Cari Blog Ini

Rabu, 01 Oktober 2014

Tentang KELUAR MANI PADA WANITA

Pertanyaan: Apakah wanita juga keluar mani sebagaimana halnya laki-laki? Bila ya, bagaimana ciri-cirinya? Dan apa yang harus dilakukan?

Jawab:

Wanita juga keluar mani sebagaimana laki-laki. Dengan mani itu, muncul sifat identik sang anak, apakah memiliki kemiripan dengan ayah atau dengan ibunya. Ketika ditanyakan hal ini kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau berkata, “Iya, darimana adanya persamaan anak (dengan ayah atau ibunya kalau bukan karena mani tersebut)?” (Shahih, HR. Muslim no. 310)

Namun mani wanita berbeda dengan laki-laki, seperti yang disabdakan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, “Mani laki-laki itu kental dan berwarna putih sedangkan mani wanita encer dan berwarna kuning.” (Shahih, HR. Muslim no. 310, 315)
Al-Imam An-Nawawi berkata, “Adapun mani wanita berwarna kuning dan encer. Namun terkadang warnanya bisa memutih karena kelebihan kekuatannya. Dan mani wanita ini bisa ditandai dengan dua hal: pertama, aromanya seperti aroma mani laki-laki. Kedua, terasa nikmat ketika keluarnya dan setelah keluarnya, syahwatpun mereda.” (Syarah Shahih Muslim, 3/223)

Sebagaimana halnya laki-laki, bila seorang wanita keluar mani, karena senggama maupun ihtilam (mimpi), maka ia wajib mandi. Hal ini pernah ditanyakan oleh Ummu Sulaim kepada Rasulullah. Ketika datang menemui Rasulullah, Ummu Sulaim berkata, “Apakah wanita harus mandi bila ia ihtilam?” Rasulullah menjawab: “Ya, apabila ia melihat mani yang keluar.” (Shahih, HR. Muslim no. 313)

Dalam Al-Majmu’ (2/158), Al-Imam An-Nawawi berkata, “Ulama sepakat wajibnya seseorang mandi bila keluar mani, dan tidak ada perbedaan menurut kami apakah keluarnya karena jima’ (senggama), ihtilam, onani, melihat sesuatu yang membangkitkan syahwat, ataupun keluar mani tanpa sebab. Dan sama saja apakah keluarnya dengan syahwat ataupun tidak, dengan rasa nikmat atau tidak, banyak ataupun sedikit walaupun hanya setetes, dan sama saja apakah keluarnya di waktu tidur ataupun di waktu jaga, baik laki-laki maupun wanita.” [1]
Wallahu a’lam.

Footnote:
[1] Ungkapan An-Nawawi: ‘menurut kami’, maksudnya menurut madzhab kami yaitu Asy-Syafi’iyyah, karena permasalahan ini (mani yang keluar tanpa sebab) adalah khilafiyyah. Pendapat jumhur ulama adalah bahwa mani yang keluar tanpa syahwat, tidak disertai rasa nikmat ketika sedang terjaga maka tidak mewajibkan mandi dan hanya menimbulkan hadats kecil saja.

Sumber : Majalah Asy Syariah

Tentang MENGHIDUPKAN PENGERAS SUARA DI MENARA MASJID KETIKA MELAKSANAKAN SALAT JAMAAH DI MASJID

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan: Pendengar yang bernama Muhammad Khair dari Suriyah mengatakan dalam suratnya: “Apakah disyaratkan untuk mengeraskan suara pada shalat-shalat jahriyah semuanya, dan apa hukumnya jika seseorang mengeraskan suara pada rakaat pertama dan melirihkan pada rakaat kedua?”

Jawaban:

Melirihkan bacaan pada tempatnya dan mengeraskan bacaan pada tempatnya ketika shalat hukumnya sunnah dan tidak wajib, karena yang wajib adalah membaca, hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:
ﻟَﺎ ﺻَﻠَﺎﺓَ ﻟِﻤَﻦْ ﻟَﻢْ ﻳَﻘْﺮَﺃْ ﺑِﺄُﻡِّ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥِ
“Tidak sah shalat orang yang tidak membaca Ummul Qur’an (Al-Fatihah).” (Hadits Ubadah bin Ash-Shamit yang diriwayatkan oleh Al-Bukhary no. 756 dan Muslim no. 394, dan ini adalah lafazh Muslim)

Jika seseorang mengeraskan suara pada shalat yang sunnahnya melirihkan atau dia melirihkan pada shalat yang sunnahnya mengeraskan, jika tujuannya tersebut adalah menyelisihi As-Sunnah, maka tidak diragukan lagi bahwa ini adalah perkara yang haram dan sangat berbahaya. Namun jika dia melakukannya karena tujuan yang lain, apakah semata-mata karena meremehkan As-Sunnah atau karena sebuah sebab yang menuntut untuk melirihkan atau mengeraskan –dan situasi kondisi yang menuntut demikian, kita tidak mampu untuk membatasinya di sini– maka tidak mengapa. Bahkan seandainya seseorang sengaja tidak melirihkan pada shalat yang sunnahnya melirihkan atau tidak mengeraskan pada shalat yang sunnahnya mengeraskan dengan syarat hal itu bukan karena membenci As-Sunnah dan meninggalkannya, maka dia tidak berdosa. Hanya saja dia terluput dari pahala (yang sempurna).

Terdapat riwayat di dalam Ash-Shahihain yang menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada shalat sirriyah beliau terkadang mengeraskan ayat yang beliau baca hingga para Shahabat yang menjadi ma’mum di belakang beliau bisa mendengarnya. [1]
Jadi jika seorang imam terkadang melakukan hal itu maka tidak masalah bagi imam. Adapun bagi para ma’mum maka mereka tidak boleh mengeraskan bacaan, karena hal itu akan mengganggu jama’ah yang lain. Pernah Nabi shallallahu alaihi wasallam keluar menuju para Shahabat ketika mereka sedang membaca Al-Qur’an dan mengeraskan bacaannya. Maka beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ﻟَﺎ ﻳَﺠْﻬَﺮُ ﺑَﻌْﻀُﻜُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺑَﻌْﺾٍ ﻓِﻲْ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥِ
“Janganlah sebagian kalian mengeraskan Al-Qur’an terhadap sebagian yang lain.” (Lihat: Silsilah Ash-Shahihah no. 1603)
Atau dalam riwayat lain jangan mengeraskan bacaannya.
Jadi kapan saja tindakan mengeraskan suara akan mengganggu yang lain maka hal itu dilarang.

