Pembahasan tentang Nazar meliputi 3 hal:
- Definisinya
- Hukumnya
- Syarat-syaratnya
DEFINISI NAZAR
Secara bahasa: al-ilzam (mengharuskan/mewajibkan)
Secara istilah: Seorang mukallaf mengilzamkan dirinya melakukan ibadah yang pada dasarnya tidak wajib baginya.
HUKUM NAZAR
Hukum nazar terbagi dua:
- Nazar Syar’i (Nazar yang ditujukan hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala)
- Nazar Syirik (Nazar yang ditujukan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala)
Nazar Syar’i terbagi menjadi dua:
- Nazar Munajaz atau Mutlaq, adalah nazar yang tidak terikat dengan sesuatu apapun, contohnya, “Wajib bagiku untuk umrah pada tahun ini.” Atau, “Wajib bagiku mensedekahkan seribu dinar.”
- Nazar Mu’allaq, adalah nazar yang dikaitkan dengan syarat tertentu. Contohnya seseorang mengatakan, “Jika Allah menyembuhkan penyakitku maka aku akan berpuasa ini dan itu.” Atau, “Jika Allah mengembalikan barangku yang hilang maka aku akan bersedekah demikian.” Atau, “Jika aku berhasil dalam ujian ini maka aku akan mengadakan pesta.”
FAEDAH:
Sebagian ahlul ilmi berpendapat bahwasanya hukum bernazar adalah haram. Mereka berdalil dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Sesungguhnya Nazar tidak datang dengan kebaikan. Dan ia (nazar) tidaklah dikeluarkan melainkan dari orang yang bakhil.”
Mereka (yakni ahlul ilmi) menyatakan, ini adalah celaan (dzam). Dan celaan dalam perbuatan merupakan bentuk larangan far’iyah. Sedangkan hukum asal pelarangan (نهي) adalah haram.
Tapi yang benar, bahwasanya nazar tidak haram, akan tetapi lebih utama ditinggalkan. Barangsiapa yang terlanjur bernazar maka harus dilaksanakan dengan ketentuan syarat-syarat yang akan disebutkan.
SYARAT-SYARAT NAZAR
Syarat-syarat Nazar secara global:
- Taklif (yakni mukallaf, mencakup sudah baligh dan berakal)
- Nazar ketaatan
- Yang dinazarkan adalah miliknya
- Yang dinazarkan memungkinkan untuk diterapkan (khusus nazar mu’allaq)
- Mampu melaksanakan
Permasalahan Penting:
Bila seseorang tidak melaksanakan nazar ketaatan, maka dia harus membayar kaffaroh. Dan kaffarohnya seperti kaffarotul yamin (kaffaroh sumpah). Yaitu:
- Memberi makan 10 orang miskin atau memberi pakaian.
- Membebaskan budak mukmin.
- Kalau tidak mampu maka berpuasa 3 hari.
Adapun nazar maksiat, maka pendapat yang shahih menurut kami (yakni Syaikh Ubaid) bila seseorang tidak melaksanakan Nazar maksiat tidak membayar kaffaroh.
FAEDAH:
Firman Allah Ta’ala:
يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا
“Mereka menunaikan Nazar dan (mereka) takut akan suatu hari yang adzabnya merata di mana-mana.” (QS. Al-Insaan: 7)
Ayat ini menunjukkan bahwasanya nazar tidak haram. Bentuk pendalilannya adalah, konteks ayat ini sebagai pujian bagi orang-orang yang baik. Ayat sebelumnya adalah:
إِنَّ الْأَبْرَارَ يَشْرَبُونَ مِنْ كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُورًا . عَيْنًا يَشْرَبُ بِهَا عِبَادُ اللَّهِ يُفَجِّرُونَهَا تَفْجِيرًا
“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur. (Yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Insaan: 5-6)
Ayat ini dalam konteks pujian atau celaan? Dalam konteks pujian. Berarti ayat ini sebagai dalil bahwasanya nazar tidak haram, dan menunaikan nazar ketaatan merupakan sifatnya orang-orang yang berbuat kebaikan (al-abror).
Semoga Allah menjadikan kami dan kalian termasuk orang-orang yang melakukan kebaikan.
(Disarikan dari Durus Tsalatsatul Ushul oleh Syaikh Ubaid Al-Jabiri Hafizhahullahu Ta’ala)
Admin Warisan Salaf
Sumber: warisansalaf .com
###
Tanya: Bagaimana hukum bernazar untuk sesuatu yang diinginkan?
Ustadz Muhammad as Sarbini:
Nazar tidak dianjurkan, bahkan hukumnya makruh. Nazar tidak bisa jadi faktor tercapainya harapan yang diinginkan, tidak berefek pada suatu takdir yang Allah kehendaki. Hal itu sebagaimana ditegaskan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam dan beliau melarang bernazar (Hadits Ibnu ‘Umar, muttafaq ‘alaih). Rasul shallallahu alaihi wasallam sendiri dan tokoh-tokoh sahabat tidak bernazar.
Tanya: Seorang siswa bernazar kalau lulus sekolah, dia akan membaca al-Qur’an 30 juz dalam satu malam, kemudian dia mengatakan tidak sanggup, apa yang harus dia lakukan?
Ustadz Muhammad as Sarbini:
Nazar itu akibat kebodohan mengenai syariat dari dua sisi:
1. Menyangka bahwa nazar ketaatan dapat menjadi faktor tercapainya suatu keinginan, padahal tidak demikian. Nabi shallallahu alaihi wasallam telah melarang untuk bernazar dan menegaskan bahwa nazar tidak punya pengaruh secara hukum takdir Allah Subhanahu wata’ala untuk tercapainya suatu keinginan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri dan sahabat tidak pernah bernazar.
2. Bernazar akan membaca al- Qur’an (30 juz) semalam suntuk, padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang ‘Abdullah bin ‘Amr melakukan hal itu. Padahal Ibnu ‘Amr mampu melakukannya (HR. al- Bukhari).
Jadi siswa itu telah bernazar dengan nazar yang tidak dianjurkan dalam syariat, apalagi Anda tidak mampu. Alhasil hendaklah Anda membayar kafarat nazar (sumpah), yaitu memberi makan yang layak kepada 10 orang fakir miskin atau pakaian. Jika tidak mampu, berpuasalah 3 hari berturut-turut.
Asy Syariah Edisi 095