Cari Blog Ini

Kamis, 25 September 2014

Tentang HUKUM BERKURBAN

Allah berfirman dalam ayatNya:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka sholatlah untuk Rabbmu dan berkurbanlah.” [Al Kautsar: 2]
Ibnu Abbas menafsirkan: “Berkurbanlah pada hari nahr (hari idul adha).”

Nabi shallallahu alaihi wa sallam ditanya:
سئل أي العمل أفضل قال: العج و الثج
‘Amal apakah yang terbaik?’ Beliau menjawab: “Mengeraskan talbiah dan menyembelih qurban.” [HR al Hakim, disahihkan oleh Al Albani]

Dalam hadits Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا
“Barang siapa yang punya kelapangan dan tidak menyembelih kurban, maka janganlah mendekat musholla kami.” [HR Ibnu Majah, disahihkan oleh Al Albani]

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ عَلَى أَهْلِ كُلِّ بَيْتٍ فِي كُلِّ عَامٍ أَضْحَاةً
“Wahai manusia sesungguhnya atas tiap keluarga, tiap tahunnya berkeharusan menyembelih qurban.” [HR Ahmad, dihasankan oleh Al Albani]

Asy-Syaikh Al-Utsaimin berkata,
“(Hukum) berkurban adalah sunnah muakkadah bagi orang yang mampu. Bahkan sebagian ahlul ilmi menyatakan, hukum berkurban adalah wajib. Di antara ulama yang berpendapat wajib adalah Abu Hanifah dan pengikutnya rahimahumullah, juga dalam satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Dan pendapat ini yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Atas dasar ini maka tidak sepantasnya bagi orang yang mampu untuk tidak berkurban.
Adapun orang yang tidak memiliki uang, maka tidak sepantasnya dia berhutang hanya untuk berkurban, karena hutang akan membebani dirinya, sedangkan dia tidak tahu apakah mampu untuk membayar hutang itu atau tidak. *)
Akan tetapi bagi orang yang mampu maka jangan meninggalkan berkurban karena itu adalah sunnah.
Dan hakekat berkurban adalah (1 ekor) mencukupi seorang (yang berkurban) dan keluarganya, ini yang sunnah sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Beliau dahulu menyembelih satu ekor domba dengan niat dari beliau dan keluarga beliau. Dan seseorang jika menyembelih satu ekor domba dengan niat dari dirinya dan keluarganya, maka hal itu sudah mencukupi bagi keluarganya yang masih hidup dan yang sudah meninggal. Sehingga tidak perlu berkurban khusus untuk keluarga yang telah meninggal sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang, di mana mereka mengkhususkan kurban untuk keluarga yang telah meninggal tapi membiarkan diri-diri mereka dan keluarga yang hidup tidak berkurban.
Adapun berkurban bagi orang yang telah meninggal jika itu adalah wasiat darinya maka harus dilaksanakan wasiat tersebut. Wallahu a'lam."
(Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin 25/34-35)

*) Dalam masalah ini (berhutang hanya untuk berkurban) ada dua pendapat dari para ulama:
1. Pendapat Pertama:
Membolehkan perkara tersebut. Di antara mereka Abu Hatim rahimahullah, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Katsir dari Sufyan Ats-Tsauri. Sufyan ats-Tsauri rahimahullah mengatakan, “Dulu Abu Hatim pernah berhutang untuk membeli unta kurban. Beliau ditanya: “Apakah kamu berhutang untuk membeli unta kurban?” Beliau jawab: “Saya mendengar Allah berfirman:
لَكُمْ فِيهَا خَيْر
“Kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya (unta-unta kurban tersebut).” (Al Hajj:36)
[Lihat Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj: 36 (5/426)]
Kemudian di antaranya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah, beliau berkata dalam Majmu'ul Fatawa (26/307): “Seorang yang memiliki hutang boleh berkurban jika dia tidak diminta untuk (segera) melunasinya. Dan (boleh pula) seseorang berhutang untuk berkurban jika dia memiliki kemampuan untuk membayarnya.”
Asy-Syekh Bin Baz rahimahullah juga membolehkan hal tersebut, beliau berkata: “Tidak mengapa seorang muslim berhutang dalam rangka menyembelih kurban, jika dia memiliki kemampuan untuk membayar hutang tersebut.” [Majmu' Fatawa ibn Baz (18/38)]
2. Pendapat Kedua:
Menyarankan untuk mendahulukan pelunasan hutang sebelum berkurban.
Di antara mereka adalah asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah. Beliau menjelaskan, “Jika seseorang memiliki hutang maka selayaknya mendahulukan pelunasan hutangnya daripada berkurban.” [Syarhul Mumti’ (7/423)]
Pada hakekatnya kedua pendapat tersebut masih bisa digabungkan.
Pendapat pertama yang menyarankan berhutang ketika kurban adalah bagi orang yang mampu dan mudah baginya untuk melunasi hutang. Sehingga dia bisa tetap berkurban dan membayar hutangnya.
Adapun pendapat kedua yang menyarankan untuk mendahulukan pelunasan hutang daripada kurban adalah bagi orang yang kesulitan ekonomi, sehingga kesulitan dalam melunasi hutang. Sehingga ketika berkurban dia tetap tidak bisa membayar hutangnya.
Wallahu a’lam.
(Dikumpulkan oleh al-Ustadz Abdul Hadi Pekalongan hafidzahullah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar