Cari Blog Ini

Jumat, 05 Desember 2014

Tentang KETIKA MELIHAT SAUDARA SESAMA MUSLIM BERBUAT KESALAHAN

Al-Imam Ibnu Mazin berkata, “Seorang mukmin selalu mencari udzur untuk saudaranya, sementara orang munafik selalu mencari kesalahan temannya.”

Al-Imam Hamdun Al-Qassar berkata, “Jika saudaramu terjatuh dalam sebuah kesalahan maka berikanlah untuknya 90 udzur. Apabila tetap tidak dapat, maka dirimulah yang lebih patut untuk dicela.”

Al-Imam Ibnul A’rabi berkata, “Berusahalah untuk selalu melupakan kesalahan yang diperbuat saudaramu, pasti rasa cinta di antara kalian akan terjaga.”

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata:
“Termasuk tabiat manusia biasa, ada pada dirinya kekurangan, kelemahan, dan kesalahan. Maka yang wajib bagi seorang muslim terhadap saudaranya adalah menutupi kelemahannya dan tidak menyebarkan kelemahan tersebut kecuali dalam keadaan darurat. Maka apabila keadaan darurat tersebut mengharuskan untuk membongkar aibnya dan menyebarkannya, niscaya dia akan melakukannya (demi kepentingan yang syar’i). Akan tetapi kalau bukan karena keadaan darurat, maka yang lebih utama adalah menutupi kekurangan tersebut. Dia adalah manusia biasa. Barangkali dia berbuat salah karena dorongan syahwat atau syubhat yang ada pada dirinya, di mana al-haq tersamar baginya. Maka kemudian dia berbicara dengan ucapan yang batil atau melakukan perbuatan yang menyimpang. Sedangkan seorang mukmin diperintahkan untuk menutupi kekurangan saudaranya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ’alaihi wasallam:
ﻟَﺎ ﻳَﺴْﺘُﺮُ ﻋَﺒْﺪٌ ﻋَﺒْﺪًﺍ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﺇِﻻَّ ﺳَﺘَﺮَﻩُ ﺍﻟﻠﻪُ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ
“Tidaklah seorang hamba menutupi kekurangan hamba yang lainnya di dunia kecuali Allah akan menutupi kekurangan atau kesalahan dia pada hari kiamat.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu)
Beliau rahimahullah juga berkata:
“Menutupi aib/dosa/kesalahan seseorang tidaklah terpuji (secara mutlak) dalam semua kondisi, dan tidak pula tercela dalam semua kondisi. Bahkan perkara ini terbagi menjadi 2 macam:
Pertama: Menutupi aib/dosa/kesalahan seseorang yang senang menutupi atas diri pribadinya. Yaitu suatu kesalahan yang sifatnya tidak menyeretnya pada kekejian (di tengah muslimin). Maka yang demikian ini semestinya untuk ditutupi, dinasehati, dan dijelaskan kepadanya bahwa dia telah keliru. Ini merupakan jenis perbuatan ‘menutupi kesalahan’ yang terpuji.
Kedua: Menutupi kesalahan seseorang yang mengikuti hawa nafsunya, suka meremehkan dalam banyak hal, senang melampaui batas terhadap hamba-hamba Allah, dan suka berbuat kejelekan. Maka jenis orang seperti ini tidaklah ditutup tutupi kesalahannya. Bahkan yang disyariatkan adalah dijelaskan keburukan-keburukannya kepada waliyyul amr sehingga ia diberikan sangsi karenanya. Dan agar supaya menjadi peringatan bagi yang lainnya.
(Syarah Riyadhus Shalihin Bab 28)

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata:
"Menutupinya (menutupi kesalahan saudaranya) adalah sesuatu yang dituntut, tetapi jika dia terkenal suka melakukannya berulang-ulang, maka tidak boleh mendiamkannya. Adapun jika hal itu baru dilakukan pertama kali atau dia tidak dikenal pernah melakukannya sebelumnya, maka hendaknya menutupinya disertai nasehat kepadanya, serta memperingatkannya agar tidak mengulangi perbuatan tersebut. Hal itu hendaknya dilakukan empat mata antara dirimu dengannya."

Diriwayatkan bahwa Umar bin Al Khothob rodhiyallohu ‘anhu merasa kehilangan seseorang dari penduduk Syam di mana orang tersebut selalu menghadiri majelis beliau.
Maka Umar bin Al Khothob berkata kepada shahabat beliau: “Apa yang dilakukan oleh fulan bin fulan?”
Mereka menjawab: “Dia berturut turut minum khomr, sejak beberapa hari ini kami tidak melihatnya.”
Maka Umar rodhiyallohu ‘anhu memanggil sekertarisnya, beliau berkata:
“Tulislah:
Dari Umar bin Al Khothob kepada Fulan bin Fulan, semoga keselamatan tercurah untukmu. Sesungguhnya aku memuji Alloh kepadamu, yang tiada ilah yang haq kecuali Dia,
غافر الذنب و قابل التوب شديد العقاب ذي الطول ،لا اله الا هو اليه المصير
“Yang Mengampuni dosa dan Menerima taubat lagi keras hukuman-Nya; Yang mempunyai karunia. Tiada ilah (yang berhak disembah dengan benar) selain Dia. Hanya kepada-Nyalah kembali (semua makhluk).” [Qs. Ghofir: 3]
Kemudian Umar rodhiyallohu ‘anhu berkata kepada shohabat shohabat beliau:
“Berdoalah kepada Alloh untuk saudara kalian agar dia mau menghadap kepada Alloh dengan hatinya dan bertaubat kepada-Nya.”
Ketika surat Umar rodhiyallohu ‘anhu telah sampai kepada orang itu ia pun membacanya dan mengulang-ulang dalam hatinya sambil berkata:
غافر الذنب و قابل التوب شديد العقاب
“Yang Mengampuni dosa dan Menerima taubat lagi keras hukuman-Nya.
Sungguh Dia telah memperingatkanku dengan hukuman-Nya dan menjanjikanku dengan ampunan-Nya.”
Ia terus mengulang-ulang dalam hatinya, kemudian menangis, kemudian bertaubat, dan baik dalam taubatnya.
Ketika telah sampai kepada Umar berita tentang orang itu maka beliau berkata kepada para shohabat beliau:
“Seperti inilah hendaknya yang kalian lakukan apabila kalian melihat saudara kalian jatuh tergelincir (dalam kemaksiatan), luruskanlah ia, doakanlah kepada Alloh agar bertaubat, dan janganlah kalian menjadi penolong-penolong syaithan untuk membinasakannya.”
(Lihat: Tafsir ibnu Katsir surat Ghofir ayat 3)

Tentang BERDIRI MENUNGGU SELESAINYA ADZAN SEBELUM SHALAT TAHIYYATUL MASJID

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan: Fadhilatusy Syaikh, biasanya pada hari jumat sebagian orang mereka masuk ke masjid tatkala adzan sedang dikumandangkan, kemudian mereka berdiri menunggu sampai adzan selesai. Kemudian tatkala khatib memulai khutbahnya, mereka shalat (sunnah). Bagaimana hukumnya?

Jawaban:
Sebagian ulama berpendapat seperti ini, yaitu engkau menjawab adzan, kemudian setelah itu engkau shalat sunnah.
Akan tetapi pendapat ini, pendapat yang lemah.
Pendapat yang rajih, Engkau (langsung) shalat sunnah, ini dari 2 sisi:
Bersegera untuk shalat, sebagai ganti engkau berdiri untuk menunggu adzan selesai.
Kami katakan: Bersegeralah untuk shalat!
Untuk engkau bersiap-siap mendengarkan khutbah.
Dikarenakan mendengarkan khutbah lebih penting, dibanding dengan menjawab adzan.
Menjawab adzan SUNNAH, sedangkan mendengarkan khutbah WAJIB.
Dan perkara wajib didahulukan atas sunnah.
Adapun selain shalat jumat, maka tidak mengapa engkau menjawab adzan terlebih dahulu. Supaya tidak luput darimu menjawab adzan, kemudian setelah itu engkau shalat tahiyyatul masjid.

Sumber: Silsilah Liqaat Bab al-Maftuh (Liqa 87)

# forumsalafy .net

Tentang DUDUK DI SHAF YANG LEBIH AKHIR AGAR BISA MENDENGARKAN KHUTBAH JUMAT DENGAN JELAS

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan: Apabila seseorang masuk ke masjid pada hari jumat dan ia mendapati celah pada ujung shaf pertama. Apakah lebih utama untuk duduk pada shaf kedua, yang dekat dengan (di hadapan) imam ataukah di ujung shaf pertama?

Jawaban:
Apabila ia bisa mendengar khutbah, seperti di masjid yang padanya pengeras suara dan tidak ada yang samar baginya dari khutbah.
Maka duduk di shaf yang pertama lebih utama, tanpa keraguan.
Adapun ketika dia tidak bisa mendengar khutbah, maka duduk di hadapan imam (khatib) lebih utama.
Yang demikian dikarenakan mendengarkan khutbah hukumnya WAJIB.
Sementara mendapatkan shaf pertama sunnah.
Dan sekarang -walhamdulillah- kebanyakan dari masjid-masjid yang ada, menggunakan pengeras suara.

Sumber: Silsilah Liqaat Bab al Maftuh (Liqa 124)

# forumsalafy .net