

DALIL KE DUA:

Bahwa masjid itu adalah:
(a). Rumah Allah
(b). Tempat untuk berdzikir dan beribadah kepada Allah
(c). Tempat para malaikat

Apabila makan bawang, dan sesuatu yang berbau tidak sedap makruh berada di dalam masjid, apalagi orang junub yang diharamkan melakukan shalat lebih utama untuk dilarang berada di dalam masjid.

Begitu pula jika malaikat tidak masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada orang junub, maka malaikat juga terganggu dengan masuknya orang junub ke dalam masjid.

Adapun dibolehkan hanya sekedar lewat karena ada hajat keperluannya, dan keperluan di sini ada bermacam-macam, misalnya:
(a). Untuk memotong jalan, yakni lebih dekat dengan cara melewati masjid
(b). Mungkin dia ingin masuk dari satu pintu dan keluar dari pintu yang lain agar tidak dilihat orang
(c). Atau hajat keperluan yang lain

Dan tidak boleh lewat jika tidak ada hajat kebutuhan.

Zhahir ayat إلا عابري سبيل
(kecuali sekedar lewat) maknanya pada umumnya orang yang lewat, baik ada hajat maupun tidak ada hajat.

Hanya saja Al-Imam Ahmad رحمه الله tidak menyukai/memakruhkan orang junub melewati masjid kecuali jika dharuri ada hajat kebutuhan sehingga mengharuskan melewati masjid.

Dan Nabi صلى الله عليه وسلم menerangkan bahwa masjid dibangun untuk berdzikir, shalat, dan membaca Al-Qur'an, maka menjadikan masjid sebagai jalan pintas yang bisa dilewati adalah menyalahi fungsi dibangunnya masjid, kecuali jika ada hajat dharuri yang mengharuskan melewati masjid.

DILARANG JUGA tinggal di dalam masjid tanpa berwudhu, jika telah berwudhu maka boleh tinggal di dalam masjid.

DALILNYA:

1. Bahwa para shahabat رضي الله عنهم jika mereka telah berwudhu dari junub, mereka tinggal di dalam masjid.

Salah seorang dari mereka jika tidur di dalam masjid lalu bermimpi basah, maka ketika bangun mereka pergi untuk berwudhu lalu kembali masuk ke dalam masjid, ini merupakan DALIL bahwa hal itu BOLEH. Karena apa yang dilakukan di masa Rasulullah صلى الله عليه وسلم lalu Beliau tidak mengingkarinya, maka hukumnya boleh jika yang dilakukan adalah perbuatan di luar 'ta'abbudiyyah'/peribadatan, tapi jika itu masalah ibadah maka menjadi dalil bahwa yang melakukan mendapat pahala.

2. Bahwa wudhu meringankan hadats besar junub.

Dalilnya: Bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم ditanya tentang seorang yang junub, bolehkah tidur dalam keadaan junub? Maka beliau menjawab,
إذا توضأ أحدكم فليرقد وهو جنب
"Apabila salah seorang dari kalian berwudhu maka tidurlah meskipun dalam keadaan junub."
(HR. Bukhari Muslim)

3. Karena wudhu salah satu bentuk thaharah/bersuci.

Andaikata bukan karena junub, orang yang telah berwudhu telah terangkat/hilang hadatsnya.
Karena itulah dikatakan bahwa wudhu meringankan hadats junub.

Keterangan pen.:

a. Orang junub boleh berwudhu karena ada dalil di atas yang membolehkan, sedangkan wanita HAIDH tidak boleh berwudhu karena tidak ada dalil yang membolehkan.

b. Orang junub tidak boleh tinggal di dalam masjid kecuali setelah berwudhu

c. Orang junub boleh lewat di masjid jika ada hajat kebutuhan yang mengharuskan lewat di dalamnya.(selesai kesimpulan, pen.)

Keterangan tambahan, pen.:

Afwan perlu dipahami bahwa yang dimaksud LEWAT DI MASJID bukan jalan umum yang ada di luar masjid, tapi yang dimaksud lewat dalam hukum fiqih ini adalah LEWAT JALAN YANG ADA DI DALAM MASJID yang mana itulah yang dilarang. Kalau lewat jalan umum yang ada di depan dan di luar masjid bukan termasuk yang di larang.

