Cari Blog Ini

Minggu, 09 November 2014

Tentang MEMILIH PEKERJAAN YANG BAIK

Syari’at Islam menganjurkan kepada kita untuk bekerja dan memberikan kebebasan kepada kita dalam memilih pekerjaan apa saja selagi pekerjaan tersebut halal.
Demikian ditegaskan oleh Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 5/425, Al-Muru’ah wa Khowarimuha 205, Syaikh Masyhur bin Hasan Salman)
ﻋَﻦْ ﺭِﻓَﺎﻋَﺔَ ﺑْﻦِ ﺭَﺍﻓِﻊٍ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺳُﺌِﻞَ : ﺃَﻱُّ ﺍﻟْﻜَﺴْﺐِ ﺃَﻃْﻴَﺐُ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﻋَﻤَﻞُ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞِ ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﻭَﻛُﻞُّ ﺑَﻴْﻊٍ ﻣَﺒْﺮُﻭْﺭٍ
Dari Rifa’ah bin Rafi’ bahwasanya Nabi pernah ditanya: Pekerjaan apakah yang paling baik? Beliau menjawab:
“Pekerjaan seorang dengan tangannya sendiri dan setiap/perdagangan yang baik.” (Shahih li ghairihi. Riwayat Al-Bazzar sebagaimana dalam Kasyful Astar 2/83/1257)
ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻤِﻘْﺪَﺍﻡِ ﻋَﻦِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﻗَﺎﻝَ : ﻣَﺎ ﺃَﻛَﻞَ ﺃَﺣَﺪٌ ﻃَﻌَﺎﻣًﺎ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻣِﻦْ ﺃَﻥْ ﻳَﺄْﻛُﻞَ ﻣِﻦْ ﻋَﻤَﻞِ ﻳَﺪِﻩِ , ﻭَﺇِﻥَّ ﻧَﺒِﻲَّ ﺍﻟﻠﻪِ ﺩَﺍﻭُﺩَ ﻛَﺎﻥَ ﻳَﺄْﻛُﻞُ ﻣِﻦْ ﻋَﻤَﻞِ ﻳَﺪِﻩِ
Dari Miqdam dari Nabi bahwa beliau bersabda:
"Tidaklah seorang memakan makanan yang lebih baik daripada makanan dari hasil tangannya sendiri, dan adalah Nabiyullah Dawud makan dari hasil pekerjaannya sendiri.” (HR. Bukhari 2076)

Dan juga berdasarkan kaidah, “Asal dalam muamalat adalah boleh dan halal.”

Oleh karenanya, apabila kita membaca sirah para salaf, niscaya akan kita dapati bahwa mereka berbeda-beda pekerjaannya, ada yang menjadi pedagang, petani, tukang kayu, tukang besi, tukang sepatu, penjahit baju, pembuat roti, pengembala, buruh dan seabrek pekerjaan lainnya.

Ketahuilah bahwa Syari’at membagi pekerjaan menjadi dua macam:
1. Pekerjaan haram, seperti bekerja sebagai penyanyi, dukun, penjual khamr, pekerja di bank riba, pelacur, pencuri dan sejenisnya dari pekerjaan-pekerjaan yang dilarang oleh syari’at Islam.
2. Pekerjaan mubah, contohnya banyak sekali, hanya saja sebagian ulama meneyebutkan bahwa “Pokok pekerjaan itu ada tiga: Tani, dagang, industri." (Al-Hawi Al-Kabir 19/180, Al-Mardawi)

Tentang BEKERJA SEBAGAI PEGAWAI

Ketahuilah bahwa Syari’at membagi pekerjaan menjadi dua macam:
1. Pekerjaan haram, seperti bekerja sebagai penyanyi, dukun, penjual khamr, pekerja di bank riba, pelacur, pencuri dan sejenisnya dari pekerjaan-pekerjaan yang dilarang oleh syari’at Islam.
2. Pekerjaan mubah, contohnya banyak sekali, hanya saja sebagian ulama meneyebutkan bahwa “Pokok pekerjaan itu ada tiga: Tani, dagang, industri.” (Al-Hawi Al-Kabir 19/180, Al-Mardawi)

Syaikh Masyhur bin Hasan menambahkan:
“Dan di antara pokok pekerjaan pada zaman kita sekarang -selain tiga di atas- adalah bekerja sebagai “pegawai” dengan aneka macamnya. Hanya saja terkadang sebagiannya bercampur dengan hal-hal yang haram atau makruh tergantung keadaan jenis pekerjaan itu sendiri. Para pekerjanya secara umum banyak mengeluh dari kurangnya barakah. Di samping itu, pekerjaan ini juga menimbulkan dampak negatif bagi mayoritas pegawai, di antaranya:
1. Kurangnya tawakkal kepada Allah dalam rezeki
2. Banyaknya korupsi dan suap
3. Malas dalam bekerja dan kurang perhatian
4. Sangat ambisi dengan gajian akhir bulan
5. Banyaknya sifat nifaq di depan atasan.”
(Lihat Al-Muru’ah wa Khowarimuha hal. 193-206)

Tentang UPAH DARI MELAKUKAN PEKERJAAN YANG DIHARAMKAN


Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﺇِﺫَﺍ ﺣَﺮَّﻡَ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﺣَﺮَّﻡَ ﺛَﻤَﻨَﻪُ
“Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan sesuatu, maka Dia mengharamkan pula hasil (upahnya).” (HR. Ahmad 1/247, 293 dan Abu Dawud 3488 dan dishahihkan Ibnu Qayyim dalam Zadul Ma’ad 5/661)
ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲْ ﻣَﺴْﻌُﻮْﺩِ ﺍﻷَﻧْﺼَﺎﺭِﻱِّ ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﻧَﻬَﻰ ﻋَﻦْ ﺛَﻤَﻦِ ﺍﻟْﻜَﻠْﺐِ ﻭَﻣَﻬْﺮِ ﺍﻟْﺒَﻐِﻲِّ ﻭَﺣُﻠْﻮَﺍﻥِ ﺍﻟْﻜَﺎﻫِﻦِ
Dari Abu Mas’ud Al-Anshari bahwasanya Rasulullah melarang dari uang hasil jual anjing, mahar (upah) pelacur dan upah dukun. (HR. Bukhari 2237 dan Muslim 3985)

Ketahuilah bahwa Syari’at membagi pekerjaan menjadi dua macam:
1. Pekerjaan haram, seperti bekerja sebagai penyanyi, dukun, penjual khamr, pekerja di bank riba, pelacur, pencuri dan sejenisnya dari pekerjaan-pekerjaan yang dilarang oleh syari’at Islam.
2. Pekerjaan mubah, contohnya banyak sekali, hanya saja sebagian ulama meneyebutkan bahwa “Pokok pekerjaan itu ada tiga: Tani, dagang, industri.” (Al-Hawi Al-Kabir 19/180, Al-Mardawi)

Tentang MENCUCI TANGAN DAN MENGHIRUP AIR KE DALAM HIDUNG DAN MENGELUARKANNYA KETIKA BANGUN TIDUR

Nabi shallallahu alaihi wasallam:
ﺇِﺫَﺍ ﺍﺳْﺘَﻴْﻘَﻆَ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻣِﻦْ ﻧَﻮْﻣِﻪِ ﻓَﻼَ ﻳَﻐْﻤِﺲْ ﻳَﺪَﻩُ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺈِﻧَﺎﺀِ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﻐْﺴِﻠَﻬَﺎ ﺛَﻼَﺛًﺎ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻻَ ﻳَﺪْﺭِﻱْ ﺃَﻳْﻦَ ﺑَﺎﺗَﺖْ ﻳَﺪُﻩُ
“Apabila salah seorang di antara kalian bangun dari tidurnya maka janganlah memasukkan (tangannya) ke air sampai dia mencucinya tiga kali karena dia tidak tahu di mana tangannya tadi malam berada.”

Beliau shallallahu alaihi wasallam juga bersabda:
ﺇِﺫَﺍ ﺍﺳْﺘَﻴْﻘَﻆَ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻣِﻦْ ﻣَﻨَﺎﻣِﻪِ ﻓَﻠْﻴَﺴْﺘَﻨْﺜِﺮْ ﺛَﻼَﺛًﺎ ﻓَﺈِﻥَّ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥَ ﻳَﺒِﻴْﺖُ ﻋَﻠَﻰ ﺧَﻴْﺸُﻮْﻣِﻪِ
“Apabila salah seorang dari kalian bangun dari tidur maka berisytinsyarlah (yaitu memasukkan air ke hidung kemudian mengeluarkannya) tiga kali, karena setan bermalam di rongga hidungnya.” (Muttafaqun ‘alaih)

Tentang BERWUDHU SEBELUM TIDUR

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ﺇِﺫَﺍ ﺃَﺗَﻴْﺖَ ﻣَﻀْﺠَﻌَﻚَ ﻓَﺘَﻮَﺿَّﺄْ ﻭُﺿُﻮْﺋَﻚَ ﻟِﻠﺼَّﻼَﺓِ ﺛُﻢَّ ﺍﺿْﻄَﺠِﻊْ ﻋَﻠَﻰ ﺷِﻘِّﻚَ ﺍﻟْﺄﻳْﻤَﺎﻥِ
“Apabila engkau mendatangi pembaringanmu (untuk tidur) maka berwudhulah seperti wudhumu untuk shalat selanjutnya berbaringlah pada sisi kananmu.” (Muttafaqun ‘alaih)

Tentang SEDERHANA DALAM BERPAKAIAN

Diriwayatkan dari Abu Umamah bin Tsa’labah, bahwasanya Rosululloh bersabda:
ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﺒَﺬَﺍﺫَﺓَ ﻣِﻦَ ﺍﻹِﻳﻤَﺎﻥِ
Artinya: ”Kelusuhan itu sebagian dari iman.”

Berkata Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahulloh:
”Dan hadist ini shohih, disebutkan dalam sunan Abu Dawud. Makna Al-badzaadzah adalah kelusuhan, dan yang dimaksud di sini adalah meninggalkan bermewah-mewahan serta berlebih-lebihan dalam berpakaian serta kesederhanaan di dalamnya dalam keadaan dia memiliki kemampuan dan bukan dalam rangka mengingkari nikmat Allah." (FATHUL BARY No.5926)

Tentang MENCINTAI SUAMI

Rasululloh bersabda:
“Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang wanita-wanita kalian dari penduduk surga?” Para sahabat menjawab, “Mau, wahai Rasululloh.” Rasululloh bersabda, “Mereka adalah para istri yang mencintai suaminya…” (HR. ath-Thabarani dalam Mu’jamul Kabir no. 307, lihat Shahih at-Targhib no. 1941)

Tentang SUARA WANITA DI HADAPAN LELAKI YANG BUKAN MAHRAMNYA

Apakah suara wanita haram sehingga ia tidak boleh berbicara dengan pemilik warung/kios di pasar guna membeli kebutuhannya, walaupun tanpa membaguskan dan melembutkan suaranya? Begitu pula, dengan rasa malu ia mengajak bicara tukang jahit saat ia hendak menjahitkan pakaiannya?

Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata:

Ucapan wanita tidaklah haram dan bukan aurat. Akan tetapi, bila si wanita melunakkan suaranya dan melembutkannya, serta berucap dengan gaya bicara yang bisa membuat orang lain tergoda, itu baru haram. Ini berdasarkan firman Allah:
“Maka janganlah kalian tunduk dalam ucapan hingga berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada penyakit.” (Al-Ahzab: 32)
Dalam ayat di atas, Allah tidak mengatakan, “Maka janganlah kalian berbicara dengan para lelaki.” Tetapi, Allah mengatakan, “Maka janganlah kalian tunduk dalam ucapan.”
Tunduk dalam ucapan lebih khusus daripada berbicara secara mutlak.
Dengan demikian, tidak mengapa seorang wanita berucap kepada lelaki bila tidak menimbulkan fitnah.

Dahulu ada wanita mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam dan mengajak bicara beliau, sementara orang-orang mendengar ucapan si wanita dan Nabi shallallahu alaihi wasallam pun menjawab ucapannya. Hal itu tidaklah dianggap sebagai kemungkaran.
Hanya saja, tidak boleh berduaan saat berbincang dengan seorang wanita, melainkan harus ditemani mahram si wanita dan tidak menimbulkan fitnah. Karena itulah, seorang lelaki tidak diperkenankan menikmati suara wanita, sama saja baik ia menikmatinya sebagai kesenangan yang biasa (karena kemerduan suaranya, misalnya) maupun karena kesenangan syahwat. Wallahul muwaffiq.”

(Fatawa Manaril Islam, 3/835—836, dinukil dalam Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, hlm. 688)

Sumber: Asy Syariah Edisi 061

###

Allah berfirman:
“Maka janganlah kalian tunduk dalam ucapan hingga berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada penyakit.” (Al-Ahzab: 32)
Sementara diketahui, tabiat seorang remaja putri, ia merasa malu dan memerah wajahnya bila berbicara dengan lelaki mana pun. Apakah ini termasuk hal yang dilarang bila sampai suaranya berubah saat ia terpaksa berbicara?

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjawab:

Pertama: Seorang wanita tidak boleh berbicara dengan lelaki yang bukan mahramnya (ajnabi) kecuali bila dibutuhkan dan dengan suara yang tidak membangkitkan syahwat lelaki. Juga si wanita tidak boleh memperluas pembicaraan dengan lelaki ajnabi melebihi kebutuhan.

Kedua: Melembutkan suara yang dilarang dalam Al-Qur’an adalah melunakkan suara dan membaguskannya sehingga dapat membangkitkan fitnah. Oleh karena itu, seorang wanita tidak boleh mengajak bicara lelaki ajnabi dengan suara yang lembut. Ia tidak boleh pula berbicara dengan lelaki ajnabi sebagaimana berbicara dengan suaminya, karena hal tersebut dapat menggoda, menggerakkan syahwat, dan terkadang menyeret kepada perbuatan keji. Sementara itu, telah dimaklumi bahwa syariat yang penuh hikmah ini datang untuk menutup segala jalan/perantara yang mengantarkan kepada hal yang dilarang.
Adapun perubahan suara si wanita karena malu tidaklah termasuk melembutkan suara. Wallahu a’lam.

(Jaridah al-Muslimun no. 68, sebagaimana dinukil dalam Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, hal. 689—690)

Sumber: Asy Syariah Edisi 061

Tentang MELIHAT-LIHAT ISI RUMAH ORANG LAIN

Qutaibah telah memberitakan kepada kami, dia berkata: Abu Bakr bin Ayyasy telah memberitakan kepada kami, dari al-Ajlah, dari Ibnu Abil Hudzail, dia berkata:
Abdullah (bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu) mengunjungi seseorang, dan bersama beliau ada seorang temannya. Tatkala beliau telah masuk ke rumah, temannya itu mulai melihat-lihat isi rumah, maka beliau berkata kepadanya:
وَاللَّهِ لَوْ تَفَقَّأَتْ عَيْنَاكَ كَانَ خَيْرًا لَكَ
”Demi Allah, kalau kedua matamu itu tercungkil, itu lebih baik bagimu.”

Syaikh Zaid bin Muhammad al-Madkholy rahimahullah menjelaskan atsar yang ada dalam kitab Adabul Mufrod ini sebagai berikut:

Atsar ini menunjukkan keharaman berlebihan dalam memandang.
Dan sungguh dalil-dalil yang lain dalam al-Quran dan as-Sunnah juga menunjukkan keharamannya.
Dan sesungguhnya, seseorang membiarkan pandangannya di dalam rumah-rumah orang yang ia kunjungi termasuk adab yang jelek, sebaliknya bahwa menundukkan pandangan dan membatasinya termasuk adab yang baik, sebagaimana yang ditunjukkan dalam atsar tersebut bahwa di antara adab yang baik dan cara menjaga jiwa agar tidak terjatuh kepada maksiat adalah menjaga pandangan.

Memandang secara berlebih-lebihan terkadang menjatuhkan seseorang kepada yang diharamkan, dia memandang kepada sesuatu yang tidak halal baginya, entah memandang perempuan, dan entah memandang benda-benda yang si pemilik rumah tidak suka jika benda tersebut dilihat dengan seksama oleh siapapun.

Maka jika seseorang masuk ke dalam rumah saudaranya maka wajib baginya untuk membatasi pandangannya sesuai kadar kebutuhan saja. Janganlah dia membiarkan pandangannya bebas berkelana di dalam rumah, sehingga dia tidak aman dari suatu kesalahan dan si pemilik rumah juga tidak aman dari berburuk sangka kepada tamunya.

Oleh karena itulah, Allah ‘Azza wa Jalla telah memuji Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
ما زاع البصر وماطغى
“Penglihatannya tidak berpaling (dari yang dilihatnya itu) dan tidak pula melampauinya.” (QS an-Najm: 17)

Jadi, seperti inilah adab yang baik jika anda memasuki rumah saudaramu sebagai tamu atau pengunjung. Janganlah membiarkan pandangannya berkelana di dalam rumah/tempat tinggal. Bisa jadi pandangan tersebut terjatuh pada sesuatu yang bisa menggelincirkanmu kepada dosa. Dan hendaklah anda membatasi pandangan sesuai kadar kebutuhan.

Aunul Ahadish Shomad, Syarhul Adabil Mufrod, hal 470

Dikirim oleh : Abu Ishaq Hidayat Solo

WA thullab fyusy & SLN

Tentang MEMOTONG KUMIS

Disebutkan dalam Shohih Bukhory dan Muslim dari hadits Abu Huroiroh, bahwasanya Rosululloh bersabda:
ﺍﻟْﻔِﻄْﺮَﺓُ ﺧَﻤْﺲٌ ﺃَﻭْ ﺧَﻤْﺲٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮَﺓِ ﺍﻟْﺨِﺘَﺎﻥُ.ﻭَﺍﻻِﺳْﺘِﺤْﺪَﺍﺩُ ﻭَﻧَﺘْﻒُ ﺍﻹِﺑْﻂِ ﻭَﺗَﻘْﻠِﻴﻢُ ﺍﻷَﻇْﻔَﺎﺭِ ﻭَﻗَﺺُّ ﺍﻟﺸَّﺎﺭِﺏِ
“Al-fitroh [1] itu ada lima (atau lima hal yang termasuk fitroh): khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan memotong kumis.” (HR. AL-BUKHORI no. 5889 dan MUSLIM no. 257) [2]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ لَمْ يَأْخُذْ مِنْ شَارِبِهِ فَلَيْسَ مِنَّا
“Barangsiapa tidak mencukur kumisnya, maka dia bukan termasuk golonganku.” (HR. Ahmad dan At Tirmidzi dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan Syaikh Al Albani dan Syaikh Muqbil)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
جُزُّوا الشَّوَارِبَ، وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ
“Cukurlah kumis, panjangkanlah jenggot dan selisihilah kaum Majusi.” (HR. Muslim, dari shahabat Abu Hurairah)
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ، وَأَوْفُوا اللِّحَى
“Selisihilah kaum musyrikin, cukurlah kumis dan peliharalah jenggot.” (HR. Al Bukhari dan Muslim, dari sahabat Ibnu Umar)

Kumis adalah rambut yang tumbuh di atas bibir bagian atas.
Sebagian ulama menukilkan bahwa para ulama sepakat menyatakan bahwa memotong kumis hukumnya sunnah.
Namun ternyata Ibnu Hazm dalam masalah ini memandang bahwa hukumnya wajib. Karena telah datang perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau memerintahkan memotongmya.
Pendapat yang kuat adalah hukumnya sunnah, namun tidak boleh membiarkannya sampai melebihi 40 malam. Karena disaat itu hukumnya wajib dipotong, sebagaimana telah datang perintah tersebut dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam;
وُقِّتَ لَنَا فِي قَصِّ الشَّارِبِ، وَتَقْلِيمِ الْأَظْفَارِ، وَنَتْفِ الْإِبِطِ، وَحَلْقِ الْعَانَةِ، أَنْ لَا نَتْرُكَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Waktu yang diberikan kepada kami untuk mencukur kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, memotong bulu kemaluan adalah tidak lebih dari empat puluh malam (sehingga tidak panjang).”
[HR. Muslim dari Anas radhiyallahu ‘anhu]
Ini adalah pendapat yang dipilih Syaikhuna Abdurrahman Al ‘Adeni hafizhahullah.

Adapun mengenai batasan kumis yang dipotong, para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini;

Pendapat pertama menyatakan bahwa yang dipotong adalah bagian kumis yang panjang atau yang melewati garis bibir hingga tidak menutupinya. Ini adalah pendapat Imam Malik, Asy Syafi’i, Asy Sya’bi, madzhab Malikiyah dan madzhab Syafi’iyah. Mereka juga melarang untuk tidak boleh memangkas kumis sampai habis.
Dalil mereka adalah hadits Abu Hurairah:
قَصُّ الشَّارِبِ
“Potonglah kumis.”
Al Imam Ath Thahawi rahimahullah menyatakan bahwa:
“Memotong kumis dilakukan dengan memotong kumis yang panjangnya melebihi bibir, sehingga tidak mengganggu ketika makan dan tidak terkumpul kotoran padanya.”

Pendapat kedua menyatakan bahwa kumis dipangkas sampai habis. Ini adalah pendapat sebagian ulama Salaf, salah satu pendapat Imam Ahmad dan Asy Syafi’i, dan madzhab orang-orang kufah. Disebutkan oleh Al Atsram bahwa Imam Ahmad dulu memotong kumisnya sampai habis. Demikian pula dinukilkan oleh Ath Thahawi bahwa Al Muzani dan Ar Rabi’ bin Sulaiman memotong kumisnya sampai habis.
Dalil mereka hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَحْفُوا الشَّوَارِبَ
“Cukurlah kumis kalian.” [HR. Al Bukhari dan Muslim]
انْهَكُوا الشَّوَارِبَ
“Cukurlah kumis kalian.” [HR. Al Bukhari]
Menurut Ahli Bahasa Arab, makna (أَحْفُوا) dan (انْهَكُوا) adalah memotong secara keseluruhan.

Pendapat ketiga menyatakan bahwa kedua-duanya boleh, yaitu seseorang boleh memilih apakah ia ingin mencukur kumisnya sampai habis atau membiarkannya namun tidak sampai menutupi bibir. Ini adalah pendapat Imam Ath Thabari dan salah satu riwayat Imam Ahmad. Karena kedua hadits yang dijadikan dalil pendapat pertama dan kedua menunjukan bahwa kedua-duanya boleh. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhuna Abdurrahman Al ‘Adeni hafizhahullah. Hanya saja beliau menyatakan bahwa lebih utama dipotong bagian yang menutupi bibir, tidak sampai habis. Namun apabila ingin dipotong sampai habis maka tidak mengapa.

Footnote:

[1] Kalimat Fitrah pada hadits ini bermakna Sunnah sebagaimana yang ditunjukan dalam hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan Abu ‘Awaanah. Ini adalah pendapat jumhur ulama.

[2] Abu Bakr Ibnul Arabi ketika membicarakan tentang hadits ini berkata, “Menurut pandangan saya bahwasanya kelima cabang yang disebutkan di dalam hadits ini semuanya wajib. Karena apabila seseorang meninggalkannya, niscaya tidak tersisa penampilannya sebagai seorang bani Adam, lalu mana mungkin ia (penampilannya) termasuk dari kalangan kaum muslimin.” (Fathul Bari, 10/417)