Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻣَﺜَﻞُ ﺍﻟْﺠَﻠِﻴﺲِ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺢِ ﻭَﺍﻟْﺠَﻠِﻴﺲِ ﺍﻟﺴُّﻮﺀِ ﻛَﺤَﺎﻣِﻞِ ﺍﻟْﻤِﺴْﻚِ ﻭَﻧَﺎﻓِﺦِ ﺍﻟْﻜِﻴﺮِ ﻓَﺤَﺎﻣِﻞُ ﺍﻟْﻤِﺴْﻚِ ﺇِﻣَّﺎ ﺃَﻥْ ﻳُﺤْﺬِﻳَﻚَ ﻭَﺇِﻣَّﺎ ﺃَﻥْ ﺗَﺒْﺘَﺎﻉَ ﻣِﻨْﻪُ ﻭَﺇِﻣَّﺎ ﺃَﻥْ ﺗَﺠِﺪَ ﻣِﻨْﻪُ ﺭَﻳْﺤًﺎ ﻃَﻴِّﺒَﺔً، ﻭَﻧَﺎﻓِﺦُ ﺍﻟْﻜِﻴْﺮِ ﺇِﻣَّﺎ ﺃَﻥْ ﻳُﺤْﺮِﻕَ ﺛِﻴَﺎﺑَﻚَ ﻭَﺇِﻣَّﺎ ﺃَﻥْ ﺗَﺠِﺪَ ﻣِﻨْﻪُ ﺭِﻳْﺤًﺎ ﺧَﺒِﻴﺜَﺔً
"Permisalan teman duduk yang saleh dan teman duduk yang buruk seperti penjual misik dan pandai besi. Adapun penjual misik, boleh jadi ia memberimu misik, engkau membeli darinya, atau setidaknya engkau akan mencium bau harumnya. Adapun pandai besi, boleh jadi akan membuat bajumu terbakar atau engkau mencium bau yang tidak enak.”
Hadits di atas diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam ash-Shahih (no. 2101 dan 5534), Muslim rahimahullah (8/37—38), Ibnu Hibban rahimahullah dalam Shahih-nya, al-Baihaqi rahimahullah dalam Syu’abul Iman, dan Ahmad rahimahullah (4/404—405), semua melalui jalan Abu Burdah rahimahullah, dari Abu Musa radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah menyebutkan jalan-jalan lain yang dapat dirujuk dalam kitab beliau, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, hadits no. 3214.
Ketika menyebutkan hadits ini, al-Baihaqi rahimahullah memberikan judul bab “Menjauhkan Diri dari Kaum yang Fasik, Ahlul Bid’ah, dan Siapa Saja yang Tidak Membantumu untuk Berbuat Taat kepada Allah Subhanahu wata’ala.”
Al-Iman an-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa dalam ucapan Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam ini terkandung keutamaan duduk bersama orang-orang yang shalih, yang memiliki kebaikan, muru`ah, akhlak yang mulia, wara’, ilmu serta adab. Juga terkandung larangan duduk bersama orang-orang yang jelek, ahlul bid’ah, orang yang suka menggunjing orang lain, atau sering melakukan perbuatan fajir, banyak menganggur, dan berbagai macam perbuatan tercela lainnya. (Syarh Shahih Muslim, 16/177)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan bahwa inilah sabda Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam yang di dalamnya terkandung larangan duduk bersama orang yang dapat mengakibatkan kerugian pada agama maupun dunia, serta anjuran untuk duduk bersama orang yang dapat diambil manfaatnya bagi agama dan dunia. (Fathul Bari 4/410)
Al-Imam Ibnu Baththal menjelaskan bahwa hadits ini menunjukkan larangan bermajelis dengan orang yang mendatangkan gangguan, seperti orang yang berbuat ghibah atau membela kebatilan. Hadits ini juga menunjukkan perintah untuk bermajelis dengan orang yang dapat mendatangkan kebaikan, seperti dzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala mempelajari ilmu, dan seluruh perbuatan baik lainnya. (Syarah Ibnu Baththal)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﻋَﻠَﻰ ﺩِﻳْﻦِ ﺧَﻠِﻴﻠِﻪِ، ﻓَﻠْﻴَﻨْﻈُﺮْ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻣَﻦْ ﻳُﺨَﺎﻟِﻞُ
“Seseorang tergantung agama teman dekatnya, maka hendaknya kalian memerhatikan siapakah teman dekatnya.”
