Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﻋَﻠَﻰ ﺩِﻳْﻦِ ﺧَﻠِﻴﻠِﻪِ، ﻓَﻠْﻴَﻨْﻈُﺮْ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻣَﻦْ ﻳُﺨَﺎﻟِﻞُ
“Seseorang tergantung agama teman dekatnya, maka hendaknya kalian memerhatikan siapakah teman dekatnya.”
Hadits ini diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu melalui dua jalur periwayatan, oleh Al-Imam Ahmad (2/303, 334) Abu Dawud (no. 4812), At-Tirmidzi (no. 2484), Al-Hakim (4/171), Ath-Thayalisi (no. 2107), Al-Qudha’i (dalam Al-Musnad no. 187). Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah (2/633).
Oleh karena itu, siapa saja yang diridhai agama dan akhlaknya hendaknya dijadikan teman, dan siapa yang tidak seperti itu hendaknya dijauhi, karena tabiat itu akan saling meniru. (‘Aunul Ma’bud, Kitabul Adab, Bab Man Yu`maru an Yujaalisa)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini.” (Al Kahfi: 28)
As-Sa’di berkata dalam tafsir ayat ini, “Di dalam ayat ini terkandung perintah untuk berteman dengan orang-orang baik serta menundukkan jiwa agar dapat berteman dan bergaul dengan mereka, meskipun mereka adalah orang-orang fakir. Karena bergaul dengan mereka akan mendatangkan manfaat yang tiada terbilang.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ari:
ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻣَﺜَﻞُ ﺍﻟْﺠَﻠِﻴﺲِ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺢِ ﻭَﺟَﻠِﻴﺲِ ﺍﻟﺴُّﻮﺀِ، ﻛَﺤَﺎﻣِﻞِ ﺍﻟْﻤِﺴْﻚِ ﻭَﻧَﺎﻓِﺦِ ﺍﻟْﻜِﻴﺮِ، ﻓَﺤَﺎﻣِﻞُ ﺍﻟْﻤِﺴْﻚِ ﺇﻣَّﺎ ﺃَﻥْ ﻳُﺤْﺬِﻳَﻚَ ﻭَﺇﻣَّﺎ ﺃَﻥْ ﺗَﺒْﺘَﺎﻉَ ﻣِﻨْﻪُ ﻭَﺇﻣَّﺎ ﺃﻥْ ﺗَﺠِﺪَ ﻣِﻨْﻪُ ﺭﻳﺤﺎً ﻃَﻴِّﺒَﺔً، ﻭَﻧَﺎﻓِﺦُ ﺍﻟْﻜِﻴﺮِ ﺇﻣَّﺎ ﺃَﻥْ ﻳُﺤْﺮِﻕَ ﺛِﻴَﺎﺑَﻚَ، ﻭَﺇﻣَّﺎ ﺃَﻥْ ﺗَﺠِﺪَ ﻣِﻨْﻪُ ﺭِﻳﺤﺎً ﻣُﻨْﺘِﻨَﺔً
“Sesungguhnya teman baik dan teman yang buruk itu diibaratkan dengan penjual minyak wangi dan pandai besi. Penjual minyak wangi dapat memberikan wewangian untukmu, engkau membelinya, atau engkau mendapatkan aroma wangi darinya. Adapun pandai besi bisa jadi membakar pakaianmu atau engkau mendapatkan aroma yang tidak sedap darinya.”
Al-Iman an-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa dalam ucapan Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam ini terkandung keutamaan duduk bersama orang-orang yang shalih, yang memiliki kebaikan, muru`ah, akhlak yang mulia, wara’, ilmu serta adab. Juga terkandung larangan duduk bersama orang-orang yang jelek, ahlul bid’ah, orang yang suka menggunjing orang lain, atau sering melakukan perbuatan fajir, banyak menganggur, dan berbagai macam perbuatan tercela lainnya. (Syarh Shahih Muslim, 16/177)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan bahwa inilah sabda Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam yang di dalamnya terkandung larangan duduk bersama orang yang dapat mengakibatkan kerugian pada agama maupun dunia, serta anjuran untuk duduk bersama orang yang dapat diambil manfaatnya bagi agama dan dunia. (Fathul Bari 4/410)
Al-Imam Ibnu Baththal menjelaskan bahwa hadits ini menunjukkan larangan bermajelis dengan orang yang mendatangkan gangguan, seperti orang yang berbuat ghibah atau membela kebatilan. Hadits ini juga menunjukkan perintah untuk bermajelis dengan orang yang dapat mendatangkan kebaikan, seperti dzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala mempelajari ilmu, dan seluruh perbuatan baik lainnya. (Syarah Ibnu Baththal)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ﻻ ﺗﺼﺎﺣﺐ ﺇﻻ ﻣﺆﻣﺎ ﻭﻻ ﻳﺄﻛﻞ ﻃﻌﺎﻣﻚ ﺇﻻ ﺗﻘﻲ
“Janganlah dirimu berteman kecuali dengan seorang mukmin, dan janganlah memakan makananmu kecuali orang yang bertakwa,” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4832, dihasankan oleh Al-Albany rahimahullah, dari shahabat Abu Sa`id Al-Khudri radhiyallahu anhu)
Abu Darda’ radhiallahu anhu berkata:
مِنْ فِقْهِ الرَّجُلِ مَمْشَاهُ وَمَدْخَلُهُ وَمَجْلِسُهُ
“Di antara yang menunjukkan kefakihan seseorang adalah dengan dia selektif bersama siapa dia berjalan, masuk ke tempat siapa, dan duduk bersama siapa.” (Al-Ibanah, 379)
Asy-Syaikh Muhammad bin Hady Al-Madkhaly hafizhahullah berkata:
Maksudnya (bersama siapa dia berjalan, bersama siapa dia masuk dan bersama siapa dia duduk), jika dia berjalan bersama Ahlus Sunnah maka dia seorang sunni. Dan jika dia berjalan bersama ahlul bida’ maka dia seorang bid’i. Hal ini telah disebutkan oleh para imam salaf dan ditakrij oleh Mushannif (penulis kitab) dalam Al-Ibanah Al-Kubra.
Qatadah rahimahullah berkata, “Demi Allah, tidaklah kami menyaksikan seseorang berteman kecuali dengan yang sejenis dan setipe. Oleh karena itu, bertemanlah kalian dengan hamba-hamba Allah yang shalih agar kalian dapat bersama dengan mereka atau semisal dengan mereka.” (Al-Ibanah, 511)
Dari Ibnu Abbas radhiyallaahu anhuma ia berkata:
سَمِعْتُ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلًا لَا يُشْرِكُونَ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلَّا شَفَّعَهُمُ اللَّهُ فِيهِ – رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Saya mendengar Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Tidaklah seorang lelaki muslim meninggal, kemudian disholatkan jenazahnya oleh 40 laki-laki yang tidak mensekutukan Allah dengan suatu apapun kecuali Allah akan memberikan syafaat mereka kepadanya. (riwayat Muslim)
Hadits ini menunjukkan pentingnya berteman dengan orang-orang sholih yang senantiasa mentauhidkan Allah, tidak mensekutukanNya dengan suatu apapun. Karena jika seseorang meninggal dan disholatkan oleh seseorang yang mentauhidkan Allah, maka Allah akan mengampuninya dengan sebab syafaat sholat dari orang yang mentauhidkan Allah tersebut. Dalam hadits ini disebutkan jumlah 40 orang, sedangkan dalam hadits lain disebutkan jumlah 100 orang dan sebagian riwayat menyatakan 3 shaf. (Penjelasan hadits dari Al-Ustadz Abu Utsman Kharisman)
Ditanyakan kepada Sufyan rahimahullah, “Kepada siapa kami bermajelis?”
Beliau menjawab, “Seseorang yang jika engkau melihatnya engkau ingat Allah, amalannya mendorong kalian kepada akhirat, dan ucapannya menambah ilmu kalian.”
(Lihat Min Hadyis Salaf hal. 54-55)
Yusuf bin al-Husain menceritakan:
Aku bertanya kepada Dzun Nun tatkala perpisahanku dengannya,
“Kepada siapakah aku duduk/berteman dan belajar?”
Beliau menjawab:
“Hendaknya kamu duduk bersama orang yang dengan melihatnya akan mengingatkan dirimu kepada Allah.
Kamu memiliki rasa segan kepadanya di dalam hatimu.
Orang yang pembicaraannya bisa menambah ilmumu.
Orang yang tingkah lakunya membuatmu semakin zuhud kepada dunia.
Bahkan, kamu pun tidak mau bermaksiat kepada Allah selama kamu sedang berada di sisinya.
Dia memberikan nasehat kepadamu dengan perbuatannya, dan tidak menasehatimu dengan ucapannya semata.”
(lihat al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd)
‘Amr bin Qais Al-Mala`i rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya pemuda itu sedang tumbuh. Maka apabila dia lebih mengutamakan untuk duduk bersama orang-orang yang berilmu, hampir-hampir bisa dikata dia akan selamat. Namun bila dia cenderung pada selain mereka, hampir-hampir dia rusak binasa.”
(Lihat Lammud Durril Mantsur minal Qaulil Ma`tsur, bab Hukmus Salaf ‘alal Mar`i bi Qarinihi wa Mamsyahu no. 517)
Ibnu Hibban rahimahullah berkata, “Seorang yang berakal tidak akan bersahabat dengan orang-orang jahat.”
Beliau juga berkata, “Empat hal yang termasuk kebahagiaan seseorang: Istri yang senantiasa taat kepadanya, anak-anak yang shalih, teman-teman yang baik, dan rezekinya di negerinya.”
(Lihat Ni’matul Ukhuwah hal. 22)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, “Saudaramu ialah yang menasihati, mengingatkan, dan memperingatkan dirimu. Orang yang tidak memerhatikanmu, berpaling darimu, dan berbasabasi denganmu, bukanlah saudaramu. Saudaramu yang sejati ialah orang yang menasihatimu, memberimu wejangan, mengingatkanmu, dan mengajakmu kepada jalan Allah ‘azza wa jalla. Ia menjelaskan kepadamu jalan keselamatan sehingga engkau bisa menitinya. Selain itu, dia memperingatkanmu dari jalan kebinasaan dan akibat buruknya sehingga engkau bisa menjauhinya.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 21/14)
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Sulit didapatkan pada masa ini seorang teman yang memiliki sifat ini (terus terang dan menasihati). Sebab, jarang sekali ada kawan yang tidak memberikan sanjungan, justru memberi tahu kekurangan. Dahulu, salaf mencintai orang yang mengingatkan mereka tentang berbagai kekurangan mereka. Adapun kita sekarang, biasanya menjadikan orang yang mengetahui kekurangan kita sebagai orang yang paling dibenci. Ini adalah tanda lemahnya iman.” (Mukhtashar Minhajil Qashidin hlm. 147)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا فَسَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ فَأَتَاهُ فَقَالَ إِنَّهُ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟ فَقَالَ: لاَ. فَقَتَلَهُ فَكَمَّلَ بِهِ مِائَةً ثُمَّ سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ فَقَالَ إِنَّهُ قَتَلَ مِائَةَ نَفْسٍ فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟ فَقَالَ: نَعَمْ، وَمَنْ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ، انْطَلِقْ إِلَى أَرْضِ كَذَا وَكَذَا فَإِنَّ بِهَا أُنَاسًا يَعْبُدُونَ اللهَ فَاعْبُدِ اللهَ مَعَهُمْ وَلاَ تَرْجِعْ إِلَى أَرْضِكَ فَإِنَّهَا أَرْضُ سَوْءٍ. فَانْطَلَقَ حَتَّى إِذَا نَصَفَ الطَّرِيقَ أَتَاهُ الْمَوْتُ فَاخْتَصَمَتْ فِيهِ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ وَمَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ فَقَالَتْ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ: جَاءَ تَائِبًا مُقْبِلاً بِقَلْبِهِ إِلَى اللهِ. وَقَالَتْ مَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ: إِنَّهُ لَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ. فَأَتَاهُمْ مَلَكٌ فِي صُورَةِ آدَمِيٍّ فَجَعَلُوهُ بَيْنَهُمْ فَقَالَ: قِيسُوا مَا بَيْنَ الْأَرْضَيْنِ فَإِلَى أَيَّتِهِمَا كَانَ أَدْنَى فَهُوَ لَهُ. فَقَاسُوهُ فَوَجَدُوهُ أَدْنَى إِلَى الْأَرْضِ الَّتِي أَرَادَ فَقَبَضَتْهُ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ. قَالَ قَتَادَةُ: فَقَالَ الْحَسَنُ: ذُكِرَ لَنَا أَنَّهُ لَمَّا أَتَاهُ الْمَوْتُ نَأَى بِصَدْرِهِ
“Dahulu di zaman orang-orang sebelum kalian tersebutlah seorang yang telah membunuh 99 orang. (Dia pun bermaksud ingin bertaubat) kemudian menanyakan tentang siapakah penduduk bumi yang paling alim. Ditunjukkanlah kepadanya seorang ahli ibadah. Kemudian dia mendatangi ahli ibadah tersebut dan menceritakan bahwa dia telah membunuh 99 orang, masih adakah pintu taubat baginya? Maka dijawab oleh ahli ibadah tersebut, “Tidak ada taubat.” Maka dibunuhlah ahli ibadah tersebut sehingga genap menjadi 100 orang yang telah dia bunuh. Setelah itu dia kembali menanyakan tentang siapakah penduduk bumi yang paling alim (ingin bertaubat lagi). Maka ditunjukkanlah kepadanya seorang yang berilmu. Kemudian dia menceritakan kepadanya bahwa dia telah membunuh 100 orang. Masih adakah pintu taubat baginya? Maka dijawab oleh orang yang berilmu, “Ya, masih ada kesempatan bertaubat. Dan siapakah yang menghalangi antaramu dengan taubat? Pergilah engkau menuju negeri ini dan ini. Karena para penduduknya adalah orang-orang yang beribadah kepada Allah saja maka beribadahlah kepada Allah bersama mereka. Dan janganlah engkau kembali ke negerimu karena sesungguhnya negerimu adalah negeri yang jelek.” Maka pergilah orang tersebut menuju negeri yang baik hingga ketika baru sampai setengah perjalanan datanglah malaikat maut menjemput ajalnya. Sehingga malaikat rahmat dan malaikat adzab pun berdebat. Malaikat rahmat berkata, “Dia datang dalam keadaan bertaubat dan menghadapkan hatinya kepada Allah.” Adapun malaikat adzab berkata, “Dia belum pernah beramal kebaikan sedikitpun.” Kemudian Allah mengutus seorang malaikat dalam rupa manusia sebagai hakim bagi keduanya, seraya berkata, “Ukurlah jarak antara kedua negeri tersebut, jarak manakah yang terdekat maka dialah yang berhak mengambilnya.” Maka diukurlah jaraknya dan ternyata dia lebih dekat kepada negeri yang dia tuju (negeri yang baik). Sehingga malaikat rahmat pun yang berhak mengambilnya.” (HR. Muslim no. 4967 dari Abu Said al-Khudri radhiallahu anhu)
###
Salah Memilih Teman Awal Kehancuran Seseorang
Betapa terpukul orang tua ketika mengetahui anak kesayangannya mendekam di dalam penjara karena terjerat kasus narkoba. Sungguh tidak disangka mengapa bisa terjadi, padahal selama ini anaknya dikenal sebagai anak yang penurut, rajin bahkan berprestasi di sekolahnya. Di belahan bumi yang lain, didapati juga orang tua yang menangis pilu mendapati putri tercintanya ternoda di luar ikatan suci. Tidak kalah heboh, kabar terjadinya perceraian, istri menggugat cerai suami atau sebaliknya karena didapati salah satu pihak telah berbuat selingkuh dengan orang lain.
Peristiwa-peristiwa di atas di antara sederet peristiwa yang marak terjadi di era kita sekarang. Sungguh sebuah kenistaan, tidak semestinya hal tersebut terjadi di tengah-tengah negara kita yang konon menjunjung tinggi moral. Muncullah berbagai pernyataan dan opini menanggapi realita tersebut dari para komentator. Masing-masingnya berupaya menganalisa lalu mengambil kesimpulan tentang sebab musabab dan mencoba memberikan solusi untuk musibah yang dimaksud. Namun sangat disayangkan, kebanyakan dari mereka terlalu jauh membuat kesimpulan, bahkan tidak sedikit yang keliru memberikan jalan penyelesaian. Nyatanya, kejadian-kejadian semisal di atas, setelah ditelusuri lebih lanjut di antara penyebabnya adalah pergaulan dan pertemanan serta persahabatan yang keliru.
Para pembaca rahimakumullah, suatu hal yang kita sepakati bersama bahwa kemajuan teknologi selain berdampak positif ternyata juga mengandung dampak negatif yang tidak kalah besarnya. Berbagai fasilitas telah tersaji dengan lengkap dan mudah untuk diakses oleh siapapun, kapanpun dan di manapun. Termasuk dalam hal pertemanan, beragam sarana telah tersedia untuk seseorang berinteraksi dengan orang lain baik yang dikenal maupun yang tidak dikenal. FB, twitter, WA, BBM dan yang semisal adalah beberapa sarana dari ragam bentuk sarana pertemanan yang ada di dunia maya (internet). Kenikmatan yang sejatinya disyukuri, justu malah dikufuri. Bahagia yang didamba, alih-alih bencana yang melanda.
Lihat saja kasus narkoba yang menjerat anak kesayangan dalam contoh peristiwa di atas, dimulai dari perkenalan dirinya dengan seseorang. Awal mula digratiskan sampai akhirnya berusaha dengan berbagai cara untuk mendapatkan karena sudah kecanduan. Demikian pula dengan putri tercinta, kisah tragis diawali dengan berkenalan dengan orang yang tidak kenal lewat dunia maya (internet), saling berkirim pesan bahkan foto pribadi, janjian ketemu dan akhirnya terjadilah apa yang terjadi. Demikian pula yang terjadi pada kasus perceraian tersebut. Hanya Allah tempat mengadu. Menyesal tiada berguna lagi, nasi telah menjadi bubur.
Teman dalam Kacamata Islam
Para pembaca rahimakumullah, syariat yang mulia ini telah mengajarkan kepada kita metode pertemanan dan persahabatan, mulai dari cara memilih teman sampai cara berinteraksi dengan mereka. Dalam banyak nash (dalil) digambarkan bentuk persahabatan itu dengan berbagai jenis penggambaran. Semua itu bertujuan agar umat ini benar-benar paham dan dapat merealisasikannya dalam kehidupan mereka. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam sebuah haditsnya menyatakan:
"Sesungguhnya jiwa-jiwa itu laksana suatu pasukan. Jika saling sepakat maka akan bersatu, namun jika saling berbeda maka akan berpecah." (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Yakni jiwa-jiwa manusia itu satu kesatuan kemudian terpisah pada jasad masing-masing orang. Akan berkumpul kembali jika bertemu dengan yang sejenis dan setipe. Adapun jika tidak sejenis maka akan menjauh. (Lihat Syarah Shahih Muslim)
Demikianlah manusia, seseorang akan senang berkumpul dan bergaul dengan orang lain yang memiliki kesamaan karakter dengan dirinya. Sementara yang tidak sehati maka sulit untuk bisa saling memahami. Seorang anak yang suka berolahraga misalnya, maka dia akan bergaul dengan orang lain yang juga memiliki hobi yang sama. Demikian pula seorang anak yang suka berfoya-foya maka diapun akan mencari karib yang sejiwa dengannya. Masih ingat kisah dialog antara Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan pamannya yang bernama Abu Thalib? Tersebut dalam sebuah hadits dari Sa'id bin al-Musayyab dari ayahnya, ia bercerita,
"Bahwasannya menjelang Abu Thalib wafat, datanglah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menemui dia. Rasul shallallahu alaihi wasallam mendapati di samping Abu Thalib ada Abu Jahl bin Hisyam dan Abdullah bin Abi Umayyah bin al-Mughirah. Rasul shallallahu alaihi wasallam berkata," Wahai pamanku, ucapkanlah Laa ilaaha illallah, kalimat yang dengannya aku akan membelamu di sisi Allah." Namun berkata dua orang tersebut kepada Abu Thalib, "Apakah engkau benci dengan agama Abdul Muththalib?" Rasulullah shallallahu alaihi wasallam terus menerus berharap kepada pamannya agar mengucapkan kalimat tauhid. Namun dua teman Abu Thalib tadi juga mengulangi ucapan mereka, hingga pada akhirnya Abu Thalib tetap memilih agama nenek moyangnya dan enggan mengucapkan Laa ilaaha illallah." (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Renungilah kisah di atas! Suatu pelajaran berharga untuk kita bahwa pertemanan dan persahabatan punya pengaruh besar dalam hidup seorang hamba. Baik buruk jiwa dan raga seseorang tergantung bersama dan kepada siapa dia berinteraksi dan bermuamalah. Dalam hadits yang lain baginda Rasul shallallahu alaihi wasallam bersabda:
"Perumpamaan teman duduk yang baik dan teman duduk yang jelek seperti penjual misik (jenis minyak wangi) dan pandai besi. Adapun penjual misik, bisa jadi engkau diberi olehnya, atau engkau membeli darinya atau bisa jadi engkau mendapati bau harumnya. Sementara pandai besi, bisa jadi dia membakar bajumu atau engkau dapati bau yang tidak sedap darinya." (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Al-Hafizh Ibn Hajar berkata, "Pada hadits ini terkandung larangan duduk bersama orang-orang yang dapat mengakibatkan kerugian terkait urusan agama maupun dunia, serta anjuran untuk duduk bersama orang-orang yang dapat diambil manfaatnya bagi agama dan dunia. (Lihat Fathul Bari Syarah Shahih al-Bukhari)
Demikianlah beberapa penggambaran dari baginda Rasul shallallahu alaihi wasallam tentang persahabatan. Mutiara-mutiara ilmu yang sangat berharga. Suatu kemestian bagi setiap kita untuk benar-benar mencurahkan perhatian terhadap permasalahan ini. Sungguh, agama kita yang mulia, agama Islam, telah memberikan solusi bagi setiap urusan. Semuanya kembali kepada kita, apakah mau mempelajari dan merealisasikannya ataukah tidak. Musibah yang sedang menimpa ini, harus kita sadari bersama bahwa penyelesaiannya tidak hanya dibebankan kepada pemerintah semata, bahkan setiap elemen masyarakat punya tanggung jawab. Terlebih orang tua di rumah, karena pendidikan itu bermula dari rumah. Jika setiap orang tua memiliki kepedulian dan rasa tanggung jawab terhadap setiap orang yang tinggal di rumahnya baik terkait urusan dunia terlebih agama mereka, maka tentunya dengan izin Allah segala peristiwa tragis semisal di atas bisa teratasi, atau paling tidak terminimalisir. Cukup bagi kita apa yang telah terjadi. Kita tidak ingin lagi melihat dan mendengar remaja belia merokok, bertindik dan bertato, berita kematian seorang pemuda karena overdosis narkoba dan miras, pernikahan 'terpaksa' (MBA), perceraian, pertikaian dan kejadian-kejadian menyedihkan lainnya. Maka perhatikanlah teman dekat kita dan orang-orang yang kita sayangi! Ambillah ibrah (pelajaran) dari peristiwa yang ada!
Baginda Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
"Seseorang itu berada di atas agama temannya, maka hendaklah setiap kalian memperhatikan siapa yang dia jadikan teman." (HR. Abu Dawud)
Seorang penyair menyatakan:
Tidak perlu engkau bertanya tentang siapa seseorang itu, namun tanyalah siapa temannya. Karena setiap teman pasti meniru temannya
Bila engkau berada pada suatu kaum maka bertemanlah dengan orang yang terbaik dari mereka
Dan janganlah engkau berteman dengan orang yang hina niscaya engkau akan hina bersama orang yang hina
Wallahu a'lam bishshawab, semoga bermanfaat.
Penulis: Ustadz Abdullah Imam
Buletin Al Ilmu Edisi No. 28/VII/XIII/1436 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar