Cari Blog Ini

Sabtu, 08 November 2014

Tentang MENCABUT RAMBUT KETIAK

Para ulama sepakat atas sunnahnya mencabut bulu ketiak, sebagaimana dikatakan oleh Al Imam An Nawawi.

Disebutkan dalam Shohih Bukhory dan Muslim dari hadits Abu Huroiroh, bahwasanya Rosululloh bersabda:
ﺍﻟْﻔِﻄْﺮَﺓُ ﺧَﻤْﺲٌ ﺃَﻭْ ﺧَﻤْﺲٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮَﺓِ ﺍﻟْﺨِﺘَﺎﻥُ.ﻭَﺍﻻِﺳْﺘِﺤْﺪَﺍﺩُ ﻭَﻧَﺘْﻒُ ﺍﻹِﺑْﻂِ ﻭَﺗَﻘْﻠِﻴﻢُ ﺍﻷَﻇْﻔَﺎﺭِ ﻭَﻗَﺺُّ ﺍﻟﺸَّﺎﺭِﺏِ
“Al-fitroh [1] itu ada lima (atau lima hal yang termasuk fitroh): khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan memotong kumis.” (HR. AL-BUKHORI no. 5889 dan MUSLIM no. 257)

Abu Bakr Ibnul Arabi ketika membicarakan tentang hadits di atas berkata, “Menurut pandangan saya bahwasanya kelima cabang yang disebutkan di dalam hadits ini semuanya wajib. Karena apabila seseorang meninggalkannya, niscaya tidak tersisa penampilannya sebagai seorang bani Adam, lalu mana mungkin ia (penampilannya) termasuk dari kalangan kaum muslimin.” (Fathul Bari, 10/417)

Untuk bulu ketiak, maka cara paling utama menghilangkannya dengan dicabut bagi yang mampu. Jika tidak mampu, maka bisa dengan dipotong, dikerok atau bisa juga dihilangkan dengan obat perontok rambut.

Anas radhiyallahu ‘anhu berkata:
وُقِّتَ لَنَا فِي قَصِّ الشَّارِبِ، وَتَقْلِيمِ الْأَظْفَارِ، وَنَتْفِ الْإِبِطِ، وَحَلْقِ الْعَانَةِ، أَنْ لَا نَتْرُكَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Waktu yang diberikan kepada kami untuk mencukur kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, memotong bulu kemaluan adalah tidak lebih dari empat puluh malam (sehingga tidak panjang).”
[HR. Muslim]

Footnote:

[1] Kalimat Fitrah pada hadits ini bermakna Sunnah sebagaimana yang ditunjukan dalam hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan Abu ‘Awaanah. Ini adalah pendapat jumhur ulama.

Tentang MENCUKUR RAMBUT KEMALUAN

Disebutkan dalam Shohih Bukhory dan Muslim dari hadits Abu Huroiroh, bahwasanya Rosululloh bersabda:
ﺍﻟْﻔِﻄْﺮَﺓُ ﺧَﻤْﺲٌ ﺃَﻭْ ﺧَﻤْﺲٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮَﺓِ ﺍﻟْﺨِﺘَﺎﻥُ.ﻭَﺍﻻِﺳْﺘِﺤْﺪَﺍﺩُ ﻭَﻧَﺘْﻒُ ﺍﻹِﺑْﻂِ ﻭَﺗَﻘْﻠِﻴﻢُ ﺍﻷَﻇْﻔَﺎﺭِ ﻭَﻗَﺺُّ ﺍﻟﺸَّﺎﺭِﺏِ
“Al-fitroh [1] itu ada lima (atau lima hal yang termasuk fitroh): khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan memotong kumis.” (HR. AL-BUKHORI no. 5889 dan MUSLIM no. 257)

Al-Istihdad adalah mencukur rambut kemaluan. Perbuatan ini diistilahkan istihdad karena mencukurnya dengan menggunakan hadid yaitu pisau cukur. Para ulama sepakat bahwa hukumnya sunnah. Menghilangkan rambut kemaluan bisa dengan cara apa saja, baik dipotong dengan gunting, dicabut atau bisa juga dihilangkan dengan obat perontok rambut. Namun cara yang utama adalah dengan dicukur sampai habis tanpa menyisakannya, sebagaimana yang ditunjukan dalam hadits Abu Hurairah di atas.