Hadits ini diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu melalui dua jalur periwayatan, oleh Al-Imam Ahmad (2/303, 334) Abu Dawud (no. 4812), At-Tirmidzi (no. 2484), Al-Hakim (4/171), Ath-Thayalisi (no. 2107), Al-Qudha’i (dalam Al-Musnad no. 187). Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah (2/633).
Oleh karena itu, siapa saja yang diridhai agama dan akhlaknya hendaknya dijadikan teman, dan siapa yang tidak seperti itu hendaknya dijauhi, karena tabiat itu akan saling meniru. (‘Aunul Ma’bud, Kitabul Adab, Bab Man Yu`maru an Yujaalisa)
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺭَﺃَﻳْﺖَ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﺨُﻮﺿُﻮﻥَ ﻓِﻲ ﺁﻳَﺎﺗِﻨَﺎ ﻓَﺄَﻋْﺮِﺽْ ﻋَﻨْﻬُﻢْ ﺣَﺘَّﻰٰ ﻳَﺨُﻮﺿُﻮﺍ ﻓِﻲ ﺣَﺪِﻳﺚٍ ﻏَﻴْﺮِﻩِ ۚ ﻭَﺇِﻣَّﺎ ﻳُﻨﺴِﻴَﻨَّﻚَ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥُ ﻓَﻠَﺎ ﺗَﻘْﻌُﺪْ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟﺬِّﻛْﺮَﻯٰ ﻣَﻊَ ﺍﻟْﻘَﻮْﻡِ ﺍﻟﻈَّﺎﻟِﻤِﻴﻦَ
"Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (al-An’am: 68)
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah (wafat 1250 H) berkata dalam tafsirnya, “Dalam ayat ini ada nasihat (peringatan) yang agung bagi orang yang masih saja membolehkan duduk bersama ahli bid’ah yang biasa mengubah Kalam Allah, mempermainkan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam, serta memahami al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai dengan hawa nafsu mereka yang menyesatkan dan sesuai dengan bid’ah-bid’ah mereka yang rusak. Sungguh jika seseorang tidak dapat mengingkari mereka dan tidak mampu mengubah keadaan mereka, ia harus meninggalkan majelis mereka. Hal itu mudah baginya dan tidak sulit. Bisa jadi, para ahli bid’ah memanfaatkan hadirnya seseorang di majelis mereka, meskipun ia dapat terhindar dari syubhat yang mereka lontarkan, tetapi mereka dapat mengaburkannya kepada orang-orang awam. Jadi, hadirnya seseorang dalam majelis ahli bid’ah adalah kerusakan yang lebih besar daripada sekadar kerusakan yang berupa mendengarkan kemungkaran. Kami telah melihat di majelis-majelis terlaknat ini—yang banyak sekali jumlahnya—dan kami bangkit untuk membela kebenaran, melawan kebatilan semampu kami, dan mencapai puncak kemampuan kami. Barang siapa mengetahui syariat yang suci ini dengan sebenar-benarnya, dia akan mengetahui bahwa bermajelis dengan orang yang bermaksiat kepada Allah Subhanahu wata’ala bisa jadi akan melakukan hal-hal yang diharamkan. Lebih-lebih lagi bagi orang yang belum mapan ilmunya tentang al-Qur’an dan as-Sunnah, sangat mungkin terpengaruh dengan kedustaan-kedustaan mereka berupa kebatilan yang sangat jelas lalu kebatilan tersebut akan tertanam di dalam hatinya sehingga sangat sulit mencari penyembuh dan pengobatannya, meskipun ia telah berusaha sepanjang hidupnya. Ia akan menemui Allah Subhanahu wata’ala dengan kebatilan yang ia yakini tersebut sebagai kebenaran, padahal itu adalah sebesar-besar kebatilan dan sebesar-besar kemungkaran.” (Fathul Qadir)
Allah ‘Azza wa Jalla juga berfirman:
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعً
Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam. [QS. An-Nisaa:140]
Allah ‘Azza wa Jalla melarang kita bergaul dan duduk bersama-sama orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah atau menjadikan ayat-ayat-Nya sebagai permainan.
Berkata Al-Qurthubi rahimahullah: Apabila telah tetap (perintah) menjauhi para pelaku kemaksiatan, maka menjauhi para pelaku kebid’ahan lebih utama (diperintahkan). [Tafsir al-Qurthubi : 5/418]
Berkata Syaikhul Islam rahimahullah: “Diangkat kepada Umar bin Abdul ‘Aziz sekelompok kaum yang telah minum khamer dan termasuk di dalamnya ada seorang yang hanya sekedar ikut duduk-duduk bersama mereka, dan dia sedang berpuasa. Maka beliau berkata: “Mulailah hukuman cambuk ini kepada orang ini (yaitu orang yang sekedar ikut duduk-duduk bersama para peminum khamer-pent), tidakkah engkau mendengar firman Allah Taala:
فَلاَ تَقْعُدُوا مَعَهُمْ
(Maka janganlah kamu duduk beserta mereka)?”
Berkata Syaikhul Islam rahimahullah: “Apabila ini (dilakukan) pada orang yang hanya sekedar ikut duduk-duduk dan kebetulan duduknya beserta mereka sedang melakukan kemungkaran dihukumi sama dengan mereka, bagaimana jika terus-menerus bergaul dengan mereka?!” [Majmu’ Fatawa:15/315]
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا فَسَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ فَأَتَاهُ فَقَالَ إِنَّهُ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟ فَقَالَ: لاَ. فَقَتَلَهُ فَكَمَّلَ بِهِ مِائَةً ثُمَّ سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ فَقَالَ إِنَّهُ قَتَلَ مِائَةَ نَفْسٍ فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟ فَقَالَ: نَعَمْ، وَمَنْ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ، انْطَلِقْ إِلَى أَرْضِ كَذَا وَكَذَا فَإِنَّ بِهَا أُنَاسًا يَعْبُدُونَ اللهَ فَاعْبُدِ اللهَ مَعَهُمْ وَلاَ تَرْجِعْ إِلَى أَرْضِكَ فَإِنَّهَا أَرْضُ سَوْءٍ. فَانْطَلَقَ حَتَّى إِذَا نَصَفَ الطَّرِيقَ أَتَاهُ الْمَوْتُ فَاخْتَصَمَتْ فِيهِ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ وَمَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ فَقَالَتْ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ: جَاءَ تَائِبًا مُقْبِلاً بِقَلْبِهِ إِلَى اللهِ. وَقَالَتْ مَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ: إِنَّهُ لَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ. فَأَتَاهُمْ مَلَكٌ فِي صُورَةِ آدَمِيٍّ فَجَعَلُوهُ بَيْنَهُمْ فَقَالَ: قِيسُوا مَا بَيْنَ الْأَرْضَيْنِ فَإِلَى أَيَّتِهِمَا كَانَ أَدْنَى فَهُوَ لَهُ. فَقَاسُوهُ فَوَجَدُوهُ أَدْنَى إِلَى الْأَرْضِ الَّتِي أَرَادَ فَقَبَضَتْهُ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ. قَالَ قَتَادَةُ: فَقَالَ الْحَسَنُ: ذُكِرَ لَنَا أَنَّهُ لَمَّا أَتَاهُ الْمَوْتُ نَأَى بِصَدْرِهِ
Dahulu di zaman orang-orang sebelum kalian tersebutlah seorang yang telah membunuh 99 orang. (Dia pun bermaksud ingin bertaubat) kemudian menanyakan tentang siapakah penduduk bumi yang paling alim. Ditunjukkanlah kepadanya seorang ahli ibadah. Kemudian dia mendatangi ahli ibadah tersebut dan menceritakan bahwa dia telah membunuh 99 orang, masih adakah pintu taubat baginya? Maka dijawab oleh ahli ibadah tersebut, “Tidak ada taubat.” Maka dibunuhlah ahli ibadah tersebut sehingga genap menjadi 100 orang yang telah dia bunuh. Setelah itu dia kembali menanyakan tentang siapakah penduduk bumi yang paling alim (ingin bertaubat lagi). Maka ditunjukkanlah kepadanya seorang yang berilmu. Kemudian dia menceritakan kepadanya bahwa dia telah membunuh 100 orang. Masih adakah pintu taubat baginya? Maka dijawab oleh orang yang berilmu, “Ya, masih ada kesempatan bertaubat. Dan siapakah yang menghalangi antaramu dengan taubat? Pergilah engkau menuju negeri ini dan ini. Karena para penduduknya adalah orang-orang yang beribadah kepada Allah saja maka beribadahlah kepada Allah bersama mereka. Dan janganlah engkau kembali ke negerimu karena sesungguhnya negerimu adalah negeri yang jelek.” Maka pergilah orang tersebut menuju negeri yang baik hingga ketika baru sampai setengah perjalanan datanglah malaikat maut menjemput ajalnya. Sehingga malaikat rahmat dan malaikat adzab pun berdebat. Malaikat rahmat berkata, “Dia datang dalam keadaan bertaubat dan menghadapkan hatinya kepada Allah.” Adapun malaikat adzab berkata, “Dia belum pernah beramal kebaikan sedikitpun.” Kemudian Allah mengutus seorang malaikat dalam rupa manusia sebagai hakim bagi keduanya, seraya berkata, “Ukurlah jarak antara kedua negeri tersebut, jarak manakah yang terdekat maka dialah yang berhak mengambilnya.” Maka diukurlah jaraknya dan ternyata dia lebih dekat kepada negeri yang dia tuju (negeri yang baik). Sehingga malaikat rahmat pun yang berhak mengambilnya. (HR. Muslim no. 4967 dari Abu Said al-Khudri radhiallahu anhu)
Karena pentingnya pokok ini, menjauhkan diri dari ahlul bid’ah dan majelis-majelis mereka, para ulama memasukkan masalah ini dalam pokok keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, demikian pula ulama ahlul hadits mencantumkan bab-bab khusus terkait pokok yang agung ini.
1. Al-Imam Abu Dawud as-Sijistani rahimahullah (wafat 275 H), membuat sebuah bab dalam Sunan Abi Dawud (4/198) dengan judul “Mujanabatu Ahlil Ahwa’ wa Bughdhuhum” (bab “Menjauhi Pengikut Hawa Nafsu dan Membenci Mereka”).
2. Al-Imam Ibnu Baththah al-Akburi rahimahullah (wafat 387 H), dalam kitabnya al-Ibanah (2/429) mencantumkan sebuah bab berjudul “at-Tahdzir min Shuhbati Qaumin Yumridhunal Quluba wa Yufsidunal Imaan” (bab “Peringatan dan Ancaman dari Bergaul dengan Kaum.yang Dapat Membuat Hati Menjadi Sakit dan Merusak Iman”).
3. Al-Imam al-Baihaqi rahimahullah (wafat 458 H) dalam Kitabul I’tiqad membuat sebuah bab berjudul “an-Nahyu ‘an Mujalasati Ahlil Bida” (bab “Larangan Bermajelis dengan Ahlul Bid’ah”).
4. Al-Imam al-Baghawi rahimahullah (wafat 516 H) dalam Syarhus Sunnah (1/219) menyebutkan bab “Mujanabah Ahlil Ahwa” (bab “Menjauhi Pengikut Hawa Nafsu”).
5. Al-Imam Al-Mundziri rahimahullah (wafat 656 H), dalam kitabnya at-Targhib wat Tarhib (3/378) membuat bab “at-Tarhib min Hubbil Asyrar wa Ahlil Bida” (“Ancaman Mencintai Orang-Orang yang Melakukan Kejelekan dan Bid’ah”).
6. Al-Imam an-Nawawi asy-Syafi’i rahimahullah (wafat 676 H) dalam kitabnya, al-Adzkar, menyebutkan bab “at-Tabarri min Ahlil Bid’ah wal Ma’ashi” (bab “Berlepas Diri dari Ahlul Bida’ dan Pelaku Maksiat”).
Beberapa contoh pengamalan para ulama salaf di dalam perkara ini:
1. Muhammad bin Sirin
- Beliau jika mendengar satu kata dari ahlul bid’ah, dia meletakkan dua telunjuknya di dua telinganya dan berkata, “Tidak halal bagiku berbicara dengannya sampai dia berdiri dari majelisnya.”
- Dua orang dari ahlu ahwa’ (ahlu bid’ah) masuk menemui Muhammad bin Siriin, mereka berdua berkata, “Wahai Abu Bakar, kami akan menyampaikan satu hadits kepadamu?”
Berkata (Ibnu Siriin), “Tidak.” Berkata lagi dua orang tersebut, “Kami akan membacakan satu ayat kepadamu dari Kitabullah (al-Qur’an) Azza Wajalla?”
Berkata (Ibnu Siriin), “Tidak. Kalian pergi dariku atau aku yang pergi.”
- Ketika ada orang yang berkata kepada Ibnu Sirin, “Sesungguhnya fulan (salah seorang ahlul bid’ah, red) ingin datang dan berbicara denganmu.” Beliau berkata, “Katakan kepadanya, jangan datang kepadaku. Sesungguhnya hati anak Adam itu lemah. Aku khawatir mendengar satu kalimat darinya kemudian hatiku tidak bisa kembali seperti semula.”
2. Seorang ahlul ahwa (ahlul bid’ah) berkata kepada kepada Ayub As-Sakhtiyani, “Wahai Abu Bakr (yakni Ayub), aku ingin bertanya kepadamu satu kata.” Ayub berkata seraya berisyarat dengan telunjuknya, “Tidak, walaupun setengah kata.”
3. Datang Dawud Al-Ashbahani ke Baghdad. Dia berbicara dengan lemah lembut kepada Shalih bin Ahmad bin Hanbal untuk memintakan izin agar bisa bertemu dengan ayahnya (yakni Al-Imam Ahmad bin Hanbal). Shalih pun datang ke ayahnya dan berkata, “Ada seseorang minta kepadaku agar bisa bertemu denganmu.” Beliau bertanya, “Siapa namanya?” Shalih menjawab, “Dawud.” Beliau bertanya lagi, “Dari mana dia?” Shalih khawatir membeberkan jati dirinya kepada Al-Imam Ahmad, namun beliau terus bertanya hingga paham siapa yang ingin berjumpa dengannya. Maka Al-Imam Ahmad berkata, “Muhammad bin Yahya An-Naisaburi telah menulis surat kepadaku tentang orang ini bahwa orang ini berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, maka janganlah dia mendekatiku.” Shalih berkata, “Wahai ayah, dia menafikan dan mengingkari tuduhan ini.” Al-Imam Ahmad berkata, “Muhammad bin Yahya lebih jujur darinya. Jangan izinkan dia masuk kepadaku.”
Malik bin Dinar rahimahullah berkata: "Setiap teman duduk yang tidak bisa kau ambil faedah kebaikan sedikit pun darinya maka jauhilah!" (Tahdzib al-Hilyah 2/425)
Amr bin Qais al-Mula'i rahimahullah berkata: “Jangan engkau bermajelis dengan orang yang menyimpang, (karena) akan menyebabkan hatimu menyimpang.” (Al-Ibanah, 2/436)
Mush’ab bin Sa’d bin Abi Waqqash berkata: “Jangan kalian duduk bersama orang yang terfitnah, karena engkau tidak akan luput dari satu di antara dua perkara: bisa jadi engkau akan terfitnah dengannya sehingga mengikutinya atau ia akan mengganggumu sebelum engkau meninggalkannya.”
Bundar berkata, "Berteman dengan ahlul bid'ah akan mewariskan penyimpangan dari al haq." (Siyar A'lamun Nubala)
Berkata Abu Qilabah rahimahullah:
لا تجالسوا أهل الأهواء، ولا تجادلوهم، فإني لا آمن أن يغمسوكم في الضلالة، أو يلبسوا عليكم في الدين بعض ما لبس عليهم
“Janganlah kalian duduk bersama ahlu ahwa’ (ahlu bid’ah) dan janganlah mendebat mereka dikarenakan sesungguhnya aku tidak merasa aman mereka menanamkan kesesatan kepada kalian atau menyamarkan (merancukan) kepada kalian perkara agama, sebagian perkara agama yang mereka samarkan.” (Lihat Asy-Syariah Al-Ajurry: 56 dan Al-Ibanah Ibnu Batthah: 2/437)
Berkata Imam Al Barbahari Rahimahullah:
فاحذر ثم احذر أهل زمانك خاصة وانظر من تجالس وممن تسمع ومن تصحب فإن الخلق كأنهم في ردة إلا من عصم الله منهم
“Berhati-hatilah dan berhati-hatilah kepada orang-orang yang hidup sezaman denganmu secara khusus, dan lihatlah siapa teman dudukmu, dan dari siapa engkau mendengar dan dengan siapa engkau berteman, dikarenakan manusia hampir saja menjadi murtad dari agamanya karena sebab teman bergaulnya kecuali orang yang Allah jaga.”
(Syarh Sunnah Lil Barbahari)
Berkata Ibnu Batthoh rahimahullahu ta'alaa:
اعلموا إخواني أني فكرت في السبب الذي أخرج أقواما من السنة والجماعة واضطرهم إلى البدعة والشناعة وفتح باب البلية على أفئدتهم وحجب نور الحق عن بصيرتهم فوجدت ذلك من وجهين
Ketahuilah wahai saudaraku sekalian, sesungguhnya aku berfikir pada sebab yang:
- MENGELUARKAN banyak manusia dari sunnah dan jama'ah,
- yang MENYERET mereka kepada keburukan dan bid'ah,
- yang membuka PINTU PETAKA pada hati-hati mereka,
- serta MENUTUP cahaya kebenaran dari pengetahuan mereka.
Maka aku temukan itu pada dua hal:
أحدهما: البحث والتنقير وكثرة السؤال عما لا يغني ولا يضر العاقل جهله ولا ينفع المؤمن فهمه
YANG PERTAMA:
Meneliti, menggali, dan banyak bertanya untuk sesuatu yang tidak dibutuhkan, untuk sesuatu yang tidak membahayakan seorang yang berakal apabila bodoh tentangnya, dan untuk sesuatu yang tidak bermanfaat bagi seorang mukmin apabila memahaminya.
والآخر: مجالسة من لا تؤمن فتنته وتفسد القلوب صحبته
YANG LAINNYA:
Yaitu duduk bersama orang yang tidak aman dari fitnahnya, dan akan merusak hati jika BERTEMAN dengannya.
(Al-Ibanah Al-Kubro libni Batthoh 1/390)
Syaikh Rabi ibn Hadi berkata, "Kebanyakan manusia tertipu dengan kebaikan yang ada pada ahlul ahwa.
Juga tertipu dengan kecerdasan yang ada pada ahlul ahwa.
Maka dengan sebab itu, mereka pun menjalin hubungan dan berinteraksi dengan ahlul ahwa.
Allah pun membiarkan mereka (pada kesesatannya) dan akhirnya mereka pun terjatuh pada kesesatan.
Ini suatu yang nyata!
Hal ini sudah diisyaratkan oleh Imam Ibnu Bathah rahimahullah, beliau berkata, "Kami telah mengetahui adanya orang yang dahulunya mereka mencela dan mencerca ahlul bid'ah, tapi ketika orang tersebut duduk-duduk dan bergaul dengan mereka, maka orang itu pun akhirnya bersahabat dengan mereka."
Ini nyata terjadi di setiap zaman dan tempat..!"
(Syarhu Ushulis Sunnah-Syaikh Rabi ibn Hadi, hal. 10, cet. Maktabatu Hadyil Muhammadi 2008)
Beberapa contoh kasus orang yang terjatuh dalam kesesatan karena berteman dengan ahlul bid’ah:
1. Rawandi, dia berteman dengan Rafidhah dan orang-orang menyimpang lainnya. Jika dihukum, dia menjawab, “Aku hanya ingin tahu ucapan-ucapan mereka.” Sampai akhirnya dia pun menjadi mulhid (atheis/penyimpang) dan turun dari dien dan millah (agama) ini.”
2. Para ulama melarang Ibnu Aqil al-Hanbali bergaul dengan Mu’tazilah namun dia enggan menerimanya. Beliau berkata, “Para ulama Hanbali ingin agar aku menjauhi sekelompok ulama, padahal itu menyebabkan aku luput dari sebagian ilmu.” Akhirnya dia terjatuh dalam jerat mereka dan menjadi lancang dalam menakwil dalil-dalil.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di dalam surat Al-Furqan:
Dan (ingatlah) hari (ketika) orang yang zalim itu menggigit dua tangannya, seraya berkata: “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan (yang lurus) bersama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku, kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan jadi teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al-Qur’an ketika Al-Qur’an telah datang kepadaku. Dan setan itu tidak akan menolong manusia." (Al-Furqan: 27-29)
###
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah
Penanya:
Apakah hukum bermajelis dengan ahli bid’ah di hadapan manusia seperti Habib Ali Al-Jafary yang mana saya adalah seorang dai Islam yang terkenal dan hal ini dalam rangka mendakwahkan agama Allah?
Asy-Syaikh:
Jangan bermajelis dengan ahli bid’ah, baik di hadapan manusia maupun hanya engkau sendirian bersamanya. Jauhilah ahli bid’ah, jangan bergaul dengan mereka, jangan bermajelis dengan mereka, dan boikotlah mereka hingga mereka bertaubat dari bid’ah mereka.
Sumber:
WSI || forumsalafy .net/?p=2611
Dikirim ulang oleh:
Forum Salafy Pekalongan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar