Cari Blog Ini

Senin, 17 November 2014

Tentang MEMATIKAN TELEPON GENGGAM KETIKA DI DALAM MASJID

Syaikh Muhammad bin Sholeh al-‘Utsaimin rohimahulloh

Beliau berkata:
والله أنا أنبه على هذا بأن كل شيء يؤذي المؤمنين فإنه ممنوع
Demi Alloh saya peringatkan atas yang demikian bahwa SEGALA SESUATU YANG MENGGANGGU KAUM MU’MININ MAKA TERLARANG.
لأن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم خرج على أصحابه ذات يوم وهم يصلون ويجهرون في القراءة، فقال: لا يؤذين بعضكم بعضاً في القراءة
Karena Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah keluar menemui para sahabatnya di suatu hari dalam keadaan mereka sedang sholat dan mengeraskan bacaan mereka, dan bersabda:
لا يؤذين بعضكم بعضاً في القراءة
“Janganlah sebagian kalian mengganggu atas sebagian lainnya dalam bacaan.”
هذه وهي قراءة القرآن
فكيف بهذا الجرس؟
Ini (masalah) padahal ini tentang bacaan Al-Qur’an. Bagaimana dengan suara ringtone ini!
وقد سمعت -ما أدري هل هو صحيح أم لا- أن هذه النداءات فيها مفتاح تستطيع ألا يسمع له صوت فإذا حضرت إلى المسجد فأغلقه، أو كذلك اتركه في البيت وإذا رجعت ستجد الأرقام
Dan aku dengar, aku tidak tahu apakah itu benar atau tidak, bahwa suara-suara ringtone ini padanya ada kunci yang mampu untuk tidak diperdengarkan suaranya, maka apabila Anda hadir menuju masjid hendaknya menutupnya, atau demikian pula untuk meninggalkannya di rumah dan apabila Anda kembali (ke rumah) Anda akan dapatkan nomer-nomer (missed call).

Sumber: Liqo as-Syahri [40]

Alih Bahasa: Muhammad Sholehuddin Abu Abduh

WA Ahlus Sunnah Karawang

Tentang MENSYUKURI NIKMAT

Asy Syaikh Shalih al Fauzan

Pada keadaan ini manusia butuh bahkan wajib untuk bersyukur. Dan tidak sempurna syukur itu kecuali dengan tiga rukun, yaitu:
- mengakui kenikmatan ini dengan batinnya,
- menyebutkan nikmat itu dengan lisannya, dan
- menggunakan nikmat itu dalam ketaatan kepada Dzat yang menganugerahkannya.

Dan tidaklah kenikmatan itu akan langgeng kecuali dengan syukur, sebagaimana dikatakan,
ﺍﻟﻨﻌﻤﺔ ﺇﺫﺍ ﺷﻜﺮﺕ ﻗﺮﺕ ﻭ ﺇﺫﺍ ﻛﻔﺮﺕ ﻓﺮﺕ
“Nikmat itu jika disyukuri maka akan langgeng, dan jika diingkari maka akan pergi.”

Tentang MENCARI-CARI KESALAHAN ORANG LAIN

Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha penerima taubat lagi Maha penyayang.” (Al-Hujurat: 12)

Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:
ﻳَﺎ ﻣَﻌْﺸَﺮَ ﻣَﻦْ ﺃَﺳْﻠَﻢَ ﺑِﻠِﺴَﺎﻧِﻪِ ﻭَﻟَﻢْ ﻳُﻔْﺾِ ﺍﻟْﺈِﻳﻤَﺎﻥُ ﺇِﻟَﻰ ﻗَﻠْﺒِﻪِ، ﻟَﺎ ﺗُﺆْﺫُﻭﺍ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴﻦَ ﻭَﻟَﺎ ﺗُﻌَﻴِّﺮُﻭﻫُﻢْ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﺘَّﺒِﻌُﻮﺍ ﻋَﻮْﺭَﺍﺗِﻬِﻢْ، ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻣَﻦْ ﺗَﺘَﺒَّﻊَ ﻋَﻮْﺭَﺓَ ﺃَﺧِﻴﻪِ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢِ ﺗَﺘَﺒَّﻊَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻮْﺭَﺗَﻪُ ﻭَﻣَﻦْ ﺗَﺘَﺒَّﻊَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻮْﺭَﺗَﻪُ ﻳَﻔْﻀَﺤْﻪُ ﻭَﻟَﻮْ ﻓِﻲ ﺟَﻮْﻑِ ﺭَﺣْﻠِﻪِ
“Wahai sekalian orang yang telah masuk Islam dengan lisannya dalam keadaan imannya belum masuk ke dalam hatinya. Jangan kalian menyakiti orang-orang muslim. Jangan kalian merendahkan mereka. Dan jangan kalian mencari-cari kelemahannya. Karena barangsiapa mencari-cari kelemahan saudaranya yang muslim, niscaya Allah Subhanahu wata’ala akan mencari-cari kelemahannya. Dan barangsiapa yang Allah Subhanahu wata’ala cari-cari kelemahannya, niscaya Allah Subhanahu wata’ala akan membongkar kelemahan atau kekurangannya walaupun dia berada di dalam rumahnya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2032)

Tentang NAZAR

Pembahasan tentang Nazar meliputi 3 hal:
- Definisinya
- Hukumnya
- Syarat-syaratnya

DEFINISI NAZAR

Secara bahasa: al-ilzam (mengharuskan/mewajibkan)

Secara istilah: Seorang mukallaf mengilzamkan dirinya melakukan ibadah yang pada dasarnya tidak wajib baginya.

HUKUM NAZAR

Hukum nazar terbagi dua:
- Nazar Syar’i (Nazar yang ditujukan hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala)
- Nazar Syirik (Nazar yang ditujukan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala)

Nazar Syar’i terbagi menjadi dua:
- Nazar Munajaz atau Mutlaq, adalah nazar yang tidak terikat dengan sesuatu apapun, contohnya, “Wajib bagiku untuk umrah pada tahun ini.” Atau, “Wajib bagiku mensedekahkan seribu dinar.”
- Nazar Mu’allaq, adalah nazar yang dikaitkan dengan syarat tertentu. Contohnya seseorang mengatakan, “Jika Allah menyembuhkan penyakitku maka aku akan berpuasa ini dan itu.” Atau, “Jika Allah mengembalikan barangku yang hilang maka aku akan bersedekah demikian.” Atau, “Jika aku berhasil dalam ujian ini maka aku akan mengadakan pesta.”

FAEDAH:
Sebagian ahlul ilmi berpendapat bahwasanya hukum bernazar adalah haram. Mereka berdalil dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Sesungguhnya Nazar tidak datang dengan kebaikan. Dan ia (nazar) tidaklah dikeluarkan melainkan dari orang yang bakhil.”
Mereka (yakni ahlul ilmi) menyatakan, ini adalah celaan (dzam). Dan celaan dalam perbuatan merupakan bentuk larangan far’iyah. Sedangkan hukum asal pelarangan (نهي) adalah haram.
Tapi yang benar, bahwasanya nazar tidak haram, akan tetapi lebih utama ditinggalkan. Barangsiapa yang terlanjur bernazar maka harus dilaksanakan dengan ketentuan syarat-syarat yang akan disebutkan.

SYARAT-SYARAT NAZAR

Syarat-syarat Nazar secara global:
- Taklif (yakni mukallaf, mencakup sudah baligh dan berakal)
- Nazar ketaatan
- Yang dinazarkan adalah miliknya
- Yang dinazarkan memungkinkan untuk diterapkan (khusus nazar mu’allaq)
- Mampu melaksanakan

Permasalahan Penting:
Bila seseorang tidak melaksanakan nazar ketaatan, maka dia harus membayar kaffaroh. Dan kaffarohnya seperti kaffarotul yamin (kaffaroh sumpah). Yaitu:
- Memberi makan 10 orang miskin atau memberi pakaian.
- Membebaskan budak mukmin.
- Kalau tidak mampu maka berpuasa 3 hari.
Adapun nazar maksiat, maka pendapat yang shahih menurut kami (yakni Syaikh Ubaid) bila seseorang tidak melaksanakan Nazar maksiat tidak membayar kaffaroh.

FAEDAH:
Firman Allah Ta’ala:
يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا
“Mereka menunaikan Nazar dan (mereka) takut akan suatu hari yang adzabnya merata di mana-mana.” (QS. Al-Insaan: 7)
Ayat ini menunjukkan bahwasanya nazar tidak haram. Bentuk pendalilannya adalah, konteks ayat ini sebagai pujian bagi orang-orang yang baik. Ayat sebelumnya adalah:
إِنَّ الْأَبْرَارَ يَشْرَبُونَ مِنْ كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُورًا . عَيْنًا يَشْرَبُ بِهَا عِبَادُ اللَّهِ يُفَجِّرُونَهَا تَفْجِيرًا
“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur. (Yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Insaan: 5-6)
Ayat ini dalam konteks pujian atau celaan? Dalam konteks pujian. Berarti ayat ini sebagai dalil bahwasanya nazar tidak haram, dan menunaikan nazar ketaatan merupakan sifatnya orang-orang yang berbuat kebaikan (al-abror).

Semoga Allah menjadikan kami dan kalian termasuk orang-orang yang melakukan kebaikan.

(Disarikan dari Durus Tsalatsatul Ushul oleh Syaikh Ubaid Al-Jabiri Hafizhahullahu Ta’ala)

Admin Warisan Salaf

Sumber: warisansalaf .com

###

Tanya: Bagaimana hukum bernazar untuk sesuatu yang diinginkan?

Ustadz Muhammad as Sarbini:
Nazar tidak dianjurkan, bahkan hukumnya makruh. Nazar tidak bisa jadi faktor tercapainya harapan yang diinginkan, tidak berefek pada suatu takdir yang Allah kehendaki. Hal itu sebagaimana ditegaskan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam dan beliau melarang bernazar (Hadits Ibnu ‘Umar, muttafaq ‘alaih). Rasul shallallahu alaihi wasallam sendiri dan tokoh-tokoh sahabat tidak bernazar.

Tanya: Seorang siswa bernazar kalau lulus sekolah, dia akan membaca al-Qur’an 30 juz dalam satu malam, kemudian dia mengatakan tidak sanggup, apa yang harus dia lakukan?

Ustadz Muhammad as Sarbini:
Nazar itu akibat kebodohan mengenai syariat dari dua sisi:
1. Menyangka bahwa nazar ketaatan dapat menjadi faktor tercapainya suatu keinginan, padahal tidak demikian. Nabi shallallahu alaihi wasallam telah melarang untuk bernazar dan menegaskan bahwa nazar tidak punya pengaruh secara hukum takdir Allah Subhanahu wata’ala untuk tercapainya suatu keinginan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri dan sahabat tidak pernah bernazar.
2. Bernazar akan membaca al- Qur’an (30 juz) semalam suntuk, padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang ‘Abdullah bin ‘Amr melakukan hal itu. Padahal Ibnu ‘Amr mampu melakukannya (HR. al- Bukhari).
Jadi siswa itu telah bernazar dengan nazar yang tidak dianjurkan dalam syariat, apalagi Anda tidak mampu. Alhasil hendaklah Anda membayar kafarat nazar (sumpah), yaitu memberi makan yang layak kepada 10 orang fakir miskin atau pakaian. Jika tidak mampu, berpuasalah 3 hari berturut-turut.

Asy Syariah Edisi 095

Tentang BERSIWAK KETIKA TERBANGUN DARI TIDUR DI MALAM HARI

Diceritakan oleh Hudzaifah bin Al-Yaman radhiallahu anhu tentang perbuatan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika bangun dari tidur:
“Adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam apabila bangun di malam hari beliau menggosok mulut dengan siwak.” (HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 889, 1136 dan Muslim no. 255)

Tentang BERDOA KETIKA TERBANGUN DARI TIDUR DI MALAM HARI KEMUDIAN BERWUDHU DAN SHALAT

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa terjaga lalu berdoa ketika bangunnya:
لا اله الا الله وحده لا شريك له له الملك و له الحمد و هو علي كل شيئ قدير
سبحان الله و الحمد لله و لا اله الا الله و الله اكبر و لا حول و لا قوة الا بالله
(La ilaha illallah, tidak ada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan dan pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Maha Suci Allah, dan segala pujian milik Allah, dan tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah. Allah Maha Besar dan tidak ada daya dan kekuatan melainkan milik Allah.)
Lalu dia berdoa:
رب اغفرلي
(Wahai Rabbku ampunilah aku!)
Walid berkata, "Bila dia berdoa niscaya akan diampuni dan bila dia bangun kemudian berwudhu lalu shalat akan diterima shalatnya.”
Diriwayatkan Al-Imam Abu Dawud (no. 5060) dari shahabat ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiallahu anhu. Hadits ini diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah (no. 3478) dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan keduanya (yakni Abu Dawud dan Ibnu Majah). Bahkan juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiallahu anhu.

Tentang MEMPERBANYAK ISTIGHFAR DI WAKTU SAHUR DAN TIDAK TIDUR DI WAKTU SUBUH

Seseorang memasuki pagi hari dengan keadaan sumpek, badan sakit, jenuh, dan lelah. Maka apa nasehat anda pada orang ini, semoga Allah memberikan taufik pada Anda.

Jawaban dari Asy Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab Al Wushobi hafizhahullah:

Kunasehati dia agar dia mengamalkan sabda Nabi alaihish sholatu wasallam, (Ya Allah, berkatilah ummatku di awal pagi mereka).

Maka dari itu, janganlah tidur selesai sholat shubuh. Dan jika dia ingin tetap tidur pagi, hendaknya dia lakukan setelah matahari terbit. Cobalah kau berupaya keras di waktu antara shubuh dan terbitnya matahari yang mungkin cuma sekitar satu jam saja. Berusahalah agar kau tidak tidur padanya.Tidur di waktu itu membuat badan sakit, serta rasa malas dan loyo akan mendatangimu. Dan ini juga membuatmu terlewat dari doa nabawiyyah yang berbarokah ini, (Ya Allah, berkatilah ummatku pada awal pagi mereka). Hadits tentang ini datang dari banyak shohabat sampai-sampai kukumpulkan hadits-haditsnya di buku catatan yang berbeda-beda.

Menjauhi tidur di waktu ini bisa membantumu untuk selalu semangat dan tampil prima. Dan kau, insya Allah, bisa berbuat sesuatu yang bisa membuatmu semangat dan tampil prima setiap hari sepanjang hidupmu di waktu yang berbarokah ini. Kau bisa membaca Al Quran atau berdoa atau beristighfar. Atau kau mungkin bisa melakukan aktivitas duniawi. Kau gunakan untuk menyapu, untuk bersih-bersih, atau meninggikan balkon rumahmu dari sini ke sini misalnya. Atau kau buat untuk angkat-angkat batu-batu besar, atau batu-batu kecil, atau tanah. Yang penting kau tidak tidur di waktu setelah subuh ini. Dan jika matahari sudah terbit, semoga Allah memberimu kebaikan jika kau mau menunaikan shalat 4 rakaat yakni 2 rakaat salam, 2 rakaat salam. Ini sebagaimana Allah berfirman dalam hadits qudsi yang artinya:
”Hai anak Adam, shalatlah untuk-Ku 4 rakaat di awal siangmu niscaya Aku akan mencukupimu di akhirnya.”

Maka hal ini bisa membantumu. Mungkin ada yang tanya, kenapa anda tidak menyinggung pada nasihatmu tentang sholat shubuh berjamaah? Aku katakan, nasihatku ini kusampaikan dengan anggapan bahwa si penanya termasuk orang yang mengerjakan sholat Shubuh berjamaah. Kalau dia tidak sholat Shubuh berjamaah, maka ketahuilah bahwa sholat Shubuh berjamaah memberikan pengaruh untuk permulaan yang kuat pada segenap amalan harian. Bahkan kunasehatkan agar dia bangun pada adzan yang pertama, ini lebih baik. Wallahi lebih baik bagi dunia dan akhiratmu jika kau bangun sebelum adzan kedua (adzan Shubuh). Walaupun cuma sejarak setengah jam saja. Lalu kamu ambil wudhu kemudian sholat witir dengan sejumlah rakaat yang dimudahkan Allah bagimu, entah satu rakaat, tiga rakaat, atau lima, atau berapapun.Kemudian engkau perbanyak istighfar, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:
ﻭَﺍﻟْﻤُﺴْﺘَﻐْﻔِﺮِﻳﻦَ ﺑِﺎﻟْﺄَﺳْﺤَﺎﺭِ
“Dan orang-orang yang istighfar di waktu waktu sahur.” (QS Ali Imran 17)
Dan firman-Nya:
ﻭَﺑِﺎﻟْﺄَﺳْﺤَﺎﺭِ ﻫُﻢْ ﻳَﺴْﺘَﻐْﻔِﺮُﻭﻥَ
“Dan mereka beristighfar di waktu-waktu sahur.” (QS Adz Dzariyat 18)

Maka manfaatkan sisa waktu sebelum shubuh untuk istighfar sampai adzan Shubuh bekumandang. Maka kau bisa berdzikir pagi dengan sempurna, lalu sholat sunnah fajr. Kemudian insya Allah kau bisa mendapat shaf yang pertama di masjid atas seijin Allah. Dan kau bisa berjamaah shubuh dengan orang banyak. Sesudah itu kau bisa membaca dzikir dzikir setelah sholat. Jangan tidur dulu sampai kamu melakukan sholat isyroq setelah terbitnya matahari.

Sangat penting bagimu membaca doa, Allahumma inni audzubika minal ‘ajzi wal kasali (Ya Allah aku berlindung kepadamu dari sifat lemah dan malas). Perbanyak dan ulang-ulangi doa ini.Atas seijin Allah niscaya kau dapati doamu akan dikabulkan. Kau akan memperoleh semangat hidup yang kau inginkan. Aku meminta pada Allah agar memberikan taufik bagi kita dan seluruh kaum muslimin pada perkara yang Dia cintai dan ridhoi.

Sumber: olamayemen[dot]com

Alih bahasa oleh Abu Mas’ud Surabaya

WA Kajian Darul Arqom ‏
WA Forum Salafiyyah Surabaya

Tentang POSISI TIDUR

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ﺇِﺫَﺍ ﺃَﺗَﻴْﺖَ ﻣَﻀْﺠَﻌَﻚَ ﻓَﺘَﻮَﺿَّﺄْ ﻭُﺿُﻮْﺋَﻚَ ﻟِﻠﺼَّﻼَﺓِ ﺛُﻢَّ ﺍﺿْﻄَﺠِﻊْ ﻋَﻠَﻰ ﺷِﻘِّﻚَ ﺍﻟْﺄﻳْﻤَﺎﻥِ
“Apabila engkau mendatangi pembaringanmu (untuk tidur) maka berwudhulah seperti wudhumu untuk shalat selanjutnya berbaringlah pada sisi kananmu.” (Muttafaqun ‘alaih)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Apabila salah seorang dari kalian menuju pembaringannya, hendaklah dia mengambil ujung sarungnya lalu mengibaskannya ke tempat tidurnya. Dan hendaklah dia menyebut nama Allah karena dia tidak mengetahui apa yang akan terjadi kemudian. Dan bila dia akan berbaring, maka berbaringlah di atas lambung sebelah kanan dan mengucapkan:
“Maha Suci Engkau ya Allah, wahai Rabbku. Karena Engkau aku meletakkan lambungku dan karena Engkau aku mengangkatnya. Dan jika Engkau menahan jiwaku, maka ampunilah ia. Dan jika Engkau melepaskannya kembali maka peliharalah ia sebagaimana Engkau memelihara hamba-hamba-Mu yang shalih.”
(Diriwayatkan Al-Imam Muslim dari
shahabat Abu Hurairah no. 2714)

Diriwayatkan Al-Imam Muslim dari Suhail dari Abu Shalih, dan Abu Shalih mengatakan, "Kami meriwayatkannya dari Abu Hurairah radhiallahu anhu." Suhail mengatakan Abu Shalih memerintahkan kami, apabila salah seorang dari kami akan tidur hendaklah dia tidur di atas lambung sebelah kanan kemudian berkata:
“Wahai Rabb kami, pemilik langit dan bumi serta pemilik ‘Arsy yang agung. Wahai Rabb kami dan Rabb segala sesuatu, Yang membelah biji-bijian, Yang menurunkan Taurat, Injil, dan Furqan. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan segala sesuatu, Engkaulah yang memegang ubun-ubunnya. Ya Allah, Engkau yang Awwal dan tidak ada sesuatupun sebelum-Mu, Engkau yang Akhir dan tidak ada sesuatupun setelah-Mu, Engkau yang Dhahir tidak ada sesuatu di atas Engkau, dan Engkau yang Batin dan tidak ada sesuatu di bawah-Mu. Tunaikanlah hutang kami dan cukupkanlah kami dari kefakiran.”

Hafshah radhiallahu anha berkata:
“Apabila Rasulullah shallallahu alaihi wasallam hendak tidur beliau meletakkan tangan kanannya di atas pipi beliau, dan berkata:
“Ya Allah, lindungilah aku dari adzabmu pada hari Engkau membangkitkan hamba-hamba-Mu.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan beliau no. 5045)
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi no. 3638 dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman radhiallahu anhu dan dari shahabat Al-Bara` bin ‘Azib radhiallahu anhu no. 3639, dan Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab Adab Al-Mufrad no. 1215.

Ya’isy bin Thikhfah Al-Ghifari berkata:
“Bapakku menceritakan kepadaku bahwa ketika aku tidur di masjid di atas perutku (tengkurap), tiba-tiba ada seseorang yang menggerakkan kakiku dan berkata:
“Sesungguhnya tidur yang seperti ini dimurkai Allah.”
(Bapakku berkata): “Setelah aku melihat ternyata beliau adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.”
(HR. Al-Imam Abu Dawud di dalam Sunan beliau no. 5040, Ibnu Majah no. 3723, At-Tirmidzi no. 2768, Ibnu Hibban no.5549, Ahmad 3/429, 430, dan Al-Hakim, 4/271, dihasankan oleh Asy-Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilali di dalam kitab Bahjatun Nazhirin (2/108) dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no. 3000 dan Al-Misykat no. 4718)
Dan hadits ini diriwayatkan dari shahabat yang lain yaitu Abu Dzar radhiallahu anhu, diriwayatkan Al-Imam Ibnu Majah no. 3724 dan dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, diriwayatkan Al-Imam At-Tirmidzi no. 2230.