Cari Blog Ini

Rabu, 10 Desember 2014

Tentang MEMBACA BASMALAH DAN SHALAWAT ATAS NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM KETIKA MASUK MASJID DAN KELUAR MASJID

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu:
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam jika masuk masjid mengucapkan, “Bismillah, Allahumma shalli ‘ala Muhammad.”
Dan apabila keluar mengucapkan, “Bismillah, Allahumma shalli ‘ala Muhammad (Ya Allah, curahkanlah shalawat dan salam atas Muhammad).”
Makna serupa juga diriwayatkan dari Fathimah, Abu Hurairah, Abu Humaid dan Abu Usaid Al-Anshari Radhiallahu ‘anhum. (Lihat Ats-Tsamarul Mustathob hal 604-609)

Tentang GURU MEMUKUL MURIDNYA, ATAU ORANG TUA MEMUKUL ANAKNYA

Apa hukumnya memukul murid dengan tujuan memberikan pengajaran dan sebagai penekanan untuk menunaikan kewajiban yang dituntut dari mereka, juga dengan maksud membiasakan mereka agar tidak meremehkan kewajiban?

Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah menjawab:

Tidak apa-apa hal itu dilakukan, karena guru dan orangtua harus memerhatikan anak-anak didiknya. Siapa yang pantas dihukum maka diberikan hukuman, misalnya karena ia meremehkan kewajibannya. Semuanya dilakukan dengan tujuan agar anak terbiasa berakhlak dengan akhlak yang utama/mulia dan agar terus istiqamah dengan amal shalihnya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam sendiri pernah bersabda:
مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ لِسَبْعٍ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka telah berusia tujuh tahun dan pukullah mereka bila meninggalkan shalat pada usia sepuluh tahun serta pisahkanlah di antara mereka di tempat tidurnya.” (Diriwayatkan Ahmad dan Abu Dawud. Kata Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Abi Dawud, “Hadits hasan shahih.”) [1]

Anak laki-laki dipukul. Demikian pula anak perempuan bila sampai usia sepuluh tahun masih meninggalkan shalat. Anak yang seperti itu diberi pukulan pendidikan hingga ia istiqamah mengerjakan ibadah shalatnya. Demikian pula dalam kewajiban-kewajiban yang lain, dalam belajar mengajar, pekerjaan rumah, dan selainnya. Wajib bagi para wali dari anak-anak yang masih kecil, baik anaknya laki-laki ataupun perempuan, agar memerhatikan dan menyempatkan memberi arahan serta pengajaran kepada mereka. Namun yang harus diingat, pukulan yang diberikan kepada anak adalah pukulan yang ringan, tidak berbahaya bagi si anak sehingga dengannya akan tercapailah tujuan.

(Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, hal. 573)

Sumber: Asy Syariah Edisi 036

Catatan kaki:
[1] Yang dimaksud menyuruh anak-anak, meliputi anak laki-laki dan perempuan. Mereka hendaknya dididik bisa menegakkan shalat dengan memahami syarat-syarat dan rukun-rukunnya. Jika hingga usia sepuluh tahun tak juga mau menegakkan shalat, maka pukullah dengan pukulan yang tidak keras dan tidak meninggalkan bekas, serta tidak diperkenankan memukul wajah. (Lihat ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, 2/114)

Tentang MENJADIKAN KUBURAN SEBAGAI MASJID ATAU TEMPAT SHALAT

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan keras memperingatkan:
ﻟَﻌَﻦَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺍﻟْﻴَﻬُﻮﺩَ ﻭَﺍﻟﻨَّﺼَﺎﺭَﻯ ﺍﺗَّﺨَﺬُﻭﺍ ﻗُﺒُﻮﺭَ ﺃَﻧْﺒِﻴَﺎﺋِﻬِﻢْ ﻣَﺴَﺎﺟِﺪِ
“Allah telah melaknat Yahudi dan Nasrani, karena mereka telah menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid.” (HR. Al-Bukhari (3/156, 198 dan 8/114) dan Muslim (2/67) dari sahabat Aisyah Radhiyallahu ‘anha)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa para penyembah kuburan adalah orang-orang terjelek. Ketika Ummu Salamah menceritakan perbuatan kaum Nasrani yang beliau lihat di Habasyah, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
ﺃُﻭﻟَﺌِﻚَ ﻗَﻮْﻡٌ ﺇِﺫَﺍ ﻣَﺎﺕَ ﻓِﻴﻬِﻢُ ﺍﻟْﻌَﺒْﺪُ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺢُ ﺃَﻭِ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺢُ ﺑَﻨَﻮْﺍ ﻋَﻠَﻰ ﻗَﺒْﺮِﻩِ ﻣَﺴْﺠِﺪًﺍ ﻭَﺻَﻮَّﺭُﻭﺍ ﻓِﻴﻪِ ﺗِﻠْﻚَ ﺍﻟﺼُّﻮَﺭَ، ﺃُﻭﻟَﺌِﻚَ ﺷِﺮَﺍﺭُ ﺍﻟْﺨَﻠْﻖِ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻠﻪِ
“Mereka itu, jika ada orang saleh (meninggal) di antara mereka, mereka membangun masjid di atas kuburnya dan membuat gambarnya. Mereka adalah orang-orang terjelek di sisi Allah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Lima hari menjelang wafat, beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
ﺃَﻟَﺎ ﻭَﺇِﻥَّ ﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻗَﺒْﻠَﻜُﻢْ ﻛَﺎﻧُﻮﺍ ﻳَﺘَّﺨِﺬُﻭﻥَ ﻗُﺒُﻮﺭَ ﺃَﻧْﺒِﻴَﺎﺋِﻬِﻢْ ﻭَﺻَﺎﻟِﺤِﻴﻬِﻢْ ﻣَﺴَﺎﺟِﺪَ، ﺃَﻟَﺎ ﻓَﻠَﺎ ﺗَﺘَّﺨِﺬُﻭﺍ ﺍﻟْﻘُﺒُﻮﺭَ ﻣَﺴَﺎﺟِﺪَ ﺇِﻧِّﻲ ﺃَﻧْﻬَﺎﻛُﻢْ ﻋَﻦْ ﺫَﻟِﻚَ
“Ketahuilah, orang-orang sebelum kalian telah menjadikan kuburan para nabi dan orang saleh sebagai masjid. Ketahuilah, janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai masjid karena aku melarang dari hal tersebut.” (HR. Muslim)

Bahkan, ketika sedang sakaratul maut, beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
ﻟَﻌْﻨَﺔُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻴَﻬُﻮﺩِ ﻭَﺍﻟﻨَّﺼَﺎﺭَﻯ ﺍﺗَّﺨَﺬُﻭﺍ ﻗُﺒُﻮﺭَ ﺃَﻧْﺒِﻴَﺎﺋِﻬِﻢْ ﻣَﺴَﺎﺟِﺪَ؛ ﻳُﺤَﺬِّﺭُ ﻣَﺎ ﺻَﻨَﻌُﻮﺍ
“Laknat Allah atas Yahudi dan Nasrani karena mereka telah menjadikan kubur nabi-nabi mereka sebagai masjid. Beliau memperingatkan (agar jangan sampai meniru) perbuatan mereka.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻻَ ﺗُﺼَﻠُّﻮﺍ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﻘُﺒُﻮﺭِ ﻭَﻻَ ﺗَﺠْﻠِﺴُﻮﺍ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ
“Jangan kalian shalat menghadap kuburan dan jangan kalian duduk di atasnya.” (HR. Muslim no. 972, dari Abu Martsad al-Ghanawi radhiyallahu ‘anhu)

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam juga menjelaskannya
ﺍﻟْﺄَﺭْﺽُ ﻛُﻠُّﻬَﺎ ﻣَﺴْﺠِﺪٌ ﺇِﻻَّ ﺍﻟْﻤَﻘْﺒَﺮَﺓَ ﻭَﺍﻟْﺤَﻤَّﺎﻡَ
“Semua tanah bisa dijadikan masjid (tempat shalat) kecuali kuburan dan kamar mandi.” (HR. at-Tirmidzi no. 317, Ibnu Majah no. 745, dan yang lainnya, dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
“Dibenci mengerjakan shalat di masjid-masjid tersebut, yakni yang dibangun di atas kubur para nabi, orang saleh, atau raja-raja. Dalam masalah ini, saya tidak tahu ada perbedaan pendapat (di kalangan ulama). Shalat (yang ditegakkan dalam masjid yang dibangun di atas kuburan) tersebut tidak sah karena adanya larangan dan laknat.” (Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim 2/675)