Pada kesempatan ini saya ingin mengingatkan bahwa sebagian orang ada yang melakukan perbuatan yang mengganggu orang lain, padahal maksud mereka adalah baik insya Allah. Yaitu ketika mereka melaksanakan shalat jama’ah maka sebagian mereka ada yang menghidupkan pengeras suara yang ada di menara, sehingga engkau jumpai mereka mengganggu masjid-masjid lain yang ada di dekatnya dan juga orang-orang yang mengerjakan shalat di rumah (para wanita dan orang-orang yang mendapatkan udzur). Terkadang mereka juga mengganggu orang lain yang ingin istirahat karena mereka telah menunaikan kewajiban mereka. Jadi kita anggap misalnya di rumah-rumah penduduk sebagian mereka ada yang sakit yang telah mengerjakan shalat dan ingin bersitirahat, maka suara-suara dari masjid ini bisa mengganggu mereka. Jika suara-suara ini hanya mengganggu masjid-masjid yang lain maka sesungguhnya hadits yang telah kami isyaratkan tadi yang diriwayatkan oleh Malik dalam Al-Muwaththa’ dan dinilai shahih oleh Ibnu Abdil Barr, tepat untuk diterapkan pada keadaan semacam ini. Yaitu sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:
ﻟَﺎ ﻳَﺠْﻬَﺮُ ﺑَﻌْﻀُﻜُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺑَﻌْﺾٍ ﻓِﻲْ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥِ
“Janganlah sebagian kalian mengeraskan Al-Qur’an terhadap sebagian yang lain.”
Atau dalam riwayat lain jangan mengeraskan bacaannya.

Kemudian sesungguhnya mengeraskan suara di atas menara bisa menyebabkan kemalasan dan sikap menunda-nunda, karena orang-orang yang di rumah yang mendengarnya terkadang salah seorang dari mereka ada yang mengatakan dalam hati: “Shalat masih berlangsung, saya masih bisa mendapatkan rakaat terakhir.” Jika perkaranya seperti itu maka terkadang dia bisa saja tidak mendapatkan shalat berjama’ah. Karena ketika dia mendengar suara imam, engkau jumpai dia meremehkan dan jiwanya mengajak kepada kemalasan. Adapun jika dia tidak mendengar suara imam, maka semuanya masih bisa mendengar adzan, sehingga seseorang akan segera bersiap-siap menuju shalat.

Jadi menurut saya dalam masalah ini shalat jangan dikeraskan dengan pengeras suara di atas menara, hal ini berdasarkan hadits yang telah saya sebutkan dan juga karena sebab-sebab lain yang menuntut untuk tidak mengeraskan shalat di atas menara.

Adapun iqamah shalat dengan pengeras suara di atas menara maka saya berharap hal ini tidak mengapa, walaupun sebagian orang ada yang membantah dengan dalih bahwa mengeraskan iqamah di atas menara juga akan menyebabkan kemalasan, karena jika seseorang mendengar adzan maka dia akan menunggu dan mengatakan: “Saya tunggu sampai iqamah.” Hanya saja menurut saya hal itu tidak mengapa, karena dalam sebuah hadits shahih dari shallallahu alaihi wasallam beliau bersabda:
ﺇِﺫَﺍ ﺳَﻤِﻌْﺘُﻢُ ﺍﻹِﻗَﺎﻣَﺔَ، ﻓَﺎﻣْﺸُﻮْﺍ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓِ ﻭَﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺑِﺎﻟﺴَّﻜِﻴْﻨَﺔِ ﻭَﺍﻟﻮَﻗَﺎﺭِ ﻭَﻻَ ﺗُﺴْﺮِﻋُﻮْﺍ
“Jika kalian mendengar iqamah maka berjalanlah menuju shalat dalam keadaan tenang dan jangan terburu-buru.” (HR. Al-Bukhary no. 636 dan Muslim no. 602 dan ini adalah lafazh Al-Bukhary)
Ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa iqamah pada masa Nabi shallallahu alaihi wasallam terdengar dari luar masjid.

Jika ada yang mengatakan: “Terkadang jama’ah banyak, sementara masjidnya luas dan suara imam lemah, sehingga tidak terdengar oleh sebagian ma’mum.” Maka kita katakan bahwa bisa dengan menggunakan pengeras suara di dalam masjid saja, jadi tidak perlu dengan yang ada di menara, karena tujuannya bisa tercapai.

Catatan kaki:

[1] Abu Qatadah Al-Harits bin Rib’iy.radhiyallahu anhu menceritakan:
ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻛَﺎﻥَ ﻳَﻘْﺮَﺃُ ﻓِﻲْ ﺍﻟﻈُّﻬْﺮِ ﻓِﻲْ ﺍﻷُﻭْﻟَﻴَﻴْﻦِ ﺑِﺄُﻡِّ ﺍﻟﻜِﺘَﺎﺏِ ﻭَﺳُﻮﺭَﺗَﻴْﻦِ، ﻭَﻓِﻲْ ﺍﻟﺮَّﻛْﻌَﺘَﻴْﻦِ ﺍﻷُﺧْﺮَﻳَﻴْﻦِ ﺑِﺄُﻡِّ ﺍﻟﻜِﺘَﺎﺏِ ﻭَﻳُﺴْﻤِﻌُﻨَﺎ ﺍﻵﻳَﺔَ، ﻭَﻳُﻄَﻮِّﻝُ ﻓِﻲْ ﺍﻟﺮَّﻛْﻌَﺔِ ﺍﻷُﻭْﻟَﻰ ﻣَﺎ ﻻَ ﻳُﻄَﻮِّﻝُ ﻓِﻲْ ﺍﻟﺮَّﻛْﻌَﺔِ ﺍﻟﺜَّﺎﻧِﻴَﺔِ، ﻭَﻫَﻜَﺬَﺍ ﻓِﻲْ ﺍﻟﻌَﺼْﺮِ ﻭَﻫَﻜَﺬَﺍ ﻓِﻲْ ﺍﻟﺼُّﺒْﺢِ
“Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah membaca Ummul Kitab (Al-Fatihah) dan dua surat pada shalat Zhuhur di dua rakaat pertama, dan pada dua rakaat yang terakhir beliau membaca Ummul Kitab dan mengeraskan bacaannya hingga kami mendengarnya. Beliau memanjangkan bacaan pada rakaat pertama dan tidak memanjangkannya pada rakaat kedua. Demikian juga pada shalat Ashar dan juga pada shalat Shubuh.” (HR. Al-Bukhary no. 776)

Sumber:
Fataawa Nuurun Alad Darb, Program Maktabah Asy-Syaamilah, VIII/2

Alih Bahasa: Abu Almass

Tentang KALENDER DAN JAM DINDING YANG ADA DI MASJID

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

Penanya: Apakah disyariatkan untuk menghapus sebagian nama yayasan atau perusahaan yang dicetak dengan kalender dan jam dinding yang ada di masjid, dan manusia memasangnya sebagai bentuk iklan?

Asy-Syaikh:
Ya, wajib menghapus hal-hal semacam ini. Kalender jika berisi iklan dari sebuah perusahaan atau yayasan maka hal-hal semacam ini hendaknya dihapus. Tidak masalah memanfaatkan kalendernya, tetapi dihapus iklan atau lambang perusahaan atau promosi lainnya dan jangan dibiarkan begitu saja. Demikian juga jika jam dinding ada promosi atau tulisan iklan maka hendaknya dihapus hal semacam ini.

Sumber: forumsalafy[dot]net

Tentang PERNIKAHAN YANG DIHARAMKAN DALAM HUBUNGAN YANG TERJALIN KARENA PERNIKAHAN SEORANG PRIA DENGAN SEORANG WANITA

Pertanyaan: Ayah saya menikah dengan seorang wanita yang memiliki anak perempuan yang masih menyusu. Setelah pernikahannya dengan ayah saya, wanita tersebut menyapih anak perempuannya. Ayah saya berkeinginan kelak bila anak perempuan tersebut telah besar, ia hendak menikahkan saya dengannya. Pertanyaannya, apakah hal tersebut dibolehkan bagi saya?

Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjawab:

Boleh ia menikah dengan anak perempuan yang merupakan rabibah (anak tiri/anak istri) ayahnya tersebut. Boleh bagi anak laki-laki suami menikah dengan rabibah ayahnya.

Yang menjadi kaidah di sini, pernikahan yang diharamkan dalam hubungan mushaharah atau hubungan yang terjalin karena pernikahan seorang pria dengan seorang wanita adalah ushul dan furu’ [1] istri bagi si suami secara khusus dan tidak bagi kerabat suami [2]. Demikian pula ushul dan furu’ suami menjadi haram untuk menikahi si istri secara khusus dan tidak haram untuk menikahi kerabat si istri.

Akan tetapi, tiga golongan darinya, diharamkan dengan semata-mata akad, sedangkan satu golongan lagi harus disertai dengan dukhul [3], dengan perincian sebagai berikut:
- Ushul suami haram bagi istri dengan akad
- Furu’ suami haram bagi istri dengan akad
- Ushul istri haram bagi suami dengan akad
- Furu’ istri haram bagi suami dengan akad berikut dukhul.

Yang dimaksud ushul istri adalah ibunya, nenek-neneknya dan terus ke atas. Sedangkan furu’-nya adalah putrinya, cucu-cucu perempuannya dari anak-anak laki-lakinya, dan terus ke bawah. Sementara ushul suami adalah ayahnya, kakek-kakeknya dan terus ke atas. Sedangkan furu’-nya adalah putranya, cucu-cucu laki-lakinya dari anak-anak laki-lakinya dan terus ke bawah.

Untuk lebih memperjelas permasalahan ini, kita berikan contoh berikut ini:
Apabila seorang lelaki (sebutlah B) menikah dengan seorang wanita yang bernama Zainab dan si Zainab punya ibu bernama Asma`. Maka Asma` haram dinikahi oleh si B (menantunya/suami dari anak perempuannya) dengan semata-mata akadnya dengan Zainab, karena Asma` termasuk ushul Zainab.
Apabila Zainab ketika menikah dengan si B, sudah mempunyai anak perempuan bernama Fathimah, maka Fathimah haram dinikahi si B (suami ibunya) apabila si B/ayah tirinya tersebut telah dukhul dengan ibunya. Maksudnya, ayah tirinya telah “bergaul” dengan ibunya. Namun bila si ayah tiri menceraikan ibunya sebelum menggaulinya, maka Fathimah halal dinikahi oleh mantan ayah tirinya. Sedangkan Asma`, si nenek (ibu dari Zainab) tetap tidak halal dinikahi.
Bila si B memiliki ayah bernama Abdullah dan anak laki-laki bernama Abdurrahman, maka Abdullah haram menikah dengan menantunya (istri si B yaitu Zainab sebagaimana contoh di atas) dengan semata-mata akad (antara si menantu dengan B, putranya, tanpa persyaratan dukhul). Demikian pula yang berlaku bagi Abdurrahman. Ia haram menikah dengan istri ayahnya (Zainab) dengan semata-mata akad (antara si B ayahnya dengan Zainab/ibu tirinya). Namun boleh bagi Abdurrahman menikah dengan Fathimah putri Zainab, karena yang diharamkan bagi ushul dan furu’ suami adalah si istri secara khusus, dan tidak haram bagi kerabat-kerabat istri. Dan boleh bagi Abdullah, ayah si B, untuk menikah dengan Asma`, mertua si B (ibu Zainab).

Yang menjadi dalil dalam hal ini adalah firman Allah:
“Janganlah kalian menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayah-ayah kalian (ibu tiri) kecuali pada masa yang telah lampau (sebelum datangnya larangan ini)….” (An-Nisa`: 22-23)
Pelarangan dalam ayat di atas ditujukan kepada furu’ suami, haram bagi si anak laki-laki untuk menikahi istri ayahnya.
Firman Allah:
“(Janganlah kalian menikahi) … ibu dari istri (mertua) kalian.”
Yang dimaukan di sini adalah ushul istri, haram dinikahi oleh si suami.
Firman Allah:
“(Janganlah kalian menikahi)… putri-putri dari istri kalian yang berada dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri. Tetapi jika kalian belum mencampuri istri tersebut (dan sudah berpisah dengan kalian) maka tidak berdosa kalian menikahi putrinya.”
Yang ditujukan di sini adalah furu’ istri, haram dinikahi oleh si suami.
Sedangkan firman Allah:
“Diharamkan pula bagi kalian menikahi istri-istri anak kandung kalian (menantu).”
Pelarangan ditujukan kepada ushul suami, haram bagi seorang ayah menikahi istri anaknya.

Boleh bagi seorang lelaki menikahi seorang wanita sementara ayah si laki-laki menikahi putri si wanita, karena furu’ istri hanya haram bagi suami, tidak bagi kerabat suami. Dan boleh seorang lelaki menikahi seorang wanita, sementara ayahnya menikahi ibu si wanita.
Wallahu a’lam bish-shawab.

(Durus wa Fatawa fil Haramil Makki, hal. 1041-1042)

Sumber: Majalah Asy Syariah Online

__________________________________________
Keterangan:

1. Ushul seseorang berarti orang tuanya ke atas, kakek neneknya, buyutnya dan seterusnya. Sedangkan furu’ berarti keturunannya ke bawah, anaknya, cucunya, dan seterusnya.

2. Maksudnya dengan terjalinnya sebuah pernikahan, haram bagi suami menikahi ushul dan furu’ istrinya. Namun keharaman ini tidak berlaku bagi kerabat si suami, artinya boleh bagi kerabat suami menikah dengan ushul dan furu’-nya istri.

3. Sudah akad dan sudah pula berjima’.

Tentang LAKI-LAKI BEROBAT KE DOKTER WANITA ATAU WANITA BEROBAT KE DOKTER LAKI-LAKI

Pertanyaan: Apakah di dalam Islam dibolehkan seorang wanita mengobati laki-laki yang bukan mahramnya? Bagaimana pula sebaliknya, seorang wanita berobat kepada dokter laki-laki?

Jawab:

Bila memang keadaannya darurat dan di sana tidak ada orang lain yang dapat mengobati laki-laki tersebut, maka dibolehkan bagi seorang wanita untuk mengobatinya, dengan dalil hadits ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz, ia berkata,
ﻛُﻨَّﺎ ﻧَﻐْﺰُﻭ ﻣَﻊَ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻧَﺴْﻘِﻲ ﻭَﻧُﺪَﺍﻭِﻱ ﺍﻟْﺠَﺮْﺣَﻰ ﻭَﻧَﺮُﺩُّ ﺍﻟْﻘَﺘْﻠَﻰ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﻤَﺪِﻳْﻨَﺔِ
“Kami (para wanita) pernah ikut dalam satu peperangan bersama Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Tugas kami adalah memberi minum kepada mujahidin, mengobati orang-orang yang luka, dan mengembalikan orang-orang yang terbunuh ke Madinah.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 2882, 2883)
Hadits di atas menunjukkan dibolehkannya wanita ajnabiyyah mengobati laki-laki ajnabi (yang bukan mahram) karena darurat. (Fathul Bari, 6/98)
Ummu ‘Athiyyah al-Anshariyyah juga pernah menceritakan:
ﻏَﺰَﻭْﺕُ ﻣَﻊَ ﺭَﺳُﻮْﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺳَﺒْﻊَ ﻏَﺰَﻭَﺍﺕٍ، ﺃَﺧْﻠُﻔُﻬُﻢْ ﻓِﻲ ﺭِﺣَﺎﻟِﻬِﻢْ ﻓَﺄَﺻْﻨَﻊُ ﻟَﻬُﻢُ ﺍﻟﻄَّﻌَﺎﻡَ ﻭَﺃُﺩَﺍﻭِﻱ ﺍﻟْﺠَﺮْﺣَﻰ ﻭَﺃَﻗُﻮْﻡُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤَﺮْﺿَﻰ
“Aku pernah ikut berperang bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam tujuh peperangan. Aku yang menggantikan mereka untuk menjaga kendaraan/tunggangan mereka (para mujahidin), aku yang membuatkan makanan untuk mereka, mengobati orang yang luka-luka, serta merawat orang sakit.” (Sahih, HR. Muslim no. 1812)
Namun dalam hal ini harus diperhatikan sisi-sisi yang tidak mengundang fitnah (godaan) dan kerusakan, sehingga harus dihindari adanya khalwat (berduaan) antara si sakit dengan wanita yang mengobatinya. Atau wanita tersebut ketika mengobati si sakit, ditemani oleh mahramnya. Wallahu a‘lam.
Adapun bila di sana ada laki-laki yang bisa mengobati si sakit maka tidak dibolehkan ia diobati oleh wanita tersebut.
(Jami’ Ahkamin Nisa’, 5/542)

Bagaimana bila seorang wanita berobat ke dokter laki-laki? Maka permasalahannya sama dengan di atas.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin ketika ditanya tentang permasalahan ini, beliau menjawab, “Berobatnya seorang wanita kepada dokter laki-laki karena tidak adanya dokter wanita tidaklah mengapa. Demikian yang disebutkan oleh ahli ilmu. Boleh baginya untuk membuka bagian tubuhnya yang sakit/ yang diperlukan untuk dilihat oleh dokter.tersebut, namun wanita tadi harus ditemani oleh mahramnya dan tanpa berkhalwat dengan dokter tersebut, karena khalwat adalah perkara yang.diharamkan. Tentunya hal ini sebatas keperluan.”
[Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, 2/979]

Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i berkata, “Menyentuh wanita ajnabiyyah (bukan mahram) tanpa ada keperluan/kebutuhan, tidaklah diperkenankan. Adapun bila diperlukan, seperti ia seorang dokter atau wanita itu sendiri seorang dokter dan tidak didapatkan dokter lain yang bisa mengobati si sakit selain dirinya, maka ketika itu dibolehkan menyentuh orang yang bukan mahramnya. Namun tetap penuh waspada terhadap fitnah (godaan) yang akan timbul.”
[Ijabatus Sa’il, hlm. 32]

Sumber : Majalah Asy Syariah

Tentang MINTA IZIN ORANG TUA KETIKA HENDAK BERSAFAR DALAM RANGKA JIHAD, MENUNTUT ILMU, ATAU KEPERLUAN LAINNYA

Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari

Pertanyaan: Saya punya keinginan untuk belajar di pondok pesantren tetapi orang tua melarang, apa yang harus dilakukan?

Jawab:

Tatkala menuntut ilmu [1] merupakan jihad, bahkan lebih utama dari jihad fi sabilillah (berlaga di medan jihad), kita akan mengawali permasalahan dengan hadits Abdullah bin ‘Amr, ketika datang seorang lelaki menemui Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam meminta izin untuk berjihad fi sabilillah. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Dia menjawab: “Ya.” Rasulullah pun mengatakan, “Pada kedua orang tuamulah engkau berjihad (bersungguh-sungguh berbakti).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah yang dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud (no. 2528) disebutkan:
Ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ingin ikut berjihad, sementara kedua orang tuanya menangis. Maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Kembalilah engkau kepada keduanya, dan buatlah keduanya tertawa sebagaimana engkau telah membuat keduanya menangis.”

Berdasarkan hadits ini, jumhur ulama mengatakan bahwa seorang anak haram untuk berangkat jihad jika kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya melarangnya, dengan syarat kedua orang tuanya muslim. Karena birrul walidain (berbakti kepada keduanya) adalah fardhu ‘ain (kewajiban bagi setiap muslim yang tidak bisa diwakili orang lain), sedangkan jihad adalah fardhu kifayah (kewajiban bagi sebagian kaum muslimin, jika ada sebagian yang telah menunaikannya maka gugur kewajiban yang lain). Adapun jika jihad tersebut hukumnya fardhu ‘ain maka jihad didahulukan, karena mashlahatnya –yaitu untuk membela Islam dan kaum muslimin– lebih besar dibandingkan birrul walidain yang maslahatnya hanya untuk kedua orang tua. (Lihat Syarhu Muslim karya An-Nawawi (16/89), Fathul Bari (6/140-141), Nailul Authar (7/221), dan Subulus Salam (4/66))

Al-Hafizh berkata dalam Fathul Bari (6/141), “Hadits ini merupakan dalil haramnya melakukan safar tanpa izin orang tua, karena jihad saja demikian. Apalagi kalau hanya safar biasa. Lain halnya dengan safar dalam rangka menuntut ilmu yang fardhu ‘ain [2], maka hal ini boleh meskipun tanpa izin. Adapun safar untuk menuntut ilmu yang sifatnya fardhu kifayah [3] maka ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.”

Kita memandang bahwa pendapat terbaik dalam hal ini adalah fatwa guru besar kami Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i dan fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahumallah.

Syaikhuna Al-Wadi’i berkata, “Waspadalah, waspadalah! Jangan sampai kedua orang tuamu menghalangi engkau dari menuntut ilmu yang bermanfaat. Karena kebanyakan orang tua, kalbu mereka dipenuhi cinta dunia. Tinjauan mereka sangat sempit, karena terbatas hanya pada masa depan anak di dunia ini. Dalam Masa`il Ibnu Hani (jilid hal.164), dia berkata, “Aku mendengar Abu Abdillah –yaitu Al-Imam Ahmad– ditanya tentang seseorang yang pamit kepada orang tuanya untuk safar menuntut hadits dan (ilmu) yang bermanfaat baginya. Beliau menjawab, “Jika berangkat untuk menuntut ilmu yang bermanfaat, saya memandang tidak mengapa seseorang melakukan hal itu meskipun tanpa izin orang tua.”
Saya bukannya mengajak anda untuk durhaka kepada orang tua dan memutuskan hubungan dengan keduanya, melainkan agar anda mengutamakan perkara yang lebih bermanfaat bagi Islam dan kaum muslimin. Akan tetapi kalau keduanya membutuhkan anda untuk mencarikan nafkah, atau untuk mengurusi mereka, maka tidak boleh menelantarkan mereka, berdasarkan hadits:
“Pada keduanyalah engkau berjihad.”
(An-Nushul Amin li Thalabatil ‘Ilmi wa Sa`iris Salafiyyin min Kalamil Imam Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, hal. 60-61)

Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin ketika ditanya tentang seseorang yang dihalangi oleh kedua orang tuanya untuk berangkat menuntut ilmu, beliau menjawab, “Jika ada tuntutan yang sifatnya darurat (terpaksa) untuk mendampingi keduanya, maka tinggal bersamanya afdhal (lebih utama), dan dia bisa menuntut ilmu bersamaan dengan mendampingi keduanya. Karena birrul walidain lebih diutamakan dibanding jihad fi sabilillah (yang hukumnya fardhu kifayah). Sedangkan menuntut ilmu merupakan jihad, berarti birrul walidain didahulukan jika orang tua membutuhkan keberadaan anaknya. Adapun jika keduanya tidak membutuhkan keberadaannya, dan dia akan lebih leluasa serta lebih maksimal dalam menuntut ilmu jika berangkat, tidak mengapa dia berangkat (meskipun tanpa seizin keduanya). Namun jangan sampai lupa hak orang tuanya, dengan pulang menjenguk keduanya dan terus berusaha meyakinkan mereka akan pentingnya menuntut ilmu, sampai mereka mengerti hal itu. Lain halnya jika seorang anak mengetahui bahwa orang tuanya membenci ilmu syar’i (ilmu agama). Orang tua yang seperti itu tidak memiliki hak untuk ditaati. Dan tidak semestinya seorang anak minta izin kepada mereka jika hendak berangkat menuntut ilmu, karena yang mendorong keduanya untuk menghalangi anaknya adalah kebencian dia terhadap ilmu syar’i.” (Kitabul ‘Ilmi, hal. 155)

Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberi taufik kepada para orang tua untuk mendukung dan membantu anak-anak mereka dalam menuntut ilmu, serta menyadari bahwa dengan itu mereka telah berpartisipasi untuk kejayaan agama ini dan kemaslahatan kaum muslimin. Dan itu lebih baik bagi mereka dibandingkan dunia dan seisinya.
Allahul muwaffiq ila sawa`is sabil.
Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Sumber: Majalah Asy Syariah Online

__________________________________________
Keterangan:

[1] Ilmu yang dibicarakan di sini adalah ilmu syar’i (ilmu agama), bukan ilmu dunia.

[2] Yaitu ilmu akidah dan tauhid, mempelajari hal-hal yang harus diimani, cara mentauhidkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam beribadah, serta hal apa saja yang merupakan pembatal-pembatal keislaman seseorang, seperti syirik dan lainnya. Demikian pula mempelajari ilmu tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk mengenal Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Juga mempelajari hukum-hukum syariat yang diwajibkan bagi setiap orang, semisal shalat, dan yang terkait dengannya seperti wudhu dan lainnya.

[3] Yaitu ilmu yang tidak harus dipelajari oleh setiap orang, seperti ilmu nahwu-sharaf, ilmu ushul fiqih, dan lainnya.

Tentang DARAH YANG KELUAR PADA WANITA YANG KEGUGURAN

Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin ditanya tentang hukum darah yang keluar dari seorang wanita setelah keguguran.

Beliau menjawab:

Para ulama berkata: Jika janin yang keluar telah jelas berbentuk manusia, maka darahnya darah nifas, dia harus meninggalkan shalat dan puasa serta tidak boleh digauli sampai suci dari darah tersebut. Jika janin yang keluar belum berbentuk manusia, maka tidak dianggap sebagai darah nifas tetapi dihukumi darah fasaq yang tidak menghalanginya dari shalat, puasa dan perbuatan lainnya.

Mereka menyatakan: Usia minimal kehamilan yang dengannya janin sudah berbentuk adalah 81 hari, karena janin dalam kandungan, sebagaimana yang dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud:
Rasulullah telah bercerita kepadaku dan beliau adalah orang yang jujur dan beritanya dibenarkan, "Sesungguhnya salah seorang di antara kalian penciptaannya dikumpulkan dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa mani, kemudian selama 40 hari berupa darah, kemudian selama 40 hari berupa daging. Kemudian seorang malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh dan memberitakan tentang 4 perkara: ketentuan rizkinya, ajalnya, amalannya, dan nasibnya apakah menjadi orang yang sengsara atau bahagia.” (Muttafaq ‘alaih)

Oleh karena itu jika janin gugur sebelum usia 80 hari kehamilan, darah yang keluar bukan darah nifas karena usia tersebut belum berbentuk janin. Maka dia tetap berpuasa dan shalat dan melakukan amalan yang dilakukan oleh wanita-wanita yang dalam masa sucinya.

(Diambil dari buku Problema Darah Wanita, Ash Shaf Media)

####

Asy-Syaikh Bin Baz rahimahullah

Pertanyaan:
من الحمللي جارة حملت وسقط حملها بعد شهرين ولا يعرف هل هو ذكر أو أنثى وقد دفن في جانب من الحارة ولم يدفن في مقبرة المسلمين فما حكم هذا الدفن
Seorang wanita tetangga saya hamil dua bulan dan kemudian keguguran, tidak diketahui apakah janinnya laki-laki ataukah perempuan dan telah dimakamkan di sebelah kampung -- tidak dimakamkan di pekuburan muslimin. Apa hukum pemakaman (seperti) ini?

Asy-Syaikh Ibnu Baaz -rahimahullah- menjawab:
ﺑﺴﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ
ﺍﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ ﻭﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﻋﻠﻰ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻋﻠﻰ ﺁﻟﻪ ﻭﺃﺻﺤﺎﺑﻪ ﻭﻣﻦ ﺍﻫﺘﺪﻯ ﺑﻬﺪﺍﻩ
ﺃﻣﺎ ﺑﻌـﺪ
فالمرأة إذا أسقطت جنينا فيه تفصيل
Seorang wanita jika mengalami keguguran maka ada perinciannya:
إن كان الجنين دما محضا فهذا ما يسمى جنين ولا يسمى نفاس الدم الخارج بسببه ولا يكون لها حكم النفساء بل عليها أن تصلي وأن تصوم وتحل لزوجها لأن هذا لا يسمى نفاس ما زال ابن شهرين أو ابن ثلاثة أشهر هذا في الغالب ما تخلق فهذا يكون دما فاسدا وتصلي وتصوم والدم المجتمع الذي سقط يدفن في أي مكان في البيت في الحوش ما يذهب إلى المقابر ما فيه حاجة لأن هذا ليس بإنسان وعليها أن تصلي وأن تصوم وتعتبر هذا الدم دما فاسدا مثل الدم الذي يخرج منالجراحات الأخرى دم فاسد لا يمنعها من الصلاة والصوم ولا يمنع زوجها من غشيانها لأنه دم فاسد لا يسمى نفاسا ولا يسمى حيضا
[PERTAMA]
Apabila janin tersebut (masih) berupa darah saja maka ini tidak disebut janin dan TIDAK dinamakan NIFAS darah yang keluar dengan sebabnya. Dan wanita tersebut tidak terkena hukum nifas bahkan dia tetap harus menegakkan shalat, puasa, serta halal untuk suaminya (berhubungan dengannya) KARENA ini tidak dinamakan NIFAS.
Pada usia kehamilan dua atau tiga bulan, KEUMUMANNYA masih belum berbentuk makhluk. Sehingga (darah yang keluar ini) adalah dammun faasid (darah rusak/kotor). Dan ia (wanita tersebut) melaksanakan shalat dan puasa.
Adapun gumpalan darah yang keluar ketika keguguran tersebut maka (boleh) dikuburkan di tempat mana pun: di rumah, pekarangan rumah --tidak dibawa ke kuburan--. Tidak perlu (dimakamkan di pekuburan) karena ini bukan manusia dan atasnya(wanita itu) shalat dan puasa.
Darah seperti ini dipandang sebagai darah rusak/kotor, semisal darah yang keluar dari luka yang lainnya. Darah rusak ini tidak mencegahnya dari pelaksanaan shalat dan berpuasa, tidak merintangi suaminya untuk berhubungan (jima) dengannya karena ia darah rusak dan tidak disebut nifas dan haidh.
أما إن كان الدم قد اجتمع فيه لحمة تجمع منه لحمة وفيه خلق إنسان ولو خفي رأس رجل يد إذا علم ذلك علمت به المرأة أو القابلة لها التي عندها ثقة أن هذا اللحم فيه خلق الإنسان فهذا يسمى نفاس يسمى ولد ويعتبر نفاس فليس لها حينئذ أن تصلي ولا أن تصوم وليس لزوجها أن يقربها يعني أن يطئها لأنها نفساء ما دامت اللحمة التي خرجت فيها خلق الإنسان ولو ما مر عليها أربعة أشهر في اعتقادها لأن الجنين قد يخلق فيه قبل ذلك والغالب أنه لا يخلق إلا في الطور الثالث بعد المضغة لكن جاء فيما يدل في بعض الأحاديث على أنه قد يقع قبل ذلك
[KEDUA]
Adapun seandainya darah itu itu telah memiliki jaringan daging--di dalamnya dan darinya--, mempunyai bentuk manusia padanya walau sedikit (belum sempurna); kepala, kaki, tangan. Jika telah diketahui yang demikian itu wanita itu mengetahuinya atau bidannya yang terpercaya di sisinya (menyaksikan) bahwa daging ini terdapat bentuk manusia padanya MAKA ini dinamakan NIFAS.
Sehingga, TIDAK BOLEH baginya pada saat ini untuk menegakkan shalat dan puasa, tidak diperkenankan suaminya untuk mendekatinya yaitu berhubungan (jima) dengannya KARENA ia
sedang NIFAS selama daging yang keluar berbentuk manusia walaupun belum lewat atasnya (kehamilan) empat bulan dalam keyakinannya. Sebab janin terkadang telah menjadi makhluk sebelum (empat bulan) itu.
Sedangkan keumumannya janin tidak dicipta kecuali pada fase ketiga, setelah periode
mudghoh (segumpal darah). Namun datang dalam beberapa hadits yang menunjukkan bahwa ia (penciptaan) terjadi sebelum (fase ketiga) itu.
فالحاصل إذا كان في خلق الإنسان يعتبر نفاس وعليها أن تمتنع من الصلاة والصوم وعلى زوجها أن يمتنع من إتيانها من غشيانها حتى تطهر فإذا طهرت ولو لعشرة أيام اوعشرين يوم تباح لزوجها
KESIMPULANNYA:
Apabila ia dalam bentuk manusia maka dianggap NIFAS dan wajib atasnya untuk meninggalkan shalat dan puasa, atas suaminya untuk tidak mendatanginya, tidak berhubungan dengannya sampai ia suci.
Kemudian apabila ia telah suci walaupun (nifasnya) hanya sepuluh atau dua puluh hari dibolehkan bagi suaminya (berhubungan dengannya).
ليس من شرط الطهارة أن تكمل أربعين لا لو طهرت وهي بنت عشرين أو بنت ثلاثين فالطهارة صحيحة تصلي وتصوم وتحل لزوجها وليس للنفاس حد محدود قبل الأربعين يعني ليس له حد محدود لأن النساء يختلف فقد تطهر مرأة لشهر وتطهر لخمسة وعشرين يوما وقد تطهر لأقل من ذلك أو لأكثر من ذلك كل هذا واقع والحكم مناط بالطهارة انقطاع الدم ورؤية الطهارة فإذا رأتالطهارة انقطع الدم
[PERIODE NIFAS]
Tidak disyaratkan suci (dari nifas) untuk genap empat puluh hari. Apabila ia (wanita) itu suci (dari nifas) baik ia dua puluh atau tiga puluh hari maka sucinya itu sah. Dia melaksanakan shalat berpuasa, dan halal bagi suaminya.
Dan untuk (lamanya waktu) nifas tidak ada batasan tertentu sebelum empat puluh hari, yaitu tidak ada batasan tertentu SEBAB para wanita berbeda-beda.
Terkadang seorang wanita suci (dari nifas) dalam waktu sebulan, (yang lain) suci dalam dua puluh lima hari, dan kadang kurang atau lebih dari itu. Ini semua terjadi.
Dan hukum (nifas) tergantung dengan sucinya: terputusnya (aliran) darah dan terlihat (tanda) suci.
Sehingga, apabila terlihat kesuciannya (dari nifas) terputus (aliran) darah (dari kemaluannya).
ورؤية ما يدل على الطهارة بأن ترى الماء الأبيض أو بأن تحتشي بقطنة في فرجها ونحوها من البياض فلا يتأثر تخرج وهي ما تأثرت بشيء هذه علامة الطهارة فتغتسل وتصلي وتصوم وتحل لزوجها ولو أنها ما مضى عليها من النفاس إلا عشرون يوما أو ثلاثون يوما فإن استمر الدم حتى كملت الأربعين يوم والدم معها فإن هذا الدم الزائد يعتبردما فاسدا بعد الأربعين وتصلي وتصوم وتحل لزوجها وتتحفظ في هذا الدم بالقطن ونحوه وتتوضأ في كل وقت لكل صلاة كما تفعل المستحاضات المستحاضات غير الحيض المستحاضاتالتي يستمر معهن الدم بعد الحيض والحيض شيء والمستحاضات شيء آخر
Dan terlihatnya kesucian itu dengan:
tampaknya air (cairan) berwarna putih atau dengan ia membersihkan dengan kapas pada kemaluannya, dan yang semisalnya dari (cairan) putih tidak bercampur, ia keluar dan tidak tercampur dengan sesuatu, inilah tanda suci.
Kemudian ia mandi, shalat, puasa, dan halal bagi suaminya walaupun belum lewat dari nifasnya kecuali dua puluh hari atau tiga puluh hari saja.
Kemudian, seandainya darah terus berlanjut sampai genap empat puluh hari dan darah itu tetap bersamanya MAKA darah tambahan ini, di atas empat puluh hari, dianggap darah rusak.
Ia melaksanakan shalat, berpuasa, dan halal bagi suaminya. Dan ia
menjaga/menutupi darah ini dengan kapas dan semisalnya. Ia berwudhu di setiap waktu untuk sholat sebagaimana dilakukan wanita mustahadhoh.
Mustahadhoh berbeda dengan haidh. Mustahadhoh adalah darah yang terus keluar setelah lewat periode haidh (yang normal). Haidh
adalah sesuatu dan mustahadhoh adalah sesuatu yang lainnya(tidak sama).
الحيض هن اللاتي يجلسن فوق الحيض المعتاد يقال لها حائض التي يأتيها الدم في وقتها المعتاد يعتبر دمها حيضا فهذه تسمى حائض لا تصلي ولا تصوم ولا تحل لزوجها والمستحاضة هي التي تصاب بدم زائد حال الحيض يستمر معها هذا الدم الزائد يسمى استحاضة إذا جاء تغتسل تصلي وتصوم وإذا جاء وقت الحيض المعتاد وقفت عن الصلاة والصوم وحرمت على زوجها حتى تنتهي أيام الحيض
Wanita HAIDH adalah yang mereka duduk (menunggu selesai haidhnya) pada periode haidh yang normal. Dan dinamakan ia wanita haidh adalah yang darahnya (keluar) mendatanginya dalam masa haidh yang normal/biasa, dianggap darahnya haidh. Maka wanita ini disebut sedang haidh. Tidak boleh shalat, berpuasa, dan tidak halal bagi suaminya.
Sedangkan wanita mustahadhoh adalah yang mendapatkan darah tambahan (dari masa haidh normal), terus (darah itu keluar) bersamanya (tidak terputus pada waktunya). Darah tambahan ini disebut istihaadhoh. Apabila terkena ini ia (wanita tersebut) mandi, shalat, berpuasa.
Jika datang waktu haidh yang biasa (waktu normalnya) maka ia berhenti dari shalat dan berpuasa serta haram atas suaminya (berjima dengannya) sampai selesai hari-hari haidh (hitungan normal/kebiasaannya sebelum istihaadhoh).
هذه النفساء كذلك مثل الحائض في وقت النفاس وقت الدم في النفاس لا تصلي ولا تصوم ولا تحل لزوجها فإذا ذهب هذا الدم لشهر أو عشرين يوما طهرت واغتسلت وصلت وصامت وحلت لزوجها ولو ما كملت الأربعين وهذا الدم الذي ليس فيه خلق الإنسان ليس له حكم الولد لا يغسل ولا يصلى عليه ولا يدفن في مقابر المسلمين كل هذا
Wanita yang nifas semisal wanita haidh juga pada waktu nifasnya. Sewaktu darah (mengalir) pada nifas ia tidak shalat, tidak berpuasa, dan tidak halal bagi suaminya.
Kemudian jika hilang darah itu dalam sebulan atau dua puluh hari, ia telah suci, mandi, shalat,
berpuasa, dan halal bagi suaminya. Walaupun belum sempurna empat puluh hari.
Dan darah (keguguran) yang tidak terdapat padanya bentuk manusia maka tidak dihukumi sebagai anak (manusia), tidak dimandikan, tidak disholatkan, dan tidak dimakamkan di pekuburan muslimin, seluruhnya.
أما إذا كان فيه خلق الإنسان فإنه يعتبر جنينا ويكون لها حكم النفاس لكن إذا كان ما نفخت فيه الروح ما تحرك في بطن أمه لا بأس أن يدفن في عرض البيت في حفرة في الحوش لا حرج لأنه ما صار له حكم الأموات حينئذ ما نفخت فيه الروح ما بعد تحرك في بطن أمه ليس له حكم الأموات لكن حكم الإنسان في وجوب النفاس في حكم النفاس فقط
Adapun jika didapati bentuk manusia maka ia dianggap janin (manusia) dan berlaku bagi ia (wanita) hukum nifas.
NAMUN apabila belum ditiupkan ruh padanya, belum bergerak diperut ibunya maka tidak mengapa untuk dikubur di pinggiran rumah, di dalam galian di pekarangan. Tidak mengapa karena belum berlaku hukum orang meninggal (jenazah) padanya di saat ini, belum ditiupkan ruh padanya. Akan tetapi hukum insan (janin berbentuk manusia berlaku) untuk kewajiban nifas, dalam hukum nifas saja.
أما إذا نفختفيه الروح تحرك ثم ولدته ميت أو حيا ثم مات هذا يغسل ويصلى عليه يغسل ويكفن ويصلى عليه ويدفن في مقابر المسلمين هذا الذي ينبغي هذا هو تفصيل هذه المسألة
Adapun jika telah ditiupkan ruh padanya, telah bergerak (dalam perut ibunya) kemudian dilahirkan dalam keadaan telah meninggal atau lahir hidup kemudian meninggal, (maka) ini dimandikan dan disholati atasnya.
Dimandikan, dikafani, dan disholatkan atasnya serta dimakamkan di pekuburan muslimin. Inilah yang selayaknya.
Inilah rincian untuk permasalahan ini.

Sumber:
binbaz .org .sa/mat/17661

Alih Bahasa:
Al-Ustadz Abu Yahya Al-Maidaniy (Solo) حفظه الله - [FBF-5]

WA Forum Berbagi Faidah [FBF]

Tentang WANITA HAID MASUK MASJID ATAU MUSHALLA

Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin ditanya apakah seorang yang sedang haid boleh menghadiri majelis dzikir (ilmu) di masjid?

Beliau menjawab:

Wanita yang sedang haid tidak boleh berdiam di masjid. Adapun sekedar melewati (dalam ruangan) masjid maka tidak mengapa, dengan syarat aman dari kemungkinan darahnya mengotori masjid. Jika keadaannya tidak boleh untuk berdiam diri di masjid, maka tidak boleh baginya untuk pergi ke masjid dalam rangka mendengarkan majelis ilmu atau membaca Al Qur’an. Kecuali jika ada tempat di luar masjid, di mana suara penceramah sampai ke tempat tersebut melalui pengeras suara, maka yang demikian tidak mengapa, untuk mendengarkan penjelasan ilmu atau bacaan Al Qur’an. Karena telah shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersandar di pangkuan ‘Aisyah radhiyallahu anha dan beliau membaca Al Qur’an padahal ‘Aisyah radhiyallahu anha sedang haid. Adapun pergi ke masjid untuk berdiam diri di sana dalam rangka mendengarkan ilmu ataupun bacaan Al Qur’an, maka yang demikian tidak boleh. Karena itu ketika hajjatul wada’ disampaikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Shafiyah mengalami haid, beliau bersabda: “Apakah engkau menahannya?”, karena beliau menyangka bahwa Shafiyah belum melakukan thawaf ifadhah. Mereka menjawab bahwa dia sudah melakukannya. Ini adalah dalil yang menunjukan bahwa wanita haid tidak boleh berdiam di masjid walaupun untuk beribadah. Dan telah shahih pula dari beliau bahwa beliau memerintahkan para wanita agar keluar mendatangi tempat shalat ied dalam rangka shalat ied dan dzikir dan beliau memerintahkan para wanita haid untuk menjahui tempat shalat.

(Diambil dari buku Problema Darah Wanita, Ash Shaf Media)

Tentang MENGANGKAT TANGAN KETIKA KHATIB BERDOA

Samahatus syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Bin Baaz rohimahulloh

Pertanyaan:
Apakah dibolehkan mengangkat kedua tangan ketika khotib berdoa di hari jumat? Karena aku dengar bahwa hal tersebut tidak boleh mengangkat tangan ketika berdoa di hari jumat.

Jawaban:
Tidak pernah teriwayatkan dari nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau mengangkat kedua tangannya di dalam khutbah jumat, dan ketika sebagian sahabat melihat sebagian penguasa mengangkat kedua tangan di dalam khutbah jumat maka sahabat mengingkari perbuatan tersebut, karena ibadah bersifat tauqifiyyah maka tidak ada tempat bagi akal untuk masuk ke dalamnya, maka tidak sepatutnya bagi khothib di hari jumat untuk mengangkat kedua tangannya ketika berdoa, karena hal ini belum pernah ternukilkan dari nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam kecuali jika dia melakukan istisqo (meminta turunnya hujan) yakni beristighitsah meminta kepada Alloh untuk diberi perlindungan dari kegersangan dan kekeringan maka tidak mengapa mengangkat tangan di dalam khutbah jumat ketika berdoa istighotsah. Sebagaimana yang dilakukan nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam karena beliau tatkala beristighotsah di hari jumat di dalam khuthbah jumat beliau mengangkat kedua tangannya, dan beliau berdoa dan manusia mengangkat tangan mereka (juga).
Adapun di dalam khutbah (jumat) biasa yang padanya tidak ada permohonan istighotsah maka tidak boleh mengangkat tangan. Kenapa? Karena rosul shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengangkat kedua tangannya, padahal beliaulah yang mengatakan:
ﺻَﻠُّﻮﺍ ﻛَﻤَﺎ ﺭَﺃَﻳْﺘُﻤُﻮﻧِﻲ ﺃُﺻَﻠّﻲ
“Sholatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat.“
Dan Alloh pun berfirman
ﻟَﻘَﺪْ ﻛَﺎﻥَ ﻟَﻜُﻢْ ﻓِﻲ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪ ﺃُﺳْﻮَﺓٌ ﺣَﺴَﻨَﺔٌ
“Sungguh telah ada suri tauladan yang baik bagi kalian pada diri rosululloh.” [Qs. Al-ahzaab: 21]
Maka manakala rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengangkat kedua tangannya di dalam khutbah jumatnya dan demikian pula dalam khutbah ‘iednya, maka hal itu berarti tidak disyariatkannya bagi kita untuk kita mengangkat kedua tangan kita kecuali dalam rangkat istisqo di dalam khutbah sholat istisqo, atau di dalam sholat jumat atau di dalam sholat ‘ied apabila khotib ber-istisqo mengangkat kedua tangannya, sebagaimana yang dilakukan oleh nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam.

[Fatawa Ibnu Baaz rohimahulloh]

###

Asy-Syaikh 'Abdul Aziz bin 'Abdillah bin Baz rahimahullah

Khatib tidak mengangkat kedua tangannya ketika khutbah, kecuali ketika meminta hujan. Apabila dia meminta diturunkannya pertolongan, mohon diturunkan air, dan meminta hujan maka dia mengangkat kedua tangannya.
Sebagaimana perbuatan Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika meminta hujan dalam khutbah Jum'at,  maka beliau pun  MENGANGKAT KEDUA TANGANNYA

Pada khutbah (Jum'at) biasa, yang tidak ada istisqa (do'a minta hujan) padanya, maka tidak disyari'atkan padanya mengangkat kedua tangan. Namun khatib berdo'a TANPA MENGANGKAT kedua tangannya. Demikianlah tuntutan Sunnah.
Makmum apabila dia mengaminkan do'a antara dirinya dengan Rabb-nya (dengan suara pelan, pen), maka itu tidak mengapa insya Allah, namun diapun TIDAK MENGANGKAT kedua tangannya.

Jadi makmum seperti imam, tidak mengangkat kedua tangannya kecuali ketika do'a minta hujan.
Para makmum demikian juga, mereka MENGANGKAT KEDUA TANGANNYA apabila imam mengangkat tangan dalam do'a minta hujan.

Adapun khutbah Jum'at biasa,  maka imam tidak mengangkat tangan padanya. Demikian juga dalam khutbah Id, tidak mengangkat tangan.
Mengangkat tangan hanya ada pada Khutbah minta hujan secara khusus,  sebagiamana di atas, berdasarkan riwayat yang pasti dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Dinukil dari:
http://www.binbaz.org.sa/node/4692

Majmu'ah Manhajul Anbiya