Cari Blog Ini

Kamis, 25 September 2014

Tentang BERANGKAT SHALAT JUMAT DI AWAL WAKTU

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mandi Jum’at seperti mandi janabat kemudian berangkat, maka seolah dia
mempersembahkan unta. Barangsiapa yang berangkat pada waktu kedua, seolah mempersembahkan sapi, yang berangkat pada waktu ketiga seakan mempersembahkan kambing bertanduk, yang berangkat pada waktu keempat seakan mempersembahkan ayam, dan yang berangkat pada waktu kelima seakan mempersembahkan sebutir telur.” (HR. Al-Bukhari no. 881 dan Muslim no. 850)

Tentang MEMPERBANYAK AMALAN PADA SEPULUH HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH

1. Allah Ta’ala berfirman:
ﻭَﺍﻟﻔَﺠﺮِ ﻭَﻟَﻴَﺎﻝٍ ﻋَﺸﺮٍ
“Demi fajar, dan malam yang sepuluh.” (Al-Fajr: 1-2)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Yang dimaksud dengan malam yang sepuluh adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Ibnu Az-Zubair, Mujahid, dan yang lainnya. Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari.”

2. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma , dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ﻣﺎ ﻣﻦ ﺃﻳﺎﻡ ﺍﻟﻌﻤﻞ ﺍﻟﺼﺎﻟﺢ ﻓﻴﻬﻦ ﺃﺣﺐ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﻳﺎﻡ ﺍﻟﻌﺸﺮ. ﻗﺎﻟﻮﺍ: ﻭﻻ ﺍﻟﺠﻬﺎﺩ ﻓﻲ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﻪ؟ ﻗﺎﻝ: ﻭﻻ ﺍﻟﺠﻬﺎﺩ ﻓﻲ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻻ ﺭﺟﻞٌ ﺧﺮﺝ ﺑﻨﻔﺴﻪ ﻭﻣﺎﻟﻪ ﻓﻠﻢ ﻳﺮﺟﻊ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ ﺑﺸﻲﺀ
“Tidak ada hari-hari di mana amalan shalih yang dikerjakan di dalamnya lebih dicintai oleh Allah daripada sepuluh hari ini. Para shahabat bertanya: Termasuk pula jihad fi sabilillah? Beliau bersabda: Ya, termasuk pula jihad fi sabilillah, kecuali seseorang yang keluar dengan jiwa dan hartanya dan tidak kembali darinya sedikit pun.” (HR. Al-Bukhari, Abu Dawud, At-Tirmidzi. Lafazh ini adalah lafazh Abu Dawud)

3. Allah ta’ala berfirman:
ﻭَﻳَﺬْﻛُﺮُﻭﺍ ﺍﺳْﻢَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻓِﻲ ﺃَﻳَّﺎﻡٍ ﻣَّﻌْﻠُﻮﻣَﺎﺕٍ
“Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan.” (Al Hajj: 28)
Ibnu ‘Abbas berkata: “(Yakni) sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.” (Tafsir Ibni Katsir)

4. Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ﻣﺎ ﻣﻦ ﺃﻳﺎﻡ ﺃﻋﻈﻢ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭﻻ ﺃﺣﺐ ﺇﻟﻴﻪ ﺍﻟﻌﻤﻞ ﻓﻴﻬﻦ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﻳﺎﻡ ﺍﻟﻌﺸﺮ؛ ﻓﺄﻛﺜﺮﻭﺍ ﻓﻴﻬﻦ ﻣﻦ ﺍﻟﺘﻬﻠﻴﻞ ﻭﺍﻟﺘﻜﺒﻴﺮ ﻭﺍﻟﺘﺤﻤﻴﺪ
“Tidak ada hari yang lebih agung dan lebih dicintai di sisi Allah subhanahu wata’ala jika amalan shalih dikerjakan di dalamnya daripada sepuluh hari ini, maka perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid pada hari-hari tersebut.” (HR. Ahmad)

5. Sa’id bin Jubair rahimahullah -dan beliau yang meriwayatkan hadits Ibnu ‘Abbas (poin no. 2) di atas- ketika telah memasuki sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, beliau sangat bersungguh-sungguh untuk beribadah sampai-sampai hampir beliau tidak mampu untuk mengerjakannya. (HR. Ad-Darimi)

6. Ibnu Hajar dalam Fathul Bari berkata: “Dan yang tampak dari sebab diistimewakannya sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah karena waktu tersebut merupakan tempat berkumpulnya (dan ditunaikannya) induk dari berbagai macam ibadah, yaitu shalat, puasa, shadaqah, dan haji. Itu semua tidak terjadi pada waktu yang lain.”

###

Al Allamah Ibnu Utsaimin Rohimahulloh menyatakan:
فإني أحث إخواني المسلمين على اغتنام هذه الفرصة العظيمة، وأن يكثروا في عشر ذي الحجة من الأعمال الصالحة، كقراءة القرآن، والذكر بأنواعه: تكبير، تهليل، تحميد، تسبيح، الصدقة، الصيام، كل الأعمال الصالحة اجتهد فيها، والعجب أن الناس غافلون عن هذه العشر! تجدهم في عشر رمضان يجتهدون في العمل أو لا؟ نعم! يجتهدون، لكن في عشر ذي الحجة لا تكاد ترى أحداً فرَّق بينها وبين غيرها؛ ولكن إذا قام الإنسان بالعمل الصالح في هذه الأيام العشر أحيا ما أرشد إليه النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم من الأعمال الصالحة
“Maka aku mengajak saudara-saudaraku kaum muslimin untuk memanfaatkan kesempatan yang besar ini. Hendaknya di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah ini mereka memperbanyak amal-amal shalih, seperti:
- qiroatul quran atau membaca al quran,
- berdzikir dengan berbagai macamnya semisal takbir, tahlil, tahmid dan tasbih,
- bersedekah,
- berpuasa,
- dan seluruh amal amal shalih bersungguh-sungguhlah melakukannya di waktu ini.
Yang mengherankan, kebanyakan manusia melalaikan sepuluh hari ini! Kau dapati mereka di sepuluh hari Romadhon mereka bersungguh sungguh dalam beramal shalih. Iya tidak? Ya! Mereka bersemangat, akan tetapi di sepuluh pertama bulan Dzulhijjah, hampir-hampir kamu tidak mendapati seorangpun yang membedakan hari hari ini dengan hari hari yang lainnya.
Jika seseorang melakukan berbagai amal shalih di hari-hari yang sepuluh ini, maka berarti ia tengah menghidupkan apa yang telah dihasung oleh nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam untuk beramal shalih.”
(Al Liqo Asy Syahriyy: 63)

Alih Bahasa:
syabab forum salafy banjarnegara

Forum salafy banjarnegara

WA Al Istiqomah
WALIS
http://walis-net.blogspot.com/p/depan.html

###

Fadhilatus Syaikh Sholeh Al-Fawzan حفظه الله تعالى

PERTANYAAN:
في العشر من ذي الحجة ما هي أفضل الأعمال؟ وهل صيام عرفة يجب على الحاج؟
Di sepuluh hari dari bulan dzulhijjah apakah amalan yang paling utama (afdhol)? Dan apakah puasa Arafah wajib bagi yang haji?

JAWABAN:
قال صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا مِنْ أَيَامٍ الْعَمَل خَير وَأحَبُ إلى الله مِنْ هذِهِ العشر. ولم يُحدد نوعاً مُعينًا من الأعمال الصالحة فيجتهد المُسلم في الأعمال الصالحة، من تكبير وهذا شعار هذه الأيام، (وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ) هي عشر ذي الحجة وذلك بالتكبير والتهليل والتسبيح ويكثر من هذا، وكذلك الصيام يصوم عشر ذي الحجة، وكذلك سائر الطاعات يجتهد في هذه الأيام ،لأنها أيامٌ مباركة والعمل فيها فيهِ فضلٌ عظيم وأجرٌ كبير فهي أيامٌ فاضلة ومُباركة
Rosululloh ﷺ bersabda:
ما من أيامٍ العملُ الصالح خير وأحب إلى الله من هذه العشر
"Tidaklah dari hari-hari yang amalan shaleh nya lebih baik dan lebih dicintai Allah dari sepuluh hari ini."
Dan beliau tidak memberikan batasan model tertentu dari amalan-amalan shaleh.
Maka bersungguh-sungguhlah setiap muslim di dalam beramal shaleh.
Dari TAKBIR dan ini merupakan syiar hari-hari (sepuluh) ini,
وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ
"Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang." [Qs. Al-Baqoroh: 203]
Yang dimaksud adalah sepuluh hari dzulhijjah dan hal itu dilakukan dengan takbir dan tahlil dan tasbih dan memperbanyak dari amalan ini.
Dan demikian pula PUASA berpuasa pada sepuluh hari dari bulan dzulhijjah.
Dan demikian amalan-amalan ketaatan lainnya hendaknya bersungguh-sungguh pada hari-hari ini, dikarenakan hari-hari tersebut adalah hari-hari yang barokah dan amalan padanya ada keutamaan yang agung dan pahala yang besar maka dia merupakan hari-hari yang utama dan diberkahi.
وأما يوم عرفة فالحاج لا يستحب لهُ أن يصوم يوم عرفة من أجل أن يتقوى على الوقوف والنَبَّي-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- وقف مُفْطرًا وشرب اللبن والناس ينظرون إليه ليعلموا أنه ليس بصائم، وإنما الصيام على غير الواقف بعرفة
Dan adapun hari Arafah maka yang berhaji tidak dianjurkan baginya berpuasa pada hari Arafah agar dia kuat dalam menjalankan wukuf dan Nabi ﷺ wukuf dalam keadaan tidak berpuasa dan meminum susu dan orang-orang melihat kepada beliau agar mereka tahu bahwasanya beliau tidak berpuasa, dan puasa hanyalah dianjurkan bagi yang tidak wukuf di Arafah.

Sumber Artikel:
http://www.alfawzan.af.org.sa/node/15804

Alih Bahasa: Muhammad Sholehuddin Abu 'Abduh عَفَا اللّٰهُ عَنْهُ

WA Ahlus Sunnah Karawang | www.ahlussunnahkarawang.com

WA Al Istiqomah
WALIS
http://walis-net.blogspot.com/p/depan.html

###

Amalan Yang Disunnahkan
Untuk Dikerjakan Pada 10 Hari Pertama Dzulhijjah

1. Shalat

Disunnahkan untuk bersegera menunaikan (shalat) fardhu dan memperbanyak yang sunnah, karena ini adalah termasuk amalan yang paling afdhal untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Shahabat Tsauban radhiyallahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
عليك بكثرة السجود لله، فإنك لا تسجد لله سجدة إلا رفعك الله بها درجة، وحطَّ عنك بها خطيئة
"Wajib atas kamu untuk memperbanyak sujud kepada Allah, karena sesungguhnya tidaklah kamu bersujud kepada Allah sekali saja melainkan Allah akan mengangkat satu derajatmu dan Allah akan menghapus satu kesalahan darimu." (HR. Muslim).
Dan ini (bersujud) mencakup semua waktu, kapan pun dilaksanakan.

2. Puasa

Karena puasa termasuk dalam keumuman amal shalih (yang disunnahkan untuk diperbanyak pada hari-hari itu). Dari Hunaidah bin Khalid, dari istrinya, dari sebagian istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dia berkata:
كان رسول الله يصوم تسع ذي الحجة، ويوم عاشوراء، وثلاثة أيام من كل شهر
"Dahulu Rasulullah berpuasa sembilan Dzulhijjah, dan hari 'asyura' (tanggal sepuluh Muharram), dan tiga hari pada setiap bulannya." (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan An Nasa'i)
Al-Imam An-Nawawi mengatakan tentang puasa pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah bahwa itu adalah amalan yang sangat disenangi (disunnahkan).

3. Takbir, Tahlil, Tahmid

Berdasarkan hadits dari Ibnu 'Umar:
فأكثروا فيهن من التهليل والتكبير والتحميد
"Maka perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid pada hari-hari tersebut."
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah berkata: "Dahulu Ibnu 'Umar dan Abu Hurairah radhiyallahu 'anhuma keluar menuju pasar pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan bertakbir, kemudian orang-orang pun juga ikut bertakbir ketika mendengar takbir keduanya."
Beliau (Al-Imam Al-Bukhari) juga berkata: "Dan 'Umar dahulu bertakbir di kubahnya di Mina, maka kemudian orang-orang yang berada di dalam masjid mendengarnya dan mereka pun ikut bertakbir, dan orang-orang yang berada di pasar pun juga ikut bertakbir sampai-sampai Mina bergetar disebabkan suara takbir mereka."
Dan Ibnu 'Umar dahulu bertakbir di Mina pada hari-hari tersebut, dan juga bertakbir setiap selesai mengerjakan shalat, bertakbir ketika berada di atas ranjangnya, di dalam kemahnya, di majelisnya, dan di setiap perjalanannya pada hari-hari tersebut.
Disenangi (disunnahkan) untuk mengeraskan bacaan takbir sebagaimana yang dilakukan Umar, putranya (yakni Ibnu 'Umar), dan Abu Hurairah radhiyallahu 'anhum.
Sudah sepantasnya bagi kita kaum muslimin untuk menghidupkan kembali sunnah tersebut yang sudah hilang pada zaman ini dan hampir dilupakan bahkan oleh ahlu ash shalah wal khair (orang-orang yang memiliki kebaikan dan keutamaan) sekalipun. Dan yang memprihatinkan adalah apa yang terjadi sekarang justru menyelisihi amaliyah yang biasa dilakukan as salafush shalih.

Ada tiga lafazh takbir,
Pertama:
الله أكبر. الله أكبر. الله أكبر كبيراً
Kedua:
الله أكبر. الله أكبر. لا إله إلا الله. والله أكبر. الله أكبر ولله الحمد
Ketiga:
الله أكبر. الله أكبر. الله أكبر. لا إله إلا الله. والله أكبر. الله أكبر. الله أكبر ولله الحمد

4. Puasa hari Arafah

Puasa pada hari Arafah sangat ditekankan berdasarkan sabda beliau shallallahu 'alaihi wasallam tentang puasa hari Arafah:
أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله والسنة التي بعده
"Aku berharap kepada Allah untuk menghapus dosa setahun sebelumnya dan setahun setelahnya." (HR. Muslim)
Beliau juga bersabda ketika ditanya tentang puasa ‘Arafah:
يكفر السنة الماضية والباقية
“(Puasa Arafah tersebut) menghapuskan dosa satu tahun yang lalu dan yang akan datang.” (HR. Muslim)
Akan tetapi barangsiapa yang berada di Arafah -yakni sedang beribadah haji-, maka TIDAK disunnahkan baginya berpuasa karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melakukan wuquf di Arafah dalam keadaan berbuka (tidak berpuasa). *)

Sumber: http://manhajul-anbiya.net

Majmu'ah Manhajul Anbiya

WA Al Istiqomah
WALIS
http://walis-net.blogspot.com/p/depan.html

*) Berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiallahu ’anhu bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam berbuka di Arafah, Ummul Fadhl mengirimkan segelas susu kepada beliau, lalu beliau meminumnya. (HR. Tirmidzi:  750, dishahihkan Al-Albani dalam shahih Tirmidzi)
Juga diriwayatkan dari hadits Ibnu Umar radhiallahu ’anhu bahwa beliau ditanya tentang hukum berpuasa pada hari Arafah di Arafah? Beliau menjawab:
حَجَجْتُ مع النبي فلم يَصُمْهُ وَمَعَ أبي بَكْرٍ فلم يَصُمْهُ وَمَعَ عُمَرَ فلم يَصُمْهُ وَمَعَ عُثْمَانَ فلم يَصُمْهُ وأنا لَا أَصُومُهُ ولا آمُرُ بِهِ ولا أَنْهَى عنه
“Aku menunaikan ibadah haji bersama Nabi shallahu ‘alaihi wasalam dan beliau tidak berpuasa pada hari itu. Aku bersama Abu Bakar radhiallahu ’anhu beliau pun tidak berpuasa padanya. Aku bersama Umar dan beliau pun tidak berpuasa padanya. Aku bersama Utsman dan beliau pun tidak berpuasa padanya. Dan akupun tidak berpuasa padanya, dan aku tidak memerintahkannya dan tidak pula melarangnya.” (HR. Tirmidzi: 751. Dishahihkan Al-Albani dalam shahih Tirmidzi)

Tentang PERBEDAAN ADALAH RAHMAT

Pertanyaan: Di antara manusia ada yang mengatakan bahwa perbedaan adalah rahmat.

Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i menjawab:

Perbedaan (ikhtilaf) ada tiga macam:
1. Ikhtilaf al-afham (perbedaan pemahaman)
Para shababat pernah mengalami perbedaan yang seperti ini. Bahkan ‘Adi bin Hatim ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ tetap makan (sahur) hingga jelas baginya perbedaan antara benang yang putih dengan benang yang hitam. Dia menaruh di bawah bantalnya, benang putih dan benang hitam, dan tetap makan (sahur), berdasarkan apa yang dia pahami dari firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam.” (Al-Baqarah: 187)
Sampai Allah subhanahu wa ta’ala turunkan ayat:
“Yaitu fajar.” (Al-Baqarah: 187)
Ikhtilaful afham insya Allah tidak mengapa. Bahkan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada ‘Adi bin Hatim:
ﺇِﻥَّ ﻭِﺳَﺎﺩَﻙَ ﻟَﻌَﺮِﻳﺾٌ
“Sesungguhnya bantalmu lebar.”
Beliau tidaklah mengatakan kepadanya: “Ulangilah (puasamu) pada hari-hari yang engkau makan (sahur setelah lewatnya fajar).”
2. Ikhtilaf tanawwu’ (perbedaan/keanekaragaman tata cara)
Yakni, diriwayatkan dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ada beberapa macam cara/bacaan tasyahud dalam shalat, juga ada beberapa macam bacaan shalawat atas Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Ikhtilaf jenis ini, kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang yang jahil (bodoh). Dan keadaannya memang seperti yang beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam katakan, tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang yang jahil.
3. Ikhtilaf tadhad (perbedaan kontradiktif)
Apa itu ikhtilaf tadhad? Yaitu seseorang menyelisihi suatu dalil yang jelas, tanpa alasan. Inilah yang diingkari oleh para salaf, yaitu menyelisihi dalil yang shahih dan jelas tanpa alasan.

Adapun hadits yang menjadi sandaran mereka yaitu:
ﺍﺧْﺘِﻠَﺎﻑُ ﺃُﻣَّﺘِﻲ ﺭَﺣْﻤَﺔٌ
“Perbedaan umatku adalah rahmat.”
Ini adalah hadits yang tidak ada sanad dan matannya. Munqathi’ (terputus sanadnya) kata As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Jami’ Ash-Shaghir. Beliau juga berkata: “Mungkin saja ada sanadnya, yang tidak kita ketahui.” Namun hal ini akan berakibat tersia-siakannya sebagian syariat, sebagaimana dikatakan Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani.

Adapun tentang matan hadits ini, maka Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman:
“Tetapi mereka senantiasa berselisih.pendapat. Kecuali orang yang dirahmati Rabbmu.” (Hud: 118-119)
Mafhum dari ayat yang mulia ini, bahwa orang-orang yang dirahmati oleh Allah subhanahu wa ta’ala tidaklah berselisih. Sedangkan orang-orang yang tidak dirahmati Allah subhanahu wa ta’ala akan berselisih.

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sebagaimana dalam Ash-Shahihain dari hadits Abu Hurairah :
ﺫَﺭُﻭﻧِﻲ ﻣَﺎ ﺗَﺮَﻛْﺘُﻜُﻢْ ﻓَﺈِﻧَّﻤَﺎ ﺃَﻫْﻠَﻚَ ﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻗَﺒْﻠَﻜُﻢْ ﻛَﺜْﺮَﺓُ ﻣَﺴَﺎﺋِﻠِﻬِﻢْ ﻭَﺍﺧْﺘِﻠَﺎﻓُﻬُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻧْﺒِﻴَﺎﺋِﻬِﻢْ
“Biarkanlah aku dan apa yang aku tinggalkan untuk kalian. Hanyalah yang membinasakan orang-orang yang sebelum kalian adalah banyaknya mereka bertanya, dan banyaknya penyelisihan terhadap nabi-nabi mereka.”
Ini merupakan dalil bahwa ikhtilaf (perselisihan/perbedaan) adalah kebinasaan, bukan rahmat.

Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda sebagaimana dalam Shahih Al-Bukhari dari hadits Ibnu Mas’ud, di mana Ibnu Mas’ud dan salah seorang temannya berselisih tentang qira`ah (bacaan Al-Qur`an):
ﻟَﺎ ﺗَﺨْﺘَﻠِﻔُﻮﺍ ﻛَﻤَﺎ ﺍﺧْﺘَﻠَﻒَ ﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻗَﺒْﻠَﻜُﻢْ ﻓَﺘَﻬْﻠِﻜُﻮﺍ ﻛَﻤَﺎ ﻫَﻠَﻜُﻮﺍ
“Janganlah kalian berselisih sebagaimana orang-orang sebelum kalian telah berselisih, sehingga kalian binasa sebagaimana mereka telah binasa.”

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sebagaimana dalam Shahih Muslim dari hadits An-Nu’man bin Basyir:
ﺍﺳْﺘَﻮُﻭﺍ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﺨْﺘَﻠِﻔُﻮﺍ ﻓَﺘَﺨْﺘَﻠِﻒَ ﻗُﻠُﻮﺑُﻜُﻢْ
“Luruskan (shaf kalian), dan janganlah berselisih, sehingga hati-hati kalian akan berselisih.”
Dalam sebuah riwayat:
ﻟَﺎ ﺗَﺨْﺘَﻠِﻔُﻮﺍ ﻓَﺘَﺨْﺘَﻠِﻒَ ﻭُﺟُﻮﻫُﻜُﻢْ
“Janganlah kalian berselisih, sehingga akan berselisihlah wajah-wajah kalian.”

Dalam Musnad Al-Imam Ahmad, Sunan Abu Dawud, dari hadits Abu Tsa’labah Al-Khusyani ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ disebutkan ketika Nabi shalallahu.‘alaihi wa sallam melihat para shahabatnya berpencar. Mereka singgah di sebuah lembah, lalu setiap kelompok pergi ke tempat masing-masing. Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺇِﻥَّ ﺗَﻔَﺮُّﻗَﻜُﻢْ ﻫَﺬَﺍ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥِ
“Sesungguhnya bercerai-berainya kalian ini adalah dari setan.”
Kemudian beliau shallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk berkumpul. Bila hal ini (terjadi) dalam tercerai-berainya fisik, maka apa sangkaanmu terhadap tercerai-berainya hati? Hadits-hadits tentang hal ini banyak sekali. Saya telah mengumpulkan sebagiannya dalam tulisan pendek yang berjudul Nashihati li Ahlus Sunnah dan telah tercantum dalam Hadzihi Da’watuna wa ‘Aqidatuna.

Yang saya inginkan dari penjelasan ini, bahwa ikhtilaf termasuk kebinasaan. Hanya saja ikhtilaf yang mana? Yaitu ikhtilaf tadhad yang dahulu diingkari oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat.
Ikhtilaf tadhad (misalnya):
- Disebutkan dalam Shahih Muslim dari hadits Salamah ibnul Akwa’, bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam melihat seseorang makan dengan tangan kirinya. Maka beliau shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “Makanlah dengan tangan kanan.” Orang itu menjawab: “Aku tidak bisa.” Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda lagi: “Engkau tidak akan bisa.” Maka orang itu tidak bisa mengangkat tangannya ke mulutnya. Tidak ada yang menghalanginya kecuali kesombongan.

- Dalam Ash-Shahih dari hadits Abu Hurairah, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam masuk menjenguk seorang lelaki tua yang sedang sakit. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “Thahur (Sakit ini sebagai penyuci).” Namun lelaki tua itu justru berkata: “Demam yang hebat, menimpa seorang lelaki tua, yang akan mengantarnya ke kubur.” Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab: “Kalau begitu, benar.” Akhirnya dia terhalangi dari barakah doa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.

- Juga kisah seorang laki-laki yang telah kita sebutkan. Yaitu ketika ada dua orang wanita berkelahi, lalu salah seorang memukul perut yang lain, sehingga gugurlah janinnya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memutuskan agar wanita yang memukul membayar diyat berupa seorang budak. Maka datanglah Haml bin Malik An-Nabighah dan berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana kami membayar diyat (atas kematian seseorang) yang tidak makan dan tidak minum, tidak bicara tidak pula menangis –atau kalimat yang semakna dengan ini–, yang seperti ini tidak dituntut diyatnya.” Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam marah, karena lelaki itu hendak membatalkan hukum Allah dengan sajaknya. Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻫَﺬَﺍ ﻣِﻦْ ﺇِﺧْﻮَﺍﻥِ ﺍﻟْﻜُﻬَّﺎﻥِ
“Orang ini termasuk teman-teman para dukun.”
Yaitu karena sajaknya.

Adapun pengingkaran para ulama terhadap orang yang menolak Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan akalnya, merupakan perkara yang kesempatan ini tidaklah cukup untuk menyebutkannya. Saya telah menyebutkan sebagiannya dalam akhir risalah Syar’iyyatu Ash-Shalati bin Ni’al, juga dalam Rudud Ahlil ‘Ilmi ‘ala Ath-Tha’inin fi Hadits As-Sihr.
Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

(Diambil dari Ijabatus Sa`il, hal. 518-521)

Tentang BERBAKTI KEPADA ORANG TUA DI MASA MEREKA TUA DAN LEMAH

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Terhinalah dia, terhinalah dia, terhinalah dia.” Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah! Siapa?" Beliau bersabda, “Orang yang mendapati kedua orang tuanya ketika tua atau salah satu dari keduanya namun dia masuk neraka.” (HR. Muslim/Shahih Adabul Mufrod)

“Di dalam hadits ini ada anjuran untuk berbakti kepada kedua orang tua, dan berbakti kepada kedua orang tua memiliki pahala amat besar. Artinya, bahwa di dalam berbakti kepada keduanya di saat mereka sudah semakin tua dan lemah, baik dengan memberikan khidmat kita kepada mereka ataupun memberikan nafkah kepada mereka menjadi sebab masuk ke dalam surga, maka barangsiapa yang menguranginya berarti dia kehilangan kesempatannya untuk masuk surga dan Alloh akan menghinakan dirinya.” [Syarah an-Nawawi 16/208-209]

"Barangsiapa yang tidak segera mengambil kesempatan untuk berbuat ihsan kepada keduanya terlebih lagi di masa tua mereka maka akan sangat rentan menjadi hina dan rendah keadaannya." [Faidhul Qodir, al-Munawi 4/34]

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin Rohimahulloh berkata:
“Jika kita perhatikan keadaan umat manusia hari ini, kita akan mendapati kebanyakan dari mereka tidaklah berbakti kepada kedua orang tuanya, bahkan dia berlaku durhaka.
Engkau jumpai dia berlaku baik kepada sahabat-sahabatnya dan tidak merasa jenuh duduk bersama mereka.
Akan tetapi jika dia duduk bersama ayah dan ibunya sesaat saja di waktu siang hari, niscaya engkau dapati dia merasa jenuh, seakan-akan dia berada di atas bara api.
Maka dia bukanlah orang yang berbakti kepada kedua orang tuanya.
Bahkan seorang yang berbakti ialah dia yang:
- lapang dadanya untuk ayah dan ibunya,
- berkhidmat (melayani) untuk menyejukkan kedua mata mereka, dan
- bersemangat dengan sepenuh jiwanya untuk membuat keduanya ridho dengan mengerahkan segala sesuatu yg ia mampu.”
(Syarah Al-Aqidah Al-Wasithiyyah 3/121)

Tentang MEMBACA ALQURAN

Allah berfirman:
“Berkatalah Rasul: Wahai Rabb-ku sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Quran itu sesuatu yang diabaikan.” (Al-Furqan: 30)

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata:
Sepantasnya bagi orang yang memiliki mushaf untuk membacanya dengan melihat mushaf beberapa ayat setiap hari, agar tidak termasuk ‘menjadikan Al-Quran sesuatu yang diabaikan’. (Al Adab As Syariyah, 2/300)

###

Fatwa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu Ta’ala

Pertanyaan:
Syaikh, apa nasehatmu bagi orang-orang yang berlalu sebulan bahkan beberapa bulan, tidak menyentuh Kitabullah al-Karim tanpa udzur dan engkau dapati salah seorang di antara mereka senantiasa mengikuti perkembangan majalah-majalah yang tidak berfaedah?

Jawaban:
Disunnahkan bagi seorang mukmin dan mukminah untuk memperbanyak membaca Kitabullah disertai dengan tadabur dan merenungi maknanya, baik melalui mushaf atau hafalannya, berdasarkan firman Allah Subhanah,
ﻛِﺘَﺎﺏٌ ﺃَﻧْﺰَﻟْﻨَﺎﻩُ ﺇِﻟَﻴْﻚَ ﻣُﺒَﺎﺭَﻙٌ ﻟِﻴَﺪَّﺑَّﺮُﻭﺍ ﺁﻳَﺎﺗِﻪِ ﻭَﻟِﻴَﺘَﺬَﻛَّﺮَ ﺃُﻭﻟُﻮ ﺍﻟْﺄَﻟْﺒَﺎﺏِ
"Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” [Q.S. Shad: 29]
Dan firman-Nya,
ﺇِﻥَّ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﺘْﻠُﻮﻥَ ﻛِﺘَﺎﺏَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺃَﻗَﺎﻣُﻮﺍ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓَ ﻭَﺃَﻧْﻔَﻘُﻮﺍ ﻣِﻤَّﺎ ﺭَﺯَﻗْﻨَﺎﻫُﻢْ ﺳِﺮًّﺍ ﻭَﻋَﻠَﺎﻧِﻴَﺔً ﻳَﺮْﺟُﻮﻥَ ﺗِﺠَﺎﺭَﺓً ﻟَﻦْ ﺗَﺒُﻮﺭَ ﻟِﻴُﻮَﻓِّﻴَﻬُﻢْ ﺃُﺟُﻮﺭَﻫُﻢْ ﻭَﻳَﺰِﻳﺪَﻫُﻢْ ﻣِﻦْ ﻓَﻀْﻠِﻪِ ﺇِﻧَّﻪُ ﻏَﻔُﻮﺭٌ ﺷَﻜُﻮﺭٌ
"Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi. Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Menyukuri.” [Q.S. Fathir: 29-30]
Qiraah yang disebutkan mencakup qiraah dan ittiba. Qiraah yang disertai tadabbur, dicerna dengan akal dan ikhlas karena Allah merupakan pengantar menuju ittiba’ dan terdapat padanya pahala yang besar. Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alalihi wasallam,
ﺍﻗﺮﺀﻭﺍ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﺄﺗﻲ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﺷﻔﻴﻌﺎ ﻷﺻﺤﺎﺑﻪ
"Bacalah al-Quran, sesungguhnya dia datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat bagi para pengikutnya.” Diriwayatkan oleh al-Imam Muslim pada kitab Shahihnya [no. 1337].
Beliau shallallahu ‘alalihi wasallam juga bersabda,
ﺧﻴﺮﻛﻢ ﻣﻦ ﺗﻌﻠﻢ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﻋﻠﻤﻪ
"Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Quran dan mengajarkannya.” Diriwayatkan oleh al-Imam Al-Bukhari [no. 4639].
Beliau shallallahu ‘alalihi wasallam juga bersabda,
ﻣﻦ ﻗﺮﺃ ﺣﺮﻓﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻓﻠﻪ ﺣﺴﻨﺔ ﻭﺍﻟﺤﺴﻨﺔ ﺑﻌﺸﺮ ﺃﻣﺜﺎﻟﻬﺎ ﻻ ﺃﻗﻮﻝ ‏[ﺃﻟﻢ ‏]، ﺣﺮﻑ. ﻭﻟﻜﻦ ﺃﻟﻒ ﺣﺮﻑ ﻭﻻﻡ ﺣﺮﻑ ﻭﻣﻴﻢ ﺣﺮﻑ
"Siapa saja yang membaca satu huruf dari Kitabullah, mendapatkan satu kebaikan. Dan satu kebaikan dilipat gandakan menjadi sepuluh kebaikan. Aku tidak mengatakan bahwa ‘Alif Lam Mim’ satu huruf. Namun Alif satu huruf, Lam satu huruf, dan Mim satu huruf.“ [H.R. at-Tirmidzi no. 2910]
Nabi shallallahu ‘alalihi wasallam pernah berkata kepada Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, “Bacalah al-Quran setiap bulan.” Dia berkata, ‘Sesungguhnya saya mampu lebih banyak daripada itu.’ Beliau bersabda, “Bacalah dalam waktu tujuh hari.” [H.R. Muslim no. 1964]
Dahulu para shahabat Nabi shallallahu ‘alalihi wasallam mengkhatamkan al-Quran dalam waktu tujuh hari. Wasiatku bagi seluruh pembaca al-Quran untuk memperbanyak membaca al-Quran disertai dengan penuh tadabur dan merenunginya, ikhlas karena Allah dan bermaksud untuk meraih faedah dan ilmu. Hendaklah dia mengkhatamkannya setiap bulan. Jika mungkin baginya untuk mengkhatamkan kurang dari tujuh hari, itu suatu kebaikan yang besar. Boleh baginya untuk mengkhatamkannya kurang dari tujuh hari, namun yang afdhal tidak mengkhatamkannya kurang dari tiga hari, karena ini merupakan batasan terkecil yang dibimbingkan oleh Nabi shallallahu ‘alalihi wasallam kepada Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma. Dan qiraah yang kurang dari tiga hari menyebabkan ketergesa-gesaan serta tidak menadaburinya.
Tidak boleh membaca dari mushaf kecuali dalam keadaan suci. Adapun jika membacanya melalui hafalannya, tidak mengapa untuk membacanya tanpa harus berwudhu. Adapun orang junub, tidak boleh untuk membaca dari mushaf, tidak pula dari hafalannya hingga dia mandi. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dan ahli Sunan dengan sanad yang hasan dari shahabat Ali radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, "Dahulu Nabi shallallahu ‘alalihi wasallam, tidak ada yang menghalangi beliau untuk membaca al-Quran selain junub." [H.R. an-Nasai no. 266]
Hanya kepada Allah kita memohon taufik.

Sumber:
Majmu’ Fatawa al-‘Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah jilid 24 hal. 415-418

Alih bahasa: Abu Bakar Jombang

###

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu Ta’ala

Soal:
سماحة الشيخ عبد العزيز بن عبد الله بن باز سلمه الله، السلام عليكم ورحمة الله وبركاته، أما بعد: فإن بعض الناس يأخذون المصحف ويطالعون فيه دون تحريك شفتيهم، هل هذه الحالة ينطبق عليها اسم قراءة القرآن، أم لا بد من التلفظ بها والإسماع لكي يستحقوا بذلك ثواب قراءة القرآن؟ وهل المرء يثاب على النظر في المصحف؟ أفتونا جزاكم الله خيراً. وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz semoga Allah menjaganya, as-salamualaikum warahmatullahi wa barakatuhu, amma badu:
Sebagian orang mengambil mushaf dan menelaahnya tanpa menggerakkan kedua bibirnya. Apakah semacam ini dapat dikategorikan membaca al-Quran atau ia harus melafadzkan dan memperdengarkannya supaya berhak mendapatkan pahala membaca al-Quran? Apakah seorang itu diberi pahala hanya dengan menelaah mushhaf? Berilah fatwa kepada kami, semoga Allah membalas anda kebaikan.
Waalaikumus salam warahmatullahi wa barakatuhu.

Jawab:
لا مانع من النظر في القرآن من دون قراءة للتدبر والتعقل وفهم المعنى، لكن لا يعتبر قارئاً ولا يحصل له فضل القراءة إلا إذا تلفظ بالقرآن ولو لم يسمع من حوله، لقول النبي صلى الله عليه وسلم: ((اقرءوا القرآن فإنه يأتي يوم القيامة شفيعاً لأصحابه)) رواه مسلم. ومراده صلى الله عليه وسلم بأصحابه الذين يعملون به، كما في الأحاديث الأخرى، وقال صلى الله عليه وسلم: ((من قرأ حرفاً من القرآن فله به حسنة والحسنة بعشر أمثالها)) خرجه الترمذي، والدارمي بإسناد صحيح، ولا يعتبر قارئاً إلا إذا تلفظ بذلك، كما نص على ذلك أهل العلم، والله ولي التوفيق
Tidak mengapa menelaah al-Quran tanpa membaca (qiraah) untuk mentadabburi, merenungi, dan memahami maknanya. Namun ia tidak teranggap sebagai orang yang membaca al-Quran dan tidak mendapatkan keutamaan membaca (qiraah) kecuali bila ia melafadzkannya meskipun orang yang ada disekitar tidak sampai mendengarnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:
اقرءوا القرآن فإنه يأتي يوم القيامة شفيعا لأصحابه رواه مسلم
Bacalah al-Quran karena ia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat bagi pemiliknya. (HR. Muslim)
Yang diinginkan oleh beliau shallallahu alaihi wa sallam bagi pemiliknya yaitu orang-orang yang mengamalkannya, sebagaimana dalam hadits-hadits yang lainnya. Dan beliau bersabda:
من قرأ حرفا من القرآن فله به حسنة والحسنة بعشر أمثالها
Barang siapa membaca satu huruf dari al-Quran, maka baginya satu kebaikan dan satu kebaikan itu akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisalnya. (HR. at-Tirmidzi dan ad-Darimi dengan sanad yang shahih)
Dan tidak teranggap sebagai orang yang membaca al-Quran kecuali bila dengan melafadzkannya sebagaimana ditegaskan oleh para ulama. Dan Allah jualah yang memberi taufik.

Sumber: 
www .binbaz .org .sa/node/2013

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

###

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Membaca satu ayat saja namun dengan tafakkur dan upaya memahaminya, lebih baik daripada membaca (al-Quran) sampai khatam namun tanpa tadabbur dan upaya memahaminya, dan lebih bermanfaat bagi hati, serta lebih mengantarkan kepada memperoleh iman, juga merasakan manisnya Al-Quran.”
(Miftah Daris Saadah I/553)

Majmuah Manhajul Anbiya

Tentang ZAKATNYA PEGAWAI ATAU KARYAWAN DENGAN GAJI BULANAN

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

Pertanyaan: Penanya yang bernama Abu Khalid mengatakan: “Berkaitan dengan gaji bulanan, jika uangnya langsung masuk rekening bank, bagaimanakah caranya agar saya bisa mengetahui zakatnya?”

Jawaban:

Masalah ini banyak dijumpai oleh para pegawai atau karyawan dan orang-orang yang mendapatkan pemasukan atau penghasilan bulanan. Yang akan membebaskan diri dari tanggung jawab adalah dengan menentukan waktu tertentu setiap setahun sekali untuk mengeluarkan zakat dengan syarat telah terkumpul jumlah yang memenuhi (nishab atau batas minimal nilai yang terkena kewajiban zakat). Dia hitung dan dia keluarkan zakatnya. Hendaknya hal serupa dia lakukan pada tahun berikutnya. Dengan cara itu insya Allah dia telah membebaskan diri dari tanggung jawab.

###

Tambahan faedah dari kitab Ahkaamuz Zakaah, karya Asy-Syaikh Zayid bin Husain Al-Wushaby, salah seorang pengajar di Daarul Hadits Ma’bar Yaman, hal. 166-169 dan hal 190:

Nishab emas adalah 20 dinar. Satu dinar sama dengan 4,25 gram emas murni. Jadi nishab emas adalah 85 gram.
Sedangkan nishab perak adalah 200 dirham. Satu dirham sama dengan 2,975 gram perak murni. Jadi nishab perak adalah 595 gram.

Misalkan, harga 1 dinar adalah Rp. 2.388.925. Sedangkan harga 1 dirham adalah Rp. 91.053. Jadi sebagai contoh nishab perak adalah Rp. 91.053 x 200 = Rp. 18.210.600. Sedangkan nishab emas adalah Rp. 2.388.925 x 20 = Rp. 47.778.500.

Untuk nishab uang para ulama menguatkan pendapat bahwa nishabnya adalah yang paling sedikit dari nilai nishab emas dan perak. Misalnya nilai nishab emas lebih sedikit maka nishabnya dinilai dengan emas. Sedangkan jika nilai nishab perak lebih sedikit maka nishabnya dengan nilai perak. Jadi untuk saat ini (karena menyesuaikan nilai perak) seseorang akan terkena kewajiban zakat, jika dia menyimpan uang selama setahun penuh tanpa berkurang sehari pun sesuai dengan kalender Hijriyah, senilai Rp. 18.210.600.

Alih bahasa: Abu Almass

Tentang MENCABUT UBAN

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
ﻟَﺎ ﺗَﻨْﺘِﻔُﻮْﺍ ﺍﻟﺸَّﻴْﺐَ ﻓﺈﻧَّﻪُ ﻧُﻮْﺭٌ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ﻭَﻣَﻦْ ﺷَﺎﺏَ ﺷَﻴْﺒَﺔً ﻓِﻲْ ﺍﻟْﺈِﺳْﻠَﺎﻡِ ﻛُﺘِﺐَ ﻟَﻪُ ﺑِﻬَﺎ ﺣَﺴَﻨَﺔٌ ﻭَﺣُﻂَّ ﻋَﻨْﻪُ ﺑِﻬَﺎ ﺧَﻄِﻴْﺌَﺔٌ ﻭَﺭُﻓِﻊَ ﻟَﻪُ ﺑِﻬَﺎ ﺩَﺭَﺟَﺔٌ .
“Janganlah kalian mencabut uban, karena dia merupakan cahaya pada hari kiamat nanti, dan siapa saja yang memiliki satu uban dalam keadaan dia di atas agama Islam, maka dengan setiap ubannya itu dia akan dicatatkan satu kebaikan untuknya, dihapus satu kesalahannya darinya, dan diangkat baginya satu derajat.”
Asy-Syaikh Al-Albany rahimahullah berkata dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 1243: “Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban no. 1479 dengan sanad hasan.”

Tentang PEMBAGIAN DAGING HEWAN KURBAN

Allah telah berfirman,
ﻟﻴَﺸﻬَﺪُﻭﺍ ﻣَﻨﺎﻓِﻊَ ﻟَﻬُﻢ ﻭًﻳﺬﻛﺮُﻭﺍ ﺁﺳﻢَ ﺍﻟﻠﻪِ ﻓِﻰ ﺃﻳﺎﻡٍ ﻣﻌﻠُﻮﻣَﺎﺕٍ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ ﺭَﺯَﻗَﻬُﻢ ﻣﻦ ﺑَﻬِﻴﻤَﺔِ ﺍَﻷﻧﻌﺎﻡِ ﻓَﻜُﻠُﻮﺍْ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﻭَﺃﻃْﻌِﻤُﻮﺍ ﺁﻟْﺒَﺂﺋِﺲَ ﺍَﻟﻔَﻘِﻴﺮَ
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. Al-Hajj:28)

Allah juga berfirman,
ﻭَﺍﻟﺒُﺪﻥَﺟَﻌَﻠْﻨَﺎﻫَﺎ ﻟَﻜْﻢ ﻣٍﻦّ ﺷَﻌَﺎﺋِﺮِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻟَﻜْﻢْ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺧَﻴْﺮٌ ﻓَﺎَﺫْﻛُﺮُﻭﺍ ﺍَﺳﻢَ ﺍَﻟﻠﻪِ ﻋَﻠَﻴﻬﺎ ﺻَﻮَﺁﻑَّ ﻓَﺈﺫَﺍ ﻭَﺟَﺒَﺖ ﺟُﻨُﻮﺑُﻬَﺎ ﻓَﻜُﻠْﻮﺍْ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﻭَﺃﻃﻌِﻤُﻮﺍ ﺍﻟْﻘَﺎﻧِﻊَ ﻭَﺍﻟْﻤُﻌﺘَﺮَّ ﻛَﺬَﺍﻟِﻚَ ﺳَﺨَّﺮْﻧَﺎﻫَﺎ ﻟَﻜْﻢْ ﻟَﻌَﻠَّﻜﻢ ﺗَﺸْﻜُﺮُﻭﻥَ
“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syiar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.” (QS. Al-Hajj:36‏)

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, "Jadi hendaknya seseorang memakan sebagian dagingnya, menyedekahkan sebagiannya kepada fuqoro’, dan menghadiahkan sisanya kepada orang yang mampu, dalam rangka melembutkan hati dan menumbuhkan rasa cinta. Sehingga di dalam udhiyah (kurban) tersebut terkumpul tiga perkara yang dimaukan oleh syari’at, yaitu:
1. Bersenang-senang dengan nikmat Allah dengan memakan sebagiannya.
2. Mengharap pahala Allah dengan menyedekahkannya.
3. Saling mencinta di antara hamba Allah dengan cara menghadiahkannya.
Ini adalah kandungan mulia yang dimaukan oleh syari’at. Oleh karenanya sebagian ulama menyukai daging hewan kurban dibagi menjadi tiga bagian, sepertiga dimakan, sepertiga disedekahkan, dan sepertiga lagi dihadiahkan."
(Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin 25/12-14)

Boleh memberikan daging hewan kurban kepada orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin dan tidak menampakkan kebencian kepada mereka. (Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin 25/133)

Diperbolehkan menyimpan daging hewan kurban walaupun lebih dari tiga hari. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻧَﻬَﻴْﺘُﻜُﻢْ ﻣِﻦْ ﺃَﺟْﻞِ ﺍﻟﺪَّﺍﻓَّﺔِ ﺍﻟَّﺘِﻲ ﺩَﻓَّﺖْ، ﻓَﻜُﻠُﻮﺍ ﻭَﺍﺩَّﺧِﺮُﻭﺍ ﻭَﺗَﺼَﺪَّﻗُﻮﺍ
“Hanyalah dahulu aku melarang kalian (menyimpan daging kurban) karena ada golongan yang membutuhkan. Sekarang makanlah, simpanlah, dan bersedekahlah” (HR. Muslim no.1971)

Tentang HEWAN KURBAN YANG PALING UTAMA

Pertanyaan: “Manakah yang lebih afdhal di dalam berkurban, domba atau sapi?”

Asy-Syaikh Al-Utsaimin menjawab, “Para fuqoha’ menyebutkan, apabila ditinjau dari sisi seorang yang berkurban dengan satu hewan (sendirian), maka yang afdhal adalah unta, kemudian sapi, kemudian kambing, dan kambing domba lebih afdhal dari kambing kacang. Akan tetapi jika berserikat 7 orang dalam berkurban unta dan sapi, maka berkurban kambing lebih afdhal, dan domba lebih afdhal dari kambing kacang."
(Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin 25/34-35)

###

Pertanyaan: “Manakah yang lebih afdhal di dalam berkurban, yang besar hewannya dan banyak gajih dan dagingnya atau yang mahal harganya?

Asy-Syaikh Al-Utsaimin menjawab, “Permasalahan ini apakah yang afdhal dalam berkurban yang mahal harganya atau yang gemuk badannya? Sebenarnya keumuman yang ada bahwa dua perkara itu adalah mutalazim, dan bahwasanya hewan yang gemuk dan banyak dagingnya lebih afdhal, tapi terkadang juga sebaliknya. Apabila kita melihat kepada manfa’at dari berkurban tersebut maka tentu hewan yang besar lebih afdhal walaupun harganya murah. Tapi jika kita melihat kepada kejujuran hati dalam beribadah kepada Allah Azza wa Jalla bisa kita katakan bahwa yang mahal lebih afdhal, karena ketika seseorang mengeluarkan hartanya dalam jumlah banyak untuk beribadah kepada Allah, itu sebagai bukti atas kesempurnaan ibadahnya dan kejujuran ibadahnya.
Sebagai jawaban dari pertanyaan ini kami katakan, coba perhatikan mana yang lebih bermaslahat bagi hatimu maka lakukanlah. Ketika dua maslahat yang telah disebutkan tadi bertentangan, maka perhatikanlah mana yang lebih bermasalahat bagi hatimu. Jika engkau memandang bahwa dirimu akan bertambah keimanannya dan rasa tunduknya kepada Allah Azza wa Jalla dengan memilih yang harganya mahal, maka berkurbanlah dengan yang harganya mahal."
(Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin 25/34-35)

###

Faedah: Ada beberapa kriteria ideal yang harus diperhatikan untuk mencapai keafdhalan prima dalam beribadah qurban. Di antaranya:
1. Berwarna putih bercampur hitam dan bertanduk. Dalilnya adalah hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Beliau berqurban dengan dua kambing kibasy yang berwarna putih bercampur hitam lagi bertanduk.” (HR. Al-Bukhari no. 5565 dan Muslim no. 1966)
2. Berwarna hitam pada kaki, perut dan kedua matanya. Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
“Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mendatangkan kambing kibasy bertanduk, menginjak pada hitam, menderum pada hitam, dan memandang pada hitam, untuk dijadikan hewan qurban.” (HR. Muslim no. 1967)
3. Gemuk dan mahal. Dalilnya adalah hadits Anas yang telah lewat, riwayat Abu ‘Awanah (no. 7796) dengan lafadz: "gemuk." Dalam lafadz lain: "mahal."

Faedah: Mana yang lebih afdhal, kualitas hewan qurban atau kuantitasnya?
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu menjawab:
“Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Pendapat yang shahih adalah dengan perincian:
– Bila taraf kehidupan masyarakatnya makmur dan lapang, maka kualitas hewan lebih afdhal.
– Bila mereka dalam kesempitan hidup, maka semakin banyak kuantitasnya semakin afdhal, supaya kemanfaatan hewan qurban merata untuk seluruh masyarakat.” (Syarh Bulughil Maram, 6/73-74)

Faedah: Umur Hewan Qurban
Diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Janganlah kalian menyembelih (hewan qurban) kecuali musinnah. Kecuali bila kalian sulit mendapatkannya, maka silakan kalian menyembelih jadza’ah dari kambing domba (kambing domba
yang berumur 6 bulan).” (HR. Muslim no. 1963)
Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan ketentuan tentang umur hewan qurban yaitu musinnah.
Musinnah pada unta adalah yang genap berumur 5 tahun dan masuk pada tahun ke-6. Demikian yang dijelaskan oleh Al-Ashmu’i, Abu Ziyad Al-Kilabi, dan Abu Zaid Al-Anshari.
Musinnah pada sapi adalah yang genap berumur 2 tahun dan masuk pada tahun ke-3. Inilah pendapat yang masyhur sebagaimana penegasan Ibnu Abi Musa. Ada juga yang berpendapat genap berumur 3 tahun masuk pada tahun ke-4.
Musinnah pada ma’iz (kambing jawa) adalah yang genap berumur setahun. Begitu pula musinnah pada dha`n (kambing domba). Demikian penjelasan Ibnu ‘Utsaimin dalam Syarh Bulughil Maram (6/84). Lihat pula Syarhul Kabir (5/167-168) karya Ibnu Qudamah rahimahullahu.

Faedah:
Al-Imam Muhammad Amin Asy-Syinqithi rahimahullahu dalam tafsirnya, Adhwa`ul Bayan (3/485), menukil kesepakatan ulama tentang bolehnya menyembelih hewan qurban secara umum, baik yang jantan maupun betina. Dalilnya adalah keumuman ayat yang menjelaskan masalah hewan qurban, tidak ada perincian harus jantan atau betina, seperti ayat 28, 34, dan 36 dari surat Al-Hajj. Para ulama hanya berbeda pendapat tentang mana yang lebih afdhal. Yang rajih adalah bahwa kambing domba jantan lebih utama daripada yang betina. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih kambing kibasy (jantan) bukan na’jah (betina). Wallahu a’lam bish-shawab.

Faedah: Cacat yang menghalangi keabsahan hewan qurban
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya: “Hewan qurban yang bagaimana yang hendaknya dihindari?” Maka beliau memberikan isyarat dengan tangannya dan bersabda:
ﺃﺭﺑﻌﺎ : ﺍﻟﻌﺮﺟﺎﺀ ﺍﻟﺒﻴﻦ ﻇﻠﻌﻬﺎ ، ﻭﺍﻟﻌﻮﺭﺍﺀ ﺍﻟﺒﻴﻦ ﻋﻮﺭﻫﺎ ، ﻭﺍﻟﻤﺮﻳﻀﺔ ﺍﻟﺒﻴﻦ ﻣﺮﺿﻬﺎ ، ﻭﺍﻟﻌﺠﻔﺎﺀ ﺍﻟﺘﻲ ﻻ ﺗﻨﻘﻲ .
“Ada empat, yaitu (1) yang pincang dan jelas pincangnya, (2) yang picak matanya dan jelas picaknya, (3) yang sakit dan jelas sakitnya, dan (4) yang kurus dan tidak bersumsum.” (HR. Abu Dawud no. 2802, At-Tirmidzi no. 1502, Ibnu Majah no. 3144 dengan sanad yang dishahihkan oleh An-Nawawi rahimahullahu dalam Al-Majmu’ 8/227)
Pada riwayat At-Tirmidzi disebutkan Al-’Ajfa’ (yang kurus), dan dalam riwayat An-Nasa’i disebutkan pengganti dari lafazh Al-Kasir (yang lemah).

Tentang HUKUM BERKURBAN

Allah berfirman dalam ayatNya:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka sholatlah untuk Rabbmu dan berkurbanlah.” [Al Kautsar: 2]
Ibnu Abbas menafsirkan: “Berkurbanlah pada hari nahr (hari idul adha).”

Nabi shallallahu alaihi wa sallam ditanya:
سئل أي العمل أفضل قال: العج و الثج
‘Amal apakah yang terbaik?’ Beliau menjawab: “Mengeraskan talbiah dan menyembelih qurban.” [HR al Hakim, disahihkan oleh Al Albani]

Dalam hadits Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا
“Barang siapa yang punya kelapangan dan tidak menyembelih kurban, maka janganlah mendekat musholla kami.” [HR Ibnu Majah, disahihkan oleh Al Albani]

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ عَلَى أَهْلِ كُلِّ بَيْتٍ فِي كُلِّ عَامٍ أَضْحَاةً
“Wahai manusia sesungguhnya atas tiap keluarga, tiap tahunnya berkeharusan menyembelih qurban.” [HR Ahmad, dihasankan oleh Al Albani]

Asy-Syaikh Al-Utsaimin berkata,
“(Hukum) berkurban adalah sunnah muakkadah bagi orang yang mampu. Bahkan sebagian ahlul ilmi menyatakan, hukum berkurban adalah wajib. Di antara ulama yang berpendapat wajib adalah Abu Hanifah dan pengikutnya rahimahumullah, juga dalam satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Dan pendapat ini yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Atas dasar ini maka tidak sepantasnya bagi orang yang mampu untuk tidak berkurban.
Adapun orang yang tidak memiliki uang, maka tidak sepantasnya dia berhutang hanya untuk berkurban, karena hutang akan membebani dirinya, sedangkan dia tidak tahu apakah mampu untuk membayar hutang itu atau tidak. *)
Akan tetapi bagi orang yang mampu maka jangan meninggalkan berkurban karena itu adalah sunnah.
Dan hakekat berkurban adalah (1 ekor) mencukupi seorang (yang berkurban) dan keluarganya, ini yang sunnah sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Beliau dahulu menyembelih satu ekor domba dengan niat dari beliau dan keluarga beliau. Dan seseorang jika menyembelih satu ekor domba dengan niat dari dirinya dan keluarganya, maka hal itu sudah mencukupi bagi keluarganya yang masih hidup dan yang sudah meninggal. Sehingga tidak perlu berkurban khusus untuk keluarga yang telah meninggal sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang, di mana mereka mengkhususkan kurban untuk keluarga yang telah meninggal tapi membiarkan diri-diri mereka dan keluarga yang hidup tidak berkurban.
Adapun berkurban bagi orang yang telah meninggal jika itu adalah wasiat darinya maka harus dilaksanakan wasiat tersebut. Wallahu a'lam."
(Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin 25/34-35)

*) Dalam masalah ini (berhutang hanya untuk berkurban) ada dua pendapat dari para ulama:
1. Pendapat Pertama:
Membolehkan perkara tersebut. Di antara mereka Abu Hatim rahimahullah, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Katsir dari Sufyan Ats-Tsauri. Sufyan ats-Tsauri rahimahullah mengatakan, “Dulu Abu Hatim pernah berhutang untuk membeli unta kurban. Beliau ditanya: “Apakah kamu berhutang untuk membeli unta kurban?” Beliau jawab: “Saya mendengar Allah berfirman:
لَكُمْ فِيهَا خَيْر
“Kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya (unta-unta kurban tersebut).” (Al Hajj:36)
[Lihat Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj: 36 (5/426)]
Kemudian di antaranya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah, beliau berkata dalam Majmu'ul Fatawa (26/307): “Seorang yang memiliki hutang boleh berkurban jika dia tidak diminta untuk (segera) melunasinya. Dan (boleh pula) seseorang berhutang untuk berkurban jika dia memiliki kemampuan untuk membayarnya.”
Asy-Syekh Bin Baz rahimahullah juga membolehkan hal tersebut, beliau berkata: “Tidak mengapa seorang muslim berhutang dalam rangka menyembelih kurban, jika dia memiliki kemampuan untuk membayar hutang tersebut.” [Majmu' Fatawa ibn Baz (18/38)]
2. Pendapat Kedua:
Menyarankan untuk mendahulukan pelunasan hutang sebelum berkurban.
Di antara mereka adalah asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah. Beliau menjelaskan, “Jika seseorang memiliki hutang maka selayaknya mendahulukan pelunasan hutangnya daripada berkurban.” [Syarhul Mumti’ (7/423)]
Pada hakekatnya kedua pendapat tersebut masih bisa digabungkan.
Pendapat pertama yang menyarankan berhutang ketika kurban adalah bagi orang yang mampu dan mudah baginya untuk melunasi hutang. Sehingga dia bisa tetap berkurban dan membayar hutangnya.
Adapun pendapat kedua yang menyarankan untuk mendahulukan pelunasan hutang daripada kurban adalah bagi orang yang kesulitan ekonomi, sehingga kesulitan dalam melunasi hutang. Sehingga ketika berkurban dia tetap tidak bisa membayar hutangnya.
Wallahu a’lam.
(Dikumpulkan oleh al-Ustadz Abdul Hadi Pekalongan hafidzahullah)

Tentang BERAMAL SESUAI SUNNAH LEBIH BAIK DARIPADA MEMPERBANYAK AMALAN

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin ditanya tentang seseorang yang sudah berkeluarga akan tetapi masih tinggal bersama orang tuanya, dan dia memiliki harta. Apakah dia mencukupkan dengan kurban orang tuanya?

Beliau menjawab, “Yang sesuai dengan sunnah ialah seseorang berkurban untuk dirinya dan keluarganya, baik yang masih kecil atau yang sudah besar (yakni cukup satu ekor saja). Adapun jika dia tinggal secara terpisah dari ayahnya, yaitu dia tinggal di rumah sendiri dan ayahnya di rumahnya sendiri, maka masing-masingnya berkurban sendiri-sendiri. Si ayah berkurban untuk dia dan keluarganya (yang serumah dengan dia) dan si anak berkurban untuk dia dan keluarganya.

Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa yang disebutkan ini adalah yang sesuai dengan sunnah, bukan maksudnya diharamkan bagi si anak yang tinggal bersama orang tuanya untuk berkurban sendiri. Akan tetapi tidak diragukan lagi bahwasanya mencocoki sunnah itu lebih baik daripada tidak. Aku akan berikan sebuah permisalan: ada dua orang, yang satu menegakkan shalat sunnah fajar secara ringkas dan yang satunya memanjangkannya, mana dari keduanya yang lebih mencocoki sunnah? Jawabannya adalah orang pertama yang shalatnya pendek (yang mencocoki sunnah). Akan tetapi orang kedua walaupun dia memanjangkan shalatnya dan menyalahi sunnah dia tidak dianggap berdosa. Demikian pula, jika kita katakan bahwa yang sunnah bagi penghuni dalam satu rumah menyembelih 1 hewan kurban, dan yang akan melakukannya adalah kepala rumah tangga. Bukan berarti seandainya mereka berkurban lebih dari satu ekor maka mereka berdosa, mereka tidak berdosa. Hanyasaja beramal sesuai sunnah lebih afdhal ketimbang memperbanyak amalan. Allah Ta’ala berfirman,
‏ ﻟِﻴَﺒْﻠُﻮَﻛُﻢْ ﺃَﻳُّﻜُﻢْ ﺃَﺣْﺴَﻦُ ﻋَﻤَﻠًﺎ‏
“agar Allah menguji kalian, siapakah di antara kalian yang paling baik amalannya.” (QS. Al-Mulk :2)

Oleh karena itu, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengutus dua orang dalam suatu keperluan. Ketika keduanya tidak mendapati air (untuk berwudhu), keduanya pun bertayamum dan melakukan shalat. Kemudian (ketika selesai shalat) keduanya mendapati air. Lantas seorang dari keduanya berwudhu’ dan mengulangi shalatnya, sedangkan yang satu lagi tidak berwudhu’ dan tidak mengulangi shalatnya. Kejadian itu dilaporkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, maka beliau berkata kepada orang yang tidak mengulangi shalatnya, “Engkau telah benar (mencocoki sunnah)". Dan kepada orang yang mengulangi shalatnya beliau katakan, “Engkau mendapat pahala dua kali.” Maka tentu saja yang afdhal dari keduanya adalah yang mencocoki sunnah. Hanyalah orang satunya mendapat pahala dua kali dikarenakan dia melakukan dua amalan, sehingga mendapat pahala dari dua amalan tersebut. Akan tetapi pahalanya tidak seperti orang yang mencocoki sunnah."

(Majmu Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin 25/39)

Tentang MENYERAHKAN ZAKAT KEPADA BADAN AMIL ZAKAT

Telah diajukan sebuah pertanyaan kepada Al-Lajnah Ad-Da`imah tentang sebuah organisasi yang bernama Jum’iyyatul Bir di Jeddah, Saudi Arabia yang mengelola anak yatim dan bantuan kepada keluarga yang membutuhkan, menerima zakat dan menyalurkannya kepada orang-orang yang membutuhkan.
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab:
“Organisasi tersebut wajib untuk menyalurkan zakat fitrah kepada orang-orang yang berhak sebelum diselenggarakan Shalat Id, tidak boleh menundanya dari waktu itu. Karena Nabi memerintahkan untuk disampaikan kepada orang-orang fakir sebelum Shalat Id. Organisasi itu kedudukannya sebagai wakil dari muzakki (pemberi zakat), dan organisasi tersebut tidak diperkenankan untuk menerima zakat fitrah kecuali seukuran yang ia mampu untuk menyalurkannya kepada orang-orang fakir sebelum Shalat Id. Dan tidak boleh pula membayar zakat fitrah dalam bentuk uang karena dalil-dalil syar’i menunjukkan wajibnya mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk makanan, juga tidak boleh berpaling dari dalil syar’i kepada pendapat seseorang manusia. Apabila muzakki membayarkan kepada organisasi itu dalam bentuk uang untuk dibelikan makanan untuk orang-orang fakir, maka itu wajib dilaksanakan sebelum Shalat Id dan tidak boleh bagi organisasi itu untuk mengeluarkannya dalam bentuk uang.” (Fatawa Al-Lajnah, 9/379, ditanda tangani Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, dan Asy-Syaikh Abdullah Ghudayyan. Lihat pula 9/389)

Akan tetapi pada asalnya zakat fitrah langsung diberikan oleh muzakki kepada yang berhak. (Fatawa Lajnah, 9/389)

Bila ia memberikannya kepada badan amil zakat maka harus diperhatikan minimalnya dua hal:
1. Mereka benar-benar orang yang mengetahui hukum sehingga tahu seluk-beluk hukum zakat dan yang berhak menerimanya.
2. Mereka adalah orang yang amanah, benar-benar menyampaikannya kepada yang berhak, sesuai dengan aturan syar’i.
Hal ini kami tegaskan karena di masa ini banyak orang yang tidak tahu hukum, lebih-lebih tidak sedikit yang tidak amanah. Ada yang mengambilnya tanpa hak dan ada yang menyalurkannya tidak tepat sasaran. Justru zakat itu dikembangkan atau untuk kesejahteraan organisasi/partainya. Atau terkadang dia menundanya, yang berarti menunda pemberian kepada orang yang sangat membutuhkan, walaupun terkadang melegitimasi perbuatan mereka dengan alasan-alasan ‘syar’i’ yang dibuat-buat.

Sumber: Majalah Asy Syariah

Tentang YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini. Sebagian ulama mengatakan sasaran penyalurannya adalah orang fakir miskin secara khusus. Sebagian lagi mengatakan, sasaran penyalurannya adalah sebagaimana zakat yang lain, yaitu 8 golongan sebagaimana tertera dalam surat At-Taubah 60. Ini merupakan pendapat Asy-Syafi’i, satu riwayat dari Ahmad, dan yang dipilih oleh Ibnu Qudamah (Al-Mughni, 4/314).

Dari dua pendapat yang ada, nampaknya yang kuat adalah pendapat yang pertama. Dengan dasar hadits Ibnu Abbas, ia berkata:
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata kotor serta sebagai pemberian makanan untuk orang-orang miskin.” (Hasan, HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud)

Ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syaukani (dalam bukunya As-Sailul Jarrar, sedangkan dalam bukunya yang lain, Ad-Darari, beliau berpendapat seperti Asy-Syafi’i), dan di zaman ini Asy-Syaikh Al-Albani, Asy-Syaikh Ibnu Baz, dan Ibnu Utsaimin.

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menjelaskan dalam Tafsir-nya (341): “Fakir adalah orang yang tidak punya apa-apa atau punya sedikit kecukupan tapi kurang dari setengahnya. Sedangkan miskin adalah yang mendapatkan setengah kecukupan atau lebih tapi tidak memadai.”

Tentang WAKTU MENGELUARKAN ZAKAT FITRAH

Dari Ibnu Umar ia mengatakan:
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menfardhukan zakat fitri satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas budak sahaya, orang merdeka, laki-laki, wanita, kecil dan besar dari kaum muslimin. Dan Nabi memerintahkan untuk ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang menuju shalat (Id).” (Shahih, HR. Al-Bukhari, Kitabuz Zakat Bab Fardhu Shadaqatul Fithri 3/367, no. 1503 dan ini lafadznya. Diriwayatkan juga oleh Muslim)

Dengan demikian, zakat tersebut harus tersalurkan kepada yang berhak sebelum shalat. Sehingga maksud dari zakat fitrah tersebut terwujud, yaitu untuk mencukupi mereka di hari itu. Namun demikian, syariat memberikan kelonggaran kepada kita dalam penunaian zakat, di mana pelaksanaannya kepada amil zakat dapat dimajukan 2 atau 3 hari sebelum Id berdasarkan riwayat Malik dari Nafi’:
“Bahwasanya Abdullah bin Umar menyerahkan zakat fitrahnya kepada petugas yang zakat dikumpulkan kepadanya, 2 atau 3 hari sebelum Idul Fitri.” (Al-Muwaththa`, Kitabuz Zakat Bab Waqtu Irsal Zakatil Fithri, 1/285. Lihat pula Al-Irwa` no. 846)

###

Kapan Zakat Fitrah Dikeluarkan?

Mengeluarkan zakat Fitr, ada tiga waktu:
- Waktu yang utama, ditunaikan di pagi hari raya, sebelum berangkat menuju shalat Ied. Berdasarkan hadits Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, memerintahkan untuk membayar zakat fitr sebelum manusia keluar menuju shalat. (Muttafaq alaihi)
- Waktu wajib, yaitu di saat terbenamnya matahari pada hari akhir di bulan Ramadhan, yang menunjukkan masuknya satu syawal.
- Waktu diperbolehkan, yaitu mengeluarkan zakat fitr sebelum hari raya sehari, dua hari, atau tiga hari sebelumnya. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar bahwa mereka (para sahabat Nabi) mengeluarkan zakat fitr sehari atau dua hari (sebelum hari raya).
(HR. Bukhari)

Juga diriwayatkan Imam Bukhari dari hadits Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu, tatkala Abu Hurairah menjaga zakat fitr selama tiga malam, lalu setan datang mencuri selama tiga malam tersebut.

Adapun mengeluarkan zakat fitr setelah shalat Idul Fitri, maka itu sudah tidak termasuk zakat fitr, namun hanya sebagai sedekah biasa. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu, bahwa ia berkata:
“Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat (Ied), maka itu zakat yang diterima, dan siapa yang menunaikannya setelah shalat, maka itu hanya sedekah di antara sedekah-sedekah yang ada.”(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, dihasankan Al-Albani dalam sahih Abu Dawud)

Namun para ulama mengecualikan orang yang memiliki udzur sehingga dia membayar zakat fitr setelah shalat Idul Fitr. Seperti halnya orang yang tertidur hingga ia terbangun setelah kaum muslimin melaksanakan shalat Ied, maka diperbolehkan baginya membayarnya setelah shalat Ied. Wallahu A’lam.

Oleh:
Abu Muawiyah Askary bin Jamal
14 ramadhan 1433 H.

http://salafybpp.com/index.php/fiqh-islam/92-tuntunan-ringkas-tentang-zakat-fitrah

TIS

WA Lintas Ilmu Shiyam
WALIS

Tentang UKURAN ZAKAT FITRAH

Ukuran zakat fitrah adalah 1 sha’. Satu sha’ sama dengan 4 mud. Sedangkan 1 mud sama dengan 1 cakupan dua telapak tangan yang berukuran sedang. Berapa bila diukur dengan kilogram (kg)?

Fatwa Al-Lajnah ad-Da’imah li al-Buhuts al-‘Ilmiyyah wal al-Ifta’ yang diketuai oleh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz:
“Shadaqah (Zakat) Fithri Wajib dibayarkan dalam bentuk makanan, tidak boleh dibayarkan dalam bentuk nilai (uang).
ADAPUN UKURAN 1 SHA’ KURANG LEBIH = 3 KG.”
(Fatwa no. 17.299)

Fatwa Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz:
“Zakat Fithri dengan sha’ kita sekarang adalah kurang lebih 3 Kg.”
(Fatawa Nur ‘Ala ad-Darb 15/279)

Fatwa Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah:
“Ukuran 1 sha’ dalam kilo adalah = kurang lebih 3 Kg”
(www .alfawzan .af .org .sa/node/2505)

Fatwa Asy-Syaikh Shalih bin Muhammad al-Luhaidan hafizhahullah:
1 sha’ ukurannya adalah 3 Kg.
(Arsip Kumpulan Tanya Jawab asy-Syaikh Badr al-‘Anazi dengan asy-Syaikh al-‘Allamah Shalih al-Luhaidan)

Fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin Rahimahullah:
“Ukuran Zakat Fithri adalah 1 sha’ makanan, Sha’ Nabawi. Yang aku ukur = 2 kg 40 gram. (2040 gram). Yakni sekitar 2,250 Kg Beras.”
(Fatawa Nur ‘ala ad-Darb 2/10)

Keterangan:
- Pemerintah RI melalui Depag RI tahun lalu menghimbau untuk mengeluarkan Zakat Fithri sebesar 2,7 Kg.
- Tahun ini (1436 H) ada juga himbauan dari MUI Jatim, untuk mengeluarkan Zakat Fithri 3 Kg.
- Sementara dalam Peraturan Menag RI No. 52 tahun 2014 dijelaskan bahwa Zakat Fithri 2,5 Kg.

Kita telah tahu bagaimana pendapat-pendapat yang ada di kalangan ‘Ulama Kibar Ahlus Sunnah masa ini.
Jika Anda mengeluarkan 3 Kg, maka itu:
1. Lebih BERHATI-HATI insya Allah.
2. Sesuai dengan fatwa banyak ulama Ahlus Sunnah masa ini.
3. Sesuai dengan himbauan MUI Jatim.
Wallahu alam.

Majmu'ah Manhajul Anbiya