Diterjemahkan oleh Al-Ustadzah Ummu Abdillah Zainab hafizhahallah pada hari Selasa, 26 Syawal 1436 H / 11 Agustus 2015


WA Nisaa` As-Sunnah

Tentang BADAL HAJI (DIHAJIKAN OLEH ORANG LAIN)

Pertanyaan :
Maaf, Ustadz
Banyak teman pada menanyakan tentang “BADAL HAJJI”.
Bagaimana tinjauan syari’at tentang badal hajji? ……
Dijawab Oleh Ustadz Abu Hammam hafidzahullah
Boleh, Kalau ada uzur syarie
Tapi yang mebadali harus sudah pernah haji
Wallahu alam.
___________
Dijawab Oleh Ustadz Yahya Al Lampungy hafidzahullah
Kita melihat sebagian orang terlalu bermudah-mudahan menghajikan orang lain, alias membadalkan haji.
Padahal tidak mudah begitu saja membadalkan haji, ada syarat,ketentuan dan hukum yang mesti diperhatikan.
Di antara ketentuan yang ada, haji sudah kita ketahui bersama diperintahkan bagi yang memiliki kemampuan saja. Sedangkan jika miskin, maka tidak diwajibkan untuk berhaji. Jika tidak diwajibkan maka tentu tidak wajib dibadalkan.
Pd pembahasan badal ini,kita lebih konsentrasi membahas syarat dan ketentuan badal haji tersebut. Di antara ketentuan yang perlu diperhatikan dalam badal haji adalah sebagai berikut:
1- Tidak sah badal haji dari orang yang mampu melakukan haji Islam dengan badannya.
Ibnu Qudamah mengatakan,
“Tidak boleh menggantikan haji wajib dari seseorang yang mampu melaksanakan haji dengan dirinya sendiri. Ini disepakati (ijma’) oleh para ulama.
Ibnul Mundzir berkata, “Para ulama sepakat bahwa siapa yang punya kewajiban menunaikan haji Islam dan ia mampu untuk berangkat haji, maka tidak sah jika yang lain menghajikan dirinya.” (Al Mughni, 3: 185)
2- Badal haji hanya untuk orang sakit yang tidak bisa diharapkan sembuhnya, atau untuk orang yang tidak mampu secara fisik, atau untuk orang yang telah meninggal dunia.
___________
Komisi Fatwa di Saudi Arabia (Al Lajnah Ad Daimah) ditanya,
“Bolehkah seorang muslim menghajikan salah seorang kerabatnya di negeri Cina yang tidak mampu pergi menunaikan haji yang wajib?”
Para ulama yang duduk di Lajnah Daimah menjawab,
“Boleh bagi seorang muslim menunaikan haji wajib untuk orang lain (badal haji) jika orang lain tersebut tidak mampu menunaikan haji dengan dirinya sendiri dilihat dari umurnya yang sudah tua, atau karena sakit yang tidak bisa diharapkan sembuhnya, atau karena telah meninggal dunia.
Bolehnya hal ini karena ada hadits shahih yang menerangkannya. Namun jika orang yang dihajikan tidak mampu berhaji saat itu saja semisal tertimpa penyakit yang bisa diharapkan sembuhnya, atau karena keadaan politik dalam negeri, atau perjalanan yang tidak aman, maka tidak sah membadalkan haji untuknya.”
[Yang menandatangani fatwa ini adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh ‘Abdur Rozaq, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud.
Fatawa Al Lajnah 11: 51]
3- Membadalkan haji bukan untuk orang yang tidak mampu secara harta. Karena jika yang dibadalkan hajinya itu miskin (tidak mampu berhaji dilihat dari hartanya), maka gugur kewajiban haji untuknya.
Membadalkan haji cuma untuk orang yang tidak mampu secara fisik saja.
__________
Al Lajnah Ad Daimah ditanya,
“Bolehkah seseorang mengumrohkan atau menghajikan kerabatnya yang jauh dari Mekkah dan memang ia tidak punya apa-apa untuk ke Mekkah, namun ia mampu untuk melakukan thowaf?”
Jawab para ulama di Lajnah,
“Kerabat yang engkau sebut tidak wajib untuk berhaji karena ia tidak mampu berhaji secara finansial (tidak punya kecukupan harta). Sehingga tidak sah membadalkan haji atau umroh untuknya. Yang dianggap sah adalah jika ia sebenarnya mampu untuk menunaikan haji atau umroh dengan badannya, yaitu ia bisa hadir di tempat-tempat haji.
Sehingga boleh menghajikan mayit dan orang yang tidak mampu untuk berhaji secara fisik (tapi punya kemampuan finansial, pen).”
[Yang menandatangani fatwa ini adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh ‘Abdur Rozaq, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud.
Fatawa Al Lajnah 11: 52]
4- Para ulama di Al Lajnah Ad Daimah berkata,
“Tidak boleh seseorang menghajikan orang lain sebelum ia berhaji untuk dirinya sendiri.
Dalil dari hal ini adalah riwayat dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seseorang berkata, “Labbaik ‘an Syabromah [Aku memenuhi panggilan-Mu, dan ini haji dari Syabromah]”.
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau sudah berhaji untuk dirimu sendiri?” “Tidak”, jawabnya. Lantas beliau bersabda, “Berhajilah untuk dirimu terlebih dahulu, baru engkau menghajikan Syabromah.”
[Yang menandatangani fatwa ini adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan. Fatawa Al Lajnah 11: 50]
5- Wanita boleh membadalkan haji laki-laki, begitu pula sebaliknya.
__________
Para ulama Lajnah berkata,
