Disebutkan dalam Shohih Bukhory dan Muslim dari hadits Abu Huroiroh, bahwasanya Rosululloh bersabda:
ﺍﻟْﻔِﻄْﺮَﺓُ ﺧَﻤْﺲٌ ﺃَﻭْ ﺧَﻤْﺲٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮَﺓِ ﺍﻟْﺨِﺘَﺎﻥُ.ﻭَﺍﻻِﺳْﺘِﺤْﺪَﺍﺩُ ﻭَﻧَﺘْﻒُ ﺍﻹِﺑْﻂِ ﻭَﺗَﻘْﻠِﻴﻢُ ﺍﻷَﻇْﻔَﺎﺭِ ﻭَﻗَﺺُّ ﺍﻟﺸَّﺎﺭِﺏِ
“Al-fitroh [1] itu ada lima (atau lima hal yang termasuk fitroh): khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan memotong kumis.” (HR. AL-BUKHORI no. 5889 dan MUSLIM no. 257) [2]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ لَمْ يَأْخُذْ مِنْ شَارِبِهِ فَلَيْسَ مِنَّا
“Barangsiapa tidak mencukur kumisnya, maka dia bukan termasuk golonganku.” (HR. Ahmad dan At Tirmidzi dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan Syaikh Al Albani dan Syaikh Muqbil)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
جُزُّوا الشَّوَارِبَ، وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ
“Cukurlah kumis, panjangkanlah jenggot dan selisihilah kaum Majusi.” (HR. Muslim, dari shahabat Abu Hurairah)
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ، وَأَوْفُوا اللِّحَى
“Selisihilah kaum musyrikin, cukurlah kumis dan peliharalah jenggot.” (HR. Al Bukhari dan Muslim, dari sahabat Ibnu Umar)
Kumis adalah rambut yang tumbuh di atas bibir bagian atas.
Sebagian ulama menukilkan bahwa para ulama sepakat menyatakan bahwa memotong kumis hukumnya sunnah.
Namun ternyata Ibnu Hazm dalam masalah ini memandang bahwa hukumnya wajib. Karena telah datang perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau memerintahkan memotongmya.
Pendapat yang kuat adalah hukumnya sunnah, namun tidak boleh membiarkannya sampai melebihi 40 malam. Karena disaat itu hukumnya wajib dipotong, sebagaimana telah datang perintah tersebut dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam;
وُقِّتَ لَنَا فِي قَصِّ الشَّارِبِ، وَتَقْلِيمِ الْأَظْفَارِ، وَنَتْفِ الْإِبِطِ، وَحَلْقِ الْعَانَةِ، أَنْ لَا نَتْرُكَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Waktu yang diberikan kepada kami untuk mencukur kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, memotong bulu kemaluan adalah tidak lebih dari empat puluh malam (sehingga tidak panjang).”
[HR. Muslim dari Anas radhiyallahu ‘anhu]
Ini adalah pendapat yang dipilih Syaikhuna Abdurrahman Al ‘Adeni hafizhahullah.
Adapun mengenai batasan kumis yang dipotong, para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini;
Pendapat pertama menyatakan bahwa yang dipotong adalah bagian kumis yang panjang atau yang melewati garis bibir hingga tidak menutupinya. Ini adalah pendapat Imam Malik, Asy Syafi’i, Asy Sya’bi, madzhab Malikiyah dan madzhab Syafi’iyah. Mereka juga melarang untuk tidak boleh memangkas kumis sampai habis.
Dalil mereka adalah hadits Abu Hurairah:
قَصُّ الشَّارِبِ
“Potonglah kumis.”
Al Imam Ath Thahawi rahimahullah menyatakan bahwa:
“Memotong kumis dilakukan dengan memotong kumis yang panjangnya melebihi bibir, sehingga tidak mengganggu ketika makan dan tidak terkumpul kotoran padanya.”
Pendapat kedua menyatakan bahwa kumis dipangkas sampai habis. Ini adalah pendapat sebagian ulama Salaf, salah satu pendapat Imam Ahmad dan Asy Syafi’i, dan madzhab orang-orang kufah. Disebutkan oleh Al Atsram bahwa Imam Ahmad dulu memotong kumisnya sampai habis. Demikian pula dinukilkan oleh Ath Thahawi bahwa Al Muzani dan Ar Rabi’ bin Sulaiman memotong kumisnya sampai habis.
Dalil mereka hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَحْفُوا الشَّوَارِبَ
“Cukurlah kumis kalian.” [HR. Al Bukhari dan Muslim]
انْهَكُوا الشَّوَارِبَ
“Cukurlah kumis kalian.” [HR. Al Bukhari]
Menurut Ahli Bahasa Arab, makna (أَحْفُوا) dan (انْهَكُوا) adalah memotong secara keseluruhan.
Pendapat ketiga menyatakan bahwa kedua-duanya boleh, yaitu seseorang boleh memilih apakah ia ingin mencukur kumisnya sampai habis atau membiarkannya namun tidak sampai menutupi bibir. Ini adalah pendapat Imam Ath Thabari dan salah satu riwayat Imam Ahmad. Karena kedua hadits yang dijadikan dalil pendapat pertama dan kedua menunjukan bahwa kedua-duanya boleh. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhuna Abdurrahman Al ‘Adeni hafizhahullah. Hanya saja beliau menyatakan bahwa lebih utama dipotong bagian yang menutupi bibir, tidak sampai habis. Namun apabila ingin dipotong sampai habis maka tidak mengapa.
Footnote:
[1] Kalimat Fitrah pada hadits ini bermakna Sunnah sebagaimana yang ditunjukan dalam hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan Abu ‘Awaanah. Ini adalah pendapat jumhur ulama.
[2] Abu Bakr Ibnul Arabi ketika membicarakan tentang hadits ini berkata, “Menurut pandangan saya bahwasanya kelima cabang yang disebutkan di dalam hadits ini semuanya wajib. Karena apabila seseorang meninggalkannya, niscaya tidak tersisa penampilannya sebagai seorang bani Adam, lalu mana mungkin ia (penampilannya) termasuk dari kalangan kaum muslimin.” (Fathul Bari, 10/417)