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah menjelaskan:
“Masjid dan kuburan tidak akan berkumpul.” (Tahdzirus Sajid hal. 28)

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah juga menjelaskan:
"Menjadikan kuburan sebagai masjid memiliki tiga makna:
1. Shalat di atas kuburan, artinya sujud di atasnya. Makna ini terambil dari banyak hadits, di antaranya:
Dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ  ﻧَﻬَﻰ ﺃَﻥْ ﻳُﺒْﻨَﻰ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻘُﺒُﻮﺭِ ﻭَﺃَﻥْ ﻳُﻘْﻌَﺪَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺃَﻭ ﻳُﺼَﻠَّﻰ ﻋَﻠَﻴْﻪِ
“Bahwa Rasulullah telah melarang untuk membangun di atas kuburan, duduk dan shalat di atasnya.” (HR. Abu Ya’la dalam Musnad-nya)
Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah mengatakan: “Menjadikan kuburan sebagai masjid artinya shalat di atasnya atau shalat menghadapnya.” (Az-Zawajir, 1/121)
Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullah berkata: “Menjadikan kubur-kubur sebagai masjid lebih umum maknanya dari sekadar shalat menghadapnya atau shalat di atasnya.” (Subulus Salam 1/214)
2. Sujud menghadapnya, atau menghadapnya dalam shalat atau berdoa. Makna ini telah dijelaskan oleh dalil-dalil, di antaranya:
ﻻَ ﺗَﺠْﻠِﺴُﻮﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻘُﺒُﻮﺭِ ﻭَﻻَ ﺗُﺼَﻠُّﻮﺍ ﺇِﻟَﻴْﻬَﺎ
“Jangan kalian duduk di atas kubur dan jangan kalian shalat menghadapnya.”
Al-Munawi dalam Faidhul Qadir berkata: “Mereka menjadikan kuburan-kuburan tersebut sebagai arah kiblat bersamaan dengan keyakinan mereka yang batil.”
3. Membangun masjid di atas kuburan dengan tujuan untuk shalat di atasnya.
Al-Imam Al-Bukhari memberikan judul dalam kitabnya: “Bab dibencinya membangun masjid di atas kuburan.” Yang menguatkan makna ini adalah hadits Jabir yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullah:
ﻧَﻬَﻰ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺃَﻥْ ﻳُﺠَﺼَّﺺَ ﺍﻟْﻘَﺒْﺮُ ﻭَﺃَﻥْ ﻳُﻘْﻌَﺪَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺃَﻥْ ﻳُﺒْﻨَﻰ ﻋَﻠَﻴْﻪِ
“Rasulullah telah melarang untuk mengapuri kuburan, duduk di atasnya dan membangun di atasnya.”
(Lihat secara ringkas risalah Tahdzirus Sajid, hal. 21 dst)

Tentang DUDUK DI ATAS KUBURAN

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻻَ ﺗُﺼَﻠُّﻮﺍ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﻘُﺒُﻮﺭِ ﻭَﻻَ ﺗَﺠْﻠِﺴُﻮﺍ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ
“Jangan kalian shalat menghadap kuburan dan jangan kalian duduk di atasnya.” (HR. Muslim no. 972, dari Abu Martsad al-Ghanawi radhiyallahu ‘anhu)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
ﻟَﺄَﻥْ ﻳَﺠْﻠِﺲَ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺟَﻤْﺮَﺓٍ ﻓَﺘُﺤْﺮِﻕَ ﺛِﻴَﺎﺑَﻪُ ﻓَﺘَﺨْﻠُﺺَ ﺇِﻟَﻰ ﺟِﻠْﺪِﻩِ ﺧَﻴْﺮٌ ﻟَﻪُ ﻣِﻦْ ﺃَﻥْ ﻳَﺠْﻠِﺲَ ﻋَﻠَﻰ ﻗَﺒْﺮٍ
“Sungguh, salah seorang kalian duduk di atas bara api hingga membakar pakaiannya sampai menembus kulitnya lebih baik baginya daripada duduk di atas kuburan.” (HR. Muslim)

Tentang SYIRIK

Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki- Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (an-Nisa’: 48)
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (an-Nisa’: 116)
إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka.” (al-Maidah: 72)
ﻭَﻟَﻘَﺪْ ﺃُﻭﺣِﻲَ ﺇِﻟَﻴْﻚَ ﻭَﺇِﻟَﻰ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻣِﻦ ﻗَﺒْﻠِﻚَ ﻟَﺌِﻦْ ﺃَﺷْﺮَﻛْﺖَ ﻟَﻴَﺤْﺒَﻄَﻦَّ ﻋَﻤَﻠُﻚَ ﻭَﻟَﺘَﻜُﻮﻧَﻦَّ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺨَﺎﺳِﺮِﻳﻦَ
"Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, “Jika kamu mempersekutukan (Rabb), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (az-Zumar: 65)

Di dalam Hadits Qudsi, Allah berfirman,
”Wahai anak Adam, seandainya kalian bertemu dengan-Ku dengan membawa dosa sepenuh bumi, namun engkau tidak berbuat syirik terhadap-Ku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku pun akan mendatangimu dengan ampunan sepenuh bumi pula.” (HR. at-Tirmidzi)

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ﻣﻦ ﻣﺎﺕ ﻳﺸﺮﻙ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﺷﻴﺌﺎ ﺩﺧﻞ ﺍﻟﻨﺎﺭ
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan membawa dosa SYIRIK, maka dia masuk ke dalam AN-NAAR (Neraka).” (Muttafaqun alaihi)

Termasuk syirik antara lain:
- jimat
- mantra
- rajah
- tabaruk (ngalap berkah) dengan pohon keramat, makam keramat, batu keramat
- menyembelih untuk selain Allah
- memberi sesajen
- bernadzar untuk selain Allah
- beristi’adzah (minta perlindungan) kepada selain Allah dalam hal yang tidak mungkin mengabulkannya kecuali hanya Allah
- beristi’adzah (minta perlindungan) kepada orang yang telah wafat
- beristi’adzah (minta perlindungan) kepada orang hidup, namun jauh posisinya (tidak di hadapan kita), tanpa ada penghubung
- istighatsah (mohon pertolongan dalam kondisi darurat) kepada selain Allah dalam hal yang tidak mungkin mengabulkannya kecuali hanya Allah
- istighatsah (mohon pertolongan dalam kondisi darurat) kepada orang yang telah wafat
- istighatsah (mohon pertolongan dalam kondisi darurat) kepada orang hidup, namun jauh posisinya (tidak di hadapan kita), tanpa ada penghubung
- bertanya kepada peramal, dukun, tukang sihir dan membenarkan ucapan mereka
- mengaku mengetahui perkara ghaib
- mendengarkan qoshidah-qoshidah yang mengandung kesyirikan dan meridhainya
- menganggap bahwa Allah berada di semua tempat atau menitis pada orang-orang tertentu
- bersumpah dengan selain nama Allah
- tathayyur (menganggap sial sesuatu)

Tentang MENJAUHKAN DIRI DARI TEMAN DUDUK YANG BURUK

Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻣَﺜَﻞُ ﺍﻟْﺠَﻠِﻴﺲِ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺢِ ﻭَﺍﻟْﺠَﻠِﻴﺲِ ﺍﻟﺴُّﻮﺀِ ﻛَﺤَﺎﻣِﻞِ ﺍﻟْﻤِﺴْﻚِ ﻭَﻧَﺎﻓِﺦِ ﺍﻟْﻜِﻴﺮِ ﻓَﺤَﺎﻣِﻞُ ﺍﻟْﻤِﺴْﻚِ ﺇِﻣَّﺎ ﺃَﻥْ ﻳُﺤْﺬِﻳَﻚَ ﻭَﺇِﻣَّﺎ ﺃَﻥْ ﺗَﺒْﺘَﺎﻉَ ﻣِﻨْﻪُ ﻭَﺇِﻣَّﺎ ﺃَﻥْ ﺗَﺠِﺪَ ﻣِﻨْﻪُ ﺭَﻳْﺤًﺎ ﻃَﻴِّﺒَﺔً، ﻭَﻧَﺎﻓِﺦُ ﺍﻟْﻜِﻴْﺮِ ﺇِﻣَّﺎ ﺃَﻥْ ﻳُﺤْﺮِﻕَ ﺛِﻴَﺎﺑَﻚَ ﻭَﺇِﻣَّﺎ ﺃَﻥْ ﺗَﺠِﺪَ ﻣِﻨْﻪُ ﺭِﻳْﺤًﺎ ﺧَﺒِﻴﺜَﺔً
"Permisalan teman duduk yang saleh dan teman duduk yang buruk seperti penjual misik dan pandai besi. Adapun penjual misik, boleh jadi ia memberimu misik, engkau membeli darinya, atau setidaknya engkau akan mencium bau harumnya. Adapun pandai besi, boleh jadi akan membuat bajumu terbakar atau engkau mencium bau yang tidak enak.”

Hadits di atas diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam ash-Shahih (no. 2101 dan 5534), Muslim rahimahullah (8/37—38), Ibnu Hibban rahimahullah dalam Shahih-nya, al-Baihaqi rahimahullah dalam Syu’abul Iman, dan Ahmad rahimahullah (4/404—405), semua melalui jalan Abu Burdah rahimahullah, dari Abu Musa radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah menyebutkan jalan-jalan lain yang dapat dirujuk dalam kitab beliau, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, hadits no. 3214.

Ketika menyebutkan hadits ini, al-Baihaqi rahimahullah memberikan judul bab “Menjauhkan Diri dari Kaum yang Fasik, Ahlul Bid’ah, dan Siapa Saja yang Tidak Membantumu untuk Berbuat Taat kepada Allah Subhanahu wata’ala.”

Al-Iman an-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa dalam ucapan Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam ini terkandung keutamaan duduk bersama orang-orang yang shalih, yang memiliki kebaikan, muru`ah, akhlak yang mulia, wara’, ilmu serta adab. Juga terkandung larangan duduk bersama orang-orang yang jelek, ahlul bid’ah, orang yang suka menggunjing orang lain, atau sering melakukan perbuatan fajir, banyak menganggur, dan berbagai macam perbuatan tercela lainnya. (Syarh Shahih Muslim, 16/177)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan bahwa inilah sabda Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam yang di dalamnya terkandung larangan duduk bersama orang yang dapat mengakibatkan kerugian pada agama maupun dunia, serta anjuran untuk duduk bersama orang yang dapat diambil manfaatnya bagi agama dan dunia. (Fathul Bari 4/410)

Al-Imam Ibnu Baththal menjelaskan bahwa hadits ini menunjukkan larangan bermajelis dengan orang yang mendatangkan gangguan, seperti orang yang berbuat ghibah atau membela kebatilan. Hadits ini juga menunjukkan perintah untuk bermajelis dengan orang yang dapat mendatangkan kebaikan, seperti dzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala mempelajari ilmu, dan seluruh perbuatan baik lainnya. (Syarah Ibnu Baththal)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﻋَﻠَﻰ ﺩِﻳْﻦِ ﺧَﻠِﻴﻠِﻪِ، ﻓَﻠْﻴَﻨْﻈُﺮْ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻣَﻦْ ﻳُﺨَﺎﻟِﻞُ
“Seseorang tergantung agama teman dekatnya, maka hendaknya kalian memerhatikan siapakah teman dekatnya.”
Hadits ini diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu melalui dua jalur periwayatan, oleh Al-Imam Ahmad (2/303, 334) Abu Dawud (no. 4812), At-Tirmidzi (no. 2484), Al-Hakim (4/171), Ath-Thayalisi (no. 2107), Al-Qudha’i (dalam Al-Musnad no. 187). Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah (2/633).

Oleh karena itu, siapa saja yang diridhai agama dan akhlaknya hendaknya dijadikan teman, dan siapa yang tidak seperti itu hendaknya dijauhi, karena tabiat itu akan saling meniru. (‘Aunul Ma’bud, Kitabul Adab, Bab Man Yu`maru an Yujaalisa)

Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺭَﺃَﻳْﺖَ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﺨُﻮﺿُﻮﻥَ ﻓِﻲ ﺁﻳَﺎﺗِﻨَﺎ ﻓَﺄَﻋْﺮِﺽْ ﻋَﻨْﻬُﻢْ ﺣَﺘَّﻰٰ ﻳَﺨُﻮﺿُﻮﺍ ﻓِﻲ ﺣَﺪِﻳﺚٍ ﻏَﻴْﺮِﻩِ ۚ ﻭَﺇِﻣَّﺎ ﻳُﻨﺴِﻴَﻨَّﻚَ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥُ ﻓَﻠَﺎ ﺗَﻘْﻌُﺪْ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟﺬِّﻛْﺮَﻯٰ ﻣَﻊَ ﺍﻟْﻘَﻮْﻡِ ﺍﻟﻈَّﺎﻟِﻤِﻴﻦَ
"Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (al-An’am: 68)

Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah (wafat 1250 H) berkata dalam tafsirnya, “Dalam ayat ini ada nasihat (peringatan) yang agung bagi orang yang masih saja membolehkan duduk bersama ahli bid’ah yang biasa mengubah Kalam Allah, mempermainkan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam, serta memahami al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai dengan hawa nafsu mereka yang menyesatkan dan sesuai dengan bid’ah-bid’ah mereka yang rusak. Sungguh jika seseorang tidak dapat mengingkari mereka dan tidak mampu mengubah keadaan mereka, ia harus meninggalkan majelis mereka. Hal itu mudah baginya dan tidak sulit. Bisa jadi, para ahli bid’ah memanfaatkan hadirnya seseorang di majelis mereka, meskipun ia dapat terhindar dari syubhat yang mereka lontarkan, tetapi mereka dapat mengaburkannya kepada orang-orang awam. Jadi, hadirnya seseorang dalam majelis ahli bid’ah adalah kerusakan yang lebih besar daripada sekadar kerusakan yang berupa mendengarkan kemungkaran. Kami telah melihat di majelis-majelis terlaknat ini—yang banyak sekali jumlahnya—dan kami bangkit untuk membela kebenaran, melawan kebatilan semampu kami, dan mencapai puncak kemampuan kami. Barang siapa mengetahui syariat yang suci ini dengan sebenar-benarnya, dia akan mengetahui bahwa bermajelis dengan orang yang bermaksiat kepada Allah Subhanahu wata’ala bisa jadi akan melakukan hal-hal yang diharamkan. Lebih-lebih lagi bagi orang yang belum mapan ilmunya tentang al-Qur’an dan as-Sunnah, sangat mungkin terpengaruh dengan kedustaan-kedustaan mereka berupa kebatilan yang sangat jelas lalu kebatilan tersebut akan tertanam di dalam hatinya sehingga sangat sulit mencari penyembuh dan pengobatannya, meskipun ia telah berusaha sepanjang hidupnya. Ia akan menemui Allah Subhanahu wata’ala dengan kebatilan yang ia yakini tersebut sebagai kebenaran, padahal itu adalah sebesar-besar kebatilan dan sebesar-besar kemungkaran.” (Fathul Qadir)

Allah ‘Azza wa Jalla juga berfirman:
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعً
Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam. [QS. An-Nisaa:140]

Allah ‘Azza wa Jalla melarang kita bergaul dan duduk bersama-sama orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah atau menjadikan ayat-ayat-Nya sebagai permainan.
Berkata Al-Qurthubi rahimahullah: Apabila telah tetap (perintah) menjauhi para pelaku kemaksiatan, maka menjauhi para pelaku kebid’ahan lebih utama (diperintahkan). [Tafsir al-Qurthubi : 5/418]

Berkata Syaikhul Islam rahimahullah: “Diangkat kepada Umar bin Abdul ‘Aziz sekelompok kaum yang telah minum khamer dan termasuk di dalamnya ada seorang yang hanya sekedar ikut duduk-duduk bersama mereka, dan dia sedang berpuasa. Maka beliau berkata: “Mulailah hukuman cambuk ini kepada orang ini (yaitu orang yang sekedar ikut duduk-duduk bersama para peminum khamer-pent), tidakkah engkau mendengar firman Allah Taala:
فَلاَ تَقْعُدُوا مَعَهُمْ
(Maka janganlah kamu duduk beserta mereka)?”
Berkata Syaikhul Islam rahimahullah: “Apabila ini (dilakukan) pada orang yang hanya sekedar ikut duduk-duduk dan kebetulan duduknya beserta mereka sedang melakukan kemungkaran dihukumi sama dengan mereka, bagaimana jika terus-menerus bergaul dengan mereka?!” [Majmu’ Fatawa:15/315]

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا فَسَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ فَأَتَاهُ فَقَالَ إِنَّهُ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟ فَقَالَ: لاَ. فَقَتَلَهُ فَكَمَّلَ بِهِ مِائَةً ثُمَّ سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ فَقَالَ إِنَّهُ قَتَلَ مِائَةَ نَفْسٍ فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟ فَقَالَ: نَعَمْ، وَمَنْ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ، انْطَلِقْ إِلَى أَرْضِ كَذَا وَكَذَا فَإِنَّ بِهَا أُنَاسًا يَعْبُدُونَ اللهَ فَاعْبُدِ اللهَ مَعَهُمْ وَلاَ تَرْجِعْ إِلَى أَرْضِكَ فَإِنَّهَا أَرْضُ سَوْءٍ. فَانْطَلَقَ حَتَّى إِذَا نَصَفَ الطَّرِيقَ أَتَاهُ الْمَوْتُ فَاخْتَصَمَتْ فِيهِ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ وَمَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ فَقَالَتْ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ: جَاءَ تَائِبًا مُقْبِلاً بِقَلْبِهِ إِلَى اللهِ. وَقَالَتْ مَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ: إِنَّهُ لَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ. فَأَتَاهُمْ مَلَكٌ فِي صُورَةِ آدَمِيٍّ فَجَعَلُوهُ بَيْنَهُمْ فَقَالَ: قِيسُوا مَا بَيْنَ الْأَرْضَيْنِ فَإِلَى أَيَّتِهِمَا كَانَ أَدْنَى فَهُوَ لَهُ. فَقَاسُوهُ فَوَجَدُوهُ أَدْنَى إِلَى الْأَرْضِ الَّتِي أَرَادَ فَقَبَضَتْهُ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ. قَالَ قَتَادَةُ: فَقَالَ الْحَسَنُ: ذُكِرَ لَنَا أَنَّهُ لَمَّا أَتَاهُ الْمَوْتُ نَأَى بِصَدْرِهِ
Dahulu di zaman orang-orang sebelum kalian tersebutlah seorang yang telah membunuh 99 orang. (Dia pun bermaksud ingin bertaubat) kemudian menanyakan tentang siapakah penduduk bumi yang paling alim. Ditunjukkanlah kepadanya seorang ahli ibadah. Kemudian dia mendatangi ahli ibadah tersebut dan menceritakan bahwa dia telah membunuh 99 orang, masih adakah pintu taubat baginya? Maka dijawab oleh ahli ibadah tersebut, “Tidak ada taubat.” Maka dibunuhlah ahli ibadah tersebut sehingga genap menjadi 100 orang yang telah dia bunuh. Setelah itu dia kembali menanyakan tentang siapakah penduduk bumi yang paling alim (ingin bertaubat lagi). Maka ditunjukkanlah kepadanya seorang yang berilmu. Kemudian dia menceritakan kepadanya bahwa dia telah membunuh 100 orang. Masih adakah pintu taubat baginya? Maka dijawab oleh orang yang berilmu, “Ya, masih ada kesempatan bertaubat. Dan siapakah yang menghalangi antaramu dengan taubat? Pergilah engkau menuju negeri ini dan ini. Karena para penduduknya adalah orang-orang yang beribadah kepada Allah saja maka beribadahlah kepada Allah bersama mereka. Dan janganlah engkau kembali ke negerimu karena sesungguhnya negerimu adalah negeri yang jelek.” Maka pergilah orang tersebut menuju negeri yang baik hingga ketika baru sampai setengah perjalanan datanglah malaikat maut menjemput ajalnya. Sehingga malaikat rahmat dan malaikat adzab pun berdebat. Malaikat rahmat berkata, “Dia datang dalam keadaan bertaubat dan menghadapkan hatinya kepada Allah.” Adapun malaikat adzab berkata, “Dia belum pernah beramal kebaikan sedikitpun.” Kemudian Allah mengutus seorang malaikat dalam rupa manusia sebagai hakim bagi keduanya, seraya berkata, “Ukurlah jarak antara kedua negeri tersebut, jarak manakah yang terdekat maka dialah yang berhak mengambilnya.” Maka diukurlah jaraknya dan ternyata dia lebih dekat kepada negeri yang dia tuju (negeri yang baik). Sehingga malaikat rahmat pun yang berhak mengambilnya. (HR. Muslim no. 4967 dari Abu Said al-Khudri radhiallahu anhu)

Karena pentingnya pokok ini, menjauhkan diri dari ahlul bid’ah dan majelis-majelis mereka, para ulama memasukkan masalah ini dalam pokok keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, demikian pula ulama ahlul hadits mencantumkan bab-bab khusus terkait pokok yang agung ini.
1. Al-Imam Abu Dawud as-Sijistani rahimahullah (wafat 275 H), membuat sebuah bab dalam Sunan Abi Dawud (4/198) dengan judul “Mujanabatu Ahlil Ahwa’ wa Bughdhuhum” (bab “Menjauhi Pengikut Hawa Nafsu dan Membenci Mereka”).
2. Al-Imam Ibnu Baththah al-Akburi rahimahullah (wafat 387 H), dalam kitabnya al-Ibanah (2/429) mencantumkan sebuah bab berjudul “at-Tahdzir min Shuhbati Qaumin Yumridhunal Quluba wa Yufsidunal Imaan” (bab “Peringatan dan Ancaman dari Bergaul dengan Kaum.yang Dapat Membuat Hati Menjadi Sakit dan Merusak Iman”).
3. Al-Imam al-Baihaqi rahimahullah (wafat 458 H) dalam Kitabul I’tiqad membuat sebuah bab berjudul “an-Nahyu ‘an Mujalasati Ahlil Bida” (bab “Larangan Bermajelis dengan Ahlul Bid’ah”).
4. Al-Imam al-Baghawi rahimahullah (wafat 516 H) dalam Syarhus Sunnah (1/219) menyebutkan bab “Mujanabah Ahlil Ahwa” (bab “Menjauhi Pengikut Hawa Nafsu”).
5. Al-Imam Al-Mundziri rahimahullah (wafat 656 H), dalam kitabnya at-Targhib wat Tarhib (3/378) membuat bab “at-Tarhib min Hubbil Asyrar wa Ahlil Bida” (“Ancaman Mencintai Orang-Orang yang Melakukan Kejelekan dan Bid’ah”).
6. Al-Imam an-Nawawi asy-Syafi’i rahimahullah (wafat 676 H) dalam kitabnya, al-Adzkar, menyebutkan bab “at-Tabarri min Ahlil Bid’ah wal Ma’ashi” (bab “Berlepas Diri dari Ahlul Bida’ dan Pelaku Maksiat”).