“Membadalkan haji itu dibolehkan jika orang yang membadalkan telah berhaji untuk dirinya sendiri. Begitu pula jika seseorang menyuruh wanita untuk membadalkan haji ibunya, itu boleh. Sama halnya pula jika seorang wanita membadalkan haji untuk wanita atau pria, itu pun boleh. Sebagaimana adanya dalil shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan hal ini.” [Fatwa Al Lajnah 11: 52]
6- Tidak boleh seseorang membadalkan haji dua orang atau lebih dalam sekali haji.
__________
Para ulama yang duduk di Lajnah berkata,
“Tidak boleh seseorang dalam sekali haji membadalkan haji untuk dua orang sekaligus, badal haji hanya boleh untuk satu orang, begitu pula umrah. Akan tetapi seandainya seseorang berhaji untuk orang dan berumrah untuk yang lainnya lagi dalam satu tahun, maka itu sah asalkan ia sudah pernah berhaji atau berumrah untuk dirinya sendiri.”
[Yang menandatangani fatwa ini adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud. Fatawa Al Lajnah 11: 58]
__________
✔Catatan:
Demikianlah banyak di antara warga kita yang tertipu di Mekkah. Perlu diketahui bahwa badal haji yang saat ini dilakukan sebagian warga kita di Mekkah kadang cuma dijadikan bisnis.
Buktinya (dan banyak yang menceritakan hal ini), ada yang membadalkan haji untuk 10 orang sekaligus dalam sekali haji. Bagaimana mungkin hal ini dibenarkan?! Jadi jangan sampai tertipu dengan sindikat para penipu dalam ibadah badal haji.
7- Tidak boleh bagi seorang pun membadalkan haji dengan maksud untuk cari harta. Seharusnya tujuannya membadalkan haji adalah untuk melakukan ibadah haji dan sampai ke tempat-tempat suci serta berbuat baik kepada saudaranya dengan melakukan badal haji untuknya.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin berkata, ”Badal haji dengan tujuan hanya ingin cari harta, maka Syaikhul Islam rahimahullah menyatakan bahwa barang siapa berhaji dan cuma ingin cari makan, maka di akhirat ia tidak akan mendapat bagian sedikit pun.
Namun barangsiapa yang niatannya memang ingin berhaji, maka tidaklah mengapa. Jadi barangsiapa melakukan badal haji untuk orang lain, maka niatan ia seharusnya adalah untuk menolong dan untuk memenuhi hajat saudaranya. Karena yang dibadalkan adalah orang yang butuh. Tentu ia senang jika ada orang lain menggantikan dirinya. Maka niatannya adalah berbuat baik untuk menunaikan hajat saudaranya dan dengan niatan yang baik pula.” [Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 89, pertanyaan 6]
8- Pahala amalan haji apakah untuk yang membadalkan ataukah yang dibadalkan?
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin berkata, “Pahala badal haji jika berkaitan dengan kegiatan manasik, maka semuanya akan kembali pada orang yang diwakilkan (orang yang dibadalkan).
Adapun untuk berlipatnya pahala dari sisi shalat, thowaf yang sunnah yang tidak berkaitan dengan amalan manasik haji, begitu pula dengan bacaan Al Qur’an akan kembali pada yang menghajikan (orang yang membadalkan).”
[Adh Dhiyaa’ Al Laami’ min Khitob Al Jawaami’, 2: 478]
Namun Ibnu Hazm rahimahullah berkata dari Daud, ia berkata, “Aku berkata pada Sa’id bin Al Musayyib: Wahai Abu Muhammad, pahala badal haji untuk orang yang menghajikan ataukah yang dibadalkan?
Jawab beliau, Allah Ta’ala bisa memberikan kepada mereka berdua sekaligus.”
9- Lebih afdhol, anak membadalkan haji kedua orang tuanya atau kerabat membadalkan haji kerabatnya. Namun jika orang lain selain kerabat yang membadalkan, juga boleh.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah ditanya mengenai apakah si anak membadalkan haji orangtuanya sendiri ataukah menyewa orang lain untuk menghajikannya.
Beliau menjawab, “Jika engkau menghajikan orang tuamu dengan dirimu sendiri, lalu engkau bersungguh-sungguh menyempurnakan hajimu tersebut, maka itu lebih baik. Namun jika engkau mempekerjakan orang lain untuk menghajikan orang tuamu di mana orang yang menghajikan punya agama yang bagus dan amanah, maka tidak mengapa.”
[Fatwa Syaikh Ibnu Baz, 16: 408]
10- Seharusnya betul-betul perhatian untuk memilih orang yang membadalkan haji yaitu carilah orang yang amanat dan memahami benar ibadah haji.
Para ulama Al Lajnah Ad Daimah berkata, “Seharusnya bagi orang yang ingin mencari siapa yang ingin membadalkan haji, hendaklah ia memilih yang bagus agamanya dan amanah sehingga ia merasa tenang ketika ibadah wajib tersebut ditunaikan oleh orang lain.”
[Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, 11: 53][1]
Semoga mendapat ilmu yang bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.
Tulisan ini Disadur dari fatwa lajnah daimah demikian juga dari liqo’ al bab maftuh syaikh ibnu utsaimin rohimahulloh ta’ala.
Wallohu a’lam bishshowab.
———————
WA Forum Berbagi Faidah

Tentang MENGUMANDANGKAN AZAN SEBELUM AZAN SUBUH

Disunnahkan mengumandangkan adzan sebelum adzan subuh.
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ﺇﻥ ﺑﻼﻻً ﻳﺆﺫﻥ ﺑﻠﻴﻞ، ﻓﻜﻠﻮﺍ ﻭﺍﺷﺮﺑﻮﺍ ﺣﺘﻰ ﺗﺴﻤﻌﻮﺍ ﺃﺫﺍﻥ ﺍﺑﻦ ﺃﻡ ﻣﻜﺘﻮﻡ، ﻓﺈﻧﻪ ﻻ ﻳﺆﺫﻥ ﺣﺘﻰ ﻳﻄﻠﻊ ﺍﻟﻔﺠﺮ
Sesungguhnya Bilal adzan di malam hari (sebelum fajar shadiq), maka makan dan minumlah kalian sampai kalian mendengar adzannya Ibnu Ummi Maktum, sesungguhnya tidaklah ia mengumandangkan adzan sampai telah terbit fajar shadiq. (HR. Bukhari dan Muslim)

Disunnahkan menambahkan lafadz asholatu khairum minannaum pada adzan subuh setelah lafal hayya alal falah. Pendapat yang kuat di kalangan para ulama bahwa lafazh tambahan ini dikumandangkan pada adzan subuh bukan pada adzan sebelum subuh.

Syaikhul islam rahimahullah berkata adapun sesuatu selain adzan yang dikumandangkan sebelum terbitnya fajar baik berupa tasbih, nasyid, doa dengan meninggikan suara maupun yang semisalnya yang dilakukan di tempat adzan. Ini semua tidak disunahkan menurut para imam bahkan sekelompok ulama dari mazhab maliki, as-syafii dan ahmad menganggapnya sebagai bagian dari bidah yang dibenci. Tidak ada satu dalil pun yang menganjurkannya dan tidak ada satu apapun yang menuntutnya perlu diadakan.

Sumber: ummuyusuf .com

###

Asy-Syaikh Abdulaziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah Ta’ala

Pertanyaan:
كم يكون الوقت الفارق بين الأذان الأول والأذان الثاني سماحة الشيخ؟
Berapa jeda waktu (pemisah) antara adzan pertama dan adzan kedua, wahai syaikh yang mulia?

Jawab:
الأفضل أن يكون قريب جاء في بعض الروايات أنه ليس بينهما إلا أن يصعد هذا وينزل هذا يعني قريب يكون الأذان قبل نصف ساعة أو ما يشبه ذلك حتى ينتبه الناس أن الوقت قريب والذي في الصلاة حتى يبادر بالإيتار ونحو ذلك. أما الأذان في منتصف الليل أو الواحدة؟ ما ينبغي لا، يجب أن يكون قريب من الفجر حتى تحصل الفائدة من التنبيه
Yang utama, jeda keduanya pendek. Pada sebagian riwayat, bahwa tiada jarak antara kedua adzan tersebut kecuali yang ini naik dan yang ini turun, yaitu waktunya pendek. Adzan (pertama dilakukan) setengah jam sebelum (adzan fajar) atau semisalnya sehingga manusia terbangun/ tersadarkan akan dekatnya waktu (Shubuh). Orang yang sedang berada pada shalat, agar segera melaksanakan shalat witir dan semisalnya.
Adapun adzan di tengah-tengah malam atau jam satu? Hal ini tidak sepatutnya dilakukan.
Yang wajib adalah adzan tersebut dilakukan mendekati waktu fajar (masuknya waktu shalat Shubuh yang ditandai dengan fajar shadiq), sehingga faedah berupa peringatan tersebut tercapai.

Sumber:
www .binbaz .org .sa/node/14545

Alih bahasa: Ustadz Abu Bakar Jombang hafizhahullah