Abu Bakr Ibnul Arabi ketika membicarakan tentang hadits di atas berkata, “Menurut pandangan saya bahwasanya kelima cabang yang disebutkan di dalam hadits ini semuanya wajib. Karena apabila seseorang meninggalkannya, niscaya tidak tersisa penampilannya sebagai seorang bani Adam, lalu mana mungkin ia (penampilannya) termasuk dari kalangan kaum muslimin.” (Fathul Bari, 10/417)

Anas radhiyallahu ‘anhu berkata:
وُقِّتَ لَنَا فِي قَصِّ الشَّارِبِ، وَتَقْلِيمِ الْأَظْفَارِ، وَنَتْفِ الْإِبِطِ، وَحَلْقِ الْعَانَةِ، أَنْ لَا نَتْرُكَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Waktu yang diberikan kepada kami untuk mencukur kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, memotong bulu kemaluan adalah tidak lebih dari empat puluh malam (sehingga tidak panjang).”
[HR. Muslim]

Footnote:

[1] Kalimat Fitrah pada hadits ini bermakna Sunnah sebagaimana yang ditunjukan dalam hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan Abu ‘Awaanah. Ini adalah pendapat jumhur ulama.

Tentang MENDAHULUKAN YANG KANAN KETIKA MEMAKAI SANDAL, DAN MENDAHULUKAN YANG KIRI KETIKA MELEPAS SANDAL

Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jika salah seorang di antara kalian memakai sandal maka mulailah dari yang kanan dan jika melepas maka mulailah dari yang kiri. Jadikanlah kaki kanan terlebih dahulu memakai sandal dan yang terakhir melepasnya.” (HR. Muslim, Abu Daud dan yang lainnya)

Disebutkan oleh para ulama hikmah dari hadits ini bahwa secara asal segala sesuatu itu dimulai dari yang kanan kecuali pada hal-hal yang terdapat padanya sifat kurang/jelek maka didahulukan yang kiri. Didahulukan yang kanan sebagai bentuk penghormatan baginya dalam memakai sandal dan diakhirkan ketika melepas sebagai bentuk penghormatan pula baginya dalam hal masa/waktu penggunaan ketimbang yang kiri. Realita yang ada dalam kehidupan kita pun membuktikan bahwa secara mayoritas bagian kanan lebih kuat dari yang kiri sehingga yang demikian ini menunjukkan kepada kita keserasian antara syariat dengan yang terjadi di lapangan. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan lebih utama bagian kanan secara realita dan juga menjadikannya lebih mulia secara hukum agama.

Namun terlepas dari hikmah yang disebutkan oleh para ulama tersebut, yang terpenting bagi kita adalah mencari barokah dengan mengikuti dan mencontoh segala hal yang diajarkan dan diperintahkan oleh Nabi kita.

Lalu apa hukum mendahulukan yang kanan dalam permasalahan ini? Baginda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan hadits ini dalam bentuk perintah “maka mulailah dari yang kanan” sementara hukum asal dari setiap perintah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bersifat wajib. Namun para ulama menyatakan bahwa perintah yang dimaksud dalam hadits ini hanya bersifat mustahab (sunnah), tidak sampai pada hukum wajib. Bahkan sebagian ulama seperti al-Qadhi ‘Iyadh, an-Nawawi dan al-Qurthubi menyatakan bahwa para ulama telah sepakat (berijma’) tentang sunnahnya amalan ini. (Lihat Fathu Dzil Jalali Ibnu Utsaimin, al-Istidzkar dan Tharhu at-Tatsrib)

Adapun lafazh, “Jadikanlah kaki kanan terlebih dahulu memakai sandal dan yang terakhir melepasnya", maknanya janganlah anda memakai yang kiri sampai yang kanan telah dipakainya dengan sempurna. (Lihat Fathu Dzil Jalali Ibnu Utsaimin rahimahullah)

Penulis: Ustadz Abdullah Imam hafizhahullah