Beberapa contoh pengamalan para ulama salaf di dalam perkara ini:
1. Muhammad bin Sirin
- Beliau jika mendengar satu kata dari ahlul bid’ah, dia meletakkan dua telunjuknya di dua telinganya dan berkata, “Tidak halal bagiku berbicara dengannya sampai dia berdiri dari majelisnya.”
- Dua orang dari ahlu ahwa’ (ahlu bid’ah) masuk menemui Muhammad bin Siriin, mereka berdua berkata, “Wahai Abu Bakar, kami akan menyampaikan satu hadits kepadamu?”
Berkata (Ibnu Siriin), “Tidak.” Berkata lagi dua orang tersebut, “Kami akan membacakan satu ayat kepadamu dari Kitabullah (al-Qur’an) Azza Wajalla?”
Berkata (Ibnu Siriin), “Tidak. Kalian pergi dariku atau aku yang pergi.”
- Ketika ada orang yang berkata kepada Ibnu Sirin, “Sesungguhnya fulan (salah seorang ahlul bid’ah, red) ingin datang dan berbicara denganmu.” Beliau berkata, “Katakan kepadanya, jangan datang kepadaku. Sesungguhnya hati anak Adam itu lemah. Aku khawatir mendengar satu kalimat darinya kemudian hatiku tidak bisa kembali seperti semula.”
2. Seorang ahlul ahwa (ahlul bid’ah) berkata kepada kepada Ayub As-Sakhtiyani, “Wahai Abu Bakr (yakni Ayub), aku ingin bertanya kepadamu satu kata.” Ayub berkata seraya berisyarat dengan telunjuknya, “Tidak, walaupun setengah kata.”
3. Datang Dawud Al-Ashbahani ke Baghdad. Dia berbicara dengan lemah lembut kepada Shalih bin Ahmad bin Hanbal untuk memintakan izin agar bisa bertemu dengan ayahnya (yakni Al-Imam Ahmad bin Hanbal). Shalih pun datang ke ayahnya dan berkata, “Ada seseorang minta kepadaku agar bisa bertemu denganmu.” Beliau bertanya, “Siapa namanya?” Shalih menjawab, “Dawud.” Beliau bertanya lagi, “Dari mana dia?” Shalih khawatir membeberkan jati dirinya kepada Al-Imam Ahmad, namun beliau terus bertanya hingga paham siapa yang ingin berjumpa dengannya. Maka Al-Imam Ahmad berkata, “Muhammad bin Yahya An-Naisaburi telah menulis surat kepadaku tentang orang ini bahwa orang ini berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, maka janganlah dia mendekatiku.” Shalih berkata, “Wahai ayah, dia menafikan dan mengingkari tuduhan ini.” Al-Imam Ahmad berkata, “Muhammad bin Yahya lebih jujur darinya. Jangan izinkan dia masuk kepadaku.”

Malik bin Dinar rahimahullah berkata: "Setiap teman duduk yang tidak bisa kau ambil faedah kebaikan sedikit pun darinya maka jauhilah!" (Tahdzib al-Hilyah 2/425)

Amr bin Qais al-Mula'i rahimahullah berkata: “Jangan engkau bermajelis dengan orang yang menyimpang, (karena) akan menyebabkan hatimu menyimpang.” (Al-Ibanah, 2/436)

Mush’ab bin Sa’d bin Abi Waqqash berkata: “Jangan kalian duduk bersama orang yang terfitnah, karena engkau tidak akan luput dari satu di antara dua perkara: bisa jadi engkau akan terfitnah dengannya sehingga mengikutinya atau ia akan mengganggumu sebelum engkau meninggalkannya.”

Bundar berkata, "Berteman dengan ahlul bid'ah akan mewariskan penyimpangan dari al haq." (Siyar A'lamun Nubala)

Berkata Abu Qilabah rahimahullah:
لا تجالسوا أهل الأهواء، ولا تجادلوهم، فإني لا آمن أن يغمسوكم في الضلالة، أو يلبسوا عليكم في الدين بعض ما لبس عليهم
“Janganlah kalian duduk bersama ahlu ahwa’ (ahlu bid’ah) dan janganlah mendebat mereka dikarenakan sesungguhnya aku tidak merasa aman mereka menanamkan kesesatan kepada kalian atau menyamarkan (merancukan) kepada kalian perkara agama, sebagian perkara agama yang mereka samarkan.” (Lihat Asy-Syariah Al-Ajurry: 56 dan Al-Ibanah Ibnu Batthah: 2/437)

Berkata Imam Al Barbahari Rahimahullah:
فاحذر ثم احذر أهل زمانك خاصة وانظر من تجالس وممن تسمع ومن تصحب فإن الخلق كأنهم في ردة إلا من عصم الله منهم
“Berhati-hatilah dan berhati-hatilah kepada orang-orang yang hidup sezaman denganmu secara khusus, dan lihatlah siapa teman dudukmu, dan dari siapa engkau mendengar dan dengan siapa engkau berteman, dikarenakan manusia hampir saja menjadi murtad dari agamanya karena sebab teman bergaulnya kecuali orang yang Allah jaga.”
(Syarh Sunnah Lil Barbahari)

Berkata Ibnu Batthoh rahimahullahu ta'alaa:
اعلموا إخواني أني فكرت في السبب الذي أخرج أقواما من السنة والجماعة واضطرهم إلى البدعة والشناعة وفتح باب البلية على أفئدتهم وحجب نور الحق عن بصيرتهم فوجدت ذلك من وجهين
Ketahuilah wahai saudaraku sekalian, sesungguhnya aku berfikir pada sebab yang:
- MENGELUARKAN banyak manusia dari sunnah dan jama'ah,
- yang MENYERET mereka kepada keburukan dan bid'ah,
- yang membuka PINTU PETAKA pada hati-hati mereka,
- serta MENUTUP cahaya kebenaran dari pengetahuan mereka.
Maka aku temukan itu pada dua hal:
أحدهما: البحث والتنقير وكثرة السؤال عما لا يغني ولا يضر العاقل جهله ولا ينفع المؤمن فهمه
YANG PERTAMA:
Meneliti, menggali, dan banyak bertanya untuk sesuatu yang tidak dibutuhkan, untuk sesuatu yang tidak membahayakan seorang yang berakal apabila bodoh tentangnya, dan untuk sesuatu yang tidak bermanfaat bagi seorang mukmin apabila memahaminya.
والآخر: مجالسة من لا تؤمن فتنته وتفسد القلوب صحبته
YANG LAINNYA:
Yaitu duduk bersama orang yang tidak aman dari fitnahnya, dan akan merusak hati jika BERTEMAN dengannya.
(Al-Ibanah Al-Kubro libni Batthoh 1/390)

Syaikh Rabi ibn Hadi berkata, "Kebanyakan manusia tertipu dengan kebaikan yang ada pada ahlul ahwa.
Juga tertipu dengan kecerdasan yang ada pada ahlul ahwa.
Maka dengan sebab itu, mereka pun menjalin hubungan dan berinteraksi dengan ahlul ahwa.
Allah pun membiarkan mereka (pada kesesatannya) dan akhirnya mereka pun terjatuh pada kesesatan.
Ini suatu yang nyata!
Hal ini sudah diisyaratkan oleh Imam Ibnu Bathah rahimahullah, beliau berkata, "Kami telah mengetahui adanya orang yang dahulunya mereka mencela dan mencerca ahlul bid'ah, tapi ketika orang tersebut duduk-duduk dan bergaul dengan mereka, maka orang itu pun akhirnya bersahabat dengan mereka."
Ini nyata terjadi di setiap zaman dan tempat..!"
(Syarhu Ushulis Sunnah-Syaikh Rabi ibn Hadi, hal. 10, cet. Maktabatu Hadyil Muhammadi 2008)

Beberapa contoh kasus orang yang terjatuh dalam kesesatan karena berteman dengan ahlul bid’ah:
1. Rawandi, dia berteman dengan Rafidhah dan orang-orang menyimpang lainnya. Jika dihukum, dia menjawab, “Aku hanya ingin tahu ucapan-ucapan mereka.” Sampai akhirnya dia pun menjadi mulhid (atheis/penyimpang) dan turun dari dien dan millah (agama) ini.”
2. Para ulama melarang Ibnu Aqil al-Hanbali bergaul dengan Mu’tazilah namun dia enggan menerimanya. Beliau berkata, “Para ulama Hanbali ingin agar aku menjauhi sekelompok ulama, padahal itu menyebabkan aku luput dari sebagian ilmu.” Akhirnya dia terjatuh dalam jerat mereka dan menjadi lancang dalam menakwil dalil-dalil.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di dalam surat Al-Furqan:
Dan (ingatlah) hari (ketika) orang yang zalim itu menggigit dua tangannya, seraya berkata: “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan (yang lurus) bersama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku, kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan jadi teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al-Qur’an ketika Al-Qur’an telah datang kepadaku. Dan setan itu tidak akan menolong manusia." (Al-Furqan: 27-29)

###

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

Penanya:
Apakah hukum bermajelis dengan ahli bid’ah di hadapan manusia seperti Habib Ali Al-Jafary yang mana saya adalah seorang dai Islam yang terkenal dan hal ini dalam rangka mendakwahkan agama Allah?

Asy-Syaikh:
Jangan bermajelis dengan ahli bid’ah, baik di hadapan manusia maupun hanya engkau sendirian bersamanya. Jauhilah ahli bid’ah, jangan bergaul dengan mereka, jangan bermajelis dengan mereka, dan boikotlah mereka hingga mereka bertaubat dari bid’ah mereka.

Sumber:
WSI || forumsalafy .net/?p=2611

Dikirim ulang oleh:
Forum Salafy Pekalongan

Tentang SELEKTIF MEMILIH TEMAN

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﻋَﻠَﻰ ﺩِﻳْﻦِ ﺧَﻠِﻴﻠِﻪِ، ﻓَﻠْﻴَﻨْﻈُﺮْ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻣَﻦْ ﻳُﺨَﺎﻟِﻞُ
“Seseorang tergantung agama teman dekatnya, maka hendaknya kalian memerhatikan siapakah teman dekatnya.”
Hadits ini diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu melalui dua jalur periwayatan, oleh Al-Imam Ahmad (2/303, 334) Abu Dawud (no. 4812), At-Tirmidzi (no. 2484), Al-Hakim (4/171), Ath-Thayalisi (no. 2107), Al-Qudha’i (dalam Al-Musnad no. 187). Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah (2/633).

Oleh karena itu, siapa saja yang diridhai agama dan akhlaknya hendaknya dijadikan teman, dan siapa yang tidak seperti itu hendaknya dijauhi, karena tabiat itu akan saling meniru. (‘Aunul Ma’bud, Kitabul Adab, Bab Man Yu`maru an Yujaalisa)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini.” (Al Kahfi: 28)

As-Sa’di berkata dalam tafsir ayat ini, “Di dalam ayat ini terkandung perintah untuk berteman dengan orang-orang baik serta menundukkan jiwa agar dapat berteman dan bergaul dengan mereka, meskipun mereka adalah orang-orang fakir. Karena bergaul dengan mereka akan mendatangkan manfaat yang tiada terbilang.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ari:
ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻣَﺜَﻞُ ﺍﻟْﺠَﻠِﻴﺲِ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺢِ ﻭَﺟَﻠِﻴﺲِ ﺍﻟﺴُّﻮﺀِ، ﻛَﺤَﺎﻣِﻞِ ﺍﻟْﻤِﺴْﻚِ ﻭَﻧَﺎﻓِﺦِ ﺍﻟْﻜِﻴﺮِ، ﻓَﺤَﺎﻣِﻞُ ﺍﻟْﻤِﺴْﻚِ ﺇﻣَّﺎ ﺃَﻥْ ﻳُﺤْﺬِﻳَﻚَ ﻭَﺇﻣَّﺎ ﺃَﻥْ ﺗَﺒْﺘَﺎﻉَ ﻣِﻨْﻪُ ﻭَﺇﻣَّﺎ ﺃﻥْ ﺗَﺠِﺪَ ﻣِﻨْﻪُ ﺭﻳﺤﺎً ﻃَﻴِّﺒَﺔً، ﻭَﻧَﺎﻓِﺦُ ﺍﻟْﻜِﻴﺮِ ﺇﻣَّﺎ ﺃَﻥْ ﻳُﺤْﺮِﻕَ ﺛِﻴَﺎﺑَﻚَ، ﻭَﺇﻣَّﺎ ﺃَﻥْ ﺗَﺠِﺪَ ﻣِﻨْﻪُ ﺭِﻳﺤﺎً ﻣُﻨْﺘِﻨَﺔً
“Sesungguhnya teman baik dan teman yang buruk itu diibaratkan dengan penjual minyak wangi dan pandai besi. Penjual minyak wangi dapat memberikan wewangian untukmu, engkau membelinya, atau engkau mendapatkan aroma wangi darinya. Adapun pandai besi bisa jadi membakar pakaianmu atau engkau mendapatkan aroma yang tidak sedap darinya.”

Al-Iman an-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa dalam ucapan Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam ini terkandung keutamaan duduk bersama orang-orang yang shalih, yang memiliki kebaikan, muru`ah, akhlak yang mulia, wara’, ilmu serta adab. Juga terkandung larangan duduk bersama orang-orang yang jelek, ahlul bid’ah, orang yang suka menggunjing orang lain, atau sering melakukan perbuatan fajir, banyak menganggur, dan berbagai macam perbuatan tercela lainnya. (Syarh Shahih Muslim, 16/177)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan bahwa inilah sabda Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam yang di dalamnya terkandung larangan duduk bersama orang yang dapat mengakibatkan kerugian pada agama maupun dunia, serta anjuran untuk duduk bersama orang yang dapat diambil manfaatnya bagi agama dan dunia. (Fathul Bari 4/410)

Al-Imam Ibnu Baththal menjelaskan bahwa hadits ini menunjukkan larangan bermajelis dengan orang yang mendatangkan gangguan, seperti orang yang berbuat ghibah atau membela kebatilan. Hadits ini juga menunjukkan perintah untuk bermajelis dengan orang yang dapat mendatangkan kebaikan, seperti dzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala mempelajari ilmu, dan seluruh perbuatan baik lainnya. (Syarah Ibnu Baththal)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ﻻ ﺗﺼﺎﺣﺐ ﺇﻻ ﻣﺆﻣﺎ ﻭﻻ ﻳﺄﻛﻞ ﻃﻌﺎﻣﻚ ﺇﻻ ﺗﻘﻲ
“Janganlah dirimu berteman kecuali dengan seorang mukmin, dan janganlah memakan makananmu kecuali orang yang bertakwa,” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4832, dihasankan oleh Al-Albany rahimahullah, dari shahabat Abu Sa`id Al-Khudri radhiyallahu anhu)

Abu Darda’ radhiallahu anhu berkata:
مِنْ فِقْهِ الرَّجُلِ مَمْشَاهُ وَمَدْخَلُهُ وَمَجْلِسُهُ
“Di antara yang menunjukkan kefakihan seseorang adalah dengan dia selektif bersama siapa dia berjalan, masuk ke tempat siapa, dan duduk bersama siapa.” (Al-Ibanah, 379)

Asy-Syaikh Muhammad bin Hady Al-Madkhaly hafizhahullah berkata:
Maksudnya (bersama siapa dia berjalan, bersama siapa dia masuk dan bersama siapa dia duduk), jika dia berjalan bersama Ahlus Sunnah maka dia seorang sunni. Dan jika dia berjalan bersama ahlul bida’ maka dia seorang bid’i. Hal ini telah disebutkan oleh para imam salaf dan ditakrij oleh Mushannif (penulis kitab) dalam Al-Ibanah Al-Kubra.

Qatadah rahimahullah berkata, “Demi Allah, tidaklah kami menyaksikan seseorang berteman kecuali dengan yang sejenis dan setipe. Oleh karena itu, bertemanlah kalian dengan hamba-hamba Allah yang shalih agar kalian dapat bersama dengan mereka atau semisal dengan mereka.” (Al-Ibanah, 511)

Dari Ibnu Abbas radhiyallaahu anhuma ia berkata:
سَمِعْتُ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلًا لَا يُشْرِكُونَ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلَّا شَفَّعَهُمُ اللَّهُ فِيهِ – رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Saya mendengar Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Tidaklah seorang lelaki muslim meninggal, kemudian disholatkan jenazahnya oleh 40 laki-laki yang tidak mensekutukan Allah dengan suatu apapun kecuali Allah akan memberikan syafaat mereka kepadanya. (riwayat Muslim)

Hadits ini menunjukkan pentingnya berteman dengan orang-orang sholih yang senantiasa mentauhidkan Allah, tidak mensekutukanNya dengan suatu apapun. Karena jika seseorang meninggal dan disholatkan oleh seseorang yang mentauhidkan Allah, maka Allah akan mengampuninya dengan sebab syafaat sholat dari orang yang mentauhidkan Allah tersebut. Dalam hadits ini disebutkan jumlah 40 orang, sedangkan dalam hadits lain disebutkan jumlah 100 orang dan sebagian riwayat menyatakan 3 shaf. (Penjelasan hadits dari Al-Ustadz Abu Utsman Kharisman)

Ditanyakan kepada Sufyan rahimahullah, “Kepada siapa kami bermajelis?”
Beliau menjawab, “Seseorang yang jika engkau melihatnya engkau ingat Allah, amalannya mendorong kalian kepada akhirat, dan ucapannya menambah ilmu kalian.”
(Lihat Min Hadyis Salaf hal. 54-55)

Yusuf bin al-Husain menceritakan:
Aku bertanya kepada Dzun Nun tatkala perpisahanku dengannya,
“Kepada siapakah aku duduk/berteman dan belajar?”
Beliau menjawab:
“Hendaknya kamu duduk bersama orang yang dengan melihatnya akan mengingatkan dirimu kepada Allah.
Kamu memiliki rasa segan kepadanya di dalam hatimu.
Orang yang pembicaraannya bisa menambah ilmumu.
Orang yang tingkah lakunya membuatmu semakin zuhud kepada dunia.
Bahkan, kamu pun tidak mau bermaksiat kepada Allah selama kamu sedang berada di sisinya.
Dia memberikan nasehat kepadamu dengan perbuatannya, dan tidak menasehatimu dengan ucapannya semata.”
(lihat al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd)

‘Amr bin Qais Al-Mala`i rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya pemuda itu sedang tumbuh. Maka apabila dia lebih mengutamakan untuk duduk bersama orang-orang yang berilmu, hampir-hampir bisa dikata dia akan selamat. Namun bila dia cenderung pada selain mereka, hampir-hampir dia rusak binasa.”
(Lihat Lammud Durril Mantsur minal Qaulil Ma`tsur, bab Hukmus Salaf ‘alal Mar`i bi Qarinihi wa Mamsyahu no. 517)

Ibnu Hibban rahimahullah berkata, “Seorang yang berakal tidak akan bersahabat dengan orang-orang jahat.”
Beliau juga berkata, “Empat hal yang termasuk kebahagiaan seseorang: Istri yang senantiasa taat kepadanya, anak-anak yang shalih, teman-teman yang baik, dan rezekinya di negerinya.”
(Lihat Ni’matul Ukhuwah hal. 22)

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, “Saudaramu ialah yang menasihati, mengingatkan, dan memperingatkan dirimu. Orang yang tidak memerhatikanmu, berpaling darimu, dan berbasabasi denganmu, bukanlah saudaramu. Saudaramu yang sejati ialah orang yang menasihatimu, memberimu wejangan, mengingatkanmu, dan mengajakmu kepada jalan Allah ‘azza wa jalla. Ia menjelaskan kepadamu jalan keselamatan sehingga engkau bisa menitinya. Selain itu, dia memperingatkanmu dari jalan kebinasaan dan akibat buruknya sehingga engkau bisa menjauhinya.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 21/14)

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Sulit didapatkan pada masa ini seorang teman yang memiliki sifat ini (terus terang dan menasihati). Sebab, jarang sekali ada kawan yang tidak memberikan sanjungan, justru memberi tahu kekurangan. Dahulu, salaf mencintai orang yang mengingatkan mereka tentang berbagai kekurangan mereka. Adapun kita sekarang, biasanya menjadikan orang yang mengetahui kekurangan kita sebagai orang yang paling dibenci. Ini adalah tanda lemahnya iman.” (Mukhtashar Minhajil Qashidin hlm. 147)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا فَسَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ فَأَتَاهُ فَقَالَ إِنَّهُ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟ فَقَالَ: لاَ. فَقَتَلَهُ فَكَمَّلَ بِهِ مِائَةً ثُمَّ سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ فَقَالَ إِنَّهُ قَتَلَ مِائَةَ نَفْسٍ فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟ فَقَالَ: نَعَمْ، وَمَنْ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ، انْطَلِقْ إِلَى أَرْضِ كَذَا وَكَذَا فَإِنَّ بِهَا أُنَاسًا يَعْبُدُونَ اللهَ فَاعْبُدِ اللهَ مَعَهُمْ وَلاَ تَرْجِعْ إِلَى أَرْضِكَ فَإِنَّهَا أَرْضُ سَوْءٍ. فَانْطَلَقَ حَتَّى إِذَا نَصَفَ الطَّرِيقَ أَتَاهُ الْمَوْتُ فَاخْتَصَمَتْ فِيهِ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ وَمَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ فَقَالَتْ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ: جَاءَ تَائِبًا مُقْبِلاً بِقَلْبِهِ إِلَى اللهِ. وَقَالَتْ مَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ: إِنَّهُ لَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ. فَأَتَاهُمْ مَلَكٌ فِي صُورَةِ آدَمِيٍّ فَجَعَلُوهُ بَيْنَهُمْ فَقَالَ: قِيسُوا مَا بَيْنَ الْأَرْضَيْنِ فَإِلَى أَيَّتِهِمَا كَانَ أَدْنَى فَهُوَ لَهُ. فَقَاسُوهُ فَوَجَدُوهُ أَدْنَى إِلَى الْأَرْضِ الَّتِي أَرَادَ فَقَبَضَتْهُ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ. قَالَ قَتَادَةُ: فَقَالَ الْحَسَنُ: ذُكِرَ لَنَا أَنَّهُ لَمَّا أَتَاهُ الْمَوْتُ نَأَى بِصَدْرِهِ
“Dahulu di zaman orang-orang sebelum kalian tersebutlah seorang yang telah membunuh 99 orang. (Dia pun bermaksud ingin bertaubat) kemudian menanyakan tentang siapakah penduduk bumi yang paling alim. Ditunjukkanlah kepadanya seorang ahli ibadah. Kemudian dia mendatangi ahli ibadah tersebut dan menceritakan bahwa dia telah membunuh 99 orang, masih adakah pintu taubat baginya? Maka dijawab oleh ahli ibadah tersebut, “Tidak ada taubat.” Maka dibunuhlah ahli ibadah tersebut sehingga genap menjadi 100 orang yang telah dia bunuh. Setelah itu dia kembali menanyakan tentang siapakah penduduk bumi yang paling alim (ingin bertaubat lagi). Maka ditunjukkanlah kepadanya seorang yang berilmu. Kemudian dia menceritakan kepadanya bahwa dia telah membunuh 100 orang. Masih adakah pintu taubat baginya? Maka dijawab oleh orang yang berilmu, “Ya, masih ada kesempatan bertaubat. Dan siapakah yang menghalangi antaramu dengan taubat? Pergilah engkau menuju negeri ini dan ini. Karena para penduduknya adalah orang-orang yang beribadah kepada Allah saja maka beribadahlah kepada Allah bersama mereka. Dan janganlah engkau kembali ke negerimu karena sesungguhnya negerimu adalah negeri yang jelek.” Maka pergilah orang tersebut menuju negeri yang baik hingga ketika baru sampai setengah perjalanan datanglah malaikat maut menjemput ajalnya. Sehingga malaikat rahmat dan malaikat adzab pun berdebat. Malaikat rahmat berkata, “Dia datang dalam keadaan bertaubat dan menghadapkan hatinya kepada Allah.” Adapun malaikat adzab berkata, “Dia belum pernah beramal kebaikan sedikitpun.” Kemudian Allah mengutus seorang malaikat dalam rupa manusia sebagai hakim bagi keduanya, seraya berkata, “Ukurlah jarak antara kedua negeri tersebut, jarak manakah yang terdekat maka dialah yang berhak mengambilnya.” Maka diukurlah jaraknya dan ternyata dia lebih dekat kepada negeri yang dia tuju (negeri yang baik). Sehingga malaikat rahmat pun yang berhak mengambilnya.” (HR. Muslim no. 4967 dari Abu Said al-Khudri radhiallahu anhu)

###

Salah Memilih Teman Awal Kehancuran Seseorang
Betapa terpukul orang tua ketika mengetahui anak kesayangannya mendekam di dalam penjara karena terjerat kasus narkoba. Sungguh tidak disangka mengapa bisa terjadi, padahal selama ini anaknya dikenal sebagai anak yang penurut, rajin bahkan berprestasi di sekolahnya. Di belahan bumi yang lain, didapati juga orang tua yang menangis pilu mendapati putri tercintanya ternoda di luar ikatan suci. Tidak kalah heboh, kabar terjadinya perceraian, istri menggugat cerai suami atau sebaliknya karena didapati salah satu pihak telah berbuat selingkuh dengan orang lain.

Peristiwa-peristiwa di atas di antara sederet peristiwa yang marak terjadi di era kita sekarang. Sungguh sebuah kenistaan, tidak semestinya hal tersebut terjadi di tengah-tengah negara kita yang konon menjunjung tinggi moral. Muncullah berbagai pernyataan dan opini menanggapi realita tersebut dari para komentator. Masing-masingnya berupaya menganalisa lalu mengambil kesimpulan tentang sebab musabab dan mencoba memberikan solusi untuk musibah yang dimaksud. Namun sangat disayangkan, kebanyakan dari mereka terlalu jauh membuat kesimpulan, bahkan tidak sedikit yang keliru memberikan jalan penyelesaian. Nyatanya, kejadian-kejadian semisal di atas, setelah ditelusuri lebih lanjut di antara penyebabnya adalah pergaulan dan pertemanan serta persahabatan yang keliru.

Para pembaca rahimakumullah, suatu hal yang kita sepakati bersama bahwa kemajuan teknologi selain berdampak positif ternyata juga mengandung dampak negatif yang tidak kalah besarnya. Berbagai fasilitas telah tersaji dengan lengkap dan mudah untuk diakses oleh siapapun, kapanpun dan di manapun. Termasuk dalam hal pertemanan, beragam sarana telah tersedia untuk seseorang berinteraksi dengan orang lain baik yang dikenal maupun yang tidak dikenal. FB, twitter, WA, BBM dan yang semisal adalah beberapa sarana dari ragam bentuk sarana pertemanan yang ada di dunia maya (internet). Kenikmatan yang sejatinya disyukuri, justu malah dikufuri. Bahagia yang didamba, alih-alih bencana yang melanda.

Lihat saja kasus narkoba yang menjerat anak kesayangan dalam contoh peristiwa di atas, dimulai dari perkenalan dirinya dengan seseorang. Awal mula digratiskan sampai akhirnya berusaha dengan berbagai cara untuk mendapatkan karena sudah kecanduan. Demikian pula dengan putri tercinta, kisah tragis diawali dengan berkenalan dengan orang yang tidak kenal lewat dunia maya (internet), saling berkirim pesan bahkan foto pribadi, janjian ketemu dan akhirnya terjadilah apa yang terjadi. Demikian pula yang terjadi pada kasus perceraian tersebut. Hanya Allah tempat mengadu. Menyesal tiada berguna lagi, nasi telah menjadi bubur.

Teman dalam Kacamata Islam
Para pembaca rahimakumullah, syariat yang mulia ini telah mengajarkan kepada kita metode pertemanan dan persahabatan, mulai dari cara memilih teman sampai cara berinteraksi dengan mereka. Dalam banyak nash (dalil) digambarkan bentuk persahabatan itu dengan berbagai jenis penggambaran. Semua itu bertujuan agar umat ini benar-benar paham dan dapat merealisasikannya dalam kehidupan mereka. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam sebuah haditsnya menyatakan:
"Sesungguhnya jiwa-jiwa itu laksana suatu pasukan. Jika saling sepakat maka akan bersatu, namun jika saling berbeda maka akan berpecah." (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Yakni jiwa-jiwa manusia itu satu kesatuan kemudian terpisah pada jasad masing-masing orang. Akan berkumpul kembali jika bertemu dengan yang sejenis dan setipe. Adapun jika tidak sejenis maka akan menjauh. (Lihat Syarah Shahih Muslim)

Demikianlah manusia, seseorang akan senang berkumpul dan bergaul dengan orang lain yang memiliki kesamaan karakter dengan dirinya. Sementara yang tidak sehati maka sulit untuk bisa saling memahami. Seorang anak yang suka berolahraga misalnya, maka dia akan bergaul dengan orang lain yang juga memiliki hobi yang sama. Demikian pula seorang anak yang suka berfoya-foya maka diapun akan mencari karib yang sejiwa dengannya. Masih ingat kisah dialog antara Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan pamannya yang bernama Abu Thalib? Tersebut dalam sebuah hadits dari Sa'id bin al-Musayyab dari ayahnya, ia bercerita,
"Bahwasannya menjelang Abu Thalib wafat, datanglah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menemui dia. Rasul shallallahu alaihi wasallam mendapati di samping Abu Thalib ada Abu Jahl bin Hisyam dan Abdullah bin Abi Umayyah bin al-Mughirah. Rasul shallallahu alaihi wasallam berkata," Wahai pamanku, ucapkanlah Laa ilaaha illallah, kalimat yang dengannya aku akan membelamu di sisi Allah." Namun berkata dua orang tersebut kepada Abu Thalib, "Apakah engkau benci dengan agama Abdul Muththalib?" Rasulullah shallallahu alaihi wasallam terus menerus berharap kepada pamannya agar mengucapkan kalimat tauhid. Namun dua teman Abu Thalib tadi juga mengulangi ucapan mereka, hingga pada akhirnya Abu Thalib tetap memilih agama nenek moyangnya dan enggan mengucapkan Laa ilaaha illallah." (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Renungilah kisah di atas! Suatu pelajaran berharga untuk kita bahwa pertemanan dan persahabatan punya pengaruh besar dalam hidup seorang hamba. Baik buruk jiwa dan raga seseorang tergantung bersama dan kepada siapa dia berinteraksi dan bermuamalah. Dalam hadits yang lain baginda Rasul shallallahu alaihi wasallam bersabda:
"Perumpamaan teman duduk yang baik dan teman duduk yang jelek seperti penjual misik (jenis minyak wangi) dan pandai besi. Adapun penjual misik, bisa jadi engkau diberi olehnya, atau engkau membeli darinya atau bisa jadi engkau mendapati bau harumnya. Sementara pandai besi, bisa jadi dia membakar bajumu atau engkau dapati bau yang tidak sedap darinya." (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Al-Hafizh Ibn Hajar berkata, "Pada hadits ini terkandung larangan duduk bersama orang-orang yang dapat mengakibatkan kerugian terkait urusan agama maupun  dunia,  serta anjuran untuk duduk bersama orang-orang yang dapat diambil manfaatnya bagi agama dan dunia. (Lihat Fathul Bari Syarah Shahih al-Bukhari)

Demikianlah beberapa penggambaran dari baginda Rasul shallallahu alaihi wasallam tentang persahabatan. Mutiara-mutiara ilmu yang sangat berharga. Suatu kemestian bagi setiap kita untuk benar-benar mencurahkan perhatian terhadap permasalahan ini. Sungguh, agama kita yang mulia, agama Islam, telah memberikan solusi bagi setiap urusan. Semuanya kembali kepada kita, apakah mau mempelajari dan merealisasikannya ataukah tidak. Musibah yang sedang menimpa ini, harus kita sadari bersama bahwa penyelesaiannya tidak hanya dibebankan kepada pemerintah semata, bahkan setiap elemen masyarakat punya tanggung jawab. Terlebih orang tua di rumah, karena pendidikan itu bermula dari rumah. Jika setiap orang tua memiliki kepedulian dan rasa tanggung jawab terhadap setiap orang yang tinggal di rumahnya baik terkait urusan dunia terlebih agama mereka, maka tentunya dengan izin Allah segala peristiwa tragis semisal di atas bisa teratasi, atau paling tidak terminimalisir. Cukup bagi kita apa yang telah terjadi. Kita tidak ingin lagi melihat dan mendengar remaja belia merokok, bertindik dan bertato, berita kematian seorang pemuda karena overdosis narkoba dan miras, pernikahan 'terpaksa' (MBA), perceraian, pertikaian dan kejadian-kejadian menyedihkan lainnya. Maka perhatikanlah teman dekat kita dan orang-orang yang kita sayangi! Ambillah ibrah (pelajaran) dari peristiwa yang ada!

Baginda Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
"Seseorang itu berada di atas agama temannya, maka hendaklah setiap kalian memperhatikan siapa yang dia jadikan teman." (HR. Abu Dawud)

Seorang penyair menyatakan:
Tidak perlu engkau bertanya tentang siapa seseorang itu, namun tanyalah siapa temannya. Karena setiap teman pasti meniru temannya
Bila engkau berada pada suatu kaum maka bertemanlah dengan orang yang terbaik dari mereka
Dan janganlah engkau berteman dengan orang yang hina niscaya engkau akan hina bersama orang yang hina

Wallahu a'lam bishshawab, semoga bermanfaat.

Penulis: Ustadz Abdullah Imam

Buletin Al Ilmu Edisi No. 28/VII/XIII/